Вы находитесь на странице: 1из 3

Menyelamatkan Akal Sehat; Negara dan Agama

Oleh: Wahyu el-k (Assyaafi)*

(Pemerhati Hukum dan Konstitusi di ROEANG inisiatif )


Indonesia adalah negara persatuan dan kesatuan yang memiliki tradisi panjang tentang
pluralisme dan kerukunan ummat antarberagama (transagama), dan secara luas dihargai dunia
atas keberhasilannya menjaga tradisi moderat tersebut. Namun demikian, meningkatnya gerakan
ekstrimisme dan intoleran atas nama agama dalam tahun-tahun terakhir, tidak hanya mengancam
eksistensi kaum minoritas melainkan terhadap nilai-nilai ke-Bhineka Tunggal Ika-an negara yang
mengarah pada paralisis Negara dan Agama.

Isu Negara-Agama merupakan satu-kesatuan telah bergulir sejak nenek moyang megkonsepsi
Nusantara, bahkan lebih dari itu sejak zaman romawi kuno isu Negara-Agama telah dihadirkan.
Perdebatan Negara-Agama bagi Indonesia telah final, seiring dengan disepakatinya nilai-nilai
luhur kebangsaan menjadi sebuah ideologi Negara yaitu Pancasila. Dimana para kiai, kaum
nasionalis dan beberapa delegasi tokoh keagamaan lain berembuk tentang grundnorm Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Negara-Agama bukan merupakan satu kesatuan dan juga bukan
sekularisme, melainkan dikonsepsi sebagai nilai simbiolime-mutualisme.

Kita punya pengalaman kurang sehat tentang implementasi nilai agama dalam negara, aksi massa
yang menuntut calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok agar
dijebloskan ke dalam penjara atas dugaan penistaan agama Islam telah berada pada titik keliru
dalam memahami Negara-Agama. Ratusan ribu umat Islam rela meninggalkan keluarga,
kampung halaman, pondok pesantren, pekerjaannya demi menghardik para pemimpin dengan
kalimat-kalimat orasi yang tidak pantas dan juga demi seolah-olah aksi massa terlihat ramai.
Massa aksi tidak terima karena agama Islam telah diperlakukan secara tidak hormat oleh sang
calon Gubernur atas penyampaianya tentang Surat Al-Maidah ayat 51 dalam forum kampanye di
Pulau Seribu. Jika kita komperhensif (kaffah) menilai aksi massa 4 November lalu sampai pada
rencana aksi pembelaan Islam berjilid-jilid (bahkan saat ini mereka ada forum alumni), terdapat
kekeliruan dalam menyimpulan grandissue aksi pembelaan tersebut, terlebih hulu timbulnya aksi
massa tersebut adalah atas viral video yang telah diedit dengan menghilangkan kata “pakai” oleh
salah satu pengguna akun Facebook.

Pemaknaan tersebut sangat sederhana, namun berimpliksi fatal jika kita keliru memahami
dinamika dugaan penistaan agama oleh Ahok. Apa mungkin para kiai kampung dan ustad-ustad
yang beridealisme tinggi terhadap nilai pluralisme agama Islam, akan ikut berdemonstrasi jika
video tersebut diupload secara utuh dan tidak disusupi viral provokatif? Tentu mereka akan
berpikir kembali, terlebih realitas social-culture Indonesia yang dibangun atas suku, agama, ras,
dan budaya yang heterogen. Sangat mungkin aksi massa 4 November lalu hanya diikuti oleh para
habiber yang terlalu menghayati intrinsik keagamaan dengan berpakaian juba serba putih dan
mengumandangkan lafadz takbir di ruang publik, seolah-olah mereka adalah sosok pembela
Islam yang paling benar dan tidak kenal kompromi atas ajaran yang tidak sejalan dengan
pemahaman mereka. Pemahaman ini, sangat memprihatinkan.

Agama telah dijadikan isu sentral untuk menggerakkan massa yang dipaksa melakukan
pembelaan terhadap Islam disetiap isu-isu penistaan agama, terlebih yang dilakukan Ahok dan
juga untuk mencapai kepentingan komprador. Mereka telah mengasumsikan agama-negara
sebagai kesatuan, ialah berbuat baik untuk agama juga berbuat baik untuk negara. Kekeliruan
mendikte aktivitas-aktivitas negara dengan nilai-nilai keagamaan telah menghilangkan akal sehat
Negara-Agama; gerakan ekstrimisme bertebaran, menghargai Hak Asasi Manusia menjadi
lemah, demoktratisasi lumpuh, ke-Bhineka Tunggal Ika-an tereduksi dan menghardik keliru para
kaum keagamaan dengan nilai agama masing-masing.

Dalam merawat akal sehat Negara-Agama dalam bingkai keIndonesiaan membutuhkan


pangalaman untuk membumikan nilai-nilai toleransi, sebab dalam konteks ini Almarhum Gusdur
memandang sederhana bahwa sikap toleransi itu bukan pemahaman, melainkan pengalaman.
Anarkisme dan intoleransi yang seringkali ditunjukkan oleh kelompok keagamaan tertentu
menunjukkan kurangnya pengalaman mereka menafsirkan keIndonesiaan dan memaknai kitab
suci secara tekstual. Dalam pemahamannya kelompok ini disebut sebagai penganut puritanisme-
religius, dimana Khalid Abu Fadl dalam bukunya “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan”
mengatakan bahwa cirri berpikir dan cara pandang kaum puritan yang menonjol dalam hal
keyakinan adalah menganut paham absolutisme yang tidak kenal kompromi. Tak heran jika
mereka dalam menyebarluaskan ideologinya kerap melontarkan ajaran stigmatik seperti sesat
dan kafir sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan tegaknya negara Indonesia didasarkan pada
hukum Tuhan.

Pancasila, UUD 1945 dan demokrasi adalah keputusan final para pendiri republik ini untuk
mendifinisikan pluralisme-heterogensi dan juga sebagai aturan main berbangsa dan bernegara.
Konsekuensinya adalah setiap warga negara Indonesia harus meneguhkan nilai-nilai Pancasila,
mengikuti aturan main (rule of law) yang ada dalam UUD 1945 dan menjadikan Demokrasi
sebagai sistem pemerintahannya. Merevitalisasi sistem demokrasi ala Indonesia dengan sistem
khilafah seperti di Negara Timur Tengah merupakan pemahaman keliru, sebab agama dalam
penyebarannya ke penjuru dunia tidak terlepas dari sosial budaya yang melingkupinya. Indonesia
adalah titik temu semua agama (Buya Syafi’i Ma’arif-Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah), dengan demikian bernegara ala Indonesia merupakan
sikap moral kemanusiaan tertinggi, sebab disini kita dihadapkan pada pluralisme-hertegensi
suku, agama, ras, dan budaya serta dituntut belajar bersikap toleransi. Oleh karenanya, tidak
sepatutnya bagi kita over-emotion menilai kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Ada hukum
negara sebagai aturan main (rule of law) yang akan menghakimi tindakan Ahok serta tidak perlu
lagi hukum agama dihadirkan ke ruang publik untuk menjustifikasi kealpaan seseorang.

Вам также может понравиться