Вы находитесь на странице: 1из 42

Menumbuhkan Kemauan

Mukadimah
Kekuatan kehendak adalah salah satu induk akhlak yang mendasar dan terpuji, yang ada dalam diri
manusia. Oleh karena itu, akhlak ini akan menurunkan sifat-sifat terpuji lainnya, seperti
sikap optimis, tegas, berinisiatif, serius, tegar, disiplin, mampu mengendalikan diri, dan lain
sebagainya. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki kekuatan kemauan, maka itu pun akan
menciptakan sifat-sifat buruk dalam dirinya.
Manusia ibarat sebuah negara atau kerajaan, yang memiliki lembaga eksekutif, legislatif, dan rakyat
(yang harus dilayani) serta dewan penasihat yang berfungsi mengarahkan kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Lembaga legislatif dalam diri
manusia, diibaratkan akal pikiran yang berfungsi sebagai pemberi peringatan, pemberi petunjuk,
menciptakan hukum, undang-undang, dan administrasi kenegaraan. Maka ,akal dalam wilayah
tugasnya ini, bersandar pada berbagai sumber rujukan dan referensi. Di antaranya adalah hikmah
dan pengetahuan yang Allah berikan kepada akal tersebut, pengalaman hidup, pengetahuan yang
dipelajari dari orang terdahulu, dari syariat dan aturan Allah yang terdapat dalam Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah saw..
Lembaga eksekutif, diibaratkan kemauan yang melekat dalam diri seseorang. Kekuasaan itu dimiliki
bila ia mempunyai kekuatan rasional yang luar biasa. Namun, bila kekuatan itu lemah, maka ia akan
rendah dan hina di hadapan rakyat atau harus mengikuti kehendak rakyatnya. Bahkan, ia harus
melapangkan jalan bagi seorang di antara mereka yang memiliki kekuatan dan memberi kekuasaan
itu kepadanya.
Adapun rakyat dalam kerajaan manusia, diibaratkan kumpulan hawa nafsu, syahwat, keiinginan,
dan insting. Setiap orang memiliki keinginan dan kemauan yang beragam, baik dan buruk, soleh dan
jahat, dan sebagainya. Bahkan, keinginan itu kadang bertentangan dengan logika akal. Maka, tidak
mungkin seluruh kehendak dan permintaan rakyat itu dipenuhi oleh karena ia akan menciptakan
kekacauan, kerusakan, dan kehancuran dalam kerajaan manusia. Oleh karena itu, kemauan yang
kuat hanya akan mengabulkan permintaan yang sesuai dengan lembaga yudikatif (akal). Bila
bertentangan dengannya, maka permintaan itu harus ditolak dan dibuang jauh-jauh. Sesungguhnya,
kejahatan dan keburukan bertentangan dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Kita juga bisa mengukur konsistensi akhlak terpuji setiap orang melalui kekuatan kemauannya,
sebagaimana kita dapat melihat kehancuran akhlak seseorang karena lemah dan hilangnya kemauan
akibat hawa nafsu yang selalu diperturutkan. Pada saat seperti itu, hawa nafsu , ketamakan, dan
keinginannya mendominasi dirinya, mengalahkan kekuatan kehendaknya.

Syarat Menumbuhkan Kekuatan Kehendak


Kemauan yang kuat hanya akan menjadi akhlak terpuji bila disertai dengan ilmu, kejernihan akal,
dan bijak dalam bertindak. Bila tidak, ia akan menjadi senjata berbahaya bagi diri manusia.
Saat kehendak yang kuat bergandengan dengan pengetahuan dan kecerdasan akal, maka perilaku
atau pribadinya menjadi baik dan interaksi sosialnya akan bijak serta bermanfaat bagi masyarakat.
Namun, pada saat kemauan melemah atau tidak berlandaskan pada pengetahuan dan kemampuan
akal, maka perilakunya sebagai pribadi dan makhluk sosial tidak disertai kebijakan dan tidak
mengandung kebaikan.
Kekuatan kehendak yang tidak diiringi pengetahuan yang memadai serta logika yang baik akan
menjadi petaka bagi diri seseorang. Bahkan, bisa menjadi petaka bagi siapa pun yang berinteraksi
dengannya. Kemauan semacam ini hanya akan mengantar pemiliknya kepada jurang kebinasaan
dan kehancuran.
Sebagian orang menikmati kekuatan kehendaknya. Hanya saja, dia itu bodoh, tidak memiliki
pengetahuan memadai, atau tidak membingkai perilakunya dengan kebijakan. Manusia semacam ini
adalah virus bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat. Misalnya, bila ada yang mengingatkan agar ia
melepaskan diri dari aktivitas ibadah yang memberatkan dan menyusahkannya, karena ibadah itu
tidak disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya, maka dengan penuh percaya diri dia akan
menolak. Ia menganggap sulit dan beratnya beban ibadah yang dilakukan adalah perilaku terpuji di
mata Allah dan dapat semakin mendekatkannya kepada Allah, padahal Allah SWT tidak
meninggikan derajat seorang hamba hanya karena ibadah yang dilakukan itu berat dan sulit.

Sisi Kehidupan Yang Membutuhkan


Kekuatan Kehendak
Setiap manusia membutuhkan kekuatan kehendak untuk melawan pengaruh penyimpangan yang
lahir dari dalam atau luar dirinya. Kekuatan kehendak dibutuhkan untuk:
1. Melawan syahwat dan hawa nafsunya serta bisikan-bisikan setan yang melintas dalam pikiran;
2. Menahan diri dari kecenderungan kepada dosa yang bisa bersumber dari harta, anak-anak,
wanita, kedudukan, dan kekuasaan serta segala kemewahan dunia;
3. Melawan kecenderungan hati terhadap keinginan untuk berleha-leha, bermalas-malasan, dan
membuang-buang waktu;
4. Melawan ketakutan terhadap petaka dan bala yang mungkin menimpa dirinya;
5. Melawan penyesalan yang muncul dalam dirinya karena tidak mampu meraih keberuntungan
atau kebaikan yang sangat diharapkan;
6. Melawan kesedihan yang berlarut-larut karena cita-cita yang tidak teraih;
7. Melawan angan-angan yang tidak mungkin terwujud di masa datang; dan
8. Melawan bisikan-bisikan manusia, setan, dan jin.
Maka, ada beberapa terapi yang harus dilakukan untuk melumpuhkan penyakit-penyakit di atas,
yakni keberanian, optimisme, ambisi, dan kesabaran.

