Вы находитесь на странице: 1из 34

BAGIAN ILMU RADIOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN LAPORAN KASUS


UNIVERSITAS ABULYATAMA

SUBDURAL HEMATOMA

TEUKU SAIFUL MAHYA

PEMBIMBING
Dr. Darma Tapa Gayo, Sp. Rad
Dr. Teruna Akbar, Sp. Rad, M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ABULYATAMA ACEH
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Pengesahan Referat dan Laporan Kasus Dibawakan Dalam Rangka Tugas

Kepanitraan Klinik Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas

Abulyatama Banda Aceh.

Nama : Teuku Saiful Mahya

NIM : 161710

Judul : Subdural hematoma

Telah melaksanakan kegiatan Kepanitraan Klinik Bagian Radiologi

Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Banda Aceh pada Agustus 2017.

Pembimbing I Pembimbing II

(dr. Darma Tapa Gayo, Sp,Rad) (dr.Teruna Akbar,Sp.Rad.M.Kes)


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

PERNYATAAN PENGESAHAN ........................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

A. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

B. EPIDEMIOLOGI ........................................................................................ 3

C. ETIOLOGI .................................................................................................. 3

D. ANATOMI ................................................................................................. 5

E. PATOFISIOLOGI ...................................................................................... 9

F. DIAGNOSIS ............................................................................................... 10

1. KLINIS ....................................................................................................... 10

2. RADIOLOGI .............................................................................................. 13

G. DIAGNOSIS BANDING ........................................................................... 21

H. PENATALAKSANAAN ............................................................................ 23

I. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 28

iii
A. PENDAHULUAN

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural

(di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya

vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat

vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada

permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral

hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging

veins. Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan

kerusakan otak dibawahnya berat. 1

Di negara-negara maju menunjukkan data bahwa trauma kepala mencakup

26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seseorang tidak

bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33%

kecelakaan berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitis. 1

Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati

urutan ke-7 pada 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien

rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati

urutan ke-6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di Amerika, tiap tahunnya hampir

52.000 penduduk meninggal karena trauma kepala (20 orang per 100.000

populasi). Insidensi pasien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8)

mencapai 100 per 100.000 populasi.

Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera

ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung

menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio

1
serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti subdural hematom,

epidural hematom, atau intraserebral hematom. Trauma kapitis ini dapat

menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya

kecacatan pada kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat

menimbulkan kematian. 1

Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambah besarnya

volume perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah yang seringkali

bersifat proyektil.4 Pada tahap lebih lanjut, jika hematom yang terbentuk lebih

besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan penurunan

kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya hemiparesis kontralateral. 2

Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan

trauma kepala berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural

hematoma terjadi 1-3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena

daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan

nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas

perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang merupakan faktor

resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan subdural biasanya lebih

sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada

orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah

pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak

ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-

bayi.

2
B. EPIDEMIOLOGI

Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan

trauma kepala berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural

hematoma terjadi 1-3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena

daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan

nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas

perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang merupakan faktor

resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan subdural biasanya lebih

sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada

orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah

pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak

ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-

bayi. 3

C. ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan


3.4
subdural. Perdarahan subdural dapat terjadi pada:

3
Trauma

- Trauma kapitis

- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh

terduduk.

- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah

terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada

orangtua dan juga pada anak – anak.

Non trauma

- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

subdural.

- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan

subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor

intrakranial.

- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

Gambar . Coup and countercoup lesion

4
Subdural hematom, keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti

perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam

ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik

dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2

kejadian, yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah

yang berlawanan dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran

otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi

dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio

“coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak

terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio

“contercoup” . 1

D. ANATOMI

Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau

kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium.

Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan

5
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi

oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa

media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak

dan serebelum.

Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :

- Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini

dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater

dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang

kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

6
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea

media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

- Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial,

disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang

terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan

akibat cedera kepala.

- Piamater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh piamater.

Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam

7
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi

retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula

oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Cairan Serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS

dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.

Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam

dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar

dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

8
E. PATOFISIOLOGI

Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural

adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini

seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin

terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-

anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak

(karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko

yang lebih besar.

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas

hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging

veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena,

maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya

berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai

mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang

diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi

perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan

dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan

kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma). Kondisi-

kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. 1,5,6

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,

yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan

mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam

kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang

9
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari

penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah.

Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat

mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga

ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena

turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar

membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level

abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat

menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik. 7

F. DIAGNOSIS

1. KLINIS

Diagnosis klinisnya terbagi sesuai dengan klasifikasinya : 1

a. Subdural Hematoma Akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai

dengan hari ke tiga

Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat

mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya

sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya

Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas

10
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan

kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa

hemiparese/plegi

pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran

hiperdens yang berupa bulan sabit

b. Subdural Hematoma Subakut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu

ke 3 sesudah trauma

Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di

sekitarnya

adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya

diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.

Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda

status neurologik yang memburuk.

Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.

Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak

memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

11
c. Subdural Hematoma Kronis

Biasanya terjadi setelah minggu ketiga

SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua

Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul,

saat tersebut gejala yang terasa Cuma pusing.

Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah

menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur.

Karena penimbunan cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah

ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi desak ruang.

Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >>

menimbun cairan >> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai

suatu saat pasien datang dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya

pelo atau lumpuh tiba-tiba.

Anamnesis

Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan

jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan

kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada

keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau

turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid

interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan

kejang setelah terjadinya trauma kepala. 1

12
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang

mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau

nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus

dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring

tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Pemeriksaan

neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan Skala

Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda defisit

neurologis fokal.

2. DIAGNOSIS RADIOLOGI

Foto Kepala

Pemeriksaan foto kepala tidak dapat dipakai untuk memperkirakan

adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan

kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada

hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan

fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH.

Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam

mendiagnosis kelainan intrakranial. Namun, pemeriksaan ini masih

dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur tulang tengkorak.4

Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan biasanya

berbentuk lurus. Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat

berkaitan dengan hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis

13
fraktur yang lusen dapat memberi gambaran stelata atau semisirkular.

Pada kondisi demikian, CT scan diindikasikan karena mungkin terjadi

cedera jaringan otak.

Gambar : Fraktur kranium linier. Fraktur kranium (tanda panah) biasanya berupa

garis hitam bertepi tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi

anteroposterior (AP) (A), tidak dapat ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang

tengkorak bagian depan atau belakang. Pada posisi Towne (B), yaitu posisi leher

menunduk dan posisi occipital lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat terletak di

tulang occipital

14
CT- Scan

Gambar : CT scan menunjukkan hematoma subdural akut

Belahan kiri dengan kompresi ventrikel kiri. 8

Gambar: CT scan menampilkan basal cisterns tanpa subarachnoid

pendarahan. 8

15
Gambar : Hematoma subdural tidak terdeteksi pada CT scan yang hanya

difoto di jendela sinus (jendela, level 2500 H; 500 H). Pergeseran pineal ke

kiri Kelenjar (panah), ventrikel ketiga, dan sinus windows dan hematoma

subdural sisi kiri dengan kepadatan campuran mudah diabaikan. 9

( a)

16
(b)

Gambar : Cedera kepala hipoksia yang diffus . Bayi berusia tiga bulan yang

dipindai scan setelah melahirkan , CT scan yang tidak disangga pada (a)

ganglia basal dan (b) badan ventrikel lateral yang menunjukkan

pengurangan global Dalam kerapatan serebral dengan hilangnya visualisasi

kortikal dan tanda '' serebelum terang ', dengan hipodensitas yang lebih jelas

dari Inti materi abu-abu dalam, hippocampi, otak tengah dan bagian

korteks. 10

17
Gambar : Cedera kepala hipoksia yang difuse pada bayi berusia 7 bulan

mengaku setelah resusitasi jantung yang berhasil Dengan kardiomiopati

terkait dilatasi . CT scan kranial yang tidak disempurnakan pada hari

masuk menunjukkan pengurangan global pada Kepadatan serebral dengan

perbedaan warna abu-abu / putih berkurang dan tanda cerebellum '' yang

terang ''. 10

18
gambar : scans 5 mm setelah injeksi kontras menunjukkan bukti pergeseran
ventrikel (A dan B) dan Sulci unilateral hilang (c). 11

Gambar: Anak laki-laki berusia 9 tahun dengan postlnusitis subdural dan


empu epidural.A, CT scan yang tidak dianjurkan (awalnya diinterpretasikan
sebagai normal) menunjukkan pengumpulan ekstra-kekerasan
antarkoplastik. B, CT scan kontras yang disempurnakan 12 jam kemudian
menunjukkan koleksi ekstraaxlal pada fisura Interhemispheric posterior dan
lobus frontalis depan. Catatan Penebalan falx dan peningkatan marjinal
koleksi frontal kanan. 12

19
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja

(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,

paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen

(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula

garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang

akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

MRI

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

20
ANGIOGRAPHY

Gambar : angiografi karotid kiri menunjukkan diameter 5 mm


Aneurisma saccular yang diproyeksikan dari bifurkasi internal
pembuluh nadi kepala. 8

Gambar : Demonstrasi angiografi karotid kiri pasca intervensi

Oklusi aneurisma. 8

21
G. DIAGNOSIS BANDING

Stroke

Adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global yang terjadi

secara akut. Berlangsung lebih dari 24 jam.

