Вы находитесь на странице: 1из 7

PENGARUH GAYA HIDUP DENGAN DEMENSIA

Satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang mengalami peningkatan


prevalensi dan insidensi setiap tahun adalah demensia. Secara global, jumlah total
penderita demensia pada 2010 diperkirakan mencapai 35,6 juta dan diproyeksikan
meningkat sebanyak dua kali lipat setiap 20 tahun menjadi 65,7 juta pada 2030 dan
115,4 juta pada 2050. Prevalensi demensia di Indonesia sendiri belum diketahui
karena belum ada pendataan yang baik terhadap kasus ini. Jumlah total kasus baru
demensia secara global adalah 7,7 juta setiap tahun dimana hal ini berarti terdapat
satu kasus baru setiap empat detik. Peningkatan ini menjadi masalah sekaligus
beban karena demensia menyebabkan disabilitas di antara orang-orang lanjut usia
dan kebergantungan terhadap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga dan
pengasuh.

Demensia merupakan sindrom akibat penyakit pada otak yang bersifat kronik atau
progresif dimana terdapat gangguan fungsi kognitif multipel berupa daya ingat, daya
pikir, daya tangkap, kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, bahasa, dan daya nilai.
Pada umumnya, gangguan kognitif disertai dengan kemunduran dalam kontrol
emosi, perilaku sosial, dan motivasi. Berdasarkan etiologinya, demensia
diklasifikasikan menjadi demensia pada penyakit Alzheimer, demensia vaskular
(demensia multiinfark), demensia pada penyakit Pick (sapi gila), demensia pada
penyakit Creufield-Jacob, demensia pada penyakit Huntington, demensia pada
penyakit Parkinson, dan demensia pada HIV/AIDS. Demensia pada penyakit
Alzheimer memiliki prevalensi tertinggi sebesar 50-60% yang disusul oleh demensia
vaskular sebesar 20-30%.

Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III),


kriteria utama mendiagnosis demensia adalah bukti adanya penurunan kemampuan
baik daya ingat maupun daya pikir sehingga mengganggu aktivitas harian
seseorang. Kriteria lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya gangguan
kesadaran. Gejala dini biasanya berupa kesulitan mempelajari informasi baru dan
mudah lupa akan kejadian yang baru dialami. Pada keadaan lanjut, gangguan
kognitif semakin kompleks disertai gangguan perilaku, yaitu disorientasi waktu dan
tempat, sulit melakukan aktivitas harian, tidak mampu membuat keputusan, sulit
berbahasa, kehilangan motivasi dan inisiatif, gangguan pengendalian emosi,
gangguan daya nilai sosial, serta berbagai perubahan perilaku dan psikologis lain
(agresif-impulsif, halusinasi, delusi). Gejala muncul setidak-tidaknya enam bulan
untuk menegakkan diagnosis demensia.

Studi komprehensif dari The Lancet Commission on Dementia Prevention,


Intervention, and Care(LCDPIC) melaporkan sembilan faktor gaya hidup yang dapat
dimodifikasi sebagai risiko kejadian demensia, antara lain:
1. Tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan kurang dari 11-12 tahun
memengaruhi sedikitnya simpanan kognitif seseorang.

2. Penurunan pendengaran. Usia lanjut dan kelainan mikrovaskular meningkatkan


risiko demensia dan gangguan pendengaran perifer sehingga kemungkinan kedua
hal tersebut berhubungan. Gangguan pendengaran perifer mungkin menyebabkan
penurunan simpanan kognitif, keterpisahan sosial, atau depresi dimana semuanya
berkontribusi dalam mempercepat penurunan fungsi kognitif.

3. Kurang aktivitas fisik. Olahraga diperkirakan memiliki efek neuroprotektif melalui


pelepasan brain-derived neurotrophic factor (BDNF), menurunkan kortisol, dan
menurunkan risiko vaskular. Akan tetapi, olahraga saja tidak meningkatkan kognitif
pasien lanjut usia.
4. Diabetes dan hipertensi. Kerusakan vaskular otak akibat diabetes dan hipertensi
dapat menyebabkan atrofi dan neurodegenerasi. Selain itu, inflamasi dan stres
oksidatif dihubungkan dengan penumpukan amiloid β.

5. Obesitas. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin dan peningkatan kadar


insulin perifer. Kelainan pada insulin perifer dapat menurunkan produksi insulin di
otak sehingga mengganggu bersihan amiloid.

6. Merokok. Merokok berhubungan dengan kelainan kardiovaskular dan produksi


neurotoksin yang keduanya mungkin berpengaruh terhadap penurunan kognitif.

7. Depresi. Depresi meningkatkan risiko demensia karena memengaruhi hormon


stres, faktor pertumbuhan neuron, dan volume hipokampus.