Perbedaan Kekuatan Kehendak Pada


Setiap Orang
Setiap orang berbeda kadar kekuatan dan kelemahan kehendaknya. Ibarat sebuah tangga, seseorang
akan dapat tiba di puncak tangga itu dengan segala usaha dan pengorbanan, bila memiliki kekuatan
kehendak. Sebaliknya, ia akan berada pada dasar tangga sesuai kadar kelemahan kemauannya.

Menguatkan Kemauan Yang Lemah


Setiap orang yang merasa kemauannya lemah dapat menguatkannya melalui langkah-langkah
berikut ini.
1. Menguatkan keimanan kepada Allah SWT, asma’ dan sifat-Nya, qadha dan qadar-Nya, serta
senantiasa bertawakal dan berbaik sangka kepada-Nya. Memperkuat seluruh variabel
keimanan ini adalah sarana terbaik untuk mendapatkan kemauan kuat, yang tentunya datang
dari Allah SWT.
2. Melatih diri menghadapi godaan hawa nafsu dan berusaha menaklukkan keinginan duniawi
manakala keinginan itu bergelora dalam dada.
3. Membiasakan diri melakukan aktivitas ibadah yang baik, benar, dan beragam.
4. Menjaga diri untuk senantiasa taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangannya.
5. Tenang menghadapi setiap masalah atau sebelum memutuskan sebuah perkara. Keputusan itu
pun diambil tanpa ragu karena telah jelas kebenarannya. Saat itu pula, rasa was-was dan ragu
harus disingkirkan karena akan melemahkan kehendak. Namun, apabila ada yang lebih benar,
maka itulah yang harus diikuti tanpa mempertahankan pendapat atau keputusan yang salah
oleh karena itu adalah sebuah kebodohan.

Jadi, kekuatan kehendak seseorang didasarkan pada kemampuannya menjaga dirinya dari
kekalahan menghadapi hawa nafsu, bisikan manusia, jin dan setan, serta mampu mengalahkan
godaan kenikmatan dunia. Sebaliknya, orang yang kekuatan kehendaknya lemah adalah yang
terpengaruh oleh rayuan setan, godaan duniawi, dan menghambakan dirinya di hadapan hawa
nafsunya.
Maka, kuat dan lemahnnya kemauan seseorang akan tampak pada dua bingkai kriteria ini. Oleh
karena itu, bagian dari pendidikan Islam ialah mengajarkan dan mengarahkan pemeluknya agar
mampu mengalahkan hawa nafsu duniawi dan membebaskan diri dari belenggu setan yang terkutuk.

Bagaimana Membangun Motivasi Dan


Kemauan?
Langkah pertama: mengumpulkan tenaga
Kemauan adalah jembatan yang menghubungkan pikiran dengan tindakan. Oleh karena itu,
kemauan bergantung pada tenaga fisik dan jiwa sekaligus. Jika tenaga fisik dan jiwa kuat, maka
kemauan juga akan menguat. Inilah langkah-langkahnya.
1. Kesadaran yang jelas, kuat, dan terus-menerus akan tujuan hidup atau titik akhir yang ingin
dicapai dalam hidup. Hal ini hanya mungkin terjadi jika tujuan hidup serta target-target jangka
panjang, jangka menengah, dan jangka pendek terdefinisi dengan jelas.
2. Mengetahui manfaat dari suatu perbuatan atau pekerjaan oleh sebab manfaat itu memiliki
daya dorong yang tinggi terhadap jiwa. Manfaat itu bisa bersifat duniawi dan ukhrawi.
3. Jangan membuang tenaga secara percuma. Ada beberapa hal yang sering menguras tenaga
saraf dan jiwa secara berlebihan, misalnya marah, terlalu banyak berbicara, dan mencari-cari
penghargaan dari orang lain. Karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Jangan marah! Dan
engkau akan masuk surga,” dan sabda beliau yang lain, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” Adapun prinsip ikhlas
mengajarkan bahwa penghargaan seseorang atas kerja yang dilakukan bukanlah tujuan.
4. Meninggalkan masalah-masalah sepele oleh karena masalah-masalah besar dan penting jauh
lebih banyak. Nabi saw. bersabda, “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang
adalah ia meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.”
5. Kemampuan berkonsentrasi oleh karena kemauan dan pikiran yang pecah akan menguras
banyak tenaga fisik dan pikir, yang akhirnya melelahkan.

Langkah kedua: menggunakan tenaga


Ada beberapa prinsip yang perlu dilakukan di sini, yaitu sebagai berikut.
1. Keteraturan. Ini adalah salah satu nilai Islam yang mengharuskan adanya schedule yang jelas
bagi seluruh aktivitas kita. Penjadwalan yang baik adalah schedule yang dipelajari dan
dibangun di atas suatu visi. Karena itu, Ali bin Abi Thalib mengatakan, ”Kebenaran yang tidak
terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi.”
2. Keseimbangan. Artinya, seluruh dimensi kehidupan harus diberi haknya secara seimbang.
3. Moderasi. Artinya, sifat pertengahan dalam segala hal serta menghindari sifat berlebihan,
termasuk dalam beribadah. Rasulullah saw. bersabda, “Hanya dengan sifat pertengahan
(sederhana) kamu akan sampai (tujuan).”
4. Fokus. Prinsip ini mengharuskan kita untuk menentukan target sebagai fokus yang ingin
dicapai. Sebab, keberadaan fokus sangat membantu dalam berkonsentrasi dan dalam
memusatkan pemakaian tenaga.

