Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta
2.1.1. Definisi
2.1.2. Etiologi
Cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui kontak langsung antar
kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik. Anggapan kedua ialah secara
inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas
seseorang.2
Bila kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada
sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis
kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.4
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah yang
mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan
yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis.
Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel .
Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.4
2
Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme
imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M.
Leprae.2
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih
ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat
simetris.4
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan
kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera
diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah
lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya
asimetris.4
2.1.4. Klasifikasi
3
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu
juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara
Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti
lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun
LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar
(PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan BB pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT
dan BT dengan IB kurang dari 2+.5
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan . Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negetif pada pemeriksaan kerokan
kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley- Jopling. Sedangkan kusta MB
adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya degan
BTA positif , harus diobati dengan rejimen MDT-MB.5
4
Tabel 1. Bagan diagnosis klinis menurut WHO 1995
PB MB
Lesi kulit ( makula datar, 1-5 lesi >5 lesi
papul yang meninggi, Hipopigmentasi/ Distribusi yang simetris
nodus) eritema Hilangnya sensasi
Distribusi yang tidak kurang jelas
simetris
Hilangnya sensasi yang
jelas
Kerusakan saraf Hanya satu cabang Banyak cabang saraf
(menyebabkan hilangnya saraf
sensasi/ kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena).
2.1.5. Diagnosis
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada
tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.
Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap
rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian
terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah
lesi kearah kulit normal. Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.2
5
yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis
posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan saraf biasanya bilateral
dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid , kelainan sarafnya lebih terlokalisasi
mengikut tempat lesinya.5
N. ulnaris o anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
o clawing kelingking dan jari manis
o atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
N. medianus o anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah
o tidak masuk aduksi ibu jari
o clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
o ibu jari kontraktur
o atrofi otot tenar dan otot lumbrikalis lateral
N. radialis o anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari telunjuk
o tangan gantung (wrist drop)
o tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis o anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
o kaki gantung (foot drop)
o kelemahan otot peroneus
o
N. tibialis posterior anestesia telapak kaki
o claw toes
6
o paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. Fasialis o cabang zigomatik dan temporal menyebabkan lagoftalmus
o cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. Trigeminus o anestesia kulit wajah, kornea dan konjugtiva mata
o atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta dapat juga primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya nervus fasialis yang dapat membuat
paralisis N. Orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.
Secarra sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi
granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri ata kelenjar keringat, kelenjar palit dan
folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomestia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena
infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.5
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat berbentuk macula saja,
infiltrate saja, atau bisa keduanya. Sehingga dpat dibuat diangnosis banding dengan
banyak penyakit kulit lainnya yang hamper serupa, sebab penyakit kusta mendapat
julukan the greatest imitator dalam ilmu penyakit kulit. Secara inspeksi penyakit kusta ini
mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat membantu untuk menegakkan diagnosi
penyakit kusta.5
M.Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk
batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran(granular). Bentuk
7
solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk
mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
2. pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah yang
mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak,
dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS.
8
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi sub-epidermal yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik.5
3. pemeriksaan serologic
pemeriksaan ini didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Kegunaan pemeriksaan serologic yaitu dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu juga dapat membantu menentukan kusta sub-klinis, karena tidak
didapati lesi kulit. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta, yaitu: 5
2.2.1. Definisi
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini yang
sebenarnya sangat kronis. Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas.7
Reaksi kusta adalah suatu episode inflamasi akut dari perjalanan penyakit kusta
yang kronis yang secara klinis ditandai dengan reaksi radang akut yang kadang-kadang
disertai gejala sistemik bisa berupa lesi kulit yang membengkak, kemerahan, nyeri, dan
saraf yang membesar, teraba lunak, dan sering disertai gangguan fungsi saraf. Ketika
reaksi imun terjadi secara intensif, maka selanjutnya akan timbul kerusakan jaringan,
sehingga seringkali reaksi diartikan sebagai komplikasi dari pengobatan, padahal reaksi
9
kusta bisa terjadi sebelum, selama dan sesudah pengobatan menggunakan obat antikusta.
