Вы находитесь на странице: 1из 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari


tonsil dan adenoid. Definisi adenotonsilitis kronis yang berulang terdapat pada
pasien dengan infeksi 6x atau lebih per tahun (Adams et al., 1997).
Adenotonsilitis kronis di Indonesia cukup sering dijumpai terutama
pada anak. Berdasarkan survey penyakit THT di 7 provinsi Indonesia pada
tahun 1994-1996, prevalensi adenotonsilitis kronis didapatkan sebesar 3,8%
(Suwento, 2001).
Radang kronik pada adenoid (tonsila nasofaringeal) dan tonsil (tonsila
palatina) masih menjadi problem kesehatan dunia. Di Amerika Serikat,
prevalensi adenoiditis / tonsilitis kronik pada tahun 1995 adalah sebesar 7 per
1000 penduduk atau 0,7%. Di Norwegia 11,7% anak mengalami tonsilitis
rekuren, dimana sebagian besar merupakan tonsilitis kronik yang mengalami
eksaserbasi. Sementara itu, di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode
April 1997 sampai Maret 1998 didapatkan 1024 (6,75%) pasien tonsilitis
kronik dari seluruh kunjungan. Tonsilitis kronik pada anak hampir selalu
terjadi bersama adenoiditis kronik, karena adenoid dan tonsil merupakan
jaringan limfoid yang saling berhubungan membentuk suatu cincin yang
dikenal dengan waldeyer ring (Udaya dan Sabini, 1999).
Secara klinis pada adenotonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk,
nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa demam (Vetri et al.,
1994).
Adenotonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak
sering menderita ISPA atau karena adenotonsilitis akut yang tidak diterapi
adekuat atau dibiarkan. Penyebab tersering pada adenotonsilitis kronik adalah
bakteri Streptococcus β-hemoliticus grup A. selain itu, juga dapat disebabkan
oleh virus (Udaya dan Sabini, 1999; Mansjoer, 2001).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Tonsil dan Adenoid


1. Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing
tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil
(Novialdi dan Prijadi, 2011).
Tonsila lingualis, tonsila palatina, tonsila faringeal, dan tonsila
tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas
dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin
Waldeyer (Novialdi dan Prijadi, 2011).

Gambar 1: Anatomi Tonsil

Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi


faring. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu tonsil palatina, tonsil faring (adenoid), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding
faring/Gerlach’s tonsil) (Novialdi dan Prijadi, 2011).

2
Gambar 2: Cincin Waldeyer

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian


terpenting dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan
limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan
dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsil. Permukaan tonsil
palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi kripta tonsil
(Novialdi dan Prijadi, 2011).
Adapun struktur yang terdapat di sekitar tonsilla palatina adalah
(Novialdi dan Prijadi, 2011):

 Anterior : arkus palatoglossus


 Posterior : arkus palatopharyngeus
 Superior : palatum mole
 Inferior : 1/3 posterior lidah
 Medial : ruang orofaring
 Lateral : ditutupi oleh kapsul

3
Fossa Tonsil
Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil
palatina, dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
muskulus palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah muskulus
konstriktor faring superior (Novialdi dan Prijadi, 2011).
Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut,
mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior
adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior
tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada
palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal
lidah dan dinding lateral faring (Novialdi dan Prijadi, 2011).
Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang
terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan
ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil (Novialdi dan
Prijadi, 2011).

Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul
adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul tonsil
mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula ini
mengandung pembuluh darah, saraf-saraf dan pembuluh eferen (Novialdi
dan Prijadi, 2011).

Kriptus Tonsil
Kriptus tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk
ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya terdiri dari 8-20 buah dan
kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kriptus. Permukaan kriptus ditutupi

4
oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Saluran
kriptus ke arah luar, biasanya bertambah luas. Pada fosa supratonsil, kriptus
meluas kearah bawah dan luar, maka fosa ini dianggap pula sebagai kriptus
yang besar. Hal ini membuktikan adanya sisa perkembangan berasal dari
kantong brakial ke II (Novialdi dan Prijadi, 2011).

Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah
ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah (Novialdi dan
Prijadi, 2011).
Kadang-kadang plika triangularis membentuk suatu kantong atau
saluran buntu. Keadaan ini dapat merupakan sumber infeksi lokal maupun
umum karena kantong tersebut terisi sisa makanan atau kumpulan debris
(Novialdi dan Prijadi, 2011).

Perdarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu (Novialdi dan Prijadi, 2011):
a. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden.
b. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
c. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal 4. Arteri
faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis
dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil
diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden
(Novialdi dan Prijadi, 2011).