Langkah ketiga: mengembalikan tenaga


Setelah menggunakan tenaga, kita harus mampu mengembalikannya melalui cara berikut.
1. Khalwat
Khalwat adalah kegiatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. dan yang beliau lakukan
selama tiga tahun menjelang kenabian. Ini berguna untuk mengembalikan kesegaran jiwa dan
konsentrasi.
2. Muhasabah
Muhasabah merupakan evaluasi yang sangat membantu dalam melakukan perbaikan untuk
kegiatan selanjutnya.
3. Perjalanan
Rihlah atau travelling berguna dalam memberi inspirasi dan tambahan wawasan.
4. Penjadwalan ulang
Mengubah dan menjadwal ulang semua kegiatan akan memberi penyegaran jiwa dan semangat
baru.

HOS Tjokroaminoto dalam


Membangkitkan Kesadaran Nasional
Umat Islam
“Djika tidak karena sikap dan semangat perdjuangan
para Ulama, sudah lama patriotisme dikalangan
bangsa kita mengalami kemusnahan” -Douwes
Dekker-
Jika kita belajar dari sejarah, bangsa ini pernah mengalami situasi yang amat sulit. Keadaan dimana
tanah air, bangsa dan agama terjajah. Umat Islam sebagai mayoritas tidak mampu melakukan apa-
apa. Secara keseluruhan rakyat benar-benar tertindas. Anak-anak menjadi bodoh karena
ketimpangan dalam pelayanan pendidikan. Para bupati sudah kehilangan rasa ingin merdeka,
mereka hanya diam ketika disodorkan uang dengan timbal balik harus menyengsarakan rakyatnya
sendiri.
Kita pernah mengalami hilang kesadaran bahwa bangsa ini tertindas dan terjajah. Kesadaran kita
pernah tertidur lelap hingga luput untuk melepaskan diri dari penindasan. Kita dibodohkan, sampai
kita tidak memahami siapa sebenarnya yang dijadikan lawan. Lalu gairah hidup hilang, kita dipaksa
mengakui bahwa bangsa ini keturunan kera dan layak hidup dalam strata yang rendah. Apakah
semua ini yang kita alami sekarang?
Oemar Said Tjokroaminoto pernah menyadari keadaan genting ini, dalam waktu yang singkat ia
mampu menuntaskan dan meninggikan derajat kehidupan bangsa dan berangsur membaik. Dengan
mencontoh kepemimpinan Rasulullah SAW, Tjokroaminoto berjuang membangkitakan kesadaran
nasional umat Islam. Ia ingin menyadarkan umat Islam yang kala itu terlena dan lupa akan martabat
dirinya sebagai bangsa yang besar dan merdeka. Melalui Paradigma Lima-K Tjokroaminoto berhasil
membangun gairah umat yang sempat terlelap.
Pertama, kemauan. Carl von Clausewitz dalam bukunya On War menjelaskan teori perang, bahwa
untuk memenangkan perang yang harus dimatikan adalah hasratnya, destruction of the enemy’s
will (penghancuran kemauan lawan). Begitu juga dalam Islam yang menentukan amal ibadah adalah
niat (kemauan). Maka kebangkitan ini harus diawali dengan kemauan umat Islam itu sendiri untuk
bangkit.
Kedua, kekuatan. Ketika umat dalam keadaan yang sulit dalam segala hal. Yang dilakukan
Tjokroaminoto adalah membangun kekuatan itu dari kemauan yang kuat. Sebuah bangsa mungkin
akan hancur ditelan keganasan pasukan musuh. Namun, mereka tetap ada selama kemauan itu
ada. Sekalipun wilayah dikuasai oleh musuh, mereka berhak untuk merebut selama mempunyai
kemauan.
Ketiga, kemenangan. “Apabila kemauan menumbuhkan kekuatan dan kedua-duanya telah dijadikan
landasan dasar gerak juang umat, maka dapat diperhitungkan hasilnya, INsya Allah akan
memperoleh kemenangan” (Api Sejarah, Jilid 1, hlm. 376)
Keempat, kekuasaan. Wujud dari kemenangan adalah sebuah kekuasaan. Umat Islam menjadi
tertindas karena kehilangan kekuasaan. Lebih disulitkan ketika umat merasa cukup dengan yang
apa yang dimiliki, dan menyerahkan panggung politik kepada mereka yang tidak peduli sama sekali
terhadap Islam. Umat Islam harus memiliki hasrat yang tinggi untuk siap berperan aktif sebagai
pembuat kebijakan melalui kekuasaan. Kebijakan yang baik akan melahirkan manusia yang baik,
itulah amalan terbaik seorang muslim.
Kelima, kemerdekaan. Denga berperan aktif dalam mengambil keputusan umat Islam akan meraih
kemerdekaan politik. Jika umat mampu menguasai politik, maka ia tinggal merangkul kemerdekaan
yang sesungguhnya. Umat Islam harus bebas dari cengkraman kebodohan da kemiskinan, dan
mulai berjuang untuk menegakan keadilan. Dengan begitu manusia dapat merasakan bagaimana
indahnya Islam.
Konsep yang ditonjolkan oleh Tjokroaminoto terbukti mampu melawan penjajah yang sudah ratusan
tahun menduduki tanah ini. Ditengah tanam paksa yang diberlakukan Kerajaan Protestan Belanda,
Serikat Islam hadir menerobos kezaliman. Lahirlah harapan baru sebagaimana bangsa Asia lainnya
mampu melawan mitos dengan menaklukan bangsa kulit putih. Seperti Cina, Jepang, India yang
mampu bangkit melawan penjajahan.
Sekarang mari kita pandang sekeliling kita, bukankah umat ini sedang dalam keadaan yang sulit?
Kita kehilangan hasrat dan gairah untuk unjuk diri bahwa inilah bangsa yang besar. Umat
mengabaikan kekuasaan politik sehingga membiarkan kebijakan dipegang oleh orang yang sama
sekali tidak peduli dengan Islam dan bangsa ini. Gara-gara itu semua kita nyaris kehilangan
kemerdekaan. Ditengah kerumitan ini, cobalah kita belajar kepada sejarah. Kita perlu belajar dari
Paradigma Lima-K Tjokroaminoto untuk menyadarkan kesadaran umat Islam yang sedang lupa.

