Вы находитесь на странице: 1из 14

KEPULAUAN BABAR

Babar adalah kelompok sosial yang berdiam di Kepulauan Babar, yang kini merupakan wilayah
administratif Kecamatan Pulau-Pulau Babar. Kecamatan ini merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Kecamatan ini meliputi beberapa buah Pulau,
seperti pulau Babar, pulau Wetan, pulau Masela, pulau Sermata, dan lain-lain dengan kota
Kecamatannya adalah Tepa. Pulau-pulau ini merupakan dataran tinggi kecuali bagian pantai
merupakan dataran rendah. Wilayah ini diapit oleh Laut Banda di sebelah utara dan Laut Timor
di sebelah selatan, dan bersebelahan dengan Kepulauan Leti di bagian Barat serta kepulauan
Tanimbar di bagian timur.
Luas Kecamatan ini adalah 552 kilometer persegi, yang pada tahun 1986 jumlah penduduknya
sebanyak 18.128 jiwa, sedangkan pada sensus penduduk tahun 1930 berjumlah sekitar 13.000
jiwa. Orang Babar memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Babar. Pulau Babar sendiri cukup subur.
Mereka hidup dari pertanian dan hasil laut. Orang Babar juga telah mengembangkan kerajinan
tenun secara turun temurun.

Kepulauan Babar yang terletak di selatan Provinsi Maluku juga terdiri atas
beberapa pulau besar dan kecil.Salah satunya adalah Pulau Babar itu sendiri yang
terdiri atas beberapa desa. Kata Babar itu sendiri memiliki arti ’terbakar, terbent ang,
terpapar,terhambar’. Membabarkan berarti ’membentangkan, menghamparkan,
mengembangkan,menerangkan’.Dalam mitos yang diyakini hingga saat ini, menurut
orang tua-tua di Kepulauan Babar,ada sebuah mitos tentang pulau-pulau yang merupakan
Kepulauan Babar.
Mitos tersebut menyatakan bahwa Kepulauan Babar merupakan tubuh seorang manusia
yang dipotong- potong dengan bagian-bagian sebagai berikut:

 P u l a u B a b a r b e s a r a d a l a h t u b u h n ya / b a d a n
 Pulau Wetang adalah sal ah satu kaki nya, dan Pulau Masela adalah
k a k i n ya y a n g lain.
 Pulau Dai adalah kepalanya
 P u l a u D a w e l o r d a n D a w e r a a d a l a h k e d u a m a t a n ya
 Pulau Luang adal ah salah satu tangannya, Pulau Sermat ang adalah
t a n g a n n y a yang lain
 Pulau-Pulau Teon, Nila, dan Serua adalah gigi-gigi dan tulang-tulangnya.

Sejarah

Orang-orang Babar Utara tinggal di Pulau Babar, Tenggara Samudra Pasifik, dekat Australia
Utara. Pulau Babar diperkirakan sudah dihuni selama 40.000 tahun, mulai dari ras Australoid
hingga beberapa waktu terakhir (dari tiga ribu tahun yang lalu) oleh imigran Austronesia yang
bergabung masuk. Penduduk Pulau Babar adalah penganut animisme tradisional dan terkucilkan
hingga 100 tahun yang lalu, sampai pemerintah kolonial Belanda memaksa mereka turun dari
benteng pertahanan mereka di puncak bukit dan tinggal di dekat pesisir, dan tidak saling
berperang satu sama lain. Pengerja dari Gereja Protestan Maluku (GPM) diutus untuk
"mengajarkan peradaban" dan mempertobatkan penduduk Babar secara besar-besaran,
membangun gedung gereja dan menempatkan pendeta-pendeta untuk memimpin ibadah. GPM,
institusi keagamaan yang dominan di Pulau Babar, berusia lebih dari 400 tahun. Institusi ini
didirikan tahun 1605 dan merupakan denominasi Protestan tertua di Asia. Masyarakat Pulau
Babar memang disebut Kristen, tetapi iman mereka sangat kecil. Kehidupan spiritual penduduk
Pulau Babar merupakan campuran simbol dan tradisi yang bercorak Kristen, yang dibalut dengan
praktik animisme dan okultisme tradisional mereka yang lebih kental.