5
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m.konstriktor
superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden, mengirimkan cabang-cabang melalui m.konstriktor
superior melalui tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan
cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m.konstriktor superior. Arteri
lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirimkan cabangnya ke tonsil,
pilar anterior, dan pilar posterior. Arteri palatina desenden atau arteri
palatina minor atau arteri palatina posterior memperdarahi tonsil dan
palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan arteri palatina
asenden (Novialdi dan Prijadi, 2011).
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul
tonsil, vena lidah dan pleksus faring (Novialdi dan Prijadi, 2011).
Perdarahan adenoid berasal dari cabang-cabang arteri maksila
interna. Disamping memperdarahi adenoid pembuluh darah ini juga
memperdarahi sinus sphenoid (Novialdi dan Prijadi, 2011).

Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m.
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar torak dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui
perjalanan aliran getah bening. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah
bening eferen sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Novialdi
dan Prijadi, 2011).

Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus
trigeminus) melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf ke
IX (nervus glosofaringeus) (Novialdi dan Prijadi, 2011).

6
Ruang Peritonsil
Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang
ruangan peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus
tubarius, di bagian bawah dibatasi oleh sinus piriformis (Marbun, 2016).
Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun
secara anatomi terletak di antara fasia leher dalam. Ruangan peritonsil diisi
oleh jaringan ikat longgar, infeksi yang berta dapat dengan cepat
membentuk pus. Inflamasi dan proses supuratif dapat meluas dan mengenai
palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang sekali ke basis lidah
(Novialdi dan Prijadi, 2011; Marbun, 2016).

Gambar 3: Ruangan Peritonsil

Dinding medial ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul tonsil, yang


terbentuk dari fasia faringo-basilar dan menutupi bagian lateral tonsil.
Dinding lateral ruang peritonsil dibentuk oleh serabut horizontal otot
konstriktor superior dan serabut vertikal otot palatofaringeal. Pada sepertiga
bawah permukaan bagian dalam tonsil, serabut-serabut otot palatofaringeal
meninggalkan dinding lateral dan meluas secara horizontal menyeberangi
ruang peritonsil kemudian menyatu dengan kapsul tonsil. Hubungan ini
disebut ligamen triangular atau ikatan tonsilofaring. Batas-batas superior,
inferior, anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-
pilar anterior dan posterior tonsil (Novialdi dan Prijadi, 2011).

7
Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak di atas palatum mole,
orofaring yaitu bagian yang terletak di antara palatum molle dan tulang
hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang
hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid (Marbun, 2016).
Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring.
Palatum mole (vellum palati) terdiri atas serat otot yang ditunjang oleh
jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di median
membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak di
sentral disebut uvula (Marbun, 2016).

Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG,
IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada
tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular,
mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid
(Eibling, 2003; Wiatrak and Woolley, 2005).
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu (Hermani dkk, 2004).:
a. menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
b. sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik

2. Adenoid
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau

8
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah
ceruk dengan celah atau kantong di antaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di
dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama
ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani
dkk, 2004).

Gambar 4: Adenoid dan Tonsil

Adenoid bersama tonsil dan lingual tonsil membentuk cincin


jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan yang
dikenal sebagai cincin Waldeyer. Bagian-bagian lain cincin ini dibentuk
oleh tonsil lidah dan jaringan limfe di mulut tuba Eustachius. Kumpulan
jaringan ini pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan,
melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Seperti
halnya jaringan-jaringan limfe yang lain, jaringan limfe pada cincin
Waldeyer menjadi hipertrofi pada masa kanak-kanak dan menjadi atrofi
pada masa pubertas. Karena kumpulan jaringan ini berfungsi sebagai suatu
kesatuan, maka pada fase aktifnya, pengangkatan suatu bagian jaringan
tersebut menyebabkan hipertrofi sisa jaringan (Vetri et al., 1994).

9
Ukuran adenoid kecil pada waktu lahir. Selama masa kanak-kanak
akan mengalami hipertrofi fisiologis, terjadi pada umur 3 tahun. karena
adenoid membesar, terbentuk pernafasan melalui mulut. Pada umur 5 tahun,
anak mulai sekolah dan lebih terbuka kesempatan untuk mendapatkan
infeksi dari anak yang lain. Hal ini menyebabkan pembesaran adenoid dan
akan menciut setelah usia 5 tahun. Adenoid akan mengalami atrofi dan
menghilang keseluruhannya pada usia pubertas (Vetri et al., 1994).