Ada tiga hal esensial terkait peran nabi saw. dalam membangun pilar persatuan umat
Islam. Pertama, mengubah kondisi masyarakat Arab dan memanfaatkan faktor politik
untuk mempersiapkan kondisi yang diinginkan. Kedua, strategi kultural untuk membuat
ilustrasi “umat bersatu” dan menciptakan ruang bagi perkembangan pikiran dan
pemahaman masyarakat terhadap tanggung jawab mereka. Ketiga, menerapkan solusi
yang ditawarkan nabi saw. sebagai sarana untuk mewujudkan persatuan, yang
mencakup solusi kebangsaan-keagamaan, solusi kesukuan, dan solusi sosial-
individual.

Solusi Kebangsaan -Keagamaan


 Menciptakan persatuan nasional dan solidaritas keimanan.

Kedatangan nabi saw. ke Madinah disertai penandatanganan beberapa perjanjian


antarkelompok. Perjanjian-perjanjian ini bisa disebut sebagai salah satu bukti paling
nyata perwujudan persatuan Islam di masa itu.

Perjanjian Umum Madinah: Salah satu perjanjian penting adalah kesepakatan antara
nabi saw. dan kabilah-kabilah Yatsrib. Sebagian orang menilai bahwa kesepakatan ini
sebagai “undang-undang dasar tertulis pertama di dunia”.

Mengukuhkan Solidaritas Keimanan: Nabi saw juga berkali-kali menegaskan


pentingnya mengukuhkan solidaritas keimanan kaum muslim. Salah satu pidato nabi
pasca penaklukan kota Makkah yang disampaikan di Masjidilharam: “Tiap muslim
adalah saudara muslim yang lain. Kaum muslim adalah satu tangan yang berada di
atas tangan yang lain.”

 Ikatan Persaudaraan.

Ikatan sosial: Di tahun pertama kedatangan nabi saw ke Madinah, beliau mengambil
salah satu langkah penting dalam memanfaatkan faktor kesatuan agama, yaitu
mempersaudarakan antarsesama muslim. Nabi saw mempersaudarakan tiap seorang
Muhajir dengan seorang Anshar. Namun beliau menyebut Ali sebagai saudara beliau di
dunia dan akhirat dalam sabdanya, “Dia (Ali) bagian dariku dan aku bagian darinya.”

Iman kepada Allah Swt. merupakan pilar: Masyarakat yang dibentuk nabi saw.
adalah suatu komunitas yang semua anggotanya memiliki ikatan persaudaraan yang
berasaskan tauhid. Masyarakat tersebut diumpamakan seperti satu badan,
sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis, “Perumpamaan orang-orang beriman
antarsesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka
yang lain akan turut merasakannya.”

Memanfaatkan tradisi sosial: Dengan persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar,


maka nabi saw. telah memanfaatkan salah satu tradisi sosial masyarakat Arab, yaitu
pembelaan terhadap sekutu perjanjian, guna mewujudkan umat yang bersatu.
Keberhasilan Nabi saw ini tak hanya membuat takjub orang-orang seperti Abu Sufyan,
tapi dampak positif dari kesetaraan yang terdapat pada ajaran Islam ini sampai
mendorong setiap orang untuk lebih mementingkan saudaranya dalam kepemilikan
harta.

Mendamaikan pihak yang berselisih: Mendamaikan pihak yang berseteru dan


nasihat serta sikap nabi saw. terkait dengan masalah ini, juga merupakan salah satu
langkah efektif beliau dalam menciptakan rasa persaudaraan.
Memaafkan kesalahan individu: Hal lain yang kita saksikan dalam peristiwa perang
Uhud adalah perintah Alquran kepada nabi saw. untuk tidak mencela orang-orang yang
lari dari medan perang. Bahkan, beliau diminta untuk memaafkan mereka dan
bekerjasama dengan mereka, sehingga mereka tetap berada dalam barisan kaum
Muslimin, “Maka maafkanlah mereka dan mintakan ampun bagi mereka serta
bermusyawarahlah dengan mereka.” (QS. Al Imran:159).

Menjaga keutuhan masyarakat: Kebijaksanaan nabi saw. dalam menghancurkan


Masjid Dharar bertujuan mencegah timbulnya lubang perpecahan dalam barisan
masyarakat muslim. Dengan demikian, maka keutuhan masyarakat tetap terjaga.

Solusi Kesukuan

 Melenyapkan rasisme dan fanatisme kesukuan.

Solusi lain yang ditawarkan nabi saw. untuk menciptakan persatuan umat Islam adalah
menghilangkan rasisme dan diskriminasi rasial.

Menghancurkan norma-norma Jahiliyah: Perjuangan nabi saw. melawan


perbudakan di masa itu semakin luas menyusul bertambahnya kekuatan politik dan
sosial beliau. Gerakan ini merupakan bagian dari tuntutan keadilan sosial yang beliau
serukan demi menghadapi segala bentuk penindasan di masa itu.

Norma kesetaraan keagamaan: Melalui pelbagai perintah atau nasehatnya, nabi saw.
mengajari kaum muslim untuk membebaskan para budak dan beliau sendiri adalah
orang yang pertama melakukan hal ini.

Pembelaan terhadap kalangan duafa: Dalam rangka menghapus fanatisme


kesukuan, Nabi saw juga melakukan pembelaan terhadap kalangan duafa.

 Peran Baitullah

Dengan mencermati beragam peristiwa dalam sejarah Islam, kita akan melihat
beberapa langkah nabi saw. yang memanfaatkan sebagian kondisi dan tradisi
masyarakat Arab masa itu untuk mewujudkan persatuan.

Solusi Sosial dan Individual

 Karakteristik Moral Bangsa Arab

Nabi saw. juga memanfaatkan karakteristik moral Arab Jahiliyah dalam mewujudkan
tujuan-tujuan beliau, khususnya di bidang persatuan umat Islam. Oleh karena itu,
fanatisme yang tidak berdasarkan kebenaran dan norma agama, serta hanya berporos
pada kesukuan dan ras, tidak akan diterima oleh agama dan Nabi saw, “Tidak termasuk
golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme.”

 Norma-norma Akhlak

Nabi saw. menyebut kesempurnaan akhlak manusia sebagai salah satu tujuan
risalahnya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Karena itu, salah satu cara yang beliau lakukan dalam mewujudkan persatuan Islam
adalah menunjukkan perilaku dan akhlak yang terpuji, karena, “Sesungguhnya engkau
memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).

