Вы находитесь на странице: 1из 70

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN TB MESSENTRIUM,


BRONKOPNEMONI DAN KWARSIORKOR

Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi Sp.A

Disusun oleh :
Mutiara Putri Elda
030.11.203

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 21 Januari 2017 – 1April 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


“Seorang Anak Laki-laki dengan TB Mesentrium, Bronkopnemonia dan Kwasiorkhor”

Penyusun:
Mutiara Putri Elda
030.11.203

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 21 Januari
2017 – 1April 2017

Tegal, Februari 2017

dr. Raden Setiyadi, Sp.A


BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Mutiara Putri Elda .E Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.
NIM : 030.11.203 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu ayah
Nama An.S Ny. K Tn. S
Umur 8 tahub 35 tahun 40 Tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Kubangjati RT 01 RW 03 Ketanggungan, Tegal

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan SD SD SD
Pekerjaan - Ibu Rumah Tangga Tukang Becak
Penghasilan - - Rp 300.000,00-
800.000,00 -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS
No. RM 864037
Tanggal masuk RS 13/02/17

II. ANAMNESIS

Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny.K th) pada
tanggal 23 Februari 2017 di Ruang Puspanidra RSU Kardinah pukul 15.00 WIB.
Keluhan Utama
Nyeri Perut sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit
Keluhan Tambahan
Benjolan pada daerah perut, Mencret, demam, sesak, nafsu makan menurun.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang dengan keluarga ke IGD RSUD
Kardinah pada tanggal 13 Februari 2017 dengan keluhan utama Nyeri perut sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit(SMRS) nyeri dirasa terus menerus. Pasien juga mengeluh
terdapat benjolan di bagian perut sebelah kanan sejak 1 bulan SMRS, dirasa tidak semakin
membesar, tidak nyeri, dapat digerakkan, dan teraba cukup keras.
Pasien juga mengeluhkan diare sejak 1 bulan SMRS, pasien BAB 4x/hari, BAB
berwarna coklat, terdapat lendir, ampas, namun tidak terdapat darah. Terdapat demam yang
dirasa sejak 1 bulan SMRS, demam dirasa sumeng-sumeng dan hilang timbul, ibu pasien
mengatakan tidak pernah mengukur suhu anaknya dengan termometer namun bila diraba,
badan pasien teraba hangat, Pasien juga mengeluh sesak sejak 3 hari SMRS, sesak dirasa saat
menarik nafas, dan tidak membaik saat istirahat atau saat berganti posisi.
Berat badan pasien turun 2 kg dalam 2 bulan, nafsu makan pasien menurun dan pasien
sulit makan dan minum selama 1 bulan, ibu pasien mengatakan pasien tidak mau makan nasi
dan sayur, pasien hanya mau makan mie saja. Pasien mengaku saat malam sering berkeringat.
Mual, muntah, batuk dan pilek disangkal oleh pasien.
Saat di UGD pasien akhirnya di konsulkan ke Spesialis Bedah dan dirawat bersama
dengan Spesialis Anak. Pada tanggal 20 Februari pasien diminta untuk melakukan operasi
laparatomi dan dibiops. Setelah dilakukan operasi pasien dirawat HCU selama dua hari lalu
dipindah ke ruang Puspanidra.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sTidak ada riwayat operasi
sebelumnya, Tidak ada riwayat trauma sebelumnya, Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat
maupun makanan tertentu, Riwayat pengobatan TB Paru disangkal, Penyakit lain, seperti
asma, penyakit jantung, dan sebagainya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang serupa. Riwayat
penyakit TB pada keluarga pasien disangkal, Riwayat darah tinggi, kencing manis, asma,
penyakit jantung dan paru dalam keluarga disangkal.

Riwayat Lingkungan Rumah


Kepemilikan rumah yaitu rumah pribadi. Rumah berukuran 5 x 10 m, beratap
genteng, berlantai ubin, dan berdinding tembok. Dasar atap terpasang plafon. Kamar tidur
berjumlah 2, kamar mandi berjumlah 1, terdapat dapur da ruang keluarga. Penerangan rumah
bersumber listrik dan dan air minum dari PAM. Jarak septic tankdengan rumah sekitar 10
meter. Limbah rumah tangga tersalur di selokan di dalam rumah dengan aliran lancar.
Selokan dibersihkan sebulan sekali. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu
tidak dinyalakan pada siang hari. Terdapat 2 buah jendela dibagian depan. Jika jendela
dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai buruh tukang becak dan berpenghasilan 50.000-
100.000/hari. Pendidikan terakhir ayah dan ibunya adalah SD.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang baik.

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu pasien berusia 27 tahun saat mengandung pasien. Ibu pasien rutin memeriksakan
kehamilannya secara teratur ke bidan. Selama hamil kondisi ibu dan bayi dikatakan baik,
mendapat suntikan imunisasi TT 2 kali. Ibu tidak pernah mengonsumsi obat-obatan dan jamu
selama hamil, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, tidak pernah mengalami demam,
sesak, muntah-muntah atau penyakit lain selama kehamilan. Penyakit tekanan darah tinggi
dan kencing manis selama kehamilan disangkal. Riwayat penyakit jantung, asma, TB,
perdarahan dan trauma disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.

Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : ditempat praktik bidan
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G3P1A1
Keadaan bayi
 Berat badan lahir : 2500 gram
 Panjang badan lahir : 48 cm
 Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
 Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
 Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
 Kelainan bawaan : Tidak ada
 Air ketuban : Jernih
 Suntik vit K : Ibu tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnata


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur sebulan sekali
dan anak dalam keadaan sehat.

Corak Reproduksi Ibu


Ibu P2A1, pasien merupakan anak ketiga berjenis kelamin laki-laki, jarak antara anak
pertama dan kedua adalah 5 tahun.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan kontrasepsi.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Berat badan lahir anak 2500 gr. Berat badan sekarang 14 kg dengan tinggi badan
sekarang 108 cm.
Senyum : Ibu pasien lupa
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 8 bulan
Merangkak : 10 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 12 bulan

Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak baik. Tidak ada


keterlambatan kemampuan psikomotor

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan anak ASI eksklusif sampai usia 2 bulan. Usia 3 bulan diberikan ASI dan
buah pisang yang dilumatkan, sebanyak dua kali sehari. Usia 2 tahun, anak sudah
diberikan nasi, dan lauk pauk. Menjelang usia 5 tahun pasien tidak terlalu suka
mengkosumsi nasi dan sayur, ibu pasien menyatakan Pasien lebih sering mengkonsumsi
mie instant. Sehari pasien makan 3x dan dengan mengkonsumsi mie instant 2x sehari

Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - 9 bulan - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur, belum dilakukan


imunisasi ulangan.
Silsilah Keluarga
KETERANGAN:

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di Ruang Puspanidra RSU Kardinah Tegal pada tanggal 23
Februari 2017 pukul 15.15 WIB.

