Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
jawaban !
1. diagnosis banding :
a. gangguan depresi :
DSM-IV-TR, membagi depresi menjadi tiga bagian besar : gangguan depresi mayor/
major depressive disorder (MDD), distimia, dan depresi yang tidak terklasifikasikan.
MDD memiliki karakteristik dengan adanya satu atau lebih episode depresi mayor
(Kotak 2). kriteria diagnosis menunjukkan beberapa gejala yang harus ada pada
waktu yang sering, sekurang-kurangnya dalam 2 minggu, walaupun durasinya
terkadang lebih lama dari waktu yang terlihat. Gejala yang muncul juga harus
memperlihatkan perubahan fungsi yang signifikan. Akhirnya, bereavement dan
beberapa penyebab gejala depresi harus dapat disingkirkan.
• Gejala lainnya:
o konsentrasi dan perhatian berkurang
o harga diri dan kepercayaan diri berkurang
o gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
o pandangan masa depan yang suram dan pesimis
o gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
o tidur terganggu
o nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan
tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
Episode depresif ringan menurut PPDGJ III
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di
atas
(3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode
berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
(4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
(4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan
urusan rumah tangga.
Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
(2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya
harus berintensitas berat
(3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka
pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya
secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresi berat masih dapat dibenarkan.
(4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
b. gangguan somatisasi
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan somatisasi terpenuhi apabila gejala
diawali sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus
memenuhi minimal 4 gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1
gejala pseudoneurologik, serta tidak satu pun yang dapat dijelaskan melalui
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Berikut kriteria gangguan somatisasi menurut
DSM-IV-TR:
a) Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi
selama periode beberapa tahun dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan
gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
b) Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi
pada sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya
empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala, perut,
punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama
hubungan seksual, atau selama miksi)
2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal
selain nyeri (misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama
kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau
reproduktif selain dari nyeri (misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil
atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan,
muntah sepanjang kehamilan).
4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri
(gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis
atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan,
afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan
ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia; atau
hilangnya kesadaran selain pingsan).
c) Salah satu (1)atau (2):
1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau
efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)
2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau
pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
d) Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan
buatan atau pura-pura).
Sedangkan menurut PPDGJ III, diagnosis pasti dari gangguan somatisasi
memerlukan semua hal berikut
a) Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas adanya dasar kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2
tahun.
b) Tidak mau menerima nasihat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan kelainan-kelainannya.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan keluhan keluhan nya dan dampak dari perilakunya.
c. gangguan hypokondriasis
Berdasarkan DSM IV-TR kriteria hipokondriasis adalah sbb:
a) Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu
penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap
gejala-gejala tubuh.
b) Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat
dan penentraman.
c) Keyakinan dalam criteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan
delusional, tipe somatic) dan tidak terbatas pada kekawatiran tentang
penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
d) Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi penting lain.
e) Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
f) Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
gangguan obsesif kompulsif, gangguan panic, gangguan depresi berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Sedangkan berdasarkan PPDGJ III, untuk menentukan diagnosis pasti kedua
hal dibawah ini harus ada :
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang
serius yang melandasi keluhan-keluhan nya, meskipun pemeriksaan yang
berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun
adanya preokupasi yang menetap kemungkinan deformitas atau perubahan
penampakan fisik nya (tidak sampai waham);
Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi
keluhan-keluhan nya.
d. gangguan nyeri
Berdasarkan DSM-IV-TR:
a) Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis
dan cukup parah untuk memerlukan perhatian klinis.
b) Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
c) Factor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
d) Gejala atau deficit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti
pada gangguan buatan atau berpura-pura).
e) Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi criteria dipareunia.
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut:
a) Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun gangguan fisik.
b) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadika alasan dalam mempengaruhi
adanya gangguan tersebut.
Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal
maupun medis untuk yang bersangkutan
e. gangguan malingering
Menurut PPDGJ III, malingering didefinisikan sebagai kesengajaan atau berpura-
pura membuat gejala atau disabilitas, baik fisik maupun psikologis, yang
dimotivasikan oleh stress eksternal atau intensif. Motif yang berkaitran dengan stress
eksternal tersebut dapat berupa penghindaran diri dari tuntutan hukuman kriminal,
untuk memperoleh obat terlarang, menghindari wajib militer atau tugas militer yang
berbahaya, dan upaya untuk memperoleh keuntungan karena sakit atau mendapatkan
perbaikan taraf hidup
Kriteria dari DSM-IV-TR menambahkan beberapa faktor tambahan yang dapat
digunakan untuk seseorang yang diduga kuat berpura-pura sakit ( malingering ) yaitu
antara lain:
a) Penderita datang dengan adanya surat penyerta dari pihak kepolisian atau
penderita datang sementara proses hukum terhadap dirinya masih sementara
berjalan
b) Ada ketidaksesuaian antara keluhan yang secara subjektif dipaparkan oleh
penderita dengan temuan objektif yang dilihat oleh pemeriksa.
c) Penderita sering menampakkan kesan sebagai penderita yang tidak kooperatif
selama pemeriksaan dan tidak mengeluh ketika telah diberikan resep
pengobatan.
d) Penderita dengan gangguan personal antisocial.
Hal penting lainnya yang harus diketahui yaitu perbedaan antara malingering dan
gangguan serupa yang ditemukan dalam DSM - IV - TR . Misalnya , gangguan
buatan ( factitious disorder). Untuk gejala pada gangguan buatan, motivasi berasal
dari insentif internal yang menganggap dirinya memainkan peran sebagai orang sakit
dengan tidak adanya insentif eksternal sama sekali. Perilaku umum individu yang
berpura-pura sakit dan orang-orang dengan gangguan buatan sering tidak mungkin
untuk dibedakan, sehingga sangat penting untuk benar-benar menilai apa insentif
berupa insentif internal atau eksternal.Selain itu, berpura-pura sakit juga berbeda dari
gangguankonversi dan gangguan somatoform, karena gejala pada malingering
disengaja dibuat dan sekali lagi karena adanya insentif eksternal.Meskipun
malingering mungkin mudah untuk ditentukan, namun deteksi dan diagnosis dalam
praktek klinis tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
2. monitoring terapi :
setelah di terapi, sebaiknya kita memonitor apakah terapinya menghasilkan kemampuan
penyesuaian yang matang, peningkatan kemampuan aktivitas fisik dan okupasi serta
proses penyembuhan, sikap yang lebih baik terhadap penyakitnya, mencegah komplikasi,
mengurangi secondary gain terhadap kondisi medisnya, meningkatkan kemampuan
penyesuaian terhadap keberadaan penyakit tersebut, serta patuh dengan pengobatan.
Pasien dengan gangguan psikosomatis biasanya lebih enggan berurusan dengan suasana
emosiny dibanding dengan gangguan psikiatrik lainnya. Mereka lebih suka secara pasif
“menyerahkan” organnya yang sakit untuk diobati dan disembuhkan oleh dokternya,
sambil menyangkal stress dan konfliknya.
Dalam melakukan interpretasi, terapis harus memperhatikan situasi kehidupan yang
dihadapi pasien saat ini dan reaksi pasien terhadap terapi dan terapinya. Evaluasi yang
luas dengan penekanan terhadap karakteristik kesulitan yang dihadapi perlu dilakukan.
Misalnya, pola reaksinya terhadap diri sendiri, seperti rasa bersalah, rasa rendah diri,
serta reaksi terhadap lingkungan. terapis juga diharapkan melakukan analisis terhadap
kecemasan pasien dan usahanya dalam menghadapi situasi yang mencemaskan serta
membantu pasien mengenali dan mengarahkan ke pola yang lebih sehat akan sangat
bermanfaat.
Sumber : Utama, H. 2015. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. Cetakan ke-3. Badan Penerbit
FKUI. Jakarta.