Sikap simpatik: Kelembutan perangai nabi saw. adalah salah satu sarana terpenting
dalam mewujudkan persatuan dan memadamkan perselisihan serta menarik hati
manusia, “Dengan rahmat Allah, engkau bersikap lembut terhadap mereka. Jika engkau
orang yang kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauh dari
sekelilingmu.” (QS. Al Imran: 159).

Hubungan kekerabatan: Terkait adab-adab khas nabi saw, kita bisa menyinggung
tentang hikmah hubungan kekerabatan beliau. Tidak diragukan bahwa adanya tatanan
kesukuan yang berlaku di masa itu mempengaruhi terwujudnya keakraban, hubungan
mesra antara kabilah dan persatuan antara lapisan masyarakat. Hubungan kesukuan
ini bisa disebut sebagai pengganti perjanjian-perjanjian konstitusional yang bersifat
resmi.

Umat Islam dan Persatuan

Persatuan adalah prinsip kehidupan dan penjamin keabadian suatu ideologi. Para nabi
diperintahkan untuk menghidupkan rahmat Ilahi di dunia: Rahmat Ilahi senantiasa
bersama dengan nabi saw, “Taatilah Allah dan Rasul supaya kalian dirahmati” (QS. Al
Imran: 132). Umat manusia berkumpul di sekeliling Nabi terakhir ini, “Muhammad
bukanlah ayah salah satu dari kalian, tapi dia adalah utusan Allah dan nabi
terakhir” (QS. Al-Ahzab: 40). Beliau juga merupakan mata air kasih sayang
Ilahi, “Dengan rahmat Allahlah, maka engkau bersikap lembut kepada mereka” (QS. Al
Imran: 159).

Oleh karena itu, maka umatnya adalah umat terbaik yang dipilih untuk menjadi
pengikutnya. Tiada keraguan bahwa umat Muhammad saw. mengemban tugas
menyebarkan dakwah beliau ke seantero dunia, sebab, “Kalian adalah umat terbaik
yang dikeluarkan bagi manusia” (QS. Ali Imran: 110). Mereka adalah umat pilihan Allah
dan selain mereka adalah orang-orang yang merugi, “Siapa pun yang mencari agama
selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk golongan
yang merugi.” (QS. Al Imran: 85).
Marilah kita berharap tibanya hari dimana persatuan Islam akan menyatukan umat,
sehingga seruannya akan sama seperti seruan Allah, “Dan Allah menyeru kepada
darus salam dan membimbing siapa pun yang Ia kehendaki ke jalan lurus.” (QS. Yunus:
25). Inilah cakrawala cemerlang yang telah diilustrasikan oleh nabi saw. bagi umatnya,
sehingga firman Tuhan ini relevan bagi mereka, “Berbahagialah engkau wahai
Muhammad dan umatmu.”

Persatuan umat dianggap sejajar dengan inti tegaknya agama, yaitu takwa dan
penghambaan, “Sesungguhnya umat kalian ini adalah satu umat dan Aku adalah Tuhan
kalian, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya`: 92). Di sisi lain, penegakan agama yang
benar berkaitan erat dengan persatuan, “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”(QS.
As-Syura: 13).

Jelas bahwa memenuhi seruan Nabi saw untuk bersatu adalah sebuah upaya untuk
menjamin kehidupan abadi umatnya, “Wahai orang-orang yang beriman, jawablah
seruan Allah dan Rasul ketika mengajak kalian kepada hal yang menghidupkan
kalian.” (QS. Al-Anfal: 24). Ini adalah perintah tegas dari Allah bahwa, “Wahai orang-
orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul, serta jangan gugurkan amal kalian” (QS.
Muhammad:33). Ini adalah perintah yang bila ditentang maka akan menyebabkan
kebinasaan, “Dan siapa pun yang membangkang terhadap Allah dan rasul-Nya, berarti
dia telah tersesat dalam kesesatan nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Dengan demikian, persatuan umat adalah jalan menuju kemenangan, “Dialah yang
telah mengutus Rasul-Nya dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas
semua agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.”(QS. Al-Fath: 26).

Guna mewujudkan persatuan umat, yang diperlukan adalah adanya tekad kolektif dan
kesabaran, “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan melalui kesabaran
dan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar” (QS. Al-Baqarah:
153); “Bersabarlah, sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS. Ar-Rum: 60).

Kesimpulan

Persatuan umat selalu menjadi salah satu idealisme ajaran para nabi. Oleh karena itu,
salah satu poros utama dalam dakwah Nabi saw. adalah menebar benih-benih
persatuan. Bila kita menganalisa pelbagai peristiwa dalam sejarah Islam maka kita
dapat menyimpulkan bahwa demi menegakkan persatuan, selain memanfaatkan
pendekatan politis dan kultural, nabi saw juga menggunakan beberapa metode tertentu.
Dengan memerhatikan kondisi sosial yang ada di tengah masyarakat, metode-metode
alternatif ini mampu mengarahkan umat menuju persatuan.
Perjanjian Madinah adalah jalan terbaik dalam menciptakan persatuan dan solidaritas
keagamaan. Memanfaatkan solusi kebangsaan-keagamaan hanya bisa menjamin
tegaknya pondasi sosial masyarakat. Karena itu, dibutuhkan solusi lain yang berupa
gerakan melawan fanatisme kesukuan dan rasisme untuk menciptakan persatuan. Hal
yang perlu diperhatikan adalah bahwa Nabi saw pun memanfaatkan pendekatan
karakteristik moral-sosial dalam rangka mewujudkan persatuan.

Dengan demikian, salah satu metode efektif untuk mengukuhkan persatuan di tengah
umat Islam adalah mengarahkan masyarakat guna menerapkan tiga metode di atas,
yaitu: solusi kebangsaan-keagamaan, kesukuan, dan sosial-individual.

Persatuan umat yang sesungguhnya tidak tercipta karena uang atau koalisi kekuasaan, tetapi
persatuan umat lahir dari kekuatan ukhuwah yang dilandasi keimanan. Sedangkan, kekuatan
ukhuwah itu sendiri bergantung pada gerakan hati dan semangat yang sama dari umat Islam.

