Вы находитесь на странице: 1из 2

Menyoal Keindahan: Nilai dan Paradigma

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keindahan diartikan sebagai keadaan yang enak
dipandang, cantik, bagus benar atau elok. Keindahan dipelajari sebagai bagian dari estetika yang
mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan
rasa. Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu
karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian
terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan
menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti
kemampuan memadukan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda.

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan
tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh
pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty,
suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan, dan the ugly, suatu
karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya
dinilai buruk. Worldview, semacam ini sangat bermasalah, sebab pengalaman “keindahan” sering
melibatkan penafsiran beberapa entitas yang seimbang dan selaras dengan alam, yang dapat
menyebabkan perasaan daya tarik dan ketenteraman emosional. Karena ini adalah pengalaman
subyektif, sering dikatakan bahwa beauty is in the eye of the beholder atau "keindahan itu berada
pada mata yang melihatnya."

Pengalaman subjektif, bisa dilihat hubungannya antara manusia dengan dunia—bagaimana


manusia memandang dunia. Pandangan ini bisa berupa kontruksi dunia atas manusia, atau
manusia berjarak pada dunia dan menjadikannya objek, sebagaimana yang manusia ingin
lakukakan padanya. Kalau kita merujuk pada pandangan Budhisme, yang keseluruhan ajarannya
membahas tentang hukum kebenaran mutlak yang disebut Dhamma, berarti kesunyatan mutlak
atau hukum abadi yang mengandaikan bahwa Dhamma tidak hanya terdapat dalam lubuk hati
sanubari ataupun pikiran manusia saja, tetapi juga terdapat di seluruh alam semesta. Manusia
bukan sebagai satu-satunya subjek—antroposentris, melainkan dunia juga adalah subjek bagi
kebenaran. Lain lagi dalam pandangan eksistensialis, menurut mereka “dunia tanpa manusia
tidak ada”, dalam pandangan ini, keduaan dalam kesatuan dunia menjadi kabur. Keotonomian
dunia tidak terungkap dan tidak diakui, sebab dunia yang belum disentuh tak kita kenal. Dengan
dua corak pandangan ini, menunjukkan bahwa hubungan manusia memahami dunia dipengaruhi
bagaimana manusia menghayati dunia. Problemnya adalah, cara manusia menghayati dunia ini
berimplikasi pada bagaimana manusia memeperlakukan kehidupannya. Artinya, penilaian
seseorang atas keindahan sesuatu, selalu saja dipengaruhi oleh budaya yang didalamnya terdapat
relasi kesaling pengaruhan antar unsur budaya; agama, sains, bahasa, dll..
Keindahan dan pesona umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik,
video atau film yang menggumpal dalam yang disebut sains, misalnya, ketika Museum of
American History diminta mengadakan pameran tentang perkembangan sains di Amerika, para
penyandang dananya sebetulnya berharap melihat kecanggihan pencapaian-pencapaian mutakhir
di bidang sains. Namun ternyata yang mereka dapatkan pada katalog adalah persis kebalikannya:
deretan bencana akibat kiprah dunia ilmu dan teknologi, yaitu perusakan lingkungan yang parah,
senjata pemusnah masal, peracunan makanan oleh berbagai zat kimia, robotisasi industri yang
mengancam para buruh pabrik, ketidakadilan sosial, berbagai eksperimen tak bermoral, dll.

Di lain kesempatan, Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya,
atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi. Ia bermain dengan ambang batas daya
toleransi kejiwaan dan kebertubuhan, Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail
besar, misalnya, serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas dan keras. Ahli
bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi
menjadi berbagai patung tubuh.Yang agaknya bagi beberapa kalangan, hal-hal serupa di atas
adalah pertunjukan keindahan, dan sebagian yang lain, ini adalah tidak ada indahnya sama sekali.

Ini menghantarkan kita pada pergeseran atas nilai keindahan, bila pada mulanya keindahan
adalah suatu hal yang elok dan enak dipandang, yang biasanya pada sejarah seni lukis
Impresionisme, beranggapan bahwa keindahan lukisan adalah ketika ia benar-benar
merepresentasikan alam sebagaimana adanya, menampakkan keindahan yang dapat memberikan
kesejukan.

Akhirnya, penulis berkesimpulan bahwa, bagaimanapun keindahan yang dihayati, ditanyakan,


dibicarakan diselidiki dan dibahas dalam bermacam-macam ilmu selalu mengandaikan kehadiran
manusia yang menghayatinya, yang bertanya, yang membicarakan dan membahasnya.
Keindahan adalah selalu keindahan bagi manusia. Dan dengan melihat pertujukan-pertunjukkan
keindahan sebagaimana yang telah diaparkan di atas, telah membawa pada apa yang disebut
“indah” atau “tak indah”, kini telah terganti pada “bermakna” atau “tak bermakna”, sebab
kebermaknaan tidak terikat pada atribut indah atau tak indah.

Вам также может понравиться