4. Gejala – gejala gangguan psikosomatik merupakan gejala – gejala yang biasa dkenal
dengan fungsi faal, hanya saja secara berlebihan. gejala – gejala ini biasanya hanya
dirasakan pada satu organ tubuh saja, tetapi kadang – kadang juga berturut – turut atau
serentak beberapa organ tubuh terganggu.
Ciri-ciri Psikosomatis ditandai dengan adanya keluhan fisik yang beragam, antara lain
seperti :
a) Pegal-pegal
b) Nyeri di bagian tubuh tertentu
c) Mual,muntah, kembung dan perut tidak enak
d) Sendawa
e) Kulit gatal, kesemutan, mati rasa
f) Sakit kepala
g) Nyeri bagian dada,punggung dan tulang belakang
Keluhan itu biasanya sering terjadi dan terus berulang serta berganti-ganti atau
berpindah-pindah tempat, dirasa sangat menganggu dan tidak wajar sehingga harus
sering periksa ke dokter
hubungan stres dan gangguan kesehatan fisik. gangguan fisik yang dasarnya adalah stres
yang kronik. Apa yang terjadi pada orang yang mengalami stres yang kronik adalah
perubahan pada sistem otaknya terutama di Hipotalamus yang berhubungan dengan
sistem hormonal otak dan sistem saraf otonom. Ketika stres tidak diadaptasi baik oleh
otak, maka hipotalamus akan mengaktifkan sistem hormonal otak yang melibatkan jaras
Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA-Axis) yang produk akhirnya adalah hormon stres
yang bernama Kortisol. Hormon ini mempunyai fungsi membalikkan keadaan normal
fisiologis dari tubuh. Hormon kortisol ini akan membuat peningkatan gula darah,
peningkatan denyut jantung, menurunkan produksi antibodi serta meningkatkan asam
lemak dalam darah. Sedangkan lewat jalur saraf otonom, stres yang kronik akan memicu
sistem saraf untuk meningkatkan tekanan darah, mengurangi produksi saliva (ludah),
menghentikan kerja lambung, menigkatkan kerja paru-paru sehingga bernapas lebih
cepat dan dalam serta meningkatkan asupan oksigen. Keadaan ini jika terjadi secara
kronis bisa berakibat pada melemahnya fungsi-fungsi organ tubuh walaupun tidak selalu
sampai mengalami kerusakan organ. Pasien biasanya datang ke dokter pada saat keadaan
mulai mengalami gejala-gejala kecemasan dan fisik yang terganggu tetapi belum sampai
mengalami kerusakan organ yang permanen.Tidak heran jika diperiksa secara obyektif
dengan alat kedokteran canggih pun seperti CT-Scan, Endoskopi, MRI, MSCT bahkan
Angiography belum terlihatadanyakelainan.
Seperti diketahui, pikiran dapat menyebabkan munculnya gejala fisik. Contohnya, ketika
merasa takut atau cemas bisa muncul tanda-tanda seperti denyut jantung menjadi cepat,
jantung berdebar-debar (palpitasi), mual atau ingin muntah, gemetaran (tremor),
berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, sakit perut, napas menjadi cepat,
nyeri otot, atau nyeri punggung. Gejala fisik tersebut disebabkan oleh meningkatnya
aktivitas impuls saraf dari otak ke berbagai bagian tubuh. Selain itu, pelepasan adrenalin
(epinefrin) ke dalam aliran darah juga bisa menyebabkan gejala fisik di atas.
Hingga kini, bagaimana persisnya pikiran bisa menyebabkan gejala lainnya dan
memengaruhi penyakit fisik yang sebenarnya (seperti ruam, tekanan darah, dll) belum
diketahui dengan jelas. Atau bisa jadi karena impuls saraf yang arahnya menuju bagian-
bagian tubuh, atau otak yang diduga dapat memengaruhi sel-sel tertentu dari sistem
kekebalan tubuh. Tapi ini semua masih belum dipahami benar.
Sumber :
Widianti, Efri, dkk (2007). Pengetahuan pasien mengenai gangguan psikosomatik dan
pencegahannya. Bandung : DIPA UNPAD