Вы находитесь на странице: 1из 14

BAGIAN KEDELPAN

Sebuah Refleksi Pendek

Setelah Provinsi Banten kini memasuki umur hampir dua decade, semangat juang seperti
yang pernah dimiliki masyarakat pada awal pembentukannya mestinya tidak boleh padam.
Memang benar pemprov Banten belum mampu mensejahterakan masyaraat secara penuh,
dan sering membuat kekecewaan, namun kita tidak boleh sampai kehilangan kemauan dan
kemampuan untuk berpartisipasi mengawal dan memotivasi pemerintahan Banten dalam
melakukan inovatisme pembangunan.

Melalui semangat juang itu peranan kita sebagai masyarakat dan pemerintah Banten tidak
kehilangan harapan agar wilayah ini pun terus melangkah dalam mendekati cita-cita
bersama, yaitu mewujudkan masyarakat Banten yang bersatu, maju, sejahtera, adil dan
makmur. Nilai-nilai perjuangan itu harus mengisi dan teraktualisasi dalam pemerintahan dan
dalam kegiatan pembangunan. Untuk itu mungkin sering kalangan tokoh masyarakat Banten
mengingatkan berbagai pihak yang terkait untuk memperkuat komitmen pada pembangunan
Banten.

Nilai-niali perjuangan itu merupakan ikatan kolektif yang semestinya tidak putus meski
tergerus arus perbedaan dan pergesekan kepentingan politik dan harus tetap tumbuh
sebagai bagian dari tradisi dan perwujudan gotong royong, kebersamaan dan kepedulian
kita sebagai masyarakat dan bangsa. Meski pemerintah Banten kurang mempedulikan
peranan kita lagi dan cenderung bersikap individual, tetapi masyarakat tetap merupakan
kompenen pokok yang dalam konsep sebuah Negara demokratis menjadi “pemilik” atas
kedaulatan wilayah ini. Harus diakui bahwa keterlibatan masyarakat dan kehadiran kita di
sini merupakan kekuatan sosial. Hal ini juga penting dipahami pemprov Banten bahwa apa
yang sebenarnya menjadi kekuatan Banten, tentu bukan hanya pemerintah, tapi juga
masyarakat dengan segala budaya, partisipasi dan nilai-nilai sosial yang hidup dan dijunjung
tinggi bersama. Jika bertolak dari pandangan tersebut, maka semestinya memang
pembangunan itu menjadi instrument penguatan kembali kegotongroyongan, kebersamaan
dan partisipasi sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bersama.

Untuk itu pemerintah Banten membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat
dalam meningkatkan konsolidasi bersama agar masarakat memiliki tempat dalam proses
pembangunan. Dengan begitu mereka (pemerintah dan masyarakat) dapat belajar dan
merasa memiliki arti sebagai bangsa, yang bagaimanapun pada saat-saat krisis masyarakat
akan selalu hadir di bagian terdepan untuk mempertahankan eksistensi Negara, bangsa dan
pemerintahan. Demokrasi sebenarnya memberikan peranan lebih besar kepada partisipasi
masyarakat, walaupun kadang dalam implementasinya sering memperlihatkan gejala kurang
berkualitas. Namun hubungan masyarakat dan pemerintah tidak semestinya saling menjauh,
dan harus menjaga kebersatuan sebagai sebuah bangsa sehingga intensitas control
mayarakat pada pemerintah dipandang positif dan meningkatkan indeks demokrasi di
Banten. Selama ini indeks demokrasi Banten disinyalir di bawah rata-rata nasional.

Dalam kaitan tersebut, saya ingin mengaitkan bahwa arus utama demokrasi membuat kita
dihadapkan pada pilihan-pilihan politik dan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan
tuntutan tersebut. Pilihan-pilihan politik itu merupakan perjuangan untuk memilih mana yang

143
terbaik bagi kepentingan masyarakat, keutuhan bangsa dan percepatan pembangunan,
karena Banten masih dipandang sebagai daerah tertinggal. Demikian juga kebijakan
pembangunan harus didasarkan kepada pilihan-pilihan yang terbaik, bukan untuk
kepentingan diri pribadi dan golongan tertentu, melainkan untuk kepentingan masyarakat.
Jika pembangunan tidak memberikan pilihan ini, maka indeks demokrasi Banten tidak akan
berubah, dan akan masih di bawah rata-rata nasional. Hal ini tentu “memalukan” semua
pihak, karena sekaligus menjelaskan pemerintah kurang berprestasi mengembangkan
demokrasi yang berkualitas.

Salah satu indicator kualitas demokrasi adalah terpeliharanya hak-hak politik rakyat (political
rights), dan kebebasan sipil (civil liberties). Indikator tersebut mencakup partisipasi dan
seberapa intensif kotrol masyarakat terhadap pemerintahan. Dalam hal ini berkaitan dengan
kesediaan dan kemampuan pemerintah provinsi Banten menyediakan dirinya membuka
ruang partisipasi dan transparansi. Hasil kajian Indeks Demokrasi yang dilakukan Bagus
Takwin dan Alfindra Primaldhi LPPsi-UI-2014 menunjukkan bahwa Provinsi Banten berada
pada zona merah, dengan indeks 55, sama dengan provinsi Bengkulu di bawah rata-rata
nasional. Provinsi yang paling tinggi indeks demokrasinya adalah Sulawesi Selatan dengan
indeks 79 dan berada di atas rata-rata nasional.