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4M6V5)


Kesan umum : tampak sakit sedang, tampak pucat, tampak sesak, Tampak kurus,
tampak lemas
Tanda Vital:
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 132 x/m, reguler, kuat, isi cukup
Pernapasan : 43 x/m, reguler
Suhu : 39.6 oC

Data Antropometri
Berat badan : 14 kg
Tinggi badan : 108 cm

Status Generalis
 Kepala : Normosefali
 Rambut : rambut warna kecoklatan, penyebaran merata, tidak mudah dicabut
 Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-),
mata cekung (-/-)
 Hidung : Bentuk normal, simetris, deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
 Telinga : Normotia, discharge (-/-)
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-)
 Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB
 Thorax :
o Paru :
 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Retraksi (-). Gerak napas
simetris, tidak ada hemithotax yang tertinggal.
 Palpasi : Simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal
 Perkusi : Sonor di kedua hemithorax
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-).
o Cor :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan.
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen :
 Inspeksi : Datar, simetris, Verban post operasi (+) darah (-) Drain
sudah dilepas
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan lien
tidak teraba membesar, asites (+), NT (-)
 Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
 Genitalia : jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan
 Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan.
 Ekstremitas:
Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT < 2” < 2”
Oedem -/- +/+
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 13/02/2017 Pukul 18.27 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 5,4 (↓) g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 6,4 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 18,7 (↓) % 35 – 45
Trombosit 606(↑) 103/uL 150 – 521
Eritrosit 3,1(↓) 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 18,4 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 60,3(↓) U 80 – 96
MCH 17,4(↓) Pcg 28 – 33
MCHC 28,9 (↓) g/dl 33 – 36
Diff
Netrofil NEGATIF mg/dL
Limfosit NEGATIF mg/dL 4,0 – 8,0
Monosit NEGATIF mg/dL
Eosinofil NEGATIF mg/dL 50,0 – 80,0
Basofil NEGATIF mmol/L 132 – 145
Laju Endap Darah
LED 1 Jam 17(↑) mmol/L 0-15
LED 2 Jam 44(↑) mmol/L 0-25
Golongan Darah + Rhesus
Golongan Darah AB
Rhesus Positif
Pemeriksaan Laboratorium

14/02/2017 Pukul 08.11 WIB


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
IMUNOLOGI
Retikulosit 0,90 * 0,50 – 15,0
KIMIA KLINIK
SGOT 10,4(↓) U/L 15 – 40
SGPT 4,2(↓) U/L 10 – 40
Gamma GT 8,0 U/L 7,0 - 45,0
Total Protein 4,64(↓) g/dL 6,4 – 8,3
Albumin 1,87(↓) g/dl 3,20 – 4,80
Globulin 1,77 (↓) g/dl 2,30 – 3,50
SERO IMUNOLOGI
CRP POS 48 NEGATIF
TES HIV 3
HIV (Rapid Test) SD Non Reaktif Non Reaktif

Sel Darah Tepi


(14/02/17)

Eritrosit:
Anisositosis ringan
Mikrositik Hipokrom (Ovalosit, Eliptosit)
Eritrosit Berinti (-)
Trombosit:
Jumlah meningkat morfologi dalam batas normal, clumping trombosit negative
Leukosit:
Estimasi jumlah tampak normal, morfologi dalam batas normal, sel blast (-), jumlah netrofil
meningkat
KESAN:
Anemia Mikrositik, DD: Infeksi
Neutrofilia, suspek adanya proses infeksi bakteri
Trombositosis
SARAN:
CRP, Monitoring darah rutin
Diff
Netrofil 71,0(↑) * 50 – 70
Limfosit 27,0 * 25 - 40
Monosit 1,0(↓) * 2–8
Eosinofil 1(↓) * 2-4
Basofil 0,0 * 0–1

Pemeriksaan Radiologi Tanggal 16/02/2017 Pukul 16.46 WIB

USG Whole Abdomen

Hepar: Ukuran normal, eho parenkim normoekhoik, Permukaan licin, tepi tajam, massa (-)
Asites (-) efusi pleura dextra (+)
Pancreas dan Lien: Ukuran Normal, echo Parenkim Normoekhoik, massa (-)
Renal dx dan sin: ukuran normal, echo parenkim normoekhoik, batu (-) kalix tak melebar
Vesica Urinaria: dinding licin, internal echo (-) batu (-)
Tampak massa hipoekhoik pada abdomen kanan bawah, ukuran 4,42 x 2,15 cm,
klasifikasi (-) intestine sekitar lesi tak besar.

KESAN:
Massa Abdomen kanan bawah
DD:
Massa colon, Massa Mesentrium
Efusi Pleura Dextra
Hepar, Pancreas, Lien ke-2 renal dan vesica urinaria dalam batas normal

Pemeriksaan Radiologi Tanggal 25/02/2017 Pukul 16.46 WIB

Foto Thorax

Infiltrat Paracardial (+)


Sihloute sign
CTR < 0,56
KESAN:
Bronchopnemoni
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 17/02/2017 Pukul 07.15 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10,9 g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 6,5 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 34,6 (↓) % 35 – 45
Trombosit 272 103/uL 150 – 521
Eritrosit 5,3 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 21,7 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 65,0 (↓) U 80 – 96
MCH 20,5 (↓) Pcg 28 – 33
MCHC 31,5 (↓) g/dl 33 – 36

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 18/02/2017 Pukul 22.27 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 9,7 (↓) g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 7,4 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 31,6 (↓) % 35 – 45
Trombosit 421 103/uL 150 – 521
Eritrosit 4,7 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 21,4 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 66,8 (↓) U 80 – 96
MCH 20, 5 (↓) Pcg 28 – 33
MCHC 30,7 (↓) g/dl 33 – 36
ELEKTROLIT
Natrium 135,7 mg/dL 135 – 145
Kalium 3,66 mg/dL 3,3 – 5,1
Klorida 107,6 (↑) mg/dL 96 – 106
GLUKOSA 90 mg/dL 70 - 140
SEWAKTU
TOTAL PROTEIN 5,13(↓) g/dL 6,4 – 8,3
ALBUMIN 2,56(↓) g/dL 3,20 – 4,80
GLOBULIN 2,57 g/dL 2,30-3,50
HbsAg NEGATIF NEGATIF
Waktu Perdarahan 2.00 menit 1-3
Waktu Pembekuan 5.00 menit 2-6

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 19/02/2017 Pukul 16.08 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Ureum 5,0 (↓) mg/dL 12,8 – 42,8
Kreatinin 0,54 103/uL 0,5 – 1,0

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 20/02/2017 Pukul 22.27 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 9,0 (↓) g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 11,2 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 29,0 (↓) % 35 – 45
Trombosit 218 103/uL 150 – 521
Eritrositg 4,4 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 21,7 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 66,1 (↓) U 80 – 96
MCH 20, 5 (↓) Pcg 28 – 33
MCHC 31,0 (↓) g/dl 33 – 36
ELEKTROLIT
Natrium 134,8(↓) mg/dL 135 – 145
Kalium 4,20 mg/dL 3,3 – 5,1
Klorida 106,5 (↑) mg/dL 96 – 106
Pemeriksaan Patologi Anatomi Tanggal 20/02/2017

Asal Jaringan: nnll. Mesentrium


Diagnosis Klinis: Limfadenopati Mesentrium
Makrokopis:
Diterima sebuah Jaringan ukuran 2 x 1 x 1 cm Putih kenyal
Mikrokopis:
Sediaan dilapisi kapsul jaringan ikat. Subkapsuler tampak folikel limfoid. Diantaranya
tampak poliferasi epiteloid, sentral nekrosis perkejuan dan sel datia langhans. Tidak tampak
sel ganas
Kesimpulan:
Limfadenitis kronis Tuberkulosa Mesentrium