Pulau Babar terletak kira-kira 256 km sebelah Timur Pulau Timor dan 480 km sebelah Utara
Darwin, Australia. Secara geografis, pulau itu terletak di 7,66 derajat garis Lintang Selatan dan
129,40 derajat garis Bujur Timur. Iklim Australia yang gersang sangat berdampak pada Pulau
Babar. Jika curah hujannya tinggi sejak Natal hingga bulan Juni, hujan tidak akan turun dari
bulan Juli hingga Natal berikutnya. Secara tetap, Angin Timur akan berembus dari bulan April
hingga Desember, dan Angin Barat dari bulan Januari hingga Maret. Cuaca cukup tenang pada
bulan November dan Maret.

Pulau Babar terletak pada ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut. Pulau Babar cukup
subur dan banyak air karena ukuran dan tinggi daratannya membuat curah hujan tinggi. Pulau ini
dikelilingi oleh lima pulau kecil, yang lebih rendah, gersang, dan tidak subur.

Sebagian besar desa terletak di tepi laut, baik di atas daerah berpasir yang landai maupun di
antara batu-batu karang sebesar rumah, tebing, dan tempat-tempat yang curam. Setiap desa
mempunyai pohon kelapa yang lebih tinggi daripada atap rumah mereka. Karena pohon-pohon
itu, suasana rumah jadi teduh dan sejuk. Kebanyakan rumah tidak memiliki jendela kaca. Rumah
dibiarkan terbuka sehingga lalat, nyamuk, dan debu dapat masuk dengan mudah.

Budaya apa saja yang ada di kepulauan babar


salah satunya yaitu :

 Tradisi Lisan Pantun dalam Nyanyian di Desa Letwurung

Tradisi berpantun di Desa Letwurung ada yang disampaikan secara langsung,


berbalasan,dan dinyanyikan.Pantun-pantun yang disampaikan sehari-hari ada
yang menggunakan bahasa Melayu dialek Ambon dan bahasa Babar.
Umumnya pantun-pantun berbahasa Melayu dialek Ambon yang dikenal di Desa
Letwurung jenisnya mengikuti jenis pantun Indonesia lama lainnya,seperti pantun muda-
mudi, pantun orang tua, pantun percintaan,ataupun pantun anak-anak.
Contohnya:

Lemon cina tanaman cina,


Akar dua menjadi satu
Nyong cinta Nona pun cinta
Dua dua men jadi satu

Jang dekat pohon manggis


Pohon papaya banya getahnya
Jang dekat Nona yang manis
Nona yang manis banya tingkahnya

Dari Ambon menyeberang Banda


Kelihatan si gunung api
Sisir rambut manyimpan muka
Lihat di mata sadap di hati

Kabaena gung yang tinggi


Ombak di laut sama ratanya
Sungguh enak orang yang pergi
Orang yang tinggal apa rasanya
Ombak di laut sama ratanya
Rata dengan orang berdiri
Orang yang tinggal apa rasanya
Rasa-rasa mau bunuh diri

Tradisi berpantun dalam nyanyian berbahasa Melayu dialek Ambon secara umum dikenaldengan
corak reffrain lagu-lagu seperti:
- Ole Sioh,
- Sayang Dilale,
- Apa-Apa Jaga Kalapa,
- Ou Ulat e
(selalu memiliki rima akhir e). Jenis nyanyian ini juga dikenaldi Desa Letwurung dan
sering dinyanyikan dalam acara santai untuk berbalas pantun.

 Budaya Kalwedo

Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo.


Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD).
Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara.
Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di
kepulauan Babar dan MBD. Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan
bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan.

 Nilai Adat Kalwedo

Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga nilai-nilai
religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup
bersama sebagai orang bersaudara. Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan
Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, dimana mempersatukan
masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama. Nilai Kalwedo diimplementasikan
dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara
perempuan dan laki-laki). Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka
kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.

Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup
Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik).
Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal
potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.

Seperti Apakah Kehidupan Mereka?

Setiap orang tinggal di desa yang berada beberapa meter dari laut. Kebanyakan orang bangun
pagi-pagi mendengar kokok ayam dan kicauan burung-burung pipit, kemudian mereka berjalan-
jalan menuju laut untuk menyegarkan diri. Kadang-kadang, mereka berjalan ke balik desa di
dekat tebing-tebing untuk buang hajat. Namun, mereka justru ikut menyebarkan kolera melalui
sekelompok lalat. Pagi-pagi sekali, dari semua rumah terdengar suara alunan musik dari para
wanita yang sedang menyapu sampah di halaman dengan sapu lidi yang panjang. Dentuman
yang menggetarkan tanah dari berbagai arah menandakan ada beberapa wanita yang sedang
menggunakan lesung dan penumbuk untuk menghasilkan tepung jagung. Mereka menggiling
butiran-butiran jagung untuk dijadikan makanan, dengan cara merebus dan memakannya seperti
nasi.