Reaksi pada umumnya merupakan reaksi hipersensitivitas akut terhadap antigen basil
yang patogenesisnya masih belum jelas.9
2.2.2. Etiologi
Reaksi kusta terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Penyebab pasti masih belum jelas tetapi faktor pencetus memegang
peran penting dalam terjadinya reaksi kusta.1
Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan imunitas yang
diperantarai oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe 2 atau eritema
nodosum leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral. Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, namun lebih sering selama atau setelah pengobatan.8
2.2.3. Patofisiologi
Patofisiologi pada reaksi kusta belum jelas, terminologi dan klasifikasi masih
bermacam-macam sehingga akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat
menguntungkan, tetapi dapat juga merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan
reaksi kusta ini tergolong didalamnya.5
2.2.4. Klasifikasi
Ada perbedaan tipe episode akut pada bentuk kusta yang berbeda. Sampai saat ini secara
umum dikenal ada 2 macam tipe reaksi kusta, yaitu :
a. Reaksi kusta tipe 1 (reaksi reversal dan downgrading) Reaksi ini timbul pada
penderita tipe borderline dan sekitar 30% individu dengan kusta borderline beresiko
mengalami reaksi tipe I. Biasanya terjadi pada tipe BT dan BL dengan bentuk
upgrading (reversal) dan downgrading. Pada reaksi tipe ini, yang memegang peranan
adalah imunitas seluler.
b. Reaksi kusta tipe 2 (Eritema Nodusum Leprosum/ENL) Reaksi ini terjadi pada sekitar
50% penderita kusta lepromatosa dan sekitar 10% kasus kusta tipe borderline
lepromatosa. Semakin besar infiltrasi kulit dan semakin b tingginya indeks bakteri
10
(BI), semakin besar resiko terjadinya reaksi tipe 2. Reaksi ini merupakan suatu
kelainan sistemik yang mempengaruhi banyak sistem organ. Onsetnya akut, tetapi
bisa masuk ke tahap kronis dan berulang. Pada reaksi tipe ini yang berperan adalah
imunitas humoral.
2.2.5. Diagnosis
1. Reaksi tipe I
Reaksi tipe 1 ditandai oleh gambaran inflamasi akut di lesi kulit atau saraf atau
keduanya. Lesi kulit menjadi inflamasi dan edema secara akut dan bisa berulserasi.
Edema tangan, kaki dan wajah juga bisa merupakan gambaran reaksi, tetapi simtom
sistemik jarang ada. Reaksi tipe I dapat terjadi kapanpun tetapi seringkali tampak
setelah mulainya terapi antikusta (MDT).10
Lesi kulit menjadi bengkak dan meninggi, makula menjadi plak atau tepinya
menjadi meninggi. Pada individu dengan kulit yang lebih terang lesi tampak agak
merah. Biasanya lesi menjadi lebih eritematus dibanding reaksi kulit yang telah ada,
kadang keunguan atau pada kulit putih menjadi coklat tembaga. Kadang-kadang
didapatkan edema dan kepucatan. Tepinya menjadi lebih jelas dibandingkan
sebelumnya sehingga lesi menonjol dan berbatas tegas dari kulit normal di
sekelilingnya. Lesi sering bersifat sensitif, bahkan terasa nyeri dan bisa disertai
munculnya lesi baru. Biasanya menyerupai lesi sebelumnya, namun terkadang sangat
banyak dengan ukuran yang kecil sehingga secara klinis membingungkan.11
Jika terjadi reaksi berat, lesi kulit dapat mengalami deskuamasi atau bahkan
ulserasi. Ulserasi biasanya bersifat superfisial dan dapat sembuh secara cepat dangan
terapi antiinflamasi. Saat reaksi mulai menurun, kulit menjadi kering dan bersisik,
meninggalkan permukaan hipopigmentasi yang berkerut. Jika reaksi semakin parah
atau berkepanjangan, dapat menyebabkan timbulnya sikatrik. Jika tidak diterapi,
reaksi tipe 1 cenderung berlangsung beberapa bulan atau tahun, dan dapat terjadi
relaps. Bahkan dengan pengobatan, potensi terjadinya reaksi berulang dapat terjadi.11
11
Neuritis adalah bagian paling penting dari reaksi tipe 1 yang mana jika tidak
diterapi secara cepat dan adekuat menyebabkan hilangnya fungsi saraf permanen yang
menyebabkan neuropati saraf perifer dan motorik. Neuritis dapat terjadi bersamaaan
dengan perubahan kulit atau berdiri sendiri, yang mencerminkan hipersensitifitas
terhadap antigen yang berbeda dari M. leprae. Neuritis secara klasik tampak berupa
pembesaran ringan saraf pada perabaan di tempat-tempat predileksi. Kadangkala saraf
membengkak secara nyata, misalnya saraf ulnaris menjadi berdiameter 2-3 cm.12
Hilangnya fungsi dapat ditandai dengan paralisis yang mendadak dari otot-otot
tangan dan kaki, wrist drop, foot drop atau lagophthalmus. Anestesi berkembang
cepat pada distribusi saraf yang terkena. Nyeri saraf dapat menyebabkan pasien
sangat menderita dan kurang tidur. Pada pasien lain neuritis kurang begitu dramatis.