Nabi Muhammad adalah pembangun ukhuwah umat Islam yang pertama kali dan paling berhasil.
Nabi Muhammad bukan hanya tokoh sejarah, melainkan juga utusan Allah atau pembawa risalah
yang ajaran-ajaran, perkataan, dan perbuatannya wajib diikuti oleh setiap Muslim. Menurut para
ahli sejarah yang meneliti Sirah Nabawiyah, sekurang-kurangnya terdapat empat pilar kekuatan
masyarakat dan negara yang dibangun dan diwariskan oleh Nabi lima belas abad yang lampau.

Pertama, kekuatan akidah dan ibadah. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad menjadikan masjid
sebagai pusat pembinaan akidah, ibadah, dan muamalah dalam masyarakat Islam dengan
berbagai ragam latar belakang sosial budayanya.

Kedua, kekuatan ekonomi, yaitu dengan membangun etos kerja umat, menegakkan moral para
pelaku ekonomi, serta menggerakkan potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai sistem
jaminan sosial melalui peran negara dengan membentuk baitul mal.

Ketiga, kekuatan sosial. Dalam hal ini, Nabi Muhammad membangun hubungan persaudaraan,
ukhuwah Islamiyah, membudayakan tolong-menolong di antara sesama Muslim.

Keempat, kekuatan politik. Nabi Muhammad membentuk kontrak politik dengan semua unsur
dan komponen masyarakat melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan piagam
negara tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia
yang dilahirkan PBB pada 1948.
Dalam Piagam Madinah, antara lain diatur politik pertahanan negara dan hubungan Muslim
dengan non-Muslim. Dengan Piagam Madinah itu jelas sekali ajaran Islam dan umatnya
menghargai pluralitas suku, golongan, dan agama. Ketika umat Islam berkuasa, tidak pernah
terjadi gangguan terhadap umat lain ataupun pemaksaan untuk memeluk agama Islam.

Dalam Alquran dan sunah diingatkan kepada setiap Muslim, apabila memegang kekuasaan,
harus melindungi dan mengayomi pemeluk agama lainnya dengan sewajarnya, sebagaimana
umat beragama seyogianya pula menghormati identitas kaum Muslimin. Toleransi tidak bisa
dibangun secara sepihak, tetapi toleransi beragama harus melibatkan semua pihak secara adil dan
jujur.

Para sahabat Nabi dan kaum Muslimin generasi awal menerima ajaran Islam itu tidak hanya dari
ucapan dan pelajaran yang disampaikan Nabi, tetapi juga melihat langsung perbuatan Nabi
sehari-hari dalam berbagai situasi. Oleh karena itu, kita wajib menjadikan ajaran dan keteladanan
yang memancar dari kehidupan, perjuangan, dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai
uswah hasanah untuk memperkokoh pembangunan umat dan bangsa. Dalam perspektif Islam,
pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mencintai umat dan rakyatnya secara ikhlas, yang
mendahulukan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Nabi Muhammad mengajarkan bahwa setiap Muslim adalah ikhwan (saudara) bagi Muslim yang
lain. Nabi lebih lanjut menggariskan kewajiban dan hak sesama Muslim dalam kehidupan sosial,
mulai dari kewajiban dan hak bertetangga sampai kewajiban dan hak sesama manusia. Dalam
salah satu ayat Alquran dinyatakan, Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang besertanya
bersikap tegas terhadap orang-orang yang ingkar dan berkasih sayang terhadap sesama orang
beriman (QS al-Fath [48]: 29).

Sementara itu, menyangkut ibadah dalam arti luas, Nabi Muhammad menegaskan sesuai dengan firman
Allah, Bukanlah kebajikan jika kamu menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tapi (kebajikan
itu) adalah siapa yang beriman kepada Allah, hari akhirat, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi-Nya, yang
memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
orang yang dalam perjalanan, orang yang meminta karena membutuhkan, dan memerdekakan budak,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, yang menepati janji apabila berjanji, sabar di saat kesulitan dan di
dalam peperangan. Itulah orang-orang yang benar dan itulah orang-orang yang bertakwa. (QS al-Baqarah
[2] : 177).

Nabi memberi permisalan kualitas hubungan seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagai satu
bangunan, di mana antara satu bagian dan bagian lainnya saling menopang dan memperkuat. Bukanlah
termasuk umatku, siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, tegas Rasulullah.

Jika saat kita mengadakan peringatan hari lahir manusia yang paling mulia dan khataman nabiyyin
walmursalin, yaitu Muhammad Rasulullah SAW, diharapkan peringatan ini menginspirasi umat Islam dan
bangsa Indonesia untuk lebih menghayati dan mengamalkan syariah dan nilai-nilai Islam guna menjawab
dan memecahkan persoalan-persoalan kekinian. Umat Islam yang tercerai-berai karena kepentingan
golongan, organisasi, atau mazhab, apalagi dengan bangga menganggap golongan sendiri lebih hebat dan
terbesar daripada golongan lain niscaya akan sulit dipersatukan untuk mengusung visi keumatan dan
kebangsaan.

Kita patut bersyukur melihat langkah kekompakan umat Islam di Tanah Air, seperti ditunjukkan dalam
Aksi Bela Islam III di Jakarta pada 2 Desember 2016 lalu yang berlangsung tertib dan damai. Momentum
langkah tersebut tidak seyogianya dibiarkan berlalu dan redup begitu saja. Sementara, tantangan yang
dihadapi umat ke depan semakin berat, baik di bidang ekonomi, politik, maupun budaya.

Kekompakan umat yang pada waktu ini berhasil dibangun, meski tidak melibatkan semuanya, selayaknya
menjadi modal untuk memperkokoh persatuan umat dan membangun kemaslahatan yang lebih besar
untuk kejayaan agama dan Tanah Air. Aksi unjuk rasa bukanlah tujuan kita, melainkan jalan, bahkan satu
dari banyak jalan untuk menuju tujuan tegaknya hukum, keadilan, dan kebaikan negeri ini.