B. Definisi Adenotonsilitis Kronis


Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari
tonsil dan adenoid. Definisi adenotonsilitis kronis yang berulang terdapat pada
pasien dengan infeksi 6x atau lebih per tahun (Adams et al., 1997).
Adenotonsilitis kronik adalah keradangan kronik pada tonsil sebagai
akibat hipertrofi folikel-folikel getah bening disertai hipertrofi adenoid yang
terjadi pada anak.

C. Insiden dan Patofisiologi


Radang kronik pada adenoid (tonsila nasofaringeal) dan tonsil (tonsila
palatina) masih menjadi problem kesehatan dunia. Di Amerika Serikat,
prevalensi adenoiditis / tonsilitis kronik pada tahun 1995 adalah sebesar 7 per
1000 penduduk atau 0,7%. Di Norwegia 11,7% anak mengalami tonsilitis
rekuren, dimana sebagian besar merupakan tonsilitis kronik yang mengalami
eksaserbasi. Sementara itu, di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode
April 1997 sampai Maret 1998 didapatkan 1024 (6,75%) pasien tonsilitis
kronik dari seluruh kunjungan (Udaya dan Sabini, 1999).
Tonsilitis kronik pada anak hampir selalu terjadi bersama adenoiditis
kronik, karena adenoid dan tonsil merupakan jaringan limfoid yang saling
berhubungan membentuk suatu cincin yang dikenal dengan waldeyer ring.
Adenotonsilitis kronis cukup sering terjadi, terutama pada kelompok usia anak
antara 5 sampai 10 tahun (Novel, 2010).

10
Pembesaran adenoid meningkat secara cepat setelah lahir dan mencapai
ukuran maksimum pada saat usia 4-6 tahun kemudian menetap sampai usia 8-
9 tahun dan setelah usia 14 tahun bertahap mengalami involusi / regresi (Novel,
2010).
Infeksi virus dengan infeksi sekunder bakteri merupakan salah satu
mekanisme terjadinya adenotonsilitis kronis. Adenoid dan tonsil dapat
mengalami pembesaran yang disebabkan karena proses hipertrofi sel akibat
respon terhadap infeksi tersebut. Faktor lain yang berpengaruh adalah
lingkungan, faktor inang (riwayat alergi), penggunaan antibiotik yang tidak
tepat, pertimbangan ekologis, dan diet. Infeksi dan hilangnya keutuhan epitel
kripta akan menyebabkan obstruksi kripta, lalu menimbulkan stasis debris
kripta. Bakteri pada kripta tonsil dapat berlipat ganda jumlahnya, menetap dan
secara bertahap menjadi infeksi kronik (Novel, 2010).
Adenoid merupakan kumpulan jaringan limfoid di sepanjang dinding
posterior dan nasofaring. Fungsi utama dari adenoid adalah sebagai pertahanan
tubuh. Dalam hal ini, apabila terjadi invasi bakteri melalui hidung yang menuju
ke nasofaring, maka sering terjadi invasi sistem pertahanannya berupa sel-sel
leukosit. Apabila sering terjadi invasi kuman, maka adenoid semakin lama
akan membesar sehingga terjadi hipertrofi adenoid, akibat dari hipertrofi ini
akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius (Gotlieb, 2005).
Akibat sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut sehingga
terjadi facies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan
(prominen), arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak
seperti orang bodoh; faringitis dan bronkitis; gangguan ventilasi dan drainase
sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik (Rusmarjono dan
Soepardi, 2015).
Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut
berulang, otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif
kronik. Akibat hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur
ngorok, retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang (Rusmarjono dan
Soepardi, 2015).

11
Pada tonsilitis kronis, karena proses radang yang berulang, maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta tampak diisi oleh
detritus, proses ini berjalan terus sampai menembus kapsul dan terjadi
perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris (Rusmarjono dan Soepardi,
2015).

D. Etiologi
Penyebab yang tersering pada adenotonsilitis kronis adalah bakteri
Streptococcus ß hemoliticus grup A. Selain karena bakteri, tonsilitis dapat
disebabkan oleh virus. Kadang-kadang tonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri
seperti spirochaeta, dan Treponema Vincent (Mansjoer, 2001).