Tenderness sangat ringan, atau bahkan tidak ada tenderness sama sekali pada palpasi
saraf, akan tetapi didapatkan peningkatan area anestesi atau kelemahan otot yang
disuplai oleh saraf tersebut, dan hal ini dapat dideteksi jika pasien diperiksa ulang
dengan sangat teliti.12
Reaksi yang berat dapat disertai dengan penyakit sistemik, yang ditandai dengan
demam ringan, malaise dan anoreksia. Kadang bisa timbul lesi baru dan bisa disertai
edema pada tangan, kaki, dan wajah dari ringan hingga berat dan reaksi berlangsung
lebih dari enam pekan.12
12
Gambar 1a dan 1b. Gambaran klinis pasien dengan reaksi kusta tipe 1 (dikutip sesuai
kepustakaan no. 12)
2. Reaksi tipe 2
Reaksi tipe 2 juga dikenal sebagai reaksi kusta lepromatosa dan eritema nodosum
leprosum (ENL). Lesi kulit ENL adalah salah satu dari manifestasi reaksi, mungkin
yang paling sering ditemukan, tetapi bukan yang paling penting.10
ENL dapat muncul pada berbagai tempat dimana didapatkan infiltrat lepromatosa,
meskipun secara klinis hal ini tidak terlihat. Lesi ENL paling sering terjadi pada
wajah dan permukaan ekstensor lengan, serta pada badan. Paling sering tampak
sebagai papula kecil, 2-5 mm, atau nodul merah muda terang, merah atau coklat
yang nyeri dan tenderness, hangat pada perabaan, menghilang dengan penekanan
yang ringan dan segera timbul kembali setelah tekanan dilepas. Lesi dapat superfisial
dan menonjol jelas di kulit, atau terletak lebih dalam sehingga lebih jelas pada
perabaan dan berbentuk kubah dengan batas tidak jelas, berwarna merah muda,
merah atau coklat gelap.12
13
Jika reaksi berat, lesi kulit bisa memberikan gambaran vesikel, bula, pustulasi dan
ulserasi. Lesi cenderung nampak berkumpul, dan dapat muncul lesi baru ketika lesi
lama berkurang selama perjalanan beberapa hari. Lesi yang mengalami resolusi
terlihat berwarna kecoklatan atau keunguan. Lesi cenderung terjadi pada tempat yang
sama, dan jika tidak sembuh total, dapat menyebabkan panniculitis kronis yang dapat
menetap berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Jaringan subkutan yang terkena dapat
menyebabkan penarikan dan fiksasi sendi yang menyebabkan hilangnya fungsi.12
Reaksi tipe 2 juga sering menyebabkan neuritis. Pada reaksi yang berat saraf
dapat menjadi nyeri dan kehilangan fungsi dengan cepat. Tetapi seringkali neuritis
yang terjadi tidak separah dibanding tipe 1. Saraf yang terkena tenderness dan sedikit
membesar.12
Reaksi tipe 2 dapat terjadi pada pasien yang belum diterapi sebelumnya. Faktor-
faktor lain yang terkait dengan onset serangan reaksi tipe 2 antara lain meliputi
kehamilan, pubertas, penyakit tersembunyi, vaksinasi, dan stres psikologi. Onset
kerusakan saraf sering terjadi lebih awal pada pasien kusta dengan kehamilan dan
menyusui dan terdapat bukti yang mengatakan bahwa kehamilan memicu infeksi atau
kekambuhan dari penyakit kusta.11
Gamba 2a dan 2b. Gambaran klinis pasien dengan reaksi kusta tipe 2 (dikutip sesuai
kepustakaan no. 12)
14
2.2.5.2. Pemeriksaan penunjang
Pada reaksi tipe 1 awal, sulit dibedakan apakah penderita dalam keadaan
upgrading atau downgrading sehingga diperlukan pemeriksaan serial. Gambaran
khasnya adalah adanya edema didalam dan sekitar granuloma dan proliferasi fibrosit