Untuk itu memang pemerintah seharusnya lebih cerdas dan mampu mengelola berbagai
kepentingan, sehingga semua kekuatan terpelihara dan sama-sama terintegrasi dengan
berorientasi kepada kemajuan Banten. Argumen ini dibangun atas dasar penjelasan amanat
UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, bahwa dalam konteks otonomi pemerintah
diharuskan melaksanakan pemberdayaan dan mendorong partisipasi masyarakat sehingga
mampu mewujudkan kesejahteraan. Selama ini memang masih mengesankan bahwa
pembangunan seakan menempatkan masyarakat sebagai obyek, bukan subyek (pelaku)
dan sekligus memperlihatkan kekuasaan pemerintah dari pada proses pemberdayaan.
Ketika masyarakat terkesemampingkan, maka yang terjadi adalah despiritualisasi dalam
proses pembangunan. Oleh karena itu saya beranggapan bahwa suatu kinerja yang baik
dan tinggi tidak selalu berdasar pada motivasi material atau karena reward tertentu, tetapi
bisa jadi didorong oleh motivasi perjuangan (idealisme) untuk menampilkan sosok diri yang
dipercaya atau keinginan menampilkan kesolehan sosial. Aspek kualitas diri semacam ini
tidak simsalabim, melainkan melalui proses perjuangan yang gigih dalam menempatkan
kehidupan yang amanah dan akuntable, karena pertanggung jawaban manusia bukan
hanya pada sesama, tapi juga pada Tuhan. Pembangunan adalah karya manusia yang
dinilai oleh masyarakat dan pemerintah. Setiap karya dapat mencerminkan kualitas
perbuatan seseorang baik dan buruk. Tentu pada akhirnya akan juga dipertanggung
jawabkan di hadapan Tuhan, kelak. Dalam hal ini semakin jelas urgensi nilai-nilai
perjuangan itu dibutuhkan tidak hanya untuk membentuk karakter diri pribadi, tapi juga pada
giliannya membentuk karakter masyarakat. Semakin baik kualitas pembangunan akan
semakin baik pula tingkat kesolehan masyarakat, karena pembangunan bagi masyarakat
beragama merupakan perluasan amal ibadah.

Nilai-nilai perjuangan itu juga dapat membentuk komitmen yang kuat bagi seseorang dan
sekaligus memperkuat orientasi transenden — hubungan dengan Sang Pencipta – yang
selalu menilai perbuatan baik dan buruk manusia secara obyektif. Pada dasarnya Tuhan
telah memberikan cahaya pada setiap orang melalui hati nuraninya sendiri. Maka ketika hati
nuranya berperan dominan rasanya tidak mungkin dia melakukan pelanggaran moral dan
aturan hukum yang berlaku. Oleh karena itu hati nurani harus senantiasa diasah agar

144
memiliki ketajaman sensitivitas terhadap prilaku kehidupan sehari-hari. Di tempat itu pula
nilai-nlai perjuangan dihayati untuk memberikan makna pada pemikiran dan tindakan. Usaha
apa pun memerllukan perjuangan, lebih-lebih untuk memperjuangkan kepentingan
masyarakat dan bangsa. Kita percaya perjuangan tersebut masih ada di lingkungan
pemerintah, tetapi diharapkan tidak hanya berada di tataran individual, melainkan juga pada
tataran organik.

Penghayatan nilai-nilai perjuangan tidak harus berharap untuk menjadi seorang pahlawan,
tetapi dalam rangka mencari tempat kehidupan yang lebih tinggi, yakni kesolehan individual
dan sosial, karena seseorang setiap saat akan kembali sebagai anggota masyarakat apa
pun jabatan dan kedudukannya di pemerintahan. Dari masyarakat kita berasal dan
kemudian akan menjadi bagian dari lingkungannya. Nilai-niai perjuangan tidak lain dalam
rangka mengikatkan kita pada solidaritas sosial dan mengubungkan dengan apa yang
menjadi cita-cita masyarakat, yang mungkin kita sendiri tidak pernah memahami dan
menjangkaunya. Padahal siapa pun tidak akan lepas dari penilaian, pandangan, harapan,
dan ajakan lingkungan sosialnya. Saya teringat pada teori manajemen klasik, jangan pernah
bertanya apa yang akan diberikan oleh organisasi/masyarakat kepada kita, tetapi apa yang
dapat kita berikan kepada organisasi atau masyarakat dan negara.Teori ini saya kira masih
relevan untuk kehidupankita di zaman ini, yang berarti bahwa perjuangan dan pengabdian
kepada masyarakat dan bangsa tidak boleh terhenti, dan bukan pula sekedar untuk
memperoleh balasan material. Mungkin tanpa kita sadari bahwa bersama provinsi Banten
kita melaksanakan pembangunan sudah memasuki usia 16 tahun. Namun selama itu pula
pembangunan belum mencapai harapan semua pihak. Usaha pembanunan di Banten belum
melahirkan momentum yang membanggakan rakyat. Padahal setiap tahun anggaran
pembangunan (APBD) yang ditunjang APBN semakin besar, trilyunan rupiah. Entah
digunakan apa dana sebesar itu, karena yang nampak di permukaan, seperti jalan nasional
dan provinsi pun umumnya rusak, penuh bopeng dan makin jauh dari pusat kota kondinya
makin parah. Kemiskinan di Banten juga seperti tidak pernah berkurang dan angka
pengangguran cenderung semakin tinggi. Dari situasi ini tidak heran jika pemprov Banten
mendapat penghargaan diclaimer dari BPK, karena mungkin banyak anggaran yang tidak
terbaca penyalurannya kemana dan digunakan untuk apa. Hal ini menunjukkan gejala
inefisien. Dalam referensi teoritis, gejala in-efisiensi anggaran pembangunan semacam ini
sering disebabkan oleh kuatnya tradisi politik oligarki. Jeffrey A. Winters dalam bukunya
Oligharchy menjelaskan oligarki sebagai fenomena kekuasaan minoritas atas mayoritas
dengan orientasi pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan
kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian
menghasilkan ketidaksetaraan kekuasan politik.

Menurut Winters, teori oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material
yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Meskipun dalam
demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses politik setara, akan tetapi demokrasi
sering mudah tersandra oleh kekuatan politik elite berkuasa dengan jumlah kekayaan yang
sangat besar di tangan minoritas kecil sehingga menciptakan kelebihan kekuasaan
signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada distribusi
sumber daya material diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya,
yang memiliki pengaruh besar pada kekuasaan. Semakin tidak seimbang distribusi
kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan
tujuan politiknya, yang makin lama memperlihatkan kesenjangan sosial-ekonomi yang

145
mencolok, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin menderita. Dengan demikian,
ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam
kekuasaan dan pengaruh politik dan sosial-ekonomi. Permasalahan baru pemprov Banten
bertambah. Bukan hanya kemiskinan tetapi kemudian bertambah dengan masalah
kesenjangan sosial. Bila permasalahan ini dibiarkan bukan mustahil akan menimbulkan
masalah politik yang mengganggu proses pemerintahan.