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 22/02/2017 Pukul 16.46 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 7,6 (↓) g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 6,9 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 24,8 (↓) % 35 – 45
Trombosit 550 103/uL 150 – 521
Eritrosit 3,7 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 20,7 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 67,2 (↓) U 80 – 96
MCH 20, 6 (↓) Pcg 28 – 33
MCHC 30,6 (↓) g/dl 33 – 36
KIMIA KLINIK
Total Protein 4,69(↓) mg/dL 6,4 – 8,3
Albumin 2,33 (↓) mg/dL 3,20 – 4,00
Globulin 2,36 mg/dL 2,30 – 3,50
Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 25/02/2017 Pukul 16.46 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10,8 g/dL 10,8 – 15,6
Leukosit 6,9 103/uL 4,5 – 13,5
Hematokrit 32,9 (↓) % 35 – 45
Trombosit 555 (↑) 103/uL 150 – 521
Eritrosit 4,7 106/uL 3,8 – 5,8
RDW 20,2 (↑) % 11,5 – 14,5
MCV 70,6 (↓) U 80 – 96
MCH 23, 2 (↓) Pcg 28 – 33
MCHC 32,8 (↓) g/dl 33 – 36
KIMIA KLINIK
Albumin 2,56 (↓) mg/dL 3,20 – 4,00
I. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Pemeriksaan Status Gizi
Antropometri
Anak laki-laki Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
usia 8 tahun 1. BB/U= 12/25 x 100% = 40% (berat badan Buruk
menurut umur)
Berat badan 14 kg
Tinggi badan 108 2. TB/U = 108/127x 100% = 85,03% (tinggi badan kurang
cm menurut umur)
3. BB/TB = 12/18 x 100% = 66.6% (gizi buruk)
Kesan: Anak laki-laki usia 8 tahun, status gizi kurang
VI. RESUME

Pasien seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang dengan keluarga ke IGD RSUD
Kardinah pada tanggal 13 Februari 2017 dengan keluhan utama Nyeri perut sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit(SMRS) nyeri dirasa terus menerus. Pasien juga mengeluh
terdapat benjolan di bagian perut sebelah kanan sejak 1 bulan SMRS, dirasa tidak semakin
membesar, tidak nyeri, dapat digerakkan, dan teraba cukup keras. Pasien juga mengeluhkan
diare sejak 1 bulan SMRS, pasien BAB 4x/hari, BAB berwarna coklat, terdapat lendir,
ampas, namun tidak terdapat darah. Terdapat demam yang dirasa sejak 1 bulan SMRS,
demam dirasa sumeng-sumeng dan hilang timbul, ibu pasien mengatakan tidak pernah
mengukur suhu anaknya dengan termometer namun bila diraba, badan pasien teraba hangat,
Pasien juga mengeluh sesak sejak 3 hari SMRS, sesak dirasa saat menarik nafas, dan tidak
membaik saat istirahat atau saat berganti posisi. Berat badan pasien turun 2 kg dalam 2 bulan,
nafsu makan pasien menurun dan pasien sulit makan dan minum selama 1 bulan, ibu pasien
mengatakan pasien tidak mau makan nasi dan sayur, pasien hanya mau makan mie saja.
Pasien mengaku saat malam sering berkeringat. Saat di UGD pasien akhirnya di konsulkan ke
Spesialis Bedah dan dirawat bersama dengan Spesialis Anak. Pada tanggal 20 Februari pasien
diminta untuk melakukan operasi laparatomi dan dibiops. Setelah dilakukan operasi pasien
dirawat HCU selama dua hari lalu dipindah ke ruang Puspanidra.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Compos mentis dan keadaan
umum pasien tampak sakit sedang, tampak pucat, tampak sesak, Tampak kurus, tampak
lemas, dengan tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi : 132 x/m, reguler, kuat,
isi cukup, nafas 43 x/m, regular, Suhu : 39.6 oC. berat badan : 14 kg, tinggi badan: 108 cm,
dengan rambut warna kecoklatan, pada pemeriksaan paru terdengar suara rhonki dikedua
lapang paru. Dan pada pemeriksaan abdomen tampak Verban post operasi di bagian kenan
bawah perut pasien, dan terdapat pitting oedem pada kedua kaki pasien.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah terbaru pasien didapatkan penurunan
kadar albumin, hematocrit, MCV, MCH, MCHC dan peninggian jumlah trombosit dan RDW.
Pemeriksaan usg abdomen awal didapat kesan massa abdomen kanan bawah, sedangkan
untuk foto thoraks didapat kesan bronkopnmonia, hasil PA dari jaringan yang diambil
tanggal 20 februari 2017 menyatakan jaringan tersebut merupakan limfadenitis kronis
tuberkulosa mesentrium.
VII. MASALAH
Nyeri Perut
Benjolan pada perut sebelah kanan
Demam
Sesak
Status gizi kurang
Keringat malam
Ronkhi +/+
Edema tungkai +/+
foto thoraks: bronkopnmonia
hasil PA: limfadenitis kronis tuberkulosa mesentrium
LAB: penuruan kadar Albumin

VIII. DIAGNOSA KERJA


- TB Mesentrium
- Bronkopnemoni
- Kwasiokhor

IX. DIAGNOSIS BANDING

 Nyeri dengan benjolan pada perut:


-TB mesenterium
-Tumor abdominal
-volvulus
-Invaginasi
 Sesak dan demam
-Bronkopnemoni
-TB paru
-Bronkiolitis
 Gizi Buruk
-Kwashiorkor
-Marasmus
-Marasmus Kwashiorkor
a

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
 02 lt/menit
 Isoniazid 1x140 mg
 Rifampisin 1x210 mg
 Pirazinamid 1x320
 Streptomisin 1x210 mg
 Prednison 3 x 2 tab
 Vit.B6 3 x 10 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg
 Cefotaxim 2 x 1 gr
 Aminofusin 250 ml (28 ml/jam)
Non-medikamentosa
 Rawat inap untuk monitor gejala
 Awasi keadaan umum, dan tanda vital
 Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.

XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
PERJALANAN PENYAKIT
13 Februari 2017 pkl. 16.30 WIB (R. 14 Oktober 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
IGD) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-0 Hari Perawatan ke-1
S Mencret (+) 3x ampas (-), lendir (+), S BAB Cair (+) 1x ampas (-), lendir (+),
darah (-), Demam (+), sesak (+), batuk (- darah (-), Demam (-),batuk (-), pilek (-)
), pilek (-), BAK (+), pucat (-), muntah (- sesak (+), BAK (+), pucat (-), muntah (-
), makan dan minum sulit (+) ), makan dan minum sulit (+)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang, tampak lemah, tampak pucat, sedang, tampak lemah, tampak pucat,
tampak sesak tampak sesak
TTV: HR 124x/m, RR 36x/m, S 39,1 0C TTV: HR 120/m, RR 44x/m, S 36,6 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-),
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) teraba massa pada bagian datar (+) teraba massa pada bagian
kanan bawah abdomen region iliaka kanan bawah abdomen (+) teraba
dextra (+) teraba agak keras (+) agak keras region iliaka dextra (+)
mobile (+)NT (+) region iliaka dextra mobile (+)NT (+) region iliaka dextra
hepar dan lien tak teraba hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2 detik CRT <2 detik
LAB: LAB:
A -Anemia A -Diare Kronik
-Abdominal Pain suspek Tumor -Anemia
Abdomen -Massa Abdomen
P • IVFD RL 20 Tpm P • Paracetamol 3 x ½ Cth