Kaum pria biasanya membawa seonggok karung goni ke atas kuda kecil, kemudian
menggiringnya ke hutan untuk menebang pohon-pohon guna membuka lahan baru. Setelah itu,
mereka menggembalakan ternak ke semak belukar atau berburu babi hutan, memperbaiki
lumbung penyimpanan, mengumpulkan bahan-bahan bangunan (tali dari pohon ara di hutan,
daun palem untuk atap, atau bambu besar), atau menyiangi rumput-rumput yang rimbun di kebun
jagung/gambas/buncis. Beberapa lainnya berlayar ke laut menggunakan kano mereka yang kecil
untuk memancing tuna kecil dengan benang dan umpan, tanpa pancing. Beberapa wanita
mengikat pakaian kotor, membawa sabun cuci mereka, lalu menaikkannya ke atas sepeda atau
digendong ke sungai yang berada beberapa kilometer dari tempat mereka. Mereka memukul-
mukulkan cucian mereka ke batu karang yang sudah tua dan usang. Beberapa desa tidak
memiliki sungai di dekatnya. Oleh karena itu, para wanita mencuci pakaian di tempat pencucian
umum yang letaknya sangat strategis di seluruh desa.

Pukul 08.00, para pria dan wanita dewasa mengenakan seragam cokelat muda, hijau, cokelat
sawo matang, abu-abu, atau biru menuju kantor pemerintahan dengan berjalan kaki. Para pria itu
selalu menghisap rokok. Di desa-desa terpencil, jenis-jenis pekerjaan pemerintahan meliputi
beberapa sekolah, 3 -- 4 staf desa, dan sebuah puskesmas. Di kota, ada beberapa petugas gereja,
polisi, tentara, tukang pos, lingkungan masyarakat, pertanian, pendidikan, dan beberapa pegawai
pemerintah.

Menjelang pukul 11.00, anak-anak pulang dari sekolah. Mereka kerap kali pergi bermain ke laut.
Mereka senang bermain di dalam papan kano yang biasa mereka gunakan untuk papan selancar.
Sekali seminggu, beberapa anak dari masing-masing keluarga disuruh mencari kayu bakar. Kayu
bakar itu berupa ranting-ranting kecil yang kering. Mereka menyunggi kayu bakar dengan serat
kain tenunan dan keranjang tenun sebesar ember digendong di punggung.
Para pria pulang dari mencari ikan dan anak-anak satu per satu membawa tiang yang secara
horisontal diletakkan di atas bahu mereka. Mereka membawa beberapa ikan besar seperti tuna
yang diayun-ayunkan oleh benang dari tengah dan anak-anak berseru, "Ikan! Ikan!" sambil
mencari pembeli.

Sekitar pukul 10.00, kaum pria dari segala penjuru berkumpul jadi satu di sebuah rumah. Mereka
duduk melingkar sambil berdiskusi dengan bahasa pribumi mereka dan mengenakan baju adat.
Seorang pria muda berdiri dengan memegang sebotol tuak kelapa dan sebuah gelas untuk tempat
minum semua pria tua yang memberikan pidato singkat sebagai bentuk penghormatan.

Setiap pagi, terdengar bunyi riuh mesin diesel kapal kayu kecil yang hilir mudik, mengangkut
barang-barang dan penumpang dari kota ke desa di pulau yang lain atau desa-desa yang tidak
mempunyai jalan. Kapal berjangkar sejauh 100 meter dari pantai, di seberang tempat orang biasa
berselancar dan kano-kano merapat untuk menurunkan kantong semen, papan, peti-peti ubin
keramik, atau panel atap yang terbuat dari besi bersamaan dengan penumpang. Orang-orang
membawa ayam, babi, kambing yang masih hidup, hasil panen ladang atau buah-buahan jika itu
sudah musimnya. Peralatan dapur, kursi taman dari plastik, dan peralatan audio kadang juga
diangkut, termasuk kelapa dan berkantong-kantong ikan kering diangkut untuk dijual di kota.

Pada hari tertentu, orang-orang akan berjalan, bersepeda, atau menaiki kuda menuju desa-desa
lain di pulau mereka untuk berbelanja, pergi ke kantor pemerintah, atau mengunjungi kerabat
seperti anak yang kos di kota, dan melanjutkan sekolah di SMU.

Pukul 17.00, biasanya ada beberapa jenis upacara keagamaan. Sebelum matahari terbenam, laki-
laki, wanita, atau anak-anak mandi dan mengenakan pakaian mereka yang paling bagus dengan
rambut yang disisir, membawa Alkitab Bahasa Indonesia dan buku doa, dan ikut dalam
pertemuan.