E. Manifestasi Klinis
Menurut Novel (2010), manifestasi klinis adenotonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
- nyeri menelan
- panas disertai pilek dan batuk
- hidung tersumbat sehingga bernafas lewat mulut
- tidur mendengkur karena bernafas lewat mulut sedangkan otot-otot relaksasi
sehingga udara menggetarkan dinding saluran nafas dan uvula
- obstructive sleep apnea
- facies adenoid : mulut selalu membuka, hidung kecil tidak sesuai umur,
tampak bodoh, kurang pendengaran karena adenoid terlalu besar menutup
torus tubarius sehingga dapat terjadi peradangan menjadi otitis media,
rhinorrhea, batuk-batuk, palatal phenomen negatif.

F. Diagnosis
Organ yang harus menjadi fokus pemeriksaan pada kecurigaan terhadap
adenotonsilitis kronis adalah tonsil dan adenoid. Tonsil terlihat berbenjol-
benjol, kripta melebar disertai adanya detritus. Sementara itu, untuk adenoid,

12
pemeriksaan dapat dilakukan dengan rinoskopi posterior, palpasi, dan X foto
adenoid utamanya pada kecurigaan adanya pembesaran. Pada anak,
pemeriksaan rinoskopi posterior sulit dilakukan, demikian juga palpasi. X foto
adenoid merupakan satu-satunya cara praktis untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran adenoid pada anak. Apabila pada rinoskopi anterior ternyata
ditemukan bahwa mukosa hidung normal, tidak ditemukan adanya hipertrofi
konka, serta kelainan lain di hidung, maka kemungkinan besar hal tersebut
tersebut akibat adenotonsilitis kronis (Novel, 2010).

G. Penatalaksanaan
Manajemen terapi yang umum dan lazim dilakukan adalah
adenotonsilektomi. Bila terjadi eksaserbasi akut, diberikan antibiotik golongan
penisilin (amoksisilin 50-100 mg/kgBB) selama 5-10 hari. Proses
perbaikan luka pasca adenotonsilektomi akan terjadi dalam 4-6 minggu
(Novel, 2010).
Pada kenyataannya, adenotonsilektomi pada adenotonsilitis kronis
dilakukan sebagian besar pada adenotonsilitis kronis yang hipertrofi. Hipertrofi
inilah yang menimbulkan gejala-gejala, nafas lewat mulut, hidung buntu, pilek,
tidur ngorok terutama bila terlentang, obstructive sleep apnea, palatum tinggi,
gangguan pendengaran karena adanya disfungsi tuba, dan facies adenoid
(Novel, 2010).
Menurut Novel (2010), prinsip dasar tindakan adenotonsilektomi
adalah:

- menghilangkan fokus infeksi kronik


- menghilangkan sumbatan nafas
- mengurangi gangguan fungsi tuba, sehingga menghindari kemungkinan
terjadinya otitis media

Menurut Lee (2003), indikasi adenotonsilektomi adalah:


a. Penyakit Infeksi:

13
 Tonsilitis akut, rekuren yang terjadi lebih dari 6-7 episode dalam satu
tahun atau 5 episode per tahun dalam 2 tahun atau 3 episode per tahun
dalam 3 tahun
 Tonsilitis akut rekuren dengan kejang demam atau penyakit katup
jantung
 Tonsilitis kronis yang tidak responsif dengan terapi antibiotik adeuat
 Abses peritonsil dengan riwayat infeksi tonsil

b. Penyakit Obstruksi:

 Tidur mengorok dengan bernafas lewat mulut yang kronik


 Obstructive sleep apnea
 Hipertrofi adenotonsilar dengan facial growth abnormality

c. Lain-lain:

 Lesi tonsilar dengan kecurigaan

H. Komplikasi
Menurut Gotlieb (2005), komplikasi adenotonsilitis kronis meliputi:
1. Faringitis
2. Bronkitis
3. Sinusitis kronik
4. Otitis media kronik
5. Otitis media supuratif kronik
6. Komplikasi secara hematogen atau limfogen (endokarditis, miositis,
nefritis, indosiklitis, dermatitis, dan furunkulosis)

I. Obstructive Sleep Apnea (OSA)


1. Definisi
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bagian dari
sleep apnea syndrome. Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan

14
ditemukannya episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat
disebabkan kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran.
Obstructive apnea adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut
walaupun dengan usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian
pernafasan yang tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya
rangsangan nafas. Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial
aliran udara yang menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah
obstruktif hipoventilasi digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea,
yang berarti adanya pengurangan aliran udara (Supriyatno dan Deviani,
2005).
Guilleminault dkk mendefinisikan sleep apnea sebagai episode
apnea sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya paling sedikit 10
detik dan terjadi baik selama fase tidur rapid eye movement (REM) dan non
rapid eye movement (NREM) (Supriyatno dan Deviani, 2005).