• Paracetamol 3 x ½ Cth • L-Zinc 2 x ½ Cth

• L-Zinc 2 x ½ Cth
16 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. 17 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-3 Hari Perawatan ke-4
S BAB Cair (+) 1x, ampas (+), lendir (-), S BAB Cair (+) 1x, ampas (+), lendir (-),
darah (-), Demam (+), sesak (+), batuk (- darah (-), Demam (-), sesak (+), batuk (-)
) pilek (-) BAK (+), pucat (-), muntah (-), pilek (-) BAK (+), pucat (-), muntah (-),
Nafsu makan baik Nafsu makan baik
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang, tampak lemah, tampak pucat, sedang, tampak lemah, tampak pucat,
tampak sesak tampak sesak
TTV: HR 121x/m, RR 36x/m, S 37,3 0C, TTV: HR 120x/m, RR 24x/m, S 36,9 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-),
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) teraba massa pada bagian datar (+) teraba massa pada bagian
kanan bawah abdomen region iliaka kanan bawah abdomen region iliaka
dextra (+) teraba agak keras (+) dextra(+) teraba agak keras (+) mobile
mobile (+) NT (+) region iliaka dextra (+) NT (+) region iliaka dextra hepar
hepar dan lien tak teraba dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2 detik CRT <2 detik
LAB: LAB:
A -Anemia A -Massa Abdomen (massa messentrium)
-Diare Kronik -Hipokalemi
-Massa Abdomen
P • Paracetamol 3 x ½ Cth P • Paracetamol 3 x ½ Cth

• Feriz 1 x 1 Cth • Feriz 1 x 1 Cth

• Ceftriaxone 750 dalam nacl 100 • L- Zink 2 x ½ Cth

• Ceftriaxone 750 dalam nacl 100


18 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. 19 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-5 Hari Perawatan ke-6
BAB Cair (+) 1x, ampas (+), lendir (-), S BAB Cair (+) 1x, ampas (+), lendir (-),
darah (-), Demam (+), sesak (+), batuk (-) darah (-), Demam (+), sesak (+), batuk (-)
pilek (-) BAK (+), pucat (-), muntah (-), pilek (-) BAK (+), pucat (-), muntah (-),
Nafsu makan baik Nafsu makan baik
KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang, tampak lemah, tampak pucat, sedang, tampak lemah, tampak pucat,
tampak sesak tampak sesak
TTV: HR 132x/m, RR 40x/m, S 37,4 0C, TTV: HR 120/m, RR 26x/m, S 37,4 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), datar Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), datar
(+) teraba massa pada bagian kanan (+) teraba massa pada bagian kanan
bawah abdomen region iliaka dextra(+) bawah abdomen region iliaka dextra(+)
teraba agak keras (+) mobile (+) NT (+) teraba agak keras (+) mobile (+) NT (+)
region iliaka dextra hepar dan lien tak region iliaka dextra hepar dan lien tak
teraba teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2 detik CRT <2 detik
LAB: LAB:
-Massa Abdomen A -Massa Abdomen
-Anemia -Anemia
• Paracetamol 3 x ½ Cth P • O Paracetamol 3 x ½ Cth

• Feriz 1 x 1 Cth • Feriz 1 x 1 Cth

• Ceftriaxone 750 dalam nacl 100 • Ceftriaxone 750 dalam nacl 100
20 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. 21 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-8 Hari Perawatan ke-9
Lemas (+), BAB Cair (+) 1x, ampas (+), S Pasien post operasi Laparatomi
lendir (-), darah (-), Demam (-), sesak (+), Nyeri post op (+) flatus (-)
batuk (-) pilek (-) BAK (+), pucat (-), Lemas (+) demam (-), kejang (-), sesak (-)
muntah (-), Nafsu makan baik
KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang, tampak lemah, tampak pucat, sedang, tampak lemas
tampak sesak TTV: HR 74x/m, RR 24x/m, S 36,7 0C,
TTV: HR 110x/m, RR 32x/m, S 36,6 0C,
Status generalis:
Status generalis: Kepala: Normocephali (+)
Kepala: Normocephali (+) Mata: CA (+/+), SI (-/-)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-
Toraks: SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 2 reguler, m (-), g (-)
1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), datar
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), datar (+) Terpasang verban dan selang drain-
(+) teraba massa pada bagian kanan > 100cc darah hepar dan lien tak teraba
bawah abdomen region iliaka dextra(+) Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
teraba agak keras (+) mobile (+) NT (+) <2 detik
region iliaka dextra hepar dan lien tak Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-)
teraba CRT <2 detik
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT LAB:
<2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2 detik
LAB:
-Massa Abdomen A -Post op tumor intra abdomen dd TB
-Anemia peritoneal
-Gizi Kurang
• Paracetamol 3 x ½ Cth P • KAEN3B 41 cc

• Feriz 1 x 1 Cth • Ketorolac 1 amp x 1

• Cefotaxim 2 x 1 gr • OMZ 1 x 10 mg

• OMZ 1 x 10 mg • Aminofusi 250cc/12 jam

• Cefotaxim 2 x 1 gr
22 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. \ 23 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-10 Hari Perawatan ke-11
Lemas (-), BAB Cair (-) flatus (+) S Lemas (-), BAB (+) Demam (-), sesak (-
S Demam (-), sesak (-), batuk (-) pilek (-) ), batuk (-) pilek (-) BAK (+), pucat (-),
BAK (+), pucat (-), muntah (-), nyeri muntah (-), nyeri perut (-)
perut (-)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang sedang, tampak sesak, tampak lemah
TTV: HR 80x/m, RR 24x/m, S 37,4 0C, TTV: HR 112x/m, RR 43x/m, S 39,6 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) verban post op (+) rembes (-) datar (+) verban post op (+) rembes (-)
drain sudah dilepas (+) NT (-) hepar drain sudah dilepas (+) NT (-) hepar
dan lien tak teraba dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+)
CRT <2 detik CRT <2 detik

A - Post op tumor intra abdomen dd TB A -Post op tumor intra abdomen dd TB


peritoneal peritoneal
-Gizi Kurang -Gizi Kurang
P • Ketorolac 1 amp x 1 P • Ketorolac 1 amp x 1

• OMZ 1 x 10 mg • OMZ 1 x 10 mg

• Aminofusi 250cc/12 jam • Aminofusi 250cc/12 jam

• Cefotaxim 2 x 1 gr • Cefotaxim 2 x 1 gr
24 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. \ 25 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-12 Hari Perawatan ke-13
BAB Cair (+) flatus (-) Demam (+), S Lemas (-), BAB (+) lembek, Demam
S sesak (-), batuk (+) pilek (-) BAK (+), (+), sesak (-), batuk (-) pilek (-) BAK (+),
pucat (-), muntah (-), nyeri perut (-) pucat (-), muntah (-), nyeri perut (+),
makan dan minum (+) baik, nyeri perut (- makan minum (+) baik
)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang, tampak sesak sedang, tampak lemah
TTV: HR 130x/m, RR 32x/m, S 36,3 0C, TTV: HR 125x/m, RR 22x/m, S 37,2 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) verban post op (+) rembes (-) datar (+) verban post op (+) rembes (-)
NT (-) hepar dan lien tak teraba NT (-) hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+)
CRT <2 detik CRT <2 detik

A - Post op tumor intra abdomen dd TB A - TB Mesentrium


peritoneal -Gizi Kurang
-Gizi Kurang
P • Ketorolac 1 amp x 1 P -Ketorolac 1 amp x 1

• OMZ 1 x 10 mg -OMZ 1 x 10 mg

• Aminofusi 250cc/12 jam -Aminofusi 250cc/12 jam

• Cefotaxim 2 x 1 gr -Cefotaxim 2 x 1 gr

-INH 1 X 140 mg

-Rifampisin 1 x 210 mg

-Pirazinamid 1x320
-Etambutol 1x280 mg
-Streptomisin 1x210 mg
-Prednison 3 x 2 tab
-Vit.B6 3 x 10 mg
-Paracetamol 3 x 500 mg