8. Isolasi sosial. Isolasi sosial meningkatkan risiko hipertensi dan depresi dimana
kedua hal ini merupakan faktor risiko demensia sendiri. Oleh karena itu, orang lanjut
usia perlu terlibat dalam kontak sosial.
Mengubah berbagai gaya hidup yang menjadi faktor risiko dapat mencegah
sepertiga angka kejadian demensia. Berdasarkan The Finnish Geriatric Intervention
Study to Prevent Cognitive Impairment and Disability (FINGER), digunakan empat
strategi pencegahan demensia berbasis gaya hidup, yaitu diet, olahraga, latihan
kognitif, dan manajemen vaskular. Diet MIND (Mediterranean-DASH Intervention for
Neurodegenerative Delay) diteliti dapat menurunkan risiko demensia dimana diet ini
menekankan peningkatan konsumsi buah, sayur, ikan, minyak zaitun, anggur merah
serta pembatasan konsumsi garam. Olahraga dilakukan secara teratur sesuai
dengan kapasitas tiap individu. Latihan kognitif dilakukan untuk menstimulasi
simpanan kognitif otak sehingga diharapkan risiko demensia menurun. Manajemen
vaskular perlu dilakukan secara ketat terhadap seseorang dengan hipertensi,
obesitas, dan diabetes melalui pengobatan rutin yang dimulai sedini mungkin.
Mengetahui berbagai faktor risiko demensia menjadi tahap awal untuk melakukan
perubahan gaya hidup di tengah-tengah masyarakat guna mencegah demensia.
Bagi para penderita demensia, diharapkan pengetahuan ini dapat menjadi sumber
motivasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan dukungan dari orang-orang
sekitar, demensia bukanlah kondisi yang tidak dapat dikendalikan.

Sumber:

1. World Health Organization and Alzheimer’s Disease International. (2012).


Dementia: A Public Health Priority.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. (2012). Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri.

3. Livingston G, Sommerlad A, Orgeta V, Costafreda SG, Huntley J, Ames D, et al.


(2017). Dementia prevention, intervention, and care. Lancet; 390: 2673–734.

4. Hughes S. (2017). One Third of Dementia May Be Preventable With Lifestyle


Change [internet]. Diunduh dari https://www.medscape.com/viewarticle/883211.
Diakses 22 Desember 2017.

5. Morris MC, Tangney CC, Wang Y, Sacks FM, Barnes LL, Bennett DA, et al.
(2015). MIND diet slows cognitive decline with aging. Alzheimers Dement; 11(9):
1015–22.
6. Morris MC, Tangney CC, Wang Y, Sacks FM, Bennett DA, Aggarwal NT. (2015).
MIND diet associated with reduced incidence of alzheimer’s disease. Alzheimers
Dement; 11(9): 1007–14.

Satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang mengalami peningkatan


prevalensi dan insidensi setiap tahun adalah demensia. Secara global, jumlah total
penderita demensia pada 2010 diperkirakan mencapai 35,6 juta dan diproyeksikan
meningkat sebanyak dua kali lipat setiap 20 tahun menjadi 65,7 juta pada 2030 dan
115,4 juta pada 2050. Prevalensi demensia di Indonesia sendiri belum diketahui
karena belum ada pendataan yang baik terhadap kasus ini. Jumlah total kasus baru
demensia secara global adalah 7,7 juta setiap tahun dimana hal ini berarti terdapat
satu kasus baru setiap empat detik. Peningkatan ini menjadi masalah sekaligus
beban karena demensia menyebabkan disabilitas di antara orang-orang lanjut usia
dan kebergantungan terhadap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga dan
pengasuh.

Demensia merupakan sindrom akibat penyakit pada otak yang bersifat kronik atau
progresif dimana terdapat gangguan fungsi kognitif multipel berupa daya ingat, daya
pikir, daya tangkap, kemampuan belajar, orientasi, kalkulasi, bahasa, dan daya nilai.
Pada umumnya, gangguan kognitif disertai dengan kemunduran dalam kontrol
emosi, perilaku sosial, dan motivasi. Berdasarkan etiologinya, demensia
diklasifikasikan menjadi demensia pada penyakit Alzheimer, demensia vaskular
(demensia multiinfark), demensia pada penyakit Pick (sapi gila), demensia pada
penyakit Creufield-Jacob, demensia pada penyakit Huntington, demensia pada
penyakit Parkinson, dan demensia pada HIV/AIDS. Demensia pada penyakit
Alzheimer memiliki prevalensi tertinggi sebesar 50-60% yang disusul oleh demensia
vaskular sebesar 20-30%.

Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-III),


kriteria utama mendiagnosis demensia adalah bukti adanya penurunan kemampuan
baik daya ingat maupun daya pikir sehingga mengganggu aktivitas harian
seseorang. Kriteria lain yang harus dipenuhi adalah tidak adanya gangguan
kesadaran. Gejala dini biasanya berupa kesulitan mempelajari informasi baru dan
mudah lupa akan kejadian yang baru dialami. Pada keadaan lanjut, gangguan
kognitif semakin kompleks disertai gangguan perilaku, yaitu disorientasi waktu dan
tempat, sulit melakukan aktivitas harian, tidak mampu membuat keputusan, sulit
berbahasa, kehilangan motivasi dan inisiatif, gangguan pengendalian emosi,
gangguan daya nilai sosial, serta berbagai perubahan perilaku dan psikologis lain
(agresif-impulsif, halusinasi, delusi). Gejala muncul setidak-tidaknya enam bulan
untuk menegakkan diagnosis demensia.