Akhirnya, ada baiknya kita renungkan bersama pesan perjuangan seorang tokoh bangsa dan pemimpin
umat allahu yarham Dr Mohammad Natsir yang menyatakan, Dalam sejarah kita menyaksikan sendiri
bahwa umat Islam sekalipun menghadapi bermacam cobaan dan terkadang sampai bercerai-berai, tetap
ada seruan Kitabullah dan sunah Rasulullah, yang mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.
Wallahu a'lam bishawab.

1 Juni, 2017dibaca normal 3:30 menit

 Kekuatan lahir dengan gizi dan olahraga, kekuatan batin dengan iman dan memohon bantuan Allah
SWT.
 Seorang muslim berkewajiban menghimpun kekuatan sehingga tidak terjadi pelecehan atasnya.

Islam menginginkan umat untuk kuat. Namun bukan sekadar kuat secara fisik.
tirto.id - Kata "kuat" diambil dari khasanah bahasa Arab. Kata ini terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf qaf, dan ya’ yang maknanya, antara lain, adalah keras, kuat, sebagai
antonim/lawan kata dari lemah.

Kekuatan dimaksud dapat berwujud secara fisik atau kalbu bagi manusia. Dapat juga berwujud
dari luar, misalnya bantuan pihak lain yang melahirkan kekuatan atau bahkan bantuan Allah
SWT. Kekuatan batin menjadikan seseorang tegar menghadapi ancaman serta penuh percaya
diri.

Islam menuntut pemeluknya memiliki kekuatan lahir dan batin. Kekuatan lahir diperoleh dengan
makanan bergizi dan latihan olahraga, sedang kekuatan batin dengan iman dan memohon
bantuan Yang Mahakuat, Allah SWT.

Kekuatan lahir tidak banyak gunanya jika tidak dibarengi dengan iman, bahkan kekuatan lahir
dapat mencelakakan jika tanpa mengindahkan tuntunan agama dan moral. Karena itu, Nabi
SAW., mengingatkan tentang makna hakiki kekuatan sengan sabdanya:

“Bukannya yang kuat siapa yang dapat menjatuhkan pegulat, tetapi siapa yang dapat menahan
diri ketika ia marah.” (HR. Bukhari)

Islam mengajarkan umatnya untuk selalu kuat, tidak menjadi peragu. Keraguan yang lahir akibat
kelemahan pribadi akibat lemahnya iman. Nabi SAW., bersabda:

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun
keduanya baik. Bersungguh-gungguh meraih apa yang bermanfaat untukmu dan mohonlah
bantuan kepada Allah, jangan melemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jangan berkata:
‘Seandainya aku melakukan ini dan itu’, tapi ucapkanlah:’Ini telah ditakdirkan Allah apa yang
Dia kehendaki dilakukan, (jangan berkata seandainya) karena seandainya membuka pintu
(masuk) setan’." (HR Muslim).

Kekuatan yang dimaksud oleh Nabi saw di atas dapat beragam. Antara lain kekuatan ekonomi,
kekuatan pemikiran, ilmu, dan kepribadian yang melahirkan rasa percaya diri walaupun
seseorang berdiri sendirian. Rasul SAW., berpesan:

“Janganlah salah seorang di antara kamu menjadi immi’ah sehingga berkata/bersikap: Kalau
orang berbuat baik, aku pun akan berbuat baik dan bila mereka berbuat buruk aku pun
demikian. Tetapi hendaklah kalian memperkuat diri, maka bila orang berbuat baik, kalian
berbuat baik juga dan bila melakukan keburukan, kalian menghindari keburukan mereka.” (HR
at-Tirmidzy).

Ini bukan sikap konsisten/istiqamah yang dituntut, tetapi sikap lemah karena mengandalkan
manusia, sedang kekuatan si kuat adalah anugerah Allah SWT.M yang dianugerahkan-Nya
setelah seseorang berusaha lalu menyerahkan diri kepada-Nya. Perhatikanlah pesan Nabi
SAW., di atas: "Bersungguh-sungguhlah meraih apa yang bermanfaat untukmu, dan mohonlah
bantuan kepada Allah. Jangan melemah!"

Yang lemah biasanya menerima apa adanya dan/atau mencari pembenaran atas sesuatu yang
tidak wajar. Itulah pintu masuk setan atau nafsu yang selalu memperindah keburukan atau
mencarikan alasan pembenaran bagi yang lemah.

Tidak jarang seseorang diundang ke satu pesta yang menghadirkan jamuan yang haram/minuman
keras yang — oleh tuan rumah — dianggap sebagai tradisi dan cara penghormatan yang wajib
diberikan. Yang lemah iman atau lemah kepribadian akan rela menyantap atau meminumnya
karena segan, tetapi yang kuat akan menolak, bahkan menolak hadir.

Perlu dicatat bahwa ketidakhadiran atau sikap menolak itu tidak harus ditampakkan dengan
kasar, apalagi dalam bentuk penghinaan. Lebih-lebih jika itu dilakukan tuan rumah tanpa maksud
melecehkan. Bahkan terhadap mereka yang secara terang-terangan melecehkan ajaran agama
atau simbol-simbol agama dan negara, tidak serta merta dihadapi dengan keras, apalagi
melampaui batas. Dalam konteks ini, kekuatan yang diperlukan adalah kekuatan menahan emosi,
bukan kekuatan melampiaskannya.

Dewasa ini tidak jarang orang-orang picik melakukan penghinaan terhadap Islam dan Nabi umat
Islam. Allah telah mengingatkan tentang hal ini, antara lain dalam Q.S. Ali-Imran ayat
186: "Sungguh kamu akan diuji menyangkut harta kamu dan diri kamu. Dan kamu sungguh akan
mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersutukan Allah, gangguan yang banyak. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan."

Di sini yang dituntut setelah menyampaikan keberatan atas pelecehan adalah kekuatan
mengendalikan emosi untuk memberi kesempatan kepada yang bersalah memperbaiki sikapnya.
Atau kalau itu tidak mereka penuhi, maka pengendalian diri menjadi sarana untuk berpikir lebih
matang guna mengambil sikap yang terbaik dan yang tidak berdampak lebih buruk bagi
umat Islam.