27 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R. \ 28 Februari 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-14 Hari Perawatan ke-15
BAB Cair (+)1x ampas (+) lendir (+) S Lemas (-), Demam (+), sesak (-), batuk
S Demam (+), sesak (-), batuk (+) pilek (-) (-) pilek (-) BAB dan BAK (+) baik,
BAK (+), pucat (-), muntah (-), nyeri pucat (-), muntah (-), nyeri perut (+),
perut (-) makan dan minum (+) baik, makan minum (+) baik
nyeri perut (-)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang sedang
TTV: HR 108x/m, RR 28x/m, S 39,4 0C, TTV: HR 102x/m, RR 22x/m, S 36,6 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (+/+), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) verban post op (+) rembes (-) datar (+) verban post op (+) rembes (-
NT (-) hepar dan lien tak teraba )Nyeri (+), NT (-) hepar dan lien tak
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT teraba
<2 detik Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+) <2 detik
CRT <2 detik Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+)
CRT <2 detik

A - TB Mesentrium A - TB Mesentrium
-Gizi Kurang -Gizi Kurang
P • Ketorolac 1 amp x 1 P • Ketorolac 1 amp x 1

• OMZ 1 x 10 mg • OMZ 1 x 10 mg

• Aminofusi 250cc/12 jam • Aminofusi 250cc/12 jam

• Cefotaxim 2 x 1 gr • Cefotaxim 2 x 1 gr

• INH 1 X 140 mg • INH 1 X 140 mg

• Rifampisin 1 x 210 mg • Rifampisin 1 x 210 mg

• Pirazinamid 1x320 • Pirazinamid 1x320


• Etambutol 1x280 mg • Etambutol 1x280 mg

• Streptomisin 1x210 mg • Streptomisin 1x210 mg

• Prednison 3 x 2 tab • Prednison 3 x 2tab

• Vit.B6 3 x 10 mg • Vit.B6 3 x 10 mg

• Paracetamol 3 x 500 mg • Paracetamol 3 x 500 mg

01 Maret 2017 pkl. 07.00 WIB (R. \ 02 Maret 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-16 Hari Perawatan ke-17
Demam (+) naik saat malam hari, S Lemas (-), Demam (-), sesak (-), batuk (-)
S sesak (-), batuk (-) pilek (-) BAK dan pilek (-) BAB dan BAK (+) baik, pucat (-
BAB (+) lancar, pucat (-), muntah (-), ), muntah (-), nyeri perut (+), makan
nyeri perut (-) makan dan minum (+) minum (+) baik
baik, nyeri perut (-)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang sedang
TTV: HR 100x/m, RR 28x/m, S 38,6 0C, TTV: HR 102x/m, RR 30x/m, S 36,3 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) verban post op (+) rembes (-) datar (+) verban post op (+) rembes (-),
NT (-) hepar dan lien tak teraba NT (-) hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+)
CRT <2 detik CRT <2 detik

A - TB Mesentrium A - TB Mesentrium
-Kwashiokhor -Kwashiokhor
P • Ketorolac 1 amp x 1 P • Ketorolac 1 amp x 1

• OMZ 1 x 10 mg • OMZ 1 x 10 mg

• Aminofusi 250cc/12 jam • Aminofusi 250cc/12 jam


• Cefotaxim 2 x 1 gr • Cefotaxim 2 x 1 gr

• INH 1 X 140 mg • INH 1 X 140 mg

• Rifampisin 1 x 210 mg • Rifampisin 1 x 210 mg

• Pirazinamid 1x320 • Pirazinamid 1x320

• Etambutol 1x280 mg • Etambutol 1x280 mg

• Streptomisin 1x210 mg • Streptomisin 1x210 mg

• Prednison 3 x 2 tab • Prednison 3 x 2 tab

• Vit.B6 3 x 10 mg • Vit.B6 3 x 10 mg

• Paracetamol 3 x 500 mg • Paracetamol 3 x 500 mg

03 Maret 2017 pkl. 07.00 WIB (R. \ 04 Februarji 2017 pkl. 07.00 WIB (R.
Puspanidra) Puspanidra)
Hari Perawatan ke-18 Hari Perawatan ke-19
Demam (-) sudah mulai perbaikan sesak S Demam (-) sudah mulai perbaikan sesak
S (-), batuk (-) pilek (-) BAK dan BAB (+) (-), batuk (-) pilek (-) BAK dan BAB (+)
lancar, pucat (-), muntah (-), nyeri perut lancar, pucat (-), muntah (-), nyeri perut
(-) makan dan minum (+) baik, nyeri (-) makan dan minum (+) baik, nyeri
perut (-) perut (-)
O KU: Compos Mentis, Tampak sakit O KU: Compos Mentis, Tampak sakit
sedang sedang
TTV: HR 88x/m, RR 22x/m, S 36 0C, TTV: HR 96x/m, RR 20x/m, S 36,2 0C,

Status generalis: Status generalis:


Kepala: Normocephali (+) Kepala: Normocephali (+)
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-) 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+), Abdomen: Supel, BU (+)N, Supel (+),
datar (+) verban post op (+) rembes (-) datar (+) verban post op (+) rembes (-),
NT (-) hepar dan lien tak teraba NT (-) hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik <2 detik
Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+) Ekstremitas bahwah: AH (+/+), OE (+/+)
CRT <2 detik CRT <2 detik
A - TB Mesentrium A - TB Mesentrium
-Kwashiokhor -Kwashiokhor
P • Ketorolac 1 amp x 1 P • Ketorolac 1 amp x 1

• OMZ 1 x 10 mg • OMZ 1 x 10 mg

• Aminofusi 250cc/12 jam • Aminofusi 250cc/12 jam

• Cefotaxim 2 x 1 gr • Cefotaxim 2 x 1 gr

• INH 1 X 140 mg • INH 1 X 140 mg

• Rifampisin 1 x 210 mg • Rifampisin 1 x 210 mg

• Pirazinamid 1x320 • Pirazinamid 1x320

• Etambutol 1x280 mg • Etambutol 1x280 mg

• Streptomisin 1x210 mg • Streptomisin 1x210 mg

• Prednison 3 x 2 tab • Prednison 3 x 2 tab

• Vit.B6 3 x 10 mg • Vit.B6 3 x 10 mg

• Paracetamol 3 x 500 mg • Paracetamol 3 x 500 mg

• ACC PULANG
BAB II

ANALISA KASUS

Pasien anak laki-laki usia 8 tahun, dengan diagnosis TB Mesentrium, Bronkopneumonia,


dan Kwashiorkor. Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini didiagnosis TB Mesentrium berdasarkan gejala awal yang berupa nyeri
perut, teraba massa pada perut regio iliaca dextra, Berat badan yang turun dalam waktu dekat,
dan keringat ,malam. Berdasarkan pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan patologi
anatomi dari jaringan yang di ambil saat operasi didapatkan hasil limfadenitis kronis
tuberkulosa mesentrium.
Diagnosis bronkopneumonia berdasarkan gejala yang dimiliki pasien seperti demam, dan
sesak. Pada pemeriksaan fisik yang dapat menunjang diagnosis bronkopneumonia adalah
pada pemeriksaan thorax didapatkan ronki pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
penunjang berupa foto thorax didapatkan kesan berupa Bronkopneumonia. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas, maka diagnosis
Bronkopneumonia dapat ditegakkan.
Diagnosis kwashiorkor berdasarkan anamnesis didapat pasien tidak suka makan nasi
sayur dan telur, ibu pasien mengatakan pasien sangat suka dan sering memakan mie, pasien
juga sempat terkena diare dan anemia pada saat awal masuk rumah sakit, dimana pada pasien
dengan kwashiorkor juga sering dijumpai diare dan anemia. Pada pemeriksaan fisik yang
diamati pada pasien. Pada pasien ditemukan rambut pasien berwarna kemerahan seperti
rambut jagung, terdapat pitting oedem pada kedua kaki pasien
Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian antibiotic untuk TB, pemberian
cairan yang cukup, pemberian kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan
tingkat kesadaran, suplemen nutrisi.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak
usia 0-14 tahun.
Pada pasien dengan status gizinya yang buruk (kwashiorkor) memiliki sistem imun
yang buruk sehingga mudah bagi pasien untuk terkena infeksi, seperti tuberkulosis. Namun,
dengan penanganan yang cepat dan minum obat secara telaten, pasien dengan TB dapat
sembuh dengan baik.
Prognosis pada ada vitam adalah dubia ad bonam disebabkan karena dengan
pengobatan yang rutin dan tepat maka penyakit tersebut dapat sembuh dan tidak
menimbulkan kematian. Sedangkan pada ad sanationam dubia ad malam karena seseorang
yang terkena TB pada saat penyembuhan dapat membekas seperti membentuk kalsifikasi
yang dapat menjadi dorman saat imun turun atau bila pasien tidak patuh meminum obat,
terlebih dengan status gizi pasien yang buruk dimana imunitas host menjadi lemah
Dan pada ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena pasien dapat sembuh bila
minum obat dengan telaten.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERKULOSIS

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak
usia 0-14 tahun.
Cara Penularan:
 Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
 Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali
anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
 Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA
negatif.
 Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada
tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai «
Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti
sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83
per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TByang muncul.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan
bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian
kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
Patogenesis

Kuman TB dalam droplet nuclei yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup
dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya
oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik.
Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu
yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TB

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula yang dapat menimbulkan obstruksi pada bronkus sehingga menyebabkan
pneumonitis dan atelektasis (lesi segmental kolaps-konsolidasi)

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya,
kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.


Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar
ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread

Diagnosis TB pada anak


A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan
umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan
secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena
gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1.Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:


 Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
 Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

3. Tuberkulosis sistem skeletal:


 Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
 Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
 Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
 Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi
di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah
dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada
pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi
jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB.
Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk
digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah
menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode
serologi untuk penegakan diagnosis TB.
Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan
spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas
lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang
dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran
sel datia langhans dan atau kuman TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak :
1. Berdahak Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu
mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak
>5 tahun.
2. Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari
berturut-turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum, relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak


adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum
Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua
fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks.
Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada
penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang
menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h.Tuberkuloma
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Parameter Sistem Skoring:
 Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01
atau dari hasil laboratorium.
 Penentuan status gizi:
-Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
-Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak
usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5
tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).
.Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
 Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
 Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas


pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang
terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk
menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau
diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto toraks bukan
merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
 Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap
dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis

Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum


(TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ
tersebut secara hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB
anak yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada
dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat
membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat
menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada
akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi
dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena
dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB
anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya asites.
Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan
adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan
asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui vena
porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M.
tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel).
Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai
reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk
tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan
limfosit T.
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa
pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis cairan asites
dan biopsi peritoneum. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan
tindakan operasi.

Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:


 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang
tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan
kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan
BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:
• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra
Paru. Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai
TB paru
• Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas,
lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan
sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
• Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB
primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dl
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB
hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT


terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode
pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat.
Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam
bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR

Paduan OAT Anak


Prinsip pengobatan TB anak:
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan,
OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum
obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan.
• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison)
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.

• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Bronkopnemoni

Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis, yaitu radang pada paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada
bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.
Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap
tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Insiden
penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5
tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2
tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100
anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun.
Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita
dinegara berkembang.

Etiologi
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi yaitu Streptococcus grup B dan
bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi
yang lebih besar dan balita pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae .
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun
2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di
antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran
RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik
sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.
Tabel 1.Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 bulan Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun – remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza

Klasifikasi
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Asal infeksi
• Community-acquired pneumonia (CAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang dalam
perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum timbulnya gejala.
• Hospital-acquired pneumonia (HAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di rumah sakit yang
terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72 jam) atau karena perawatan di
rumah sakit sebelumnya, dan bukan dalam stadium inkubasi.
b. Lokasi lesi di paru
• Bronkopneumonia
• Pneumonia lobaris
• Pneumonia interstitialis
c. Etiologi
 Infeksi
Berdasarkan mikroorganisme penyebab :
 Pneumonia bakteri
 Pneumonia virus
 Pneumonia jamur
 Pneumonia mikoplasma
 Non infeksi
Aspirasi makanan, asam lambung, benda asing, hidrokarbon, substansi
lipoid, reaksi hipersensitivitas, drug and radiation-induced pneumonitis.
d. Karakteristik penyakit
 Pneumonia Tipikal
 Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Mycobacterium tuberculosis)
e. Derajat keparahan penyakit
 Bayi kurang dari 2 bulan
 Pneumonia berat : napas cepat atau retraksi yang berat
 Pneumonia sangat berat : tidak mau menyusui/minum, kejang, demam,
letargis, hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler
 Anak usia 2 bulan – 5 tahun
 Pneumonia ringan : nafas cepat
 Pneumonia berat : retraksi
 Pneumonia sangat berat : tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi.

Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Stadium ini disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Stadium ini disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena
adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada
atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Stadium ini disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Patofisiologi :

Gejala klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas,
gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relative lebih
sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan
faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga
perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
a. Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-
kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
c. Pada nafas terdapat retraksi otot subcostal, intercostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
d. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi
paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
e. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi.
Ronkhi dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Berdasarkan lokasi lesi di paru :
Bronkopneumonia Interstitial Pneumonia lobaris
 Lobularis o Interstitial o Segmental/lobus
o Ronki selalu o Pendataran diafragma o Konsolidasi
terdengar dan hiperinflasi o Ronki (+) saat kongestif
o Dullness (-) o Ronki ±, wheezing + dan resolusi
o Dullness (-) o Dullness (+) di lobus
yang terkena
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru,
cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks
pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


g. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular.
h. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
i. Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi.
C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat saat reaksi
inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun
yang bukan infeksi. Kadar CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap
terapi antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
pungsi pleura, atau aspirasi paru.

Diagnosis banding
Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan
bernafas

diagnosis Gejala klinis yang ditemukan


Bronkiolitis Episode pertama wheezing pada anak umur < 2
tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Tuberculosis (TB) Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
Uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan
imunosupresi ≥ 5 mm)
Berat badan menurun
Demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis (≥ 3 minggu)
Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik.
Asma Riwayat wheezing berulang, kadang tidak
berhubungan dengan batuk dan pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespon baik terhadap bronkodilator

I. Penatalaksanaan
II. Tatalaksana Umum
 Pasien dengan saturasi oksigen ≤ 92 % pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi >92%.
 Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat
 Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk.
 Nebulasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance.
 Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemeriksaaan saturasi oksigen.

Pemberian Antibiotik
 Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotika oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan penumonia pada
anak, ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatif lain yaitu co-amoxiclav,
eritromisin, azitromisin, claritromisin, dan ceflacor.
 M.pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun.
Makrolid diberikan jika M.pneumoniae atau C.pneumoniae dicurigai sebagai
penyebab.
 Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat per oral atau termasuk dalam derajat pneumonia berat. Antibitotik intravena yang
dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav, cefuroxime,
ceftriaxone, dan cefotaxime
OBAT CARA DOSIS FREK. (jam) INDIKASI
PEMBERIAN
Gol. PENISILIN Pneumonia berat disebabkan
Ampisilin p.o. 40-160 6 Gram (+), Gram (-) ; Bakteri
Amoksisilin p.o. 25-100 8 anaerob
Roksitromisin p.o. 5-8 12
Klindamisin i.v. 10 6 S. aureus, Streptokokus,
p.o. 10-30 6 Pneumokokus yang alergi
penisilin dan efalosporin Abses
paru karena bakteri anaerob

Nutrisi
 Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral perlu
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau intravena.
 Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami
overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik.
Indikasi rawat
Kriteria rawat inap, yaitu :
Pada bayi
 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
 frekuensi napas > 60 x/menit
 distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
 tidak mau minum / menyusui
 keluarga tidak bisa merawat dirumah
Pada anak
 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis
 frekuensi napas ≥ 50 x/menit
 distress pernapasan
 grunting
 terdapat tanda dehidrasi
 keluarga tidak bisa merawat dirumah

Kriteria pulang:
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
Asupan peroral adekuat
Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah

Komplikasi
 Atelektasis
 Empiema
 Abses paru

Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya
zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh
negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka
malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri
sendiri.