Studi mengenai oligarki memusatkan perhatian pada kuasa kekayaan dan politik yang
spesifik di sekitar kekuasaan. Penekanannya ada pada dampak politik kesenjangan material
terhadap “kesenjangan kondisi” yang membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan ekslusif
minoritas Menurut Winters teori oligarki menjelaskan bagaimana kekayaan yang
terkonsentrasi menciptakan kapasitas, motivasi, dan kemudahan politik tertentu bagi mereka
yang memilikinya. Dampak buruk politik oligarki diantaranya adalah merajalelanya korupsi
dan hukum dimandulkan, karena dengan demikian mereka dengan mudah menggunakan
seumberdaya material untuk kepentingan politik.

Opini disclaimer yang pernah diterima pemprov Banten dari LHP-BPK pada tahun 2014-
2015 memberikan kesimpulan bahwa manajemen dan sistem pengendalian intern anggaran
sangat lemah, sehingga auditor tidak mendapatkan keyakinan mengenai susbstansi laporan
pengelolaan APBD Banten pada zaman itu. Sialnya opini dsclaimer ini terjadi selama dua
tahun berturut-turut. Bagaimanapun prediket disclaimer itu merupakan bentuk pengelolaan
anggaran yang buruk. Hal itu terjadi selain pengawasan DPRD terhadap penggunaan
anggaran rendah, akses masyarakat untuk mendapat informasi publik tertutup rapat, juga
yang sangat penting adalah rendahnya tanggung jawab pemprov Banten dalam
penggunaan anggaran.

Dalam perspektif politik oligarki niat untuk menggunakan anggaran secara transparan,
akuntable dan efektif sangat sulit, karena monopolistik sumber-sumber anggaran dan
distribusinya terbatas dan berdasar pada kepentingan penguatan patron-klien kekuasaan.
Seperti diketahui hubungan antara oligarki dengan patron-klien cenderung membentuk
politik dinasti. Wewenang dan sumber-sumber kekuasaan dikuasai oleh penguasa utama,
sedangkan para oligark lainnya menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya pada
oligark tunggal tersebut. Dengan demikian terjadi hubungan ketergantungan yang kuat
antara oligarkis utama dengan kelompok pendukung yang dibangun atas dasar kepentingan
pragmatis-material.

Dalam tradisi ini pembangunan dilaksanakan secara terbatas dan kaum oligark politik
berusaha memelihara kesenjangan material. Oleh karena itu mengharapkan usaha
pembangunan sebagai solusi kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan. Demikian
pula perhatian pemerintah terhadap pembangunan sekedar “penenang”, agar tidak terjadi
pergolakan politik yang mengancam stabilitas sistem politik oligarkis. Berbagai bantuan
dalam bentuk hibah dan bansos pun dilakukan secara terbatas sehingga memperkuat
rangsangan agar masyarakat tersandra dalam kenyataan politik oligarkis dalam mitos
kesejahteraan. Sementara ketergantungan masyarakat pada elite oligar semakin kuat,
karena proyek-proyek yang dilaksanakan atas nama pembangunan pada dasarnya
memperkuat hubungan patron-klien elite oligarkis dengan kelompok pendukungnya secara
material saling menguntungkan.

146
Jika harus jujur sangat kecil sekali kue pembangunan yang dibagi pada hajat hidup rakyat.
Oleh karena itu sangat wajar jika pembangunan belum mampu mendorong transformasi
sosial, ekonomi dan kebudayaan secara signifikan. Dalam tradisi politik oligarkis pemerintah
cenderung mengabaikan sasaran-sasaran jangka panjang yang multiguna bagi tumbuhnya
kekuatan cultural untuk mendorong bangkitnya partisipasi rakyat dalam melakukan
perubahan ke arah tumbuhnya etos kehidupan yang lebih produktif dan inovatif.

Rupanya masyarakat pun menyadari bahwa pembangunan tidak lepas dari selera
kekuasaan. Bagaimana dan kemana distribusi pembangunan harus dibagi tergantung tarik-
menarik kekuatan relasi politik dalam konteks akumulasi dukungan politik oligarkis. Dengan
demikian distribusi pembangunan dilakukan atas pertimbangan pragmatis itu. Barangkali ini
sebabnya mengapa pragmatisme menggayut dalam pandangan masyarakat karena
pemerintah sendiri telah menjadikan program pembangunan sebagai instrument politik, yang
secara mudah diterjemahkahkan ke dalam kemakmuran ekonomi.

Jika demikian pembangunan seperti berjalan tanpa ruh. Gejala despiritualisasi


pembangunan ditandai dengan kehampaan moral. Memudarnya rasa kebersamaan dan
komitmen perjuangan kolektif mengkhawatirkan dapat menjadikan pembangunan sekedar
memuaskan nafsu kemewahan duniawi bagi segelintir orang di tengah memudarnya
partisipasi dan peran agama. Padahal komitmen religius yang seharusnya mengisi dan
mengarahkan proses pembangunan sangat penting untuk menumbuhkan keberanian politik
dalam melakukan transformasi sosial dan disiplin kerja, selain juga menjadi syarat bagi
keefektifan kebijakan pembangunan dalam pengangkatan derajat kehidupan masyarakat.

Pendidikan Politik

Masyarakat Banten secara keseluruhan belum merasakan manfaat dari arti pendidikan
politik. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada, baik pilbup maupun
pilgub terkait dengan permasalahan tersebut. Proses politik lebih dilihat manfaat pragmatis
(money politics), suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan
materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dengan
cara membagi-bagikan uang atau sembako milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi
suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian
uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi.
Saya teringat pada sepotong bait lirik lagu Wali Band yang berjudul Ada Gajah Di Balik Batu:

Ada gajah di balik batu


Batunya hilang gajahnya datang
Jangan diam-diam begitu
Ketiban gajah kamu baru tahu

Tradisi money politics muncul karena politik lebih merupakan ritual lima tahunan sekali, dan
setelah itu terjadi kekosongan dalam rongga waktu yang sangat lama. Proses politik belum
menjadi bagian dari kegiatan rancang-bangun bersama masyarakat sebagai upaya
perjuangan kolektif dalam rangka perubahan. Ketika pemilu dan pilkada usai praktis tidak
ada kegiatan politik yang signifikan, dan partai politik pun kembali sepi seperti kuburan.
Dengan demikian parpol belum menjadi “rumah konstituen”, kecuali saat menjelang pemilu.
Teputusnya komunikasi dan sosialisasi selama pasca pemilu/pilkada antara elite parpol dan

147
konstituen menyebabkan kemungkinan munculnya anggapan bahwa mereka tidak lagi
dipandang penting dan bagian dari proses politik, maka hal itu harus dibayar dengan yang
lebih bersifat nyata (pragmatis). Jika maksud money politics tersebut tidak ada, maka
masyaraat tidak akan memilihnya. Itu sebabnya praktik money politics terjadi sebagai
instrumen merayu-rayu dan memotivasi kembali calon konstituen untuk memilih, walaupun
sebenarnya mereka tahu bahwa praktik semacam itu bersifat ilegal dan merupakan tindak
kejahatan. Namun menghukum para pelaku dalam praktek money politic menjadi tidak adil,
karena system dan tradisi politik yang dikembngkan parpol seperti itu. Oleh karena itu
penting dilakukan pendidikan politik sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi nilai-nilai
perjuangan kolektif. Pendidikan politik adalah proses penumbuhan partisipasi dan motivasi
masyarakat dalam memahami hak-hak politik rakyat, nilai-nilai politik (ideologis), orientasi
politik, kebebasan, keadilan, demokrasi, toleransi dan program politik terkait dengan
kemungkinan perubahan yang akan dituju menurut arah dan tujuan yang hendak diwujudkan
sesuai visi dan misi politik. Semua itu merupakan bentangan jaringan kultural sebagai
instrument daya tarik yang tersosialisasi dalam situasi yang menjunjung tinggi norma sosial
dan kebebasan sehingga masyarakat memungkinkan terintegrasi untuk menjadi bagian dari
proses politik. Menurut Kartini Kartono (1996:64) pendidikan politik merupakan upaya
pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi
partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam pencapaian tujuan politik.

Defenisi di atas mengaksentuasi pada proses penumbuhan kesadaran akan makna


partisipasi politik sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam menentukan apa yang harus
dijalani bersama, karena menjadi partisipan berarti menjalin hubungan dengan sesama dan
dengan dunia (politik). Menjadi partisipan politik adalah mengalami sebagai realitas obyektif
yang bukan sekedar ikut-ikutan, bukan keterpaksaan dan bukan karena nilai pragmatism
jangka pendek, melainkan karena kesadaran akan fungsi dan peranan setiap subyek politik
dalam melaksanakan program politik. Pendidikan politik menjelaskan peranan keterlibatan
insan politik dalam proses menjalani rancang-bangun politik menuju perubahan sehingga
kehadiran mereka dapat dimengerti, yang seolah ingin menunjukkan bahwa tanpa
konstituen rencana politik tidak akan mencapai tujuan.

Seseorang yang sekedar ikut-ikutan dalam proses politik dan kemudian berprilaku seperti
politisi tertentu, tetapi dia tidak mengerti substansi apa yang dilakukannya, maka orang
seperti itu tidak ada bedanya dengan “orang kesurupan”, tak berkesadaran dan
ketidaktahuan akan arti kehadiran dan peranannya. Orang seperti ini tenggelam dalam
realitas dan tidak koneks secara penuh dengan proses politik yang obyektif. Seharusnya
pendidikan politik tidak menciptakan para pendukung, yang “berjarak” dan terpisah secara
gagasan, melainkan justru yang paling penting adalah membentuk partisipan yang
berintegrasi, merasa memiliki dan tanggung jawab terhadap kesuksesan atau kegagalan
program politik yang dijalaninya.

Pendidikan politik harus terhindar dari kemungkinkan menjadikan masyarakat sekedar


sasaran (obyek) yang tidak terhubung dengan visi dan proses politik secara sistematik.
Masyarakat harus dijadikan sumber inspirasi politik mengenai apa yang dibutuhkan agar
mereka berdaya dalam melakukan perubahan. Dengan demikian pendidikan politik
memandang masyarakat tidak sekedar ada, melainkan terhubung dengan ideology dan
program politik, sehingga bersma-sama menciptakan kemungkinan perubahan apa yang
hendak diwujudkan dalam penguatan politik. Menarik pendapat Rusadi Kantaprawira
(1988:54) “Pendidikan politik adalah upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat agar

148
mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya, sesuai dengan
paham kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas
partisipasi”. Pendapat tersebut senafas dengan yang dikatakan Mansour Fakih (1999:5),
pendidikan politik adalah setiap usaha untuk melahirkan kesadaran kritis bagi penghormatan
atas hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, hak anak-anak, hak kultural dan politik
kaum minoritas, hak-hak penyandang cacat, dan hak asasi manusia lainnya. Ia juga menye-
butkan bahwa terdapat korelasi antara sikap penghormatan atas hak asasi manusia dan
sistem politik yang demokratis. Pendidikan kritis akan mendorong lingkungan sistem politik
yang demokratis yang akan melahirkan masyarakat menghargai HAM”. Tentu yang utama
dalam proses pendidikan politik adalah menginternalisasi nilai-nilai humanitas dalam
interaksi pada iklim demokrasi agar terbentuknya prilaku politik etis, bermoral dan rasional.
Melalui internalisasi nilai-nilai politik itu, insan politik menyadari tantangan-tantangan dan
bagaimana mereka mengatur diri sendiri dalam konteks mengaktualisasikan gagasannya.

Pendidikan politik terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses dimana
individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai unsur
yang penting dari konsep diri dan lingkungannya. Proses internalisasi nilai-nilai ini menjadi
kekuatan pendidikan politik yang memberi makna bahwa pendidikan dan politik itu saling
bertautan. Salah satu bentuk nilai-nilai politik yang bisanya diinternalisasi dalam proses
sosialisasi politik adalah corak dan ideology yang menurut Edward Shils seperti dikutip
Albert Widjaja (1982:5) adalah nilai-nilai dan pandangan-pandangan tentang masalah-
masalah yang dianggap pokok yang biasanya diuraikan atau dirumuskan secara jelas; Nilai-
nilai tersebut berkisar pada suatu atau beberapa nilai-nilai dasar (pre-eminent velues),
seperti kesejahteraan, demokrasi, keadilan dan HAM; Nilai-nilai tersebut menuntut
perubahan, karena politisi meletakan dirinya pada konteks seperti dalam keadaan masa lalu
untuk mewujudkan masa depan yang diakarkan pada masa kini.

Seperti diketahui politik adalah etika yang diwujudkan dalam bentuk instrument untuk
melayani, bukan untuk menguasai sesama. Oleh karena itu pendidikan politik berusaha
melayani masyarakat dengan gagasan-gagasan cerdas dan mengajak sesama untuk
berjuang bersama-sama dalam rangka mengubah realitas supaya lebih manusiawi termasuk
dirinya sendiri sebagai manusia. Jadi pendidikan politik ingin memanusiawikan manusia dan
untuk itu tatanan kehidupan harus diubah atau dibangun agar kehidupan masyarakat dan
bangsa hidup layak dan terhormat sebagai manusia. Organisasi yang digunakan untuk
kegiatan pendidikan politik biasanya partai politik. Wadah ini diciptakan seperti layaknya
pusat aktivitas yang dibangun penuh dengan nilai-nilai moral, menarik dan memberi motivasi
bagi siapa saja orang dewasa belajar berpolitik dan terlibat, baik langsung maupun tidak
langsung. Partai harus menjadi wahana pendidikan politik dalam mengembangkan prinsip-
prinsip demokrasi yang akan diterapkan pada warga negara sebagai landasan pola pikir
dalam membangun partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik warga negara dapat
diwujudkan dalam bentuk pengambilan keputusan politik yang didasarkan pada kebebasan
dan menentukan keputusan yang dibuat menurut selera masyarakat, bukan selera elite dan
penguasa. Dengan demikian pendidikan politik menghargai norma dan hak setiap individu
untuk memilih dan mengambil keputusan tanpa tekanan dari pihak manapun serta terlibt
dalam sistem politik yang dibangun secara demokratis dan tolerantif. Pendidikan politik
pun memiliki tujuan untuk menarik individu memahami politik sebagai instrument
menjadi negarawan dan menjadi warga negara yang baik, bertanggungjawab dengan pilihan
politiknya serta melaksanakan gagasan-gagasan cerdas.

149
Partai politik menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (1998: 16)
adalah organisasi atau golongan yang berusaha untuk memperoleh dan menggunakan
kekuasaan. Yang mana dalam memperoleh kekuasaan itu dibutuhkan cara dan teknis
maupun ideologi untuk memperolehnya. Partai politik merupakan saluran utama untuk
memperjuangkan kehendak rakyat, bangsa, dan negara sekaligus sebagai sarana
kondensasi dan rekrutmen kepemimpinan nasional

Partai politik merupakan salah satu organisasi yang bersejarah dan berpengaruh dalam
perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut undang-undang no 2 tahun 2011 tentang
partai politik, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan UUD tahun 1945. Berdasarkan hal itu, maka partai politik
merupakan wadah aktualisasi demokrasi yang memiliki posisi strategis dalam
mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam pemerintahan daerah maupun pusat. Partai
politik merupakan wadah penyaluran aspirasi politik rakyat baik secara langsung maupun
tindak langsung, selain itu partai politik memiliki fungsi yang sangat penting dalam
membangun partisipasi politik rakyat dengan melakukan pendidikan politik kepada
masyarkat. Berdasarkan Undang-Undang no 2 tahun 2011 Pendidikan Politik adalah proses
pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga
negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesadaran berpolitik dalam masyarakat
tidak muncul begitu saja namaun perlu pembelajaran dari berbagai kegiatan dan interaksi
politik dalam wadah partai politik. Kesadaran politik tidak serta merta membuat masyarakat
langsung berpartisipasi apalagi banyak dari rakyat kita yang tidak mengenyam pendidikan.
Oleh karena itu pendidikan politik harus dilangsungkan baik secara formal (penataran,
pelatihan-pelatihan atau diskusi), melainkan secara tidak langsung yaitu melalui pengarahan
dan musyawarah muakat atau melalui obrolan-obrolan terbatas.

Masalahnya yang sering muncul adalah pengurus parpol (politisi) sering cepat melupakan
konstituen pendukungnya dan melupakan janjinya. Berbagai kebijakan pemerintah yang
tidak pro rakyat malah didukung sepenuhnya oleh kaum politisi. Sebaliknya aspirasi-aspirasi
rakyat sering tidak terwadahi dan tersalurkan untuk menjadi pertimbangan etis pemerintah.
Oleh karena itu banyak parpol dirasakan tidak efektif dan tidak berdaya untuk menjalankan
aspirasi masyarakat, seperti keadilan dan kesulitan yang diderita masyarakat. Tidak heran
jika kemudian masyarakat mulai merasa gerah dan menunjukan ketidakpercayaanya
terhadap partai politik, lunturnya kepercayaan publik (public trust) terhadap partai politik
akibat dari kompleksnya permasalahan yang ditimbulkan oleh partai politik baik
permasalahan internal partai dan kasus-kasus anggota-anggota partai politik seperti korupsi,
prostisusi, narkotika dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Ketidak percayaan publik
terhadap partai politik mengkibatkan persepsi atau pandangan masyarkat terhadap partai
politik pun buruk. Bahkan kita sering membaca pendapat kalangan intelektual menyoroti
partai politik selalu di gamabarkan dengan sesuatu yang tidak baik dan berorientasi hanya
ingin merebut kekuasaan dengan berbagai cara.

Secara umum dapat dikatakan bahwa parpol belum memberikan pendidikan politik yang
sungguh-sungguh serius, sistematis dan berkelanjutan baik di lingungan internal maupun
eksternal. Tetapi yang kita dengar politisi sibuk memperuat posisi masing-masing dan
berusaha menjadi perpanjangan tangan dari pengurus pusat. Padahal tidak kalah

150
pentingnya bila politisi melakukan pendidikan, misalnya kewarganegaraan atau
kepemimpinan ideal. Pendidikan kewarganegaraan memiliki perhatian pada penumbuhan
dan motivasi kesatuan bangsa dan kebinekaan, sesuatu yang sangat penting bagi negeri ini.
Bahkan pendidikan kewarganegaraan berusaha untuk mengembangkan political awareness,
political behavior, dan political attitude yang dikemas dalam satu proses pendidikan yang
kita sering sebut civic competence. Melalui parpol pendidikan kewarganegaraan dapat
dilaksanakan untuk mendidik warganegara agar memiliki kompetensi pengetahuan tentang
keindonesiaan atau kebangsaan (nasionalisme). Sungguhpun parpol tidak menjalankan
pendidikan kewarganegaraan dalam arti formal, tetapi sebaiknya dia dapat menjalankan
pendidikan kewarganegaraan dalam arti non formal, yaitu menjadi inspiratory akademik
guna tumbuhnya pemahaman masyarakat tentang prilaku kebangsaan dan sikap toleran
(demokrasi). Gagasan-gagasan cerdas dapat dituangkan di media (opini) agar masyarakat
memahami pesan-pesan moral dari gagasan tersebut.

Dalam konteks pendidikan politik, politiisi dapat menggali nilai-nilai, aspirasi-aspirasi dan
kekuatan-kekuatan budaya yang hidup dan tumbuh di masyarakat untuk dikembangkan dan
mendapat dukungan pemerintah. Kemampuan tersebut kemudian dirumuskan dan
diabarkan dalam bentuk program pengembangan partai. Perumusan dalam bentuk program
tersebut mencerminkan inti dari aspirasi yang berasal dari masyarakat untuk diperjuangkan
dalam proses pembuatan kebijaksanaan umum. Namun kebanyakan politisi kita tidak
memiliki kemampuan tersebut. Jangankan mampu memahami ikhwal dan masalah-masalah
yang terjadi di masyarakat, mereka dekat pun dengan masyarakat tidak. Jarak kehidupan
politisi dengan masyarakat mungkin sama jauhnya antara bumi dan langit. Tradisi kehidupan
politisi kita cenderung elitis dan sesekali menjadi center kelas, ketika ada warga masyarakat
datang mereka merogok kantong dan memberinya uang seperlunya.

Bangsa ini telah kehilangan kesempatan yang besar untuk mendapatkan dan melaksanakan
pendidikan politik dari politisi dan pemerintah. Oleh karena itu tidak heran jika kemudian
masyarakat kurang menghargai kaum politisi lebih dari hal-hal yang bersifat material-
pragmatis. Sementara sosialisasi partai politik yang secara formal dilakukan pada saat
kampanye sering tidak sistematis dan cenderung parsial karena mengarah pada
pemenangan parpol bersangkutan. Padahal jika parpol secara bertahap melaksanakan
pendidikan politik kepada masyarakat, mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan
tentang apa arti menjadi anak bangsa, tetapi juga menghayati norma-norma dan nilai-nilai
politik yang urgent dengan tantangan. Melalui kegiatan ini partai politik ikut membina
masyarakat dan mengintegrasikannya sebagai bagian dari rencana pembangunan politik
nasional dan sekaligus menumbuhkan kecintaan pada daerah.

Pendidikan politik bisa juga dikatakan sebagai kaderisasi kepeimpinan yang berorientasi
kepada pembentukan karakter pemimpin untuk memenuhi kompetensi pengetahuan dan
dibutuhkan dalam menjalankan aktivitas politik yang dilandasi kesadaran politik yang
tercermin dalam bentuk-bentuk partisipasi politik. Kompetensi yang diperlukan oleh para
kader tersebut meliputi kompetensi pengetahuan geopolitik, kewarganegaraan, dan
manajerial organisasi public. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memformulasikan dan
melaksanakan pola pendidikan politik yang mengadopsi muatan-muatan pendidikan
kewarganegaraan ke dalam kurikulum pelatihan yang di dalamnya memuat pendekatan,
materi, metode penyampaian materi, dan evaluasi. Namun yang penting adalah adanya
hubungan yang erat antara konstituen dan elite politik dalam rangka membangun kesadaran
bersama akan peran kebersamaan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik,

151
juga dalam rangka pemahaman yang lebih luas tentang politik dan pentingnya pendidikan
kewarganegaraan (civic education). Melalui pendidikan politik mereka paham secara tidak
langsung mengenai seluk beluk politik dan dunia politik sebagai sarana rnengaplikasikan
pengetahuan dan sikap yang lebih bijak terkait dengan nama baik parpol dan masa depan
bangsa yang dicita-citakan. Dalam hal ini akan tumbuh sikap saling peduli antara
masyarakat dan prkatisi parpol dan elite dalam memelihara kebersamaan sambil terus
berupaya memperjuangkan harapan-harapan kolektif baik dalam konteks mendukung
pemerintah maupun mengkritisinya, agar jalannya pemerintahan tetap berada dalam koridor
good governance dan akuntabilitas public..

Dalam perspektif perjuangan, partai politik merupakan ranahnya. Sebab di situlah justru ruh
parpol berada. Jika parpol sudah tidak memiliki semangat juang, maka ia mendekati ajalnya.
Perjuangan sama kedudukannya dengan tanggung jawab. Orang yang tidak berjuang tidak
memiliki tanggung jawab. Oleh karena itu partai politik tidak bisa “cuci tangan” lepas dari
tanggung jawab sosial atas baik buruknya pemerintahan dan usaha-usaha pembangunan di
Banten, karena di situ ada politisi (DPRD) yang turut menentukan perjalanan roda
pemerintahan. Rasanya tidak salah sebuah kesimpulan, bahwa pemerintahan yang bobrok
karena politisinya juga buruk. Juga sebaliknya, pemerintahan yang baik karena didukung
oleh kaum politisi yang baik dan berkualitas. Dengan demikian kaum politisi harus memiliki
moralitas politik yang kuat, sehingga akan mempengaruhi iklim pemerintah yang baik. Oleh
karena itu semangat perjuangan dari kader-kader parpol tidak boleh luntur, meskipun di
antara mereka sudah duduk di legislatif sebagai pejabat negara.

Produk parpol adalah pemimpin, dan setiap pemimpin idealnya adalah pejuang. Secara
konsepsional dapat dikatakan bahwa kaderisiasi parpol tidak lain sebagai penyiapan calon-
calon pemimpin. Kriteria umum pemimpin diantaranya cerdas, yaitu orang yang memiliki
wawasan politik yang luas sehingga mampu mengembangkan organisasi; Berkepribadian
yang layak diteladani, termasuk dalam kriteria ini adalah jujur, amanah dan tanggung jawab;
Demokratis, adil, toleran dan memiliki kepekaan sosial (pedli). Semua ini merupakan aspek-
aspek kualitatif, karena di situlah sesungguhnya peranan pemimpin politik diuji oleh proses
aktual dan potensialitasnya yang bersumber pada apa yang disebut perjuangan.

Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir
secara stabil dengan tujuan merebut kekuasaan dan memmpengaruhi pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil. Dalam definisi lain dikatakan partai politik
merupakan sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk
memilih dan bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan
umum. Berdasarkan definisi itu, maka jelas partai politik merupakan sarana, alat atau wadah
bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Masyarakat bebas memilih partai politik
mana yang dianggap bisa menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, dan partai politik
juga berlomba-lomba menarik simpatisan/masyarakat untuk dijadikan warga partai, karena
semakin banyak jumlah anggota partainya maka semakin besar pula keberadaan partai
tersebut, yang ditandai dengan jumlah keterwakilan di lembaga perwakilan rakyat, mulai dari
DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi dan DPR RI.

Oleh karena itu parpol harus memiliki visi perjuangan, bukan karena kekuasaan belaka,
tetapi bagaimana kekuasaan yang diraihnya itu sesuai dengan norma dan cita-cita Negara

152
dan masyarakat. Dengan demikian gerakan tersebut merupakan upaya perubahan-
perubahan pada lembaga-lembaga politik dan menciptakan suatu tata kelola pemerintahan
yang sesuai dengan visi dan misi politik agar masyarakat, baik sebagai pendukung parpol
maupun warga Negara biasa dat mempercayai parpol lebih kuat, dan demikian citra politik
parpol akan makin baik dan berpengaruh. Bukan hanya itu, gerakan politik juga harus tertuju
pada penguatan demokratisasi dan penumbuhan rasa nasionalisme yang kini tampak mulai
merosot. Melalui parpol semangat dan pemahaman kebangsaan dikembangkan.

Untuk menjalankan fungsi politik tersebut, maka parpol harus menjadi sarana komunikasi
dan edukasi politik antara warga masyarakat dan pemerintah. Pendidikan politik juga
dikembangkan di sini secara lebih dalam dan mendasar. Bersamaan dengan itu
pemahaman tentang fungsi-fungsi parpol dikembangkan. Harus diakui bahwa parpol
merupakan organisasi kader dan sekaligus wadah perjuangan dalam menyalurkan aspirasi-
aspirasi masyarakat kepada pemerintah melalui anggotanya di legislative. Di sinilah fungsi
dari partai politik yang akan menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat
dan mengaturnya sedemikian rupa. Pemerintah Daerah sebagai Pembina parpol harus
mengajak dan mengarahkan parpol dalam menciptakan kehidupan yang tenteram,
demokratis dan sama-sama dengan pemerintah mewujudkan dan melaksanakan
pembangunan. Oleh karena itu berbagai aspirasi aspirasi masyarakat (asmara) dapat
diakomidir yang berasal dari usul ataupun kebijaksanaan partai dalam anggaran dan
diproses sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari musrenbang
desa, kecamatan, kab/kota sampai ditingkat pusat dan pada akhirnya merupakan
pKebijaksanaan Umum (public policy) atau dalam bentuk RPJP/RPJMD yang kesemua ini
adalah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan.
Sebaliknya, partai politik juga dapat menyampaikan dan menginformasikan kepada
masyarakat, kegiatan atau program-program pemerintah dalam bentuk kebijakan umum,
Dengan demikian akan terciptakan komunikasi politik dari bawah ke atas dan sebaliknya
dari atas kebawah, dimana partai politik dapat memainkan peranannya sebagai penghubung
antara yang memerintah dengan diperintah, antara pemerintah dan warga masyarakat.

Dalam konteks perjuangan politik, parpol juga memiliki peranan penting untuk melakukan
sosialisasi pendidikan politik. Pendidikan politik mencakup proses pemahaman tentang
moral politik, norma-norma dan etika politik kepada masyarakat. Pendidikan politik
selanjutnya menyangkut perluasan paham kebangsaan, makna demokrasi, toleransi dan
kepemimpinan yang baik dan bersih. Hal ini penting dalam rangka turut membentuk
kepribadian dan karakter bangsa, dan mendapatkan dukungan masyarakat. Semakin
banyak program parpol yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat akan semakin besar
pula dukungan dan perolehan suara parpol sehingga semakin banyak wakil-wakil rakyat
yang diusung parpol tersebut menjadi anggota legislatif maupun kepala daerah. Dengan
demikian partai politik berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik, untuk dapat menjadi
pemenang dalam Pemilu serta menguasai pemerintah (dalam artian menjadi Kepala
Daerah, ataupun pimpinan lainnya). Partai politik harus bisa mensosialisasikan dan
mendapatkan dukungan masyarakat sebanyak mungkin, dengan mengedepankan bahwa
partai politik berjuang untuk masyarakat dan kepentingan umum. Banyak cara/siasat yang
dapat dilakukan oleh partai politik untuk mensosialisasikan dirinya, prosesnya bisa melalui
forum diskusi, pertemuan-pertemuan kader, pembekalan bagi kader-kader politik, pelatihan,
dengar pendapat baik secara langsung ataupun melalui media massa, mapun melalui buku-
buku yang disusun oleh pengurus parpol kemudian dibagi kepada masyarakat.

153
Selain itu parpol juga harus dapat memanikan peran mediator atau juru damai bila di
masyarakat atau di lingungan pemerintah terdapat perselisihan akibat Pemilu maupun akibat
pergeseran kepentingan politik. Hal itu penting, karena dalam iklim demokrasi, persaingan
dan perbedaan pendapat sering menimbulkan perselisihan atau bahkan konflik. Dalam hal
ini partai politik harus berusaha mengatasinya dengan jalan pendekatan persuasif taupun
silaturrahim sebagai bentuk konsolidasi politik. Melalui pendekatan tersebut, berbagai
kegelisahan, ketegangan dan perpecahan dapat dicairkan dan hubungan-hubungan sosial
direkatkan kembali.

Partai politik merupakan pengorganisasian warga negara yang menjadi anggotanya untuk
bersama-sama memperjuangkan dan mewujudkan negara dan masyarakat yang adil dan
makmur. Perjuangan tersebut tidak mudah memang, tetapi parpol pantang mundur karena
ia hidup bersama masyarakat. Untuk itu sebisa mungkin partai politik menjadi media atau
sarana partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan publik (mulai dari
perencanaan, sampai dengan pelaksanaan kebijakan) dan hingga penentuan siapa yang
akan menjadi penyelenggara negara, jika ia mendapat kepercayaan dan dukungan
masyarakat yang luas. Namun kepercayaan masyarakat itu jangan sampai dikhianati,
karena kepentingan parpol tidak untuk sekali Pemilu.

Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah
kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat
perhatian yang luas dari masyarakat, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi
syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah Negara atau daerah. Pemilu
memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati
kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi
kekuasaan. Hanya melalui Pemilu seorang calon baik yang diusung parpol maupun
independen sah adanya menjadi pemimpin.

Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan
nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pengalaman dalam
rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu
membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi. Dengan gambaran ini
dapat dikatakan bahwa sistem perpolitikan nasional dipandang mulai sejalan dengan
penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup penataan
partai politik.

Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan
nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang
berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan
berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh
karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar
dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Kini
masyarakat semakin cerdas, mereka telah memahami, baik parpol maupun calon yang
diusungnya dalam berbagai perspektif.

Tingkat kecerdasan masyarakat seharusnya mendorong parpol juga meningatkan kuaitas


dan kinerjanya. Masyarakat juga memahami kepentiingan partai politik dengan
pemerintahan. Secara teori ada keterkaitan yang erat memang antara upaya penataan
sistem politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Parpol

154
yang mendapat dukungan luas dari masyarakat atau menjadi pemenang Pemilu otomatis
akan ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun apa pun tujuan parpol, kita tidak
boleh mengabaikan prinsip bahwa Pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI Tahun 1945. Pemilu sebagai kedaulatan rakyat dapat menentukan presiden dan
wakil presiden, anggota parlemen, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Karena itu
pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang dapat menyerap serta
memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap warga Negara.


Pemilu yang diharapkan masyarakat bukan sekedar teknis pemilihan, namun yang lebih
penting adalah apa dan bagaimana kualitas perjuangan parpol serta kualitas clon yang akan
diusungnya sesuai dengan kemajuan dan tingginya permasalahan masyarakat.
Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan
mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan prinsip
one person, one vote, one value.

Namun pemilu bukan sekedar ritual lima tahunan saja, tetapi harus ada dampak positif bagi
perubahan budaya politik dan peningkatan kualitas moral politik baik bagi parpol, politisi,
pemerintah maupun bagi masyarakat sebagai partisipan politik. Pemilu merupakan proses
demokrasi dimana rakyat secara sadar menyampaikan hak suaranya sesuai dengan pilihan
hati nuraninya. Hak memilih dan dipilih merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati
oleh siapapun warga Negara. Oleh karena itu apa pun yang mengganjal dan mempengaruhi
warga Negara untuk memilih yang bukan atas dasar kesadaran dan keinginan hati
nuraninya sendiri, maka ganjalan itu merupakan gejala dehumanisasi.

Oleh karena itu parpol, pemerintah dan penyelenggara Pemilu wajib menyelenggarakan
pendidikan demokrasi. Hal ini penting dalam rangka melindungi warga Negara dari bujuk-
rayu material dan dari tekanan politik tertentu dalam menjalankan hak-hak demokrasinya.
Walaupun isu pendidikan demokrasi di masyarakat terbilang baru, tetapi prinsip-prinsip
demokratis telah lama berkembang. Namun dalam literatur politik istilah demokrasi mengacu
pada istilah dari bahasa Yunani Kuno, bahwa demokrasi terdiri dari dua kata, yaitu demos
yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, yang apabila digabungkan
menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat (Dede Rosyada:2004;15). Istilah demokrasi
memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang bermakna kekuasaan negara berada
di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan rakyat, bukan oleh kekuasaan raja
atau sultan. Meskipun demikian budaya demokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai
dengan semangat kebebasan. Arahan dan kepentingan orang-orang yang berpengaruh
secara politik dan ekonomi sering lebih efektif mempengaruhinya.

Sering kali kita mendengar perpecahan kepemimpinan di tubuh partai politik. Konflik dan
perpecahan itu seperti telah menjadi ancaman yang kadang sulit dihindari. Kenyataan ini
merupakan permasalahan yang terkait dengan rendahnya kualitas demokrasi. Saya kira itu
akibat buruk dari masuknya intervensi kepentingan material dan orang-orang yang memiliki
kepentingan khusus sehingga kehadirannya menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
organisasi parpol yang dibangun bertahun-tahun dengan perjuangan dan visi yang ideal.

155
Jika kemudian elite parpol sebagai figure dan tiang dempkrasi masih tergoda oleh bujuk-
rayu material, maka tentu tidak aneh bila warga masyarakat pun akan mengikutinya dalam
setiap pemilihan umum melalui apa yang kita kenal dengan tradisi “serangan fajar”.

Jika budaya suap-menyuap tidak bisa dibendung, baik di masyarakat, parpol dan di
masyarakat, maka proses demokrasi akan terhambat. Jika ini yang terjadi, maka dengan
segala cara orang untuk meraih kemenangan akan ditempuhnya. Akhirnya kita akan
mewarisi budaya politik machiavellian. Itulah sebabnya penegakan hukum dan kontrol sosial
dari masyarakat melalui media sangat penting bagi pembobotan moralitas politik. Namun
tarik menarik antara kepentingan demokratiasasi yang memperkuat partisipasi masyarakat
dan kecenderungan kekuasaan yang makin membesar tidak selalu berjalan seimbang. Dari
situasi inilah tradisi politik yang dialami masyarakat di negeri ini baru sebatas pemungutan
suara. Setelah itu politk kembali menjajdi urusan elite dan pejabat pemerintah. Apa yang
terjadi dalam kehidupan yang makin tak terhubung dengan tanggung jawab moral politik,
masyarakat terombang-ambing dalam keadaan ada dan tidak adanya harapan. Dari Pemilu
ke Pemilu/Pilpres/Pilgub/Pilkada masyarakat selalu diposisikan sebagai obyek yang tak
ubahnya penumpang sebuah kapal dalam mengarungi semudra kehidupan yang tujuan
penyebrangannya tergantung kaum elite dan pejabat pemerintah sebagai nahkodanya.
Namun selama itu pula kapal yang ditumpangi hanya berputar-putar di wilayah perairan
kepentingan yang sama. Siapapun warga umumnya ditempatkan sebagai penumpsng dan
diarahkan oleh mitos-mitos politik atas nama pembangunan dan kesejahteraan oleh
kekuatan-kekuatan yang penuh kuasa.

**

156

Вам также может понравиться