di dermis. Pada reaksi upgrading, granuloma menjadi lebih epiteloid dan teraktivasi,
dan sel Langhans menjadi lebih besar, bisa juga terdapat erosi granuloma ke dalam
epidermis bagian bawah dan bisa terdapat nekrosis fibrinoid didalam granuloma
bahkan pada saraf dermal. Nekrosis fibrinoid ini menunjukkan reaksi upgrading yang
kuat kearah tuberkuloid dan pada keadaan tersebut bisa dijumpai fibrosis. Pada reaksi
downgrading, lebih sedikit dijumpai, sedangkan densitas kuman meningkat. Pada
reaksi tipe 1 juga didapatkan gambaran diferensiasi makrofag ke arah peningkatan sel
epiteloid dan terjadi formasi sel raksasa Langhans.13
15
2.2.6. Diagnosis banding
Timbulnya reaksi tipe 2 (ENL) menyebabkan nodul inflamasi yang akut. Nodul
yang lunak dan akut yang terjadi pada ENL berasal dari infiltrasi lemak di dermal dan
subkutaneus. Reaksi tipe 2 (ENL) harus dibedakan dengan vaskulitis nodular, eritema
nodosum pada sarcoidosis, erysipelas, prurigo nodularis, folikulitis, sporotrikhosis,
erupsi obat dan pyoderma gangrenosum.10
2.2.7. Penatalaksanaan
Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, maka semua obat antikusta
dosis penuh harus tetap diberikan, dengan tujuan membunuh kuman agar penyakit
16
tidak meluas, mencegah timbulnya resistensi dan untuk menghindari timbulnya
reaksi pada waktu obat antikusta diberikan kembali.10
Secara umum stres fisik atau emosional kadang-kadang muncul dan memicu
terjadinya episode reaktif sehingga sebisa mungkin stres harus dihilangkan
dan memperbanyak istirahat. Terapi antikusta selalu dilanjutkan. Untuk itu
kita perlu menerangkan kepada pasien mengenai penyakitnya dan emungkinan
penyebab, perjalanan penyakit, jenis dan cara pengobatan yang benar. Nyeri
ringan sampai sedang, atralgia, dan demam biasanya dapat diatasi dengan
analgesik seperti aspirin, diberikan sesuai kebutuhan beberapa kali per hari.
Kadang-kadang sedatif juga dapat berguna. Klorokuin/ hidroksiklorokuin
bisa digunakan untuk reaksi yang ringan dimana tidak terjadi neuritis dan
penurunan fungsi saraf dan hanya meliputi lesi kulit, tetapi kortikosteroid
diindikasikan untuk episode yang lebih berat.10
17
Pada dasarnya dosis awal yang digunakan adalah dosis yang dapat menekan
dengan cepat inflamasi kulit dan saraf. Setelah tampak perbaikan lesi kulit dan
fungsi saraf, dosis diturunkan secara bertahap sampai dicapai dosis
pemeliharaan yang dapat menekan inflamasi dan dipertahankan sampai reaksi
mulai reda dan pada akhirnya dapat dihentikan. Pada reaksi yang beresiko
menjadi kerusakan permanen, direkomendasikan pemberian prednison 0,5-
1,0 mg/kg/hari, dan kemudian dosis diturunkan bertahap dan perlahan
berdasarkan konsistensi saraf, gejala pada pasien dan hasil evaluasi fungsi
sensorik pada tangan dan kaki. Pasien akan mendapatkan prednison selama 6
bulan atau lebih. Sedangkan Hastings merekomendasikan pemberian
prednison paling tidak 60-80 mg per hari pada dosis tunggal pagi hari harus
diberikan pada reaksi yang berat karena pada umumnya lebih baik memberi
terlalu tinggi daripada terlalu kecil. Jika gejala tidak terkontrol atau tampak
memburuk dalam 24-48 jam, dosis harus ditingkatkan sebanyak 20-40 mg per
hari tergantung keparahan masalah. Namun jika perbaikan terjadi dalam 6-12
jam setelah dosis yang diberikan tetapi kemudian kondisi pasien memburuk