Matahari terbenam dan kira-kira 30 menit kemudian, lampu-lampu listrik di semua kota menyala
dan lama-kelamaan bersinar semakin terang seakan-akan membawa kehidupan ke dalam kota itu.
Anak-anak berteriak kegirangan menikmati malam yang cerah di hadapan mereka dengan
televisi dan stereo yang meraung di seantero desa, atau juga lampu redup yang mereka gunakan
untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
Apa Kepercayaan Mereka?

Masyarakat Babar Utara percaya pada satu hal yang utama bahwa ada hubungan mendalam
antara semua hal fisik dan spiritual. Segala sesuatu yang bersifat fisik selalu memiliki dampak
terhadap spiritual. Pandangan penting lainnya adalah solidaritas. Mereka harus tetap bersatu di
dalam aktivitas, termasuk soal biaya yang dibutuhkan. Menghabiskan waktu sendirian dipandang
sebagai sebuah gejala ketidakseimbangan, atau dengan kata lain gangguan jiwa. Mengerjakan
segala sesuatu sendirian juga membuat konsekuensi spiritual dan fisik yang negatif. Mereka
merasa, melakukan upacara keagamaan yang beragam dan ritual yang ditetapkan oleh beberapa
gereja secara bersama-sama sangatlah penting. Jika mereka tidak mengerti makna ritual yang
mereka lakukan dengan sungguh-sungguh, mereka selalu mengeluhkannya kepada orang-orang
yang tidak datang. Mereka meyakini bahwa kurangnya solidaritas akan menimbulkan
konsekuensi buruk, seperti gagal panen, sakit-penyakit, atau wabah. Mereka yakin bahwa ada
roh-roh jahat di sekeliling mereka yang terus menunggu untuk menyerang dengan sedikit
provokasi. Jadi, mereka memercayai takhayul-takhayul di setiap aspek kehidupan mereka,
mereka melakukannya untuk menenangkan roh-roh. Setiap saat, mereka takut pergi ke hutan
sendirian, khususnya pada malam hari. Mereka meyakini bahwa itulah waktu roh-roh jahat yang
haus darah berkeliaran mencari-cari siapa yang dapat mereka telan.

Apa Saja Kebutuhan Mereka?

Masyarakat Babar Utara merasa tidak mungkin mereka dapat meningkatkan standar kehidupan
mereka yang rendah. Mereka adalah orang-orang minoritas dalam banyak hal (secara visual,
bahasa, budaya, agama, geo-politik, dan sejarah). Mereka merasa tidak diberi kesempatan untuk
berkembang dan meningkat seperti yang mereka inginkan. Padahal, ada sumber-sumber dan
potensi dalam kehidupan mereka yang dapat mereka kembangkan. Lebih dari pemenuhan
kebutuhan pribadi, masyarakat Babar Utara lebih membutuhkan kenyamanan, kekuasaan, dan
perubahan hidup karena hadirnya Roh Kudus yang diterima sebagai karunia sejati karena iman
tentang hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus. Meskipun Alkitab Bahasa Indonesia sudah
tersedia, mereka tidak dapat mengerti Bahasa Indonesia dengan cukup baik, maupun merasa
terbiasa menggunakannya.

Pokok Doa:

1. Mintalah kepada Tuhan Yesus agar terjadi kebangunan rohani di wilayah Babar Utara
dan agar masyarakat Babar Utara benar-benar didamaikan dengan Allah.
2. Berdoalah secara khusus untuk melawan kesombongan rohani yang begitu kuat sehingga
masyarakat Babar Utara mau mendengarkan berita pendamaian dengan Allah, dan hidup
berkelimpahan oleh kuasa Roh yang tinggal di dalam mereka karena karunia Allah.
3. Doakanlah para nabi, rasul, dan penginjil (Efesus 4:11) agar dipenuhi dengan Roh Kudus,
bangkit, menghancurkan dan mengusir setan, menghancurkan dan merampas kembali
setiap pikiran dan prinsip yang melawan Allah.
4. Berdoalah agar terjadi mukjizat kesembuhan, tanda-tanda ajaib dan mengherankan
lainnya untuk menyatakan kebenaran pesan pendamaian Allah.
5. Berdoalah agar ada Alkitab terjemahan dan film Yesus dalam bahasa utama kelompok
masyarakat ini.
 Peran Gereja Dalam Peningkatan Nilai-Nilai Agama Dan Budaya di Kepulauan
Babar

(Pdt. W. A. Beresaby, S.Th, Ketua Klasis GPM Pp. Babar.)