Gambar: gambaran ct- scan kepala pada pasien wanita muda satu
minggu post partum dengan stroke hemoragik, ( gambaran
hiperdents) tampak perdarahan pada ventrikel lateralis dextra dan
fornix

Abses Otak

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang

terlokalisir diantara jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi

bakteri, fungus dan protozoa.

22
Hidrocephalus

Hidrosefalus adalah suatu keadaan dimana terjadi penambahan volume

dari cairan serebrospinal (CSS) di dalam ruangan ventrikel dan ruangan sub

arakhnoid.

Gambar: ct- scan kepala hidrocefalus pada orang dewasa, tampak


pembesaeran ventrikle dibagian tengah.

23
H. PENATALAKSANAAN

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,

tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.

Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan

kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan

tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau

furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. 13

Tindakan Tanpa Operasi

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)

dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan

terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

kemudian dapat mengalami pengapuran.

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut dimana

tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari penderita

ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi. Ternyata dua

pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional.

Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan

tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari

penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH.

Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak

menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna

kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi

tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan

untuk tindakan operasi.

24
Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak

dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini,

tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan

TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.

Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan

depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk

dan bukan calon untuk operasi.

Tindakan Operasi

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-

gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan

pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan

tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan

circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:

• Evakuasi seluruh SDH

• Merawat sumber perdarahan

• Reseksi parenkim otak yang nonviable

• Mengeluarkan ICH yang ada.

13
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau

pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan

Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK

25
Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan

pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin

antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit

Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi

asimetris/fixed

Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist

drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk

perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik

ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural

kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika

pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,

reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang

kembali.

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara

cepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan

karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang

biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih

dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200

ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah

yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli

bedah saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya

26
hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat

dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka

dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara

menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar

dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan

otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah

keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical patties disedot (suction).

Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat pada

surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan

kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral

direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.

Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan

kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh

hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari

edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa

hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali

lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi

dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari

perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.

Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala

yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien

trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan

refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya

27
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh

adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana

CT scan kepala tidak bisa dilakukan.

I. PROGNOSIS

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa

kasus,perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat

menyebabkan kompresi pada otak,sehingga hanya menimbulkan gejela

gejala yang ringan. Pada beberapa kasus yang lain, memerlukan tindakan

operatif segera untuk dekompresif otak.

Tindakan operasi pada hematom subdural kronik memberikan

prognosisnya yang baik, karena sekitar 90% kasus pada umunya akan

sembuh total .

Pada penderita subdural hematoma akut yangs sedikit (diameter <

1 cm), prognosanya baik.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta:

Dian Rakyat.

2. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011.

3. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan

Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3

Halaman 297- 306. FK USU: Medan.

4. Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah,

edisi kedua hal 818, Jong W.D. Jakarta : EGC.

5. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.

29
6. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish

journal of trauma & emergency surgey.

7. Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.

8. A KOERBEL, MD, U ERNEMANN, Dkk. Acute Subdural Haematoma

Without Subarachnoid Haemorrhage Caused By Rupture Of An Internal

Carotid Artery Bifurcation Aneurysm: Case Report And Review Of

Literature. The British Journal Of Radiology, 78 (2012), 646–650 E 2005

The British Institute Of Radiology.

9. John F. Healy. Subdural Hematoma Overlooked on a CT Scan of the

Paranasal Sinuses. Downloaded from www.ajronline.org by 36.76.85.229

on 07/28/17 from IP address 36.76.85.229. Copyright ARRS. For

personal use only; all rights reserved.

10. M HURLEY, BSc, MB, ChB, MRCPCH. associated with

cardiorespiratory arrest and subdural haematomas? An observational

study. The British Journal of Radiology, 83 (2010), 736–743.

11. MARCO A. AMENDOLA, AND BERNARD J. OSTRUM. Diagnosis

of Isodense Subdural Hematomas by Computed Tomography.

Downloaded from www.ajronline.org by 114.125.37.64 on 07/30/17

from IP address 114.125.37.64. Copyright ARRS. For personal use only;

all rights reserved.

12. Karen Weingarten, Robert D. Zirnrnerrnan, dkk. Subdural and Epidural

Empyemas: MR Imaging. Downloaded from www.ajronline.org by

114.125.37.64 on 07/30/17 from IP address 114.125.37.64. Copyright

ARRS. For personal use only; all rights reserved.

30
13. Tim Neurotrauma. 2007. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya:

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

31

Вам также может понравиться