lagi, dosis dapat dibagi menjadi dua kali per hari. Menggunakan pendekatan
ini memungkinkan pengontrolan reaksi tipe I dengan cepat pada hampir
semua derajat keparahan. Dosis prednison kemudian harus dipertahankan
sampai perubahan kulit telah kembali sempurna, nyeri neuritis menghilang
dan hilangnya fungsi neural pada episode reaktif telah mulai kembali. Pada
saat ini dapat dilakukan penurunan dosis prednison. Jika reaksi yang terjadi
sangat berat, tapering harus pelan-pelan sedangkan jika hanya derajat sedang,
dapat dilakukan tapering lebih cepat. Kemudian jika eksaserbasi terjadi
kapanpun, dosis harus dinaikkan untuk mengontrolnya lagi dan nantinya
tapering dilakukan dalam waktu yang lebih pelan.14
Penatalaksanaan reaksi tipe 2 pada sebagian besar aspek sama dengan tipe 1.
Pengobatan simtomatik seperti aspirin dan sedasi mungkin diperlukan pada
kasus yang ringan. Aspirin masih merupakan obat terbaik dan murah untuk
18
mengatasi nyeri dan inflamasi sedang. Dosis yang dianjurkan antara 400-600
mg / 4 jam atau bisa diberikan 4 sampai 6 kali sehari.10
Kasus yang lebih berat dapat diatasi dengan prednison seperti pada reaksi tipe
1, tetapi rata-rata dosis yang lebih rendah sudah cukup. Prednison 60-80 mg
per hari dapat mengontrol sebagian besar reaksi dan penurunan dosis dapat
dilakukan lebih cepat. Masalahnya adalah kemungkinan menjadi kronis,
khususnya pada pasien dengan jumlah bakteri yang tinggi. Pada sejumlah
pasien, diperlukan terapi yang teratur atau intermiten selama bertahun-tahun.
Pada kasus dimana penggunaan kortikosteroid tidak dapat dihentikan, maka
klofazimin sangat jelas berguna. Pada reaksi yang berat seringkali dapat
diatasi dalam beberapa bulan dengan klofazimin 300 mg per hari jika pasien
dapat mentoleransi obat tanpa gangguan masalah gastrointestinal yang berat.
Jika telah dapat dikontrol, dosis harus diturunkan secara bertahap menjadi 100
mg per hari, kadang-kadang dinaikkan jika terjadi eksaserbasi reaksi. Kadang-
kadang perlu melanjutkan klofazimin hingga penyakit pasien mendekati
jumlah bakteri yang negatif, karena kadang-kadang reaksi dapat kembali
terjadi jika obat dihentikan lebih cepat.10
19
kemudian diturunkan secara bertahap 100 mg setiap minggu sampai mencapai
50 mg/hari, sehingga jika memungkinkan obat ini dapat dihentikan dalam 3-4
minggu. Jika reaksi terjadi kembali, dengan jarak antara episode adalah satu
bulan atau lebih, obat dapat dimulai lagi dan diberikan dalam waktu singkat.15
Pada kasus dimana reaksi terjadi kembali dalam waktu cepat dan menjadi
kronis, talidomid dimulai lagi dan diturunkan sampai kadar maintenance rata-
rata 100 mg per hari dengan rentang 100 mg tiap hari sampai 100 mg dua kali
atau lebih per hari. Rejimen lain yang bisa digunakan adalah dengan dosis
awal 100-200 mg pada malam hari, dan jika kurang efektif ditambah dengan
prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari, kemudian diturunkan secara bertahap selama
6-8 minggu. Selain itu juga bisa dengan meningkatkan dosis talidomid sampai
diperoleh efek terapetik atau efek toksik, yaitu sekitar 600 mg malam hari.
Talidomid diturunkan bertahap dengan lambat disesuaikan dengan gejala
sistemik dan lesi kulit.10
2.2.8. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.16
20