Mengapa Gereja ?

Memenuhi permintaan bagian Kesra SETDA Maluku Barat Daya, pertama-tama, sebaiknya
dimengerti bahwa jika disebutkan “Gereja”, artinya tidak dapat dipisahkan dari peran agama-
agama yang selama ini berkontribusi bagi kehidupan masyarakat Maluku Barat Daya. Ada
beberapa pertanyaan awal mengawali paparan ini, yakni; “Pentingkah Peran Gereja dalam
urusan kesejahteraan rakyat ?”, “dimanakah tempat Gereja dalam strategi pembangunan
Kabupaten Maluku Barat Daya ?, “dimanakah nisbah antara Gereja dan Budaya”, “Apakah
pembangunan Maluku Barat Daya membutuhkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya ?“

Sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, hingga kita baru saja melewati Pemilukada MBD yang
sarat juga dengan penampakkan tarik-menarik kepentingan di ranah gereja dan budaya. Banyak
bantuan mengalir ke gereja-gereja ataupun jemaat-jemaat. Rumah Tua di kampung-kampung
ramai menerima tamu-tamu yang datang dari luar kampung. Visi dan Misi para Kandidat, secara
gamblang mengusung tema-tema iman dan budaya. Demikian pula para pejabat selalu diterima
dengan ritual adat dan keagamaan dalam acara-acara penyambutan.

Tidak secara kebetulan kenyataan ini berlangsung. Satu hal yang menarik, dapatlah dikatakan
kita semua sepakat bahwa gereja dan budaya memiliki potensi emosional yang dapat
menghasilkan kekuatan/daya dorong (=spirit) untuk mencapai tujuan tertentu, yang bisa saja
diperuntukkan bagi sesorang, kelompok tertentu, ataupun kepentingan banyak orang. Potensi
emosional tersebut bisa saja positif, tetapi juga negatif. Karena itu, mestinya dikelola secara arif
terkait dengan kepentingan kekuasaan yang akan membangun kesejahteraan rakyat yang
mencakup seluruh aspek kehidupan.

Rias Rasijd, penggagas UU 32 tahun 2004, pernah mengatakan, esensi dari otonomisasi daerah
adalah bagaimana Pemerintah Daerah dapat mengakomodir berbagai potensi masyarakat guna
membangun kemandirian daerahnya. Proses mencapai kemandirian daerah dimaksud, mestinya
disertai dengan kemampuan untuk mengelola potensi-potensi di daerahnya. Dalam Bab I
Ketentun Umum Pasal 1 point 6 UU 32 tahun 2004 dijelaskan :

Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gereja dalam pengertian organis dan organisasi/lembaga keagamaan adalah bagian dari potensi
masyarakat Indonesia, khususnya di Kabupaten Maluku Barat Daya. Dalam pengertian itu,
gereja menempatkan diri sebagai mitra Pemerintah, mengusahakan dan memperjuangkan
kemandirian daerah otonom yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Gereja Protestan Maluku
(GPM) mengamanatkan peran gereja yang pro aktif, mencakup peran warga gereja, dengan
berbagai latar belakang sosial-budaya, ekonomi, dll.

Khususnya terkait dengan kebudayaan, bagi GPM, karya Allah adalah adat isti adat sebagai
bagian dari budaya yang memanusiakan manusia dan bahwa Allah yang terus berkarya
memungkinkan kita untuk melakukan transformasi terhadap kebudayaan warisan tete-nene
moyang. Bahwa Allah dan tete-nene moyang adalah substansi yang berbeda. Allah adalah suatu
substansi adikodrtati, sedangkan tete-neno moyang adalah generasi manusia yang pertama-tama
mempraktekkan dan menurunalihkan tata aturan kehidupan (norma/adat), termasuk di dalamnya
ide-ide mengenai Tuhan/Allah itu sendiri. Relasi umat dengan Allah adalah relasi percaya,
sedangkan dengan tete-nene moyang adalah relasi penghormatan.

Memasuki tahun ketiga perjuangan mensejahterahkan masyarakat Kabupaten Maluku Barat


Daya, hendaknya segenap potensi masyarakat dapat belajar dari pengalaman daerah lain dan
mengevaluasi berbagai upaya bersama dengan sejumlah tantangan yang dihadapi. Yang pasti,
perubahan adalah sebuah keniscayaan. Apakah perjuangan untuk mensejahterakan rakyat
Maluku Barat Daya yang masih kental kehidupan keagamaan dan budaya akan bergeser ditengah
jalan, bahkan dibunuh oleh praktek-praktek Korupsi, Kolusi, nepotisme ? Ataukah gemerlapnya
pembangunan dusun, desa, kota-kota baru di wilayah Maluku Barat Daya akan disertai dengan
penghancuran nilai-nilai etik-moral dalam tatanan kehidupan masyarakat ?