Kwashirkohor

Definisi
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensiprotein berat dan asupan
kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan masukanatau dari kehilangan yang berlebihan
atau kenaikan angka metabolik yangdisebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turutmenimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut. Kwashiorkor
berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi menghisap, dapat menjadi jelas
sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sudah menyapih dari AS.
Walaupun pertambahan tinggi dan berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran initidak
pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik

Etiologi
Etiologi dari kwashiorkor adalah:
1.Kekurangan intake protein
2.Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3.Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan infeksikronik
4.Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yangberlangsung


kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain

1. Pola makan Protein (asam amino)


adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake
makanan mengandung kalori yangcukup, tidak semua makanan mengandung protein / asam
amino yang memadai.Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI
yangdiberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber
lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah dibutuhkan. Kurangnyapengetahuan ibu mengenai
keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadapterjadi kwashiorkhor, terutama pada
masa peralihan ASI ke makanan penggantiASI.

2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaansosial
dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakanmakanan tertentu dan
sudah berlangsung turun temurun dapat menjadi hal yangmenyebabkan terjadinya
kwashiorkor.
3. Faktor ekonomiKemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapatmemenuhi
kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi,saat dimana ibunya pun
tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.

4. Faktor infeksi dan penyakit lainTelah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis
antara MEP daninfeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknyaMEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh
terhadapinfeksi. Seperti gejala malnutrisi protein disebabkan oleh gangguan
penyerapanprotein, misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronis, kehilangan
proteinsecara tidak normal pada proteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan,
sertakegagalan mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.

Patofisiologi

gizi buruk pada balita adalah anak sulit makan atau anorexia bisa terjadi karena penyakit akibat
defisiensi gizi, psikologik seperti suasana makan, pengaturan makanan dan lingkungan. Rambut
mudah rontok dikarenakan kekurangan protein, vitamin A, vitamin C dan vitamin E. Karena
keempat elemen ini merupakan nutrisi yang penting bagi rambut. Pasien juga mengalami rabun
senja. Rabun senja terjadi karena defisiensi vitamin A dan protein. Pada retina ada sel batang dan
sel kerucut. Sel batang lebih hanya bisa membedakan cahaya terang dan gelap. Sel batang atau
rodopsin ini terbentuk dari vitamin A dan suatu protein. Jika cahaya terang mengenai sel
rodopsin, maka sel tersebut akan terurai. Sel tersebut akan mengumpul lagi pada cahaya yang
gelap. Inilah yang disebut adaptasi rodopsin. Adaptasi ini butuh waktu. Jadi, rabun senja terjadi
karena kegagalan atau kemunduran adaptasi rodopsin.

Turgor atau elastisitas kulit jelek karena sel kekurangan air (dehidrasi). Reflek patella negatif
terjadi karena kekurangan aktin myosin pada tendon patella dan degenerasi saraf motorik akibat
dari kekurangn protein, Cu dan Mg seperti gangguan neurotransmitter. Sedangkan, hepatomegali
terjadi karena kekurangan protein. Jika terjadi kekurangan protein, maka terjadi penurunan
pembentukan lipoprotein. Hal ini membuat penurunan HDL dan LDL. Karena penurunan HDL
dan LDL, maka lemak yang ada di hepar sulit ditransport ke jaringan-jaringan, pada akhirnya
penumpukan lemak di hepar.

Tanda khas pada penderita kwashiorkor adalah pitting edema. Pitting edema adalah edema yang
jika ditekan, sulit kembali seperti semula. Pitting edema disebabkan oleh kurangnya protein,
sehingga tekanan onkotik intravaskular menurun. Jika hal ini terjadi, maka terjadi ekstravasasi
plasma ke intertisial. Plasma masuk ke intertisial, tidak ke intrasel, karena pada penderita
kwashiorkor tidak ada kompensansi dari ginjal untuk reabsorpsi natrium. Padahal natrium
berfungsi menjaga keseimbangan cairan tubuh. Pada penderita kwashiorkor, selain defisiensi
protein juga defisiensi multinutrien. Ketika ditekan, maka plasma pada intertisial lari ke daerah
sekitarnya karena tidak terfiksasi oleh membran sel dan mengembalikannya membutuhkan waktu
yang lama karena posisi sel yang rapat. Edema biasanya terjadi pada ekstremitas bawah karena
pengaruh gaya gravitasi, tekanan hidrostatik dan onkotik.

Sedangkan menurut Nelson (2007), penyebab utama marasmus adalah kurang kalori protein yang
dapat terjadi karena : diet yang tidak cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat seperti hubungan
orang tua dengan anak terganggu, karena kelainan metabolik atau malformasi kongenital.
Keadaan ini merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit
infeksi. Selain faktor lingkungan ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri yang dibawa
sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis besar sebab-sebab
marasmus adalah sebagai berikut :
a. Masukan makanan yang kurang, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang
dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya pemakaian secara luas susu
kaleng yang terlalu encer.

b. Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral misalnya infantil
gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephiritis dan sifilis kongenital.

c. Kelainan struktur bawaan misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschpurng,


deformitas palatum, palatoschizis, mocrognathia, stenosis pilorus. Hiatus hernia, hidrosefalus,
cystic fibrosis pankreas

d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus. Pada keadaan tersebut pemberian ASI kurang
akibat reflek mengisap yang kurang kuat Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian
makanan tambahan yang cukup

f. Gangguan metabolik, misalnya renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose


intolerance

g. Tumor hypothalamus, kejadian ini jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab
maramus yang lain disingkirkan

h. Penyapihan yang terlalu dini desertai dengan pemberian makanan tambahan yang kurang akan
menimbulkan marasmus

i. Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,


meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan kemudian
diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari tidak mampu
membeli susu, dan bila disertai infeksi berulang terutama gastroenteritis akan menyebabkan anak
jatuh dalam marasmus

Dampak Gizi Buruk

Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini
juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat
diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena berberbagai
disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah kedinginan) karena
jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan
kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up
dengan baik akibatnya anak tidak dapat ”catch up” dan mengejar ketinggalannya maka dalam
jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak, akibat kondisi
”stunting” (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan perkembangan anak pun
terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan otak tergantung dangan derajat
beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak
ini menjadi patal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak
adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain.
Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn
kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa
percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi anak.

Faktor Penyebab Gizi Buruk

Ada 2 faktor penyebab dari gizi buruk adalah sebagai berikut :


1. Penyebab Langsung. Kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita
penyakit infeksi, cacat bawaan dan menderita penyakit kanker. Anak yang mendapat makanan
cukup baik tetapi sering diserang atau demam akhirnya menderita kurang gizi.

2. Penyebab tidak langsung, ketersediaan Pangan rumah tangga, perilaku, pelayanan kesehatan.
Sedangkan faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama gizi
buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan kesempatan kerja. Oleh
karena itu untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan kerjasama lintas sektor Ketahanan pangan
adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya
dalam jumlah yang cukup baik maupun gizinya (Dinkes SU, 2006).

Secara garis besar gizi buruk disebabkan oleh karena asupan makanan yang kurang atau anak
sering sakit, atau terkena infeksi. Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup salah mendapat makanan
bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya
lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi malnutrisi sendiri akan
memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan terjadinya infeksi
(Nency, 2005)
Kekurangan gizi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi ensensial, yang
bisa disebabkan oleh: asupan yang kurang karena makanan yang jelek atau penyerapan yang
buruk dari usus (malabsorbsi), penggunaan berlebihan dari zat-zat gizi oleh tubuh, dan
kehilangan zat-zat gizi yang abnormal melalui diare, pendarahan, gagal ginjal atau keringat yang
berlebihan. (Nurcahyo, 2008).
Tata Laksana Utama Balita Gizi Buruk di Rumah Sakit
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase transisi dan fase
rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap
fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-
kwarshiorkor.
Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga ia mampu
menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini dapat berlangsung
singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk
menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang
diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu
rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan
makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk anak di atas 1
tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan
biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan keenceran 1/3, 2/3,
dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan energi ditambahkan 5%
glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat pipa (per-sonde)
(RSCM, 2003).
2.2.2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara berangsur, tiap 1-2 hari,
pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari
dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
2.2.3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh makanan biasa yang
bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan penyuluhan kesehatan dan
gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai
dengan kemampuan daya belinya. Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau 100.000 SI secara
intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg
berat badan dan dosis maksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zat besi (Fe) dan asam folat
diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.

Komplikasi Penyakit
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan mineral. Karena begitu
banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ
tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada
semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna,
otot dan tulang, hati, pancreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal.
Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena kurangnya
asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi
adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem
hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, Growht hormon (hormon
pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi tiroid menurun. Hormon-
hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan
kematian (Sadewa, 2008).
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP, khususnya pada KEP berat.
Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, adalah sekitar
55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, radang paru,
infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena
pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi
infeksi atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam
jiwa (Nelson, 2007).
2.4. Perubahan Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada setiap kesempatan
memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil
peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, antara lain tulang, otot, lemak,
cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja,
pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah,
mudah dan tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik
untuk
2.3. Komplikasi Penyakit
Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan mineral. Karena begitu
banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu dan begitu luasnya fungsi dan organ
tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya sangat banyak. Pengaruh KEP bisa terjadi pada
semua organ sistem tubuh. Beberapa organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna,
otot dan tulang, hati, pancreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal.
Anemia gizi adalah kurangnya kadar Hemoglobin pada anak yang disebabkan karena kurangnya
asupan zat Besi (Fe) atau asam Folat. Gejala yang bisa terjadi
adalah anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem
hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, Growht hormon (hormon
pertumbuhan) Thyroid Stimulating Hormon meninggi tetapi fungsi tiroid menurun. Hormon-
hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan tersering mengakibatkan
kematian (Sadewa, 2008).
Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita KEP, khususnya pada KEP berat.
Beberapa penelitian menunjukkan pada KEP berat resiko kematian cukup besar, adalah sekitar
55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit infeksi (seperti Tuberculosis, radang paru,
infeksi saluran cerna) atau karena gangguan jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena
pada KEP sering mengalami gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi
infeksi atau bila terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam
jiwa (Nelson, 2007).
2.4. Perubahan Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang terpenting, dipakai pada setiap kesempatan
memeriksa kesehatan anak pada semua kelompok umur. Berat badan merupakan hasil
peningkatan/penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, antara lain tulang, otot, lemak,
cairan tubuh dan lain-lainnya. Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja,
pengukuran objektif dan dapat diulangi, dapat digunakan timbangan apa saja yang relatif murah,
mudah dan tidak memerlukan banyak waktu. Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik
untuk :
1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut, maupun kronis, tumbuh kembang
dan kesehatan

2. Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit

3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan yang perlu diberikan.

Penilaian status gizi secara Antropometri


Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung.
Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian adalah antropometri, klinis,
biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga
adalah survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
Penilaian secara langsung
1) Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan
komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Beberapa indeks
antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan
menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)

Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan
normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan gizi terjamin.
Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan keadaan yang
mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi. BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang. Berat badan yang bersifat
labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Current
Nutritional Status)
b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)

Indeks TB/U disamping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya
dengan status ekonomi (Beaton dan Bengoa (1973) dalam.
c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal,
perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan
Penilaian Secara Tidak Langsung
1. survei konsumsi makanan,

2. statistik vital dan

3. faktor ekologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennet N J. Bronchopneumonia. Available at: emedicine.medscape.com/article/ 967822-
overview#a2. Accessed on 18 Agustus 2016. Updated on 30 Juni 2016
2. Cruz NV, Mahmoud SA, Chen H, Lowery-Nordberg M, Berlin K, Bahna SL. Follow up
study of immune defects in patients with dysmorphic disorders. Ann Allergy Asthma
Immunol 2009; 102:426–31. 

3. Weir K, McMahon S, Barry L, Ware R, Masters IB, Chang AB. Oropharyngeal
aspiration and pneumonia in children. Pediatr Pulmonol 2007; 42:1024–31.
4. Mahabee-Gittens EM, Grupp-Phelan J, Brody AS, Donnelly LF, Bracey SE, Duma EM,
et al. Identifying children with pneumonia in the emergency department. Clin Pediatr
(Phila). 2005 Jun. 44(5):427-35.
5. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et al. The management of community-acquired
pneumonia in infants and children older than 3 months of age: clinical practice
guidelines by the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society
of america. Clin Infect Dis. 2011 Oct. 53(7):e25-76
6. Centers for Disease Control and Prevention. Immunization of health-care personnel:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recomm Rep. 2011;60(RR-7):1–42
7. Centers for Disease Control and Prevention. General recommendations on
immunization. Recommendations of the Advisory Committee Immunization
Practices. MMWR Recomm Rep. 2011;60(RR-02):1–64
8. Direktorat bina gizi. Buku bagan tatalaksana anak gizi buruk. Taken on 16 Oktober
2016. Available from [http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/BUKU-
GIZI-BURUK-I-2011.pdf]
9. Garna, herry, dkk. 2005. Pedoman diagnosis dan terapi. Bandung : UNPAD
10. Hegar, badriul. 2010. Pedoman pelayanan medis. Jakarta : IDAI.
11. Chandra. Bronkopneumonia. Available at www.scribd.com/doc/46439973/Lapkas-BP-
chandra
12. Aditama Tjandra, 2013. PETUNJUN TEKNIS TB ANAK. Kementerian Kesehatan RI,
Jakarta.
13. Direktorat bina gizi. Buku bagan tatalaksana anak gizi buruk. Taken on 16 Oktober
2016. Available from [http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/BUKU-
GIZI-BURUK-I-2011.pdf]
14. American Academy of Pediatrics, Committee on Infectious Diseases.Recommendation
for mandatory influenza immunization of all health care
personnel. Pediatrics. 2011;128(4):813–825.
15. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.
16. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi 3rd Ed :
Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 8
17. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman, Diagnosis dan pedoman
penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta: Indah Offset Citra Grafika 2006. Hal. 14
18. Centers for Disease Control and Prevention. Immunization of health-care personnel:
recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices
(ACIP). MMWR Recomm Rep. 2011;60(RR-7):1–42
19. Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
20. Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia Dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi 3rd Ed :
Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 8

Вам также может понравиться