Studi komprehensif dari The Lancet Commission on Dementia Prevention,


Intervention, and Care(LCDPIC) melaporkan sembilan faktor gaya hidup yang dapat
dimodifikasi sebagai risiko kejadian demensia, antara lain:
1. Tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan kurang dari 11-12 tahun
memengaruhi sedikitnya simpanan kognitif seseorang.

2. Penurunan pendengaran. Usia lanjut dan kelainan mikrovaskular meningkatkan


risiko demensia dan gangguan pendengaran perifer sehingga kemungkinan kedua
hal tersebut berhubungan. Gangguan pendengaran perifer mungkin menyebabkan
penurunan simpanan kognitif, keterpisahan sosial, atau depresi dimana semuanya
berkontribusi dalam mempercepat penurunan fungsi kognitif.

3. Kurang aktivitas fisik. Olahraga diperkirakan memiliki efek neuroprotektif melalui


pelepasan brain-derived neurotrophic factor (BDNF), menurunkan kortisol, dan
menurunkan risiko vaskular. Akan tetapi, olahraga saja tidak meningkatkan kognitif
pasien lanjut usia.
4. Diabetes dan hipertensi. Kerusakan vaskular otak akibat diabetes dan hipertensi
dapat menyebabkan atrofi dan neurodegenerasi. Selain itu, inflamasi dan stres
oksidatif dihubungkan dengan penumpukan amiloid β.

5. Obesitas. Obesitas dapat menyebabkan resistensi insulin dan peningkatan kadar


insulin perifer. Kelainan pada insulin perifer dapat menurunkan produksi insulin di
otak sehingga mengganggu bersihan amiloid.

6. Merokok. Merokok berhubungan dengan kelainan kardiovaskular dan produksi


neurotoksin yang keduanya mungkin berpengaruh terhadap penurunan kognitif.

7. Depresi. Depresi meningkatkan risiko demensia karena memengaruhi hormon


stres, faktor pertumbuhan neuron, dan volume hipokampus.

8. Isolasi sosial. Isolasi sosial meningkatkan risiko hipertensi dan depresi dimana
kedua hal ini merupakan faktor risiko demensia sendiri. Oleh karena itu, orang lanjut
usia perlu terlibat dalam kontak sosial.
Mengubah berbagai gaya hidup yang menjadi faktor risiko dapat mencegah
sepertiga angka kejadian demensia. Berdasarkan The Finnish Geriatric Intervention
Study to Prevent Cognitive Impairment and Disability (FINGER), digunakan empat
strategi pencegahan demensia berbasis gaya hidup, yaitu diet, olahraga, latihan
kognitif, dan manajemen vaskular. Diet MIND (Mediterranean-DASH Intervention for
Neurodegenerative Delay) diteliti dapat menurunkan risiko demensia dimana diet ini
menekankan peningkatan konsumsi buah, sayur, ikan, minyak zaitun, anggur merah
serta pembatasan konsumsi garam. Olahraga dilakukan secara teratur sesuai
dengan kapasitas tiap individu. Latihan kognitif dilakukan untuk menstimulasi
simpanan kognitif otak sehingga diharapkan risiko demensia menurun. Manajemen
vaskular perlu dilakukan secara ketat terhadap seseorang dengan hipertensi,
obesitas, dan diabetes melalui pengobatan rutin yang dimulai sedini mungkin.
Mengetahui berbagai faktor risiko demensia menjadi tahap awal untuk melakukan
perubahan gaya hidup di tengah-tengah masyarakat guna mencegah demensia.
Bagi para penderita demensia, diharapkan pengetahuan ini dapat menjadi sumber
motivasi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dengan dukungan dari orang-orang
sekitar, demensia bukanlah kondisi yang tidak dapat dikendalikan.

Sumber:

1. World Health Organization and Alzheimer’s Disease International. (2012).


Dementia: A Public Health Priority.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. (2012). Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri.

3. Livingston G, Sommerlad A, Orgeta V, Costafreda SG, Huntley J, Ames D, et al.


(2017). Dementia prevention, intervention, and care. Lancet; 390: 2673–734.

4. Hughes S. (2017). One Third of Dementia May Be Preventable With Lifestyle


Change [internet]. Diunduh dari https://www.medscape.com/viewarticle/883211.
Diakses 22 Desember 2017.

5. Morris MC, Tangney CC, Wang Y, Sacks FM, Barnes LL, Bennett DA, et al.
(2015). MIND diet slows cognitive decline with aging. Alzheimers Dement; 11(9):
1015–22.
6. Morris MC, Tangney CC, Wang Y, Sacks FM, Bennett DA, Aggarwal NT. (2015).
MIND diet associated with reduced incidence of alzheimer’s disease. Alzheimers
Dement; 11(9): 1007–14.

Вам также может понравиться