Sikap Etik-Moral

Tanpa mengabaikan aspek transedentalnya, Gereja (=agama-agama) menghadirkan dirinya


dalam kehidupan manusia sebagai suatu realitas sosial. Agama-agama mestinya membumi, dan
tidak menjadi bangunan dogma/doktrin semata, sehingga bermanfaat bagi manusia dan alam
ciptaan Tuhan. Kurang lebih ada 4 masalah besar yang sementara dihadapi dunia dan agama-
agama, yakni :

1. Globalisasi yang dapat berpotensi kehancuran identitas masyarakat lokal.


2. Fundamentalisme agama-agama yang melahirkan fanatik sempit sekaligus penolakan
pluralitas.
3. Keruntuhan etik-moral di tengah gemerlapnya kemajuan agama-agama.
4. Kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi bagi kepentingan
pembangunan.

Menyadari, begitu luasnya cakupan nilai-nilai keagamaan, sehingga paparan ini akan dibatasi
pada peran gereja (=agama) terhadap nilai etik-moral spiritual yang menjadi masalah mendasar
serta kursial dalam kehidupan bermasyarakat, dimana agama-agama tidak dapat “cuci tangan”.

Sikap etik-moral terkait dengan sikap yang didasarkan pada apa yang benar dan apa yang salah
atau apa yang baik dan apa yang jahat. Tentunya, apa yang benar terkait dengan standar tertentu
(=agama) yang mencakup sejumlah nilai ditetapkan/mutlak/yang berlaku/dipedomani dalam
kehidupan manusia. Standar keagamaan tersebut mengandung daya/kemampuan gerak (spirit)
yang melahirkan keputusan serta membentuk sikap.
Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam berbagai bentuk
penulisan; narasi, hukum, hikmat, nyanyian, puisi, nubuat, silsilah, perumpamaan, surat, wahyu,
mengandung sejumlah nilai keagamaan. Dalam pengertian ini, Alkitab mengandung
konsep/gagasan dasar mengenai penghargaan tertinggi yang diyakini oleh umat menyangkut
hal-hal yang besifat suci dan menjadi pedoman bagi tingkah laku/pembentukan sikap. Umat
Israel menempatkan Hukum Taurat sebagai konsep dasar untuk membangun kehidupan sebagai
umat Allah (Ul. 5:1-22). Demikian pula, Kekristenan dan Hukum Kasih (Mat. 22:37; Mrk.
12:30-31; Luk. 10:27). Dan tentunya masih banyak konsep dasar seperti penciptaan,
keselamatan, Kerajaan Allah, dll. Konsep-konsep dasar dimaksud membidani nilai-nilai seperti,
ketatatan, kesetiaan, kekudusan, kasih, persekutuan, keadilan, pengorbanan, pengampunan,
kemanusiaan, dll.

Dalam kebersamaan dengan gereja-gereja dan agama-agama, GPM dalam Pola Induk
Pelayanan/Rencana Induk Pengembangan Pelayanan 2005-2015 mengemban Visi dan Misi
Pelayanan :

VISI PELAYANAN

Terwujudnya orang beriman yang berkualitas, terbuka, maju, mandiri dalam segala aspek
kehidupan, dan memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dengan orang-orang lain dalam
kehidupan bergereja dan bermasyarakat, serta tanpa pandang denominasi gereja, jenis kelamin,
suku, bangsa, budaya dan agama, turut berperanserta bersama-sama untuk mendirikan tanda-
tanda Kerajaan Allah, yaitu tanda-tanda cinta kasih, keadilan, kebenaran, kemanusiaan,
perdamaian, keutuhan ciptaan, dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan Allah.

MISI PELAYANAN

Mendidik, membina, membangun, dan memberdayakan jemaat setempat atau umat dan orang-
orang lain menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju, mandiri, terbuka serta memiliki rasa
kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat, sehingga
mereka dapat bersama-sama turut berperanserta dalam misi pembebasan dan penyelamatan Allah
melalui pelayanan yang holistik. Pelayanan holistik itu mencakup seluruh aspek hidup manusia;
aspek ritual, kelembagaan, sosio-etis, jasmani-rohani, sosial-ekonomi-politik-budaya, dan
ekologi.