Kekuatan jiwa melahirkan tekad untuk mengambil langkah yang tepat dan cara-cara yang tepat,
serta waktu yang tepat guna mencapai maksud yang tepat. Penangguhan mengambil tindakan
karena situasi yang belum tepat, walau terkesan “kelemahan”, pada hakikatnya adalah kekuatan.

Sahabat Nabi, Auf bin Malik RA., menyampaikan bahwa satu ketika Rasul SAW., memutuskan
perkara yang melibatkan dua orang yang bersengketa. Yang kalah, kendati merasa benar,
berucap: Hasbuna Allah wa ni’ma al-wakil; cukuplah bagi kami Allah yang menangani dengan
baik, Dia adalah sebaik-baik wakil.

Mendengar ucapannya, Nabi SAW., bersabda:

“Allah mengecam kelemahan, tetapi hendaklah engkau cerdas sehingga jika engkau dikalahkan
oleh sesuatu, ucapkanlah hasbi Allah wa ni’ma al-wakil; cukuplah bagiku Allah karena aku
yakin bahwa seandaiknya seluruh umat berkumpul untuk memberi manfaat atau menampik
mudarat, maka itu tidak akan terjadi kalau tidak diizinkan Allah. Cukup bagiku Allah karena aku
yakin bahwa Dia adalah sumber kebaikan; dalam genggaman tangan-Nya segala kebajikan
sehingga apapun putusan-Nya maka itulah yang terbaik.

Seorang muslim berkewajiban menghimpun kekuatan dan menghiasi diri dengannya sehingga
tidak terjadi pelecehan atasnya. Tetapi jika setelah berusaha dan berusaha, maka jalan terakhir
adalah berserah diri kepada Allah. Bertawakal adalah menyerahkan urusan yang dihadapi kepada
Allah dengan keyakinan bahwa Dialah yang akan menyelesaikannya sebaik mungkin.

Penyerahan tersebut, setelah usaha maksimal, merupakan kekuatan dan dengan demikian seorang
mukmin selalu kuat. Sekali dengan usahanya menghimpun kekuatan dan kali lain karena
keyakinannya bahwa Allah bersamanya setelah menyerahkan diri kepada-Nya.
Dalam al-Quran terdapat dua ayat yang menggunakan kata qawiy yang menyifati makhluk.
Pertama, Nabi Musa AS., yang diuji dengan kalimat sebagai orang yang kuat lagi dapat
dipercaya (QS. Al-Qashash ayat 26). Dan kedua, Ifrit, yakni yang genius dari jenis jin yang
menyampaikan kemampuannya dengan kalimat: Sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat
dipercaya (QS. An-Naml ayat 39).

Kekuatan makhluk baru terpuji bila disertai oleh sifat amanah/kepercayaan. Tanpa sifat ini,
kekuatan dan kekuasaan dapat digunakan untuk menindas dan menindas, sedang kekuatan tidak
dimaksudkan untuk meneror, menindas, dan menjajah.

Allah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan material dan spiritual,
sebagaimana ditegaskan dalam (QS. Al-Anfal ayat 90), bukan untuk tujuan menggunakannya —
kecuali terpaksa —bukan juga untuk tujuan meneror, tetapi untuk menghalangi musuh
melakukan penganiayaan dan pelecehan akibat rasa takutnya dari kaum muslim.

Demikian, wa Allah a’lam.

=====

*) Naskah dinukil dari buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak yang diterbitkan oleh penerbit
Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui
website penerbit.

Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-1


‫قوة المال‬
ّ

alhikmah.ac.id – SUATU hari Abdullah bin Abbas memakai pakaian paling indah dan
mahal, berharga 10.000 dirham. Beliau bermaksud mengadakan dialog dengan kaum
Khawarij yang memberontak. Orang Khawarij adalah golongan yang kuat beribadah
tetapi meminggirkan ilmu dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqih dan hadits
Rasulullah SAW. Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan
membenci siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.

Abdullah bin Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat rambutnya
serta mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan berhadapan dengan orang-
orang picik yang memakai baju tebal dan tambalan, muka yang berdebu serta kusut
masai.
Mereka berkata, “Kamu adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW. Mengapa kamu
memakai pakaian seperti ini? Abdullah bin Abbas menjawab, “Apakah kalian lebih tahu
mengenai Rasulullah SAW dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu yang lebih
tahu.” Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya,
sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan mengenakan
perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”

Aisyah pada suatu ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam keadaan lemah,
pucat dan kelihatan malas. Beliau bertanya, “Siapakah mereka itu?” Sahabat
menjawab, “Mereka itu adalah kumpulan ahli ibadat.” Kemudian Aisyah berkata, “Demi
Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin al-Khattab adalah orang
yang lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah dibanding mereka itu. Kalau beliau
berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan tangkas. Apabila bercakap, beliau dalam
keadaan berwibawa, jelas kedengaran percakapannya dan apabila beliau memukul,
pukulannya terasa sakit.”

Pemahaman picik kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara tidak kaaffah
(menyeluruh), memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah, sampai ke tahap
berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.

Begitulah keadaan sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat Rasulullah SAW
yang disampaikan kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika beliau dikirim menjadi
Duta dakwah ke negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai Muaz, mudahkanlah setiap
urusan, jangan memberat-beratkannya.”

Apakah Islam mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa Abu Bakar
al-Siddiq berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela agama Allah? Begitu
juga dengan Abdul Rahman bin Auf dan Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan hartanya
untuk membiayai jihad di jalan Allah dengan dana dari kantong mereka sendiri.

Adakah Rasulullah SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk meraih


keuntungan duniawi?

Bahkan di dalam al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam menegakkan agama
Allah wajib memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka dengan apa saja dari segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dari
pasukan berkuda yang lengkap untuk menggetarkan musuh Allah dan musuh-
musuhmu.” (Surah al-Anfal, ayat 60)

Bagaimanakah Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada dalam
skala Negara Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta dikuasai oleh
musuhnya. Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka terpaksa meminta belas
kasih orang lain.

Apakah zuhud itu berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh musuh Allah?
Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila emas seberat
gunung diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi ia tidak habis dimanfaatkan
untuk umat Islam.”

Sebagai panduan bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiyah.