2. Epidemiologi
Angka kejadian OSA telah diteliti di beberapa negara. Di Amerika
Serikat, angka kejadian OSA sebesar 1-3% dengan persentase tertinggi
terdapat pada anak usia pra-sekolah. Pada anak-anak di India, angka
kejadiannya sebesar 2-5%, dan pada anak-anak di Cina didapatkan
prevalensi sebesar 5,8% untuk laki-laki dan 3,8% untuk perempuan
(Prasetya, 2016).
Kejadian OSA terjadi pada anak semua umur termasuk neonatus.
Pada masa neonatus insidens apnea kira-kira 25% pada bayi dengan berat
badan lahir < 2500 gram dan 84% pada bayi dengan berat badan lahir < 1000
gram. Insidens tertinggi terjadi antara umur 3 - 6 tahun karena pada usia ini
sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak, kejadian OSA tidak
berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa lelaki lebih
sering dibandingkan perempuan yaitu sekitar 8:1 (Supriyatno dan Deviani,
2005).

15
3. Etiologi
Penyebab tersering adalah pembesaran tonsil dan adenoid.
Pembesaran jaringan limfadenoid ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko seperti paparan iritan lingkungan, seperti asap rokok, infeksi,
rinitis alergi, dan asma. Beberapa studi kohort menunjukkan bahwa faktor
genetik juga berpengaruh dengan kemungkinan pengaruh pada pusat
ventilasi, anatomi, atau keduanya (Prasetya, 2016).
Obesitas merupakan faktor risiko penting untuk OSA pada anak.
Keparahan OSA berbanding lurus dengan derajat obesitas, peningkatan
BMI 1 kg/m2 di atas rata-rata usia dan jenis kelamin akan meningkatkan
risiko OSA sebesar 12% (Prasetya, 2016).
Beberapa sebab lain OSA pada anak meliputi sindrom Down,
sindrom Pierre-Robin, palatoskizis, alergi, kelainan anatomi, dan lainlain.
OSA lebih sering didapatkan pada etnis Afrika-Amerika (Prasetya, 2016).

4. Patofisiologi
OSA merupakan hasil akhir interaksi berbagai faktor yang
menyebabkan kolaps saluran napas atas selama tidur, baik respons
neuromotor pernapasan maupun faktorfaktor anatomis seperti retrognatia
dan ukuran saluran napas atas. Patogenesis terpenting OSA pada anak
adalah pembesaran jaringan limfoid saluran napas atas. Anak dengan OSA
biasanya memiliki adenoid dan tonsil yang lebih besar dari anak seusia tanpa
OSA (Prasetya, 2016).
Selama tidur, terdapat penurunan bermakna tonus otot yang
menyebabkan saluran napas menjadi lebih kecil; tonsil dan adenoid
menghambat jalan napas, sehingga membuat aliran udara lebih sempit dan
usaha napas bertambah. Resistensi jalan napas atas selama tidur meningkat,
dengan penyempitan saluran napas karena pengurangan aktivitas tonus M.
dilator faringeal. Tekanan negatif terbentuk selama inspirasi, yang dalam
kondisi normal, diimbangi oleh aktivitas M. dilator faringeal, sehingga tidak

16
menyebabkan kolaps saluran napas atas. Pada anak dengan OSA,
mekanisme ini gagal (Prasetya, 2016).
OSA pada anak sangat berhubungan dengan faktor anatomis.
Diperkirakan anak dengan OSA memiliki struktur wajah yang berbeda dari
anak normal, terutama retrognatia mandibular, tulang hyoid yang rendah,
dan perbedaan panjang dan lebar wajah. Perubahan ini dapat bawaan atau
sekunder akibat obstruksi saluran napas atas kronis (Prasetya, 2016).
Pasien dengan OSA mampu mempertahankan patensi saluran nafas
bagian atas selama bangun/tidak tidur, karena peningkatan tonus otot
saluran nafas akibat input dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Namun
selama tidur kolaps jalan nafas bagian atas terjadi pada saat inspirasi dan
kadang-kadang meningkatkan usaha bernafas. Pada anak lebih sering
mengalami periode obstruksi parsial saluran nafas yang berkepanjangan dan
hipoventilasi dibandingkan orang dewasa (Supriyatno dan Deviani, 2005).
Keadaan apnea lebih jarang pada anak dan umumnya waktu lebih
singkat daripada orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat
siklus obstruksi parsial atau total. Obstruktif apnea menyebabkan
peningkatan aktifitas otot-otot dilatator saluran nafas atas sehingga
mengakibatkan berakhirnya apnea. Pada anak dengan OSA arousal jauh
lebih jarang, dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-
jam tanpa terputus (Supriyatno dan Deviani, 2005).

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada
saat tidur yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala
kesulitan bernafas terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mulamula
timbul. Dengkuran pada anak dapat terjadi secara terus menerus (setiap
tidur) ataupun hanya pada posisi tertentu saja. Pada OSA, pada umumnya
anak mendengkur setiap tidur dengan dengkuran yang keras terdengar dari
luar kamar dan terlihat episode apnea yang mungkin diakhiri dengan
gerakan badan atau terbangun Sebagian kecil anak tidak memperlihatkan

17
dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan atau hembusan nafas, noisy
breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat terlihat dengan adanya
retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap, setengah duduk, atau
hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan nafas (Supriyatno
dan Deviani, 2005).

6. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan anak dengan gangguan napas terkait tidur tergantung
usia. Pada anak berusia di bawah lima tahun, mendengkur merupakan
keluhan yang paling sering. Keluhan mendengkur dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yakni occasional snoring dan habitual snoring. Anak
disebut mengalami occasional snoring bila episode mendengkur terjadi.
Keluhan lain yang dilaporkan orang tua antara lain bernapas melalui
mulut, diaforesis, gerakan dada paradoksal, sering terbangun, dan
episode apnea. Sedangkan anak berusia lima tahun atau lebih seringkali
menunjukkan enuresis, masalah perilaku, gangguan perhatian, dan gagal
tumbuh (Prasetya, 2016).
Menurut Prasetya (2016), terdapat tiga tanda kardinal OSA yang
membedakannya dengan keluhan mendengkur biasa. Tanda kardinal
tersebut adalah:
- adanya habitual snoring (≥3 malam/ minggu),
- peningkatan usaha bernapas, dan
- terganggunya tidur.

b. Pemeriksaan fisik
Berat dan tinggi badan anak dengan OSA harus dinilai karena
anak dengan OSA empat atau lima kali lebih sering memiliki berat badan
berlebih dibandingkan anak tanpa OSA. Penilaian fisik kepala dan leher
menilai ada tidaknya stigmata-stigmata kelainan genetik. Selanjutnya

18
menilai rongga hidung dan mulut; dilihat adanya makroglosia,
pembesaran tonsil, dan kelainan lain (Prasetya, 2016).
Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut,
adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan
kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya
alergic shiners atau lipatan horizontal hidung. Patensi pasase hidung
harus dinilai, perhatikan adanya septum deviasi atau polip hidung,
ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofaring, ukuran tonsil, dan
ukuran uvula, mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya
normal pada pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat
memperlihatkan tanda-tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan
komponen pulmonal bunyi jantung II, pulsasi ventrikel kanan.
Pemeriksaan neorologis harus dilakukan untuk mengevaluasi tonus otot
dan status perkembangan (Supriyatno dan Deviani, 2005).

c. Pemeriksaan penunjang
1) Polisomnografi
Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan
pemeriksaan polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi
merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis
OSAS. Pada anak, tanda dan gejala obstructive sleep apnea lebih
ringan dari pada orang dewasa; karena itu diagnosisnya lebih sulit dan
harus dipertegas dengan polisomnografi. Polisomnografi juga akan
menyingkirkan penyebab lain dari gangguan pernafasan selama tidur.
Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang objektif mengenai
beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk
mengevaluasi keadaannya setelah operasi (Supriyatno dan Deviani,
2005).

2) Uji tapis

19
Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya
yang mahal, dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka
diperlukan suatu metode lain sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak
digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner. Brouillette dkk17
menunjukkan bahwa penelitian tidur yang abnormal dapat diprediksi
dengan suatu questionnare score yang disebut skor OSA (Supriyatno
dan Deviani, 2005).

3) Observasi
Kejadian OSA dapat didiagnosis dengan observasi langsung,
anak di suruh tidur di tempat praktek dokter demikian pula OSA dapat
didiagnosis dengan melakukan review audiotapes/ videotapes yang
dapat dilakukan di rumah. Beberapa variabel yang dinilai adalah
kekerasan dan tipe inspirasi, pergerakan selama tidur, frekuensi
terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan nafas dengan mulut
(Supriyatno dan Deviani, 2005).
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan
pulse oximetry. Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi
dengan menggunakan oksimetri (Supriyatno dan Deviani, 2005).

4) Pemeriksaan laboratorium
Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan
ekskresi metabolit ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator
non spesifik OSA. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur
dapat mengalami peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat
kompensasi alkalosis metabolik (Supriyatno dan Deviani, 2005).

7. Penatalaksanaan
Menurut Prasetya (2016), penanganan OSA pada anak ditujukan
terutama pada kondisi terkait yang mendasari terjadinya OSA, seperti
obesitas, hipertrofi tonsil/adenoid, dan penyakit kardiovaskuler.

20
a. Adenotonsilektomi
Tindakan bedah yang dilakukan adalah adenotonsilektomi.
Banyak ahli berpendapat bahwa tindakan adenotonsilektomi merupakan
tindakan yang harus dilakukan karena keuntungannya lebih besar.
Tingkat kesembuhan tindakan ini pada anak sekitar 75-100%. Pada anak
dengan etiologi hipertrofi adenoid dan tonsil saja angka keberhasilannya
tinggi tetapi apabila disertai dengan risiko lain seperti obesitas dan
disproporsi kraniofasial maka pascaoperasi akan tetap timbul OSA.
Meskipun demikian, karena OSA terjadi akibat ukuran struktur
komponen saluran nafas atas relatif kecil dibandingkan dengan ukuran
absolut dari tonsil dan adenoid, maka para ahli berpendapat tindakan
adenotonsilektomi tetap diperlukan pada keadaan di atas. Pasca
adenotonsilektomi diperlukan pemantauan dengan polisomnografi
sebagai tindak lanjut. Kadangkadang gejala masih ada dan dalam
beberapa minggu kemudian menghilang (Supriyatno dan Deviani, 2005).
Menurut Prasetya (2016), kontraindikasi adenotonsilektomi
adalah sebagai berikut.

b. Continuous positive airway pressure (CPAP)


Nasal CPAP telah digunakan dengan hasil yang baik pada anak
termasuk bayi, anak obesitas, sindrom Down, akondroplasia, dan dengan

21
kelainan kraniofasial. Pada kelompok usia anak, CPAP terutama berguna
untuk pasien yang obesitas dan pasien dengan OSA yang menetap setelah
dilakukan adenotonsilektomi. Sebenarnya indikasi pemberian CPAP
adalah apabila setelah dilakukan adenotonsilektomi pasien masih
mempunyai gejala OSA atau sambil menunggu tindakan tonsilektomi
dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi CPAP adalah
kepatuhan berobat dan hal tersebut memerlukan persiapan pasien yang
baik, edukasi, dan pemantauan yang intensif (Supriyatno dan Deviani,
2005).
Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara
bertahap atau dengan tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat
meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping CPAP biasanya ringan
dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker.
Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam
pada kulit (Supriyatno dan Deviani, 2005).

c. Penurunan berat badan


Pada pasien obesitas, penurunan berat badan mutlak di lakukan.
Dengan penurunan berat badan dapat menyebabkan perbaikan OSAS
yang nyata. Penurunan berat badan merupakan kunci keberhasilan terapi
OSAS pada anak dengan predisposisi obesitas (Supriyatno dan Deviani,
2005).

d. Obat-obatan
Obstruksi hidung merupakan faktor yang umumnya dapat
mempermudah terjadinya OSAS pada anak, dan dapat diobati dengan
dekongestan nasal atau steroid inhaler (Supriyatno dan Deviani, 2005).
Penggunaan kortikosteroid intranasal ditujukan untuk menangani
pembesaran adenotonsilar pada anak. Preparat kortikosteroid sistemik
dengan efek antiinflamasi dan efek limfolitik mampu mengecilkan
ukuran jaringan limfoid (Prasetya, 2016).

22
Kortikosteroid intranasal menjadi pilihan untuk anak dengan
OSA ringan dengan kontraindikasi adenotonsilektomi atau OSA ringan
yang masih bergejala setelah operasi. Kortikosteroid intranasal juga
direkomendasikan pada OSA anak dengan rinitis dan obstruksi saluran
napas atas akibat hipertrofi adenotonsilar. Preparat yang telah diteliti
penggunaannya untuk OSA pada anak adalah steroid nasal topikal dan
inhibitor anti-leukotrin seperti Montelukast (Prasetya, 2016).

8. Komplikasi
Menurut Supriyatno dan Deviani (2005), komplikasi OSA adalah
sebagai berikut.
a. Komplikasi neurobehavioral
Komplikasi neurobehavioral terjadi akibat hipoksia kronis
nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk pada siang hari yang
berlebihan dilaporkan terjadi pada 31% - 84% anak dengan OSA.
Keluhan lain yang dapat menyertai OSAS adalah keterlambatan
perkembangan, penampilan di sekolah yang kurang baik, hiperaktifitas,
sikap yang agresi/hiperaktif, penarikan diri dari kehidupan sosial.
Manifestasi gangguan kognitif yang lebih ringan dapat sering terjadi.

b. Gagal tumbuh
Penyebab gagal tumbuh pada anak dengan OSAS adalah
anoreksia, disfagia, sekunder akibat hipertrofi adenoid dan tonsil,
peningkatan upaya untuk bernafas, dan hipoksia.

c. Komplikasi kardiopulmonal
Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia dan asidosis
respiratorik dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal yang
merupakan penyebab kematian pasien OSA. Keadaan di atas dapat
berkembang menjadi kor pulmonal.

23
BAB III
KESIMPULAN

Adenotonsilitis kronis adalah infeksi yang menetap atau berulang dari tonsil
dan adenoid. Tonsilitis kronis pada anak hampir selalu terjadi bersama dengan
adenoiditis kronis karena adenoid dan tonsil merupakan jaringan limfoid yang
saling berhubungan membentuk cincin Waldeyer. Adenotonsilitis kronis cukup
sering terjadi terutama pada kelompok usia anak antara 5 sampai 10 tahun.
Infeksi virus dengan infeksi sekunder pada bakteri merupakan salah satu
mekanisme terjadinya adenotonsilitis kronis. Adenoid dan tonsil dapat mengalami
pembesaran yang disebabkan karena hipertrofi sel akibat respon terhadap infeksi
tersebut.
Pengobatan pasti untuk adenotonsilitis kronis adalah adenotonsilektomi.
Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi
konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Prinsip dasar tindakan
adenotonsilektomi adalah menghilangkan fokus infeksi kronis, menghilangkan
sumbatan nafas, dan mengurangi gangguan fungsi tuba, sehingga menghindari
kemungkinan terjadinya otitis media.
Obstructive sleep apnea (OSA) terjadi akibat dari pembesaran tonsil dan
adenoid. Insidens tertinggi terjadi OSA antara umur 3 - 6 tahun karena pada usia ini
sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Penatalaksanaan OSA meliputi
adenotonsilektomi, continuous positive airway pressure (CPAP), penurunan berat
badan, serta obat-obatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L. et al. 1997. BOEIS, Buku Ajar Penyakit THT, ed. 6. Jakarta: EGC.
Eibling, D.E., 2003. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus. In: Lee, K.J.,
Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. McGraw Hill
Medical Publishing Division; 442-453.
Gotlieb, J. 2005. The Future Risk Of Child Hood Sleep Disordered Breathing,
SLEEP, vol 28, No.7.
Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.,
2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia; 1-25.
Lee, K. 2003. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke delapan.
McGrawl-Hill.
Mansjoer Arief, dkk. 2001. Tonsilitis Kronis, dalam Kapita Selekta Kedokteran.
Media Aeskulapius. FKUI. Jakarta. Halaman :120-121.
Mozafarina K. 2008. Evaluation of growth indices in children with recurrent
pharyngotonsilitis due to adenotonsilar hypertrophy: a case control study. Am
J of Infc Dis 4(2): 92-96.
Novel, F. Pengaruh Adenotonsilektomi Terhadap Tekanan Telinga Tengah dan
Kualitas Hidup Anak Adenotonsilitis Kronis dengan Disfungsi Tuba. Tesis.
Ilmu Kesehata THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Semarang.
Prasetya, D. 2016. Sindrom OSA pada Anak. CDK-237 vol. 43 no. 2: 101-106.
Supriyatno, B. dan Deviani, R. 2005. Obstructive Sleep Apnea Syndrome pada
Anak. Sari Pediatri vol. 7 no. 2: 77-84.
Suwento R. 2001. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Provinsi. Kumpulan Makalah
dan Pedoman Kesehatan Telinga. Lokakarya THT Komunitas. Palembang.
PIT PERHATI-KL: 8-12.
Udaya R dan Sabini TB. 1999. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus
tonsil dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronik yang mengalami tonsilektomi.

25
Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII PERHATI. Semarang. BP UNDIP:
193-205.
Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. 1994. Etiologi Peradangan Saluran Nafas
Bagian Atas Dalam: Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Wiatrak, B.J. and Woolley, A.L., 2005. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease. In:
Cummings, C.W., Flint, P.W., Harker, L.A., Haughey, B.H., Richardson
M.A., Robbins K.T., et al. Cummings Otolaryngology – Head & Neck
Surgery. Volume 4. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 4135-4138.

26

Вам также может понравиться