Visi dan Misi Pelayanan ini akan diwujudkan melalui pembentukan dan pencapaian
Tiga Profil GPM; Keumatan, Kelembagaan dan Pelayan. Pembentukan kapasitas umat meliputi
ketangguhan dan kematangan secara teologis, moral-etis, sosial, kultural, ekonomis, politik,
pluralistik, toleran, dialogis, manusiawi. Kapasitas kelembagaan meliputi; berperan dalam
praktis sosial, hubungan antar-lini organisasi (strategi lewel, middel line, techno structure,
support staff dan operation). Sedangkan, Kapasitas Pelayan meliputi kesadaran panggilan dan
pengutusan, berwawasan pluralisme, memiliki kepekaan sosial, beretika kepemimpinan Kristen.
Untuk mewujudkan sikap etis-moral Kristen terus dikembangkan pembinaan dan pendidikan
melalui wadah dan organisasi gerejawi, terutama melalui SMTPI dan Katekiasi sebagai lembaga
Pendidikan Formal Gereja (PFG). Dalam kesadaran ini, maka ada dua hal yang mendasar :
1. Gereja haruslah mengupayakan adanya kesadaran umat untuk mewujuknyatakan sikap
etik-moral dalam kehidupan sehari-hari, ketimbang “terpenjara” dalam debat dogmatika
yang menarik keluar gereja (=agama-agama) dari dalam realitas penyelamatan Allah bagi
manusia dan alam .
2. Gereja juga memiliki peran sebagai pengawal bagi tumbuhnya sikap etik-moral dalam
kehidupan masyarakat. Peran ini sekaligus menempatkan gereja (=agama-agama) sebagai
institusi yang memiliki fungsi kritik sosial di tengah kenyataan mewabahnya berbagai
penyakit sosial (KKN, Narkoba, Miras, HIV/AIDS, ketidakadilan struktur, pengrusakan
lingkungan hidup, dsbnya).

Pada bagian ini, kita akan memahami budaya terkait dengan kearifan lokal (local
wisdom). Dari sejumlah defenisi para Antropolog, diketahui bahwa kearifan lokal adalah
perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat. Keariafan lokal adalah produk masa lalu yang patut
secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Secara konseptual, kearifan lokal mengandung
kebijaksanaan manusia yang yang didasarkan pada nilai-nilai etika dan cara berprilaku yang
melembaga secara tradisional. Nilai-nilai tersebut dipandang baik dan benar sehingga dapat
bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga, sekalipun dihantam oleh kekuatan
nilai-nilai yang dibawa oleh perubahan.

Saya mengalami kebingungan untuk memilih-milih kearifan lokal di Babar. Para pemuda
(masyarakat ?) Babar lebih tertarik “Triping”, “dansa”, “disco”, “kadayo”, “yospan” pada pesta-
pesta yang bersifat kekeluargaan, daripada tarian Seka. Di desa/dusun, tidak lagi terlihat
bangunan Rumah Tua, hanya terpampang namanya saja. Dalam acara-acara adat, sudah tidak
terlihat lagi pakaian adat Babar alias semakin langka. Pertanyaannya, manakah yang masih
bertahan ? Saya berharap tidak keliru mengatakan bahwa Sopi sebagai minuman adat masih tetap
bertahan. Entah, Sopi dipergunakan salah atau benar, saya lebih memilih untuk memahaminya
dari makna pengistilahan dalam bahasa tanah (tua), karena mengandung nilai-nilai yang mesti
dikembangkan.

Kabupaten Maluku Barat Daya, identik disebut “Bumi Kalwedo”. Bukankah logo daerah dan
salam khas MBD adalah KALWEDO ? Sejak masih menjadi satu dengan Kabupaten MTB,
sebutan Kalwedo sudah sangat terkenal. Di Babar, sebutan Kalwedo memiliki arti yang sama
dengan sebutan “Lemmel”, “Ledwal”, “Twano”. Ucapan ini tidak saja diucapkan saat seseorang
minum sopi, tetapi juga untuk menyapa orang lain saat bertemu. Umumnya, kata tersebut
diterjemahkan “selamat” dalam pengertian yang luas. Ternyata, Kata Kalwedo, tidak dapat
dipisahkan dari Sopi. Sayang, kata Kalwedo semakin terkenal dan menjadi kebangggan identitas,
sedangkan Sopi semakin dituduh sebagai pemicu tindak kekerasan, perkelahian, pengrusakan, dll
yang sejenisnya. Dalam amatan saya, hampir tidak ada lagi pengakuan terhadap sopi yang dulu
diakui dapat menyelesaikan masalah, sebesar dan seberat apapaun.

Thomas M. Wilson dalam bukunya Dringking Cultures; Alcohol and Identity, menyentak
kesadaran kita yang cenderung terjebak dalam pergeseran makna dan nilai minuman kebudayaan
yang hanya dipergunakan sebagai minuman keras. Padahal, sebetulnya minuman kebudayaan
merupakan “identitas” masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Pergeseran makna dan nilai
dimaksud juga kini semakin terasa dalam kehidupan masyarakat MBD, khususnya di Kepulauan
Babar. Kini, semoga kabupaten ini tidak digelar “kabupaten penghasil sopi”, sebagai sindiran
sekaligus bentuk penolakan dan tuduhan terhadap sopi yang destruktif. Dewasa ini, sopi tidak
saja menjadi minuman budaya yang mengandung nilai adat, tetapi juga sumber pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dapat dipergunakan sebagai pelarian dari masalah, dan
sebagai pemicu/perangsang seseorang agar berani dalam menghadapi suatu masalah.

Menarik, bahasa tanah sopi adalah LIRMARNA. Lir artinya suara, Marna berarti besar, mulia.
Jadi sopi dapat diartikan “suara yang besar”, “suara yang mulia”. Kebesaran dan kemuliaan yang
dimaksudkan, seharusnya nampak dalam tata cara adat (=dudu adat). Awalnya, dalam dudu adat,
hanya orang tertentu yang bisa memegang gelas sopi. Dan sopi tidak diminum terus-menerus
selama pembicaraan berlangsung. Kenyataan sekarang, selama pembicaraan berlangsung
“bandar (=yang siram sopi)” terus mengedarkan sopi, sehingga saat mengambil keputusan, bisa
saja terjadi kekacauan karena orang-orang yang akan mengambil keputusan dalam keadaan
mabuk. Kalau dulu, sekali mengucapkan kalwedo perkara/masalah selesai. Sekarang sekali
mengucapkan kalwedo, perkara/masalah bakal terjadi.

Sopi dalam pengertian Lirmarna, menjadi minuman budaya pada saat orang-orang
mempercakapkan masalah di Rumah Tua atau di dalam Sidang Adat. Merujuk pada makna
Lirmarna, maka dalam pandangan saya ada tiga nilai yang ingin ditanamkan dalam kehidupan
masyarakat Babar, yakni :

1. Kekeluargaan/persaudaraan. Bisa saja, pembicaraan awal menegangkan, tetapi


jalannya pembicaraan hingga berakhir penuh dengan rasa kekeluargaan/persaudaraan.
Semua duduk bersama, bicara bersama, makan juga bersama.
2. Keterbukaan (transparansi). Semua permasalahan dibicarakan secara terbuka alias
“tidak pakai amplop”. Terkadang keterbukaan bisa beresiko, terutama menyakitkan. Bisa
saja, ada suara yang keras, tetapi itulah ekspresi orang-orang yang “dudu adat”.
3. Kemanusiaan. Sudah pasti, “dudu adat” dilakukan untuk membicarakan masalah-
masalah kemanusiaan; kawin, cerai, mati, sakit, perkelahian, dll.

Kini, GPM terus mewujudkan perannya dalam mengembangkan budaya masyarakat setempat.
Bahwa kebudayaan (adat-istiadat) adalah anugerah Tuhan untuk memanusiakan manusia. Upaya
tansformasi Injil dan adat, mestinya memperkuat tumbuhnya nilai-nilai menjadi “daya dorong”
atau “roh” bagi pembentukan tatanan masyarakat, terutama pembentukan sikap etik-moral dalam
harapan membangun kehidupan masyarakat/umat yang lebih baik; beriman dan beradab.
KEBUDAYAAN MALUKU

“Sejarah dan budaya yang ada di kepulauan babar”

DISUSUN OLEH

Kelompok

NAMA KELOMPOK :

Jaesi alberts syaranamual

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2017
DAFTAR PUSTAKA

 Ahmadi, H. Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta.


 Ackermann, Robert John. Agama Sebagai Kritik, Analisis eksistensi agama-agama besar.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
 Banawiratma, J. B. (edit). 1996. Iman Ekonomi dan Ekologi, Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas
Agama. Yogyakarta : Kanasius.
 Berger, L. Peter. 1991. Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta : LP3ES.
 Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional (edisi bahasa Indonesia). Yogyakarta
: IRCiSoD.

Вам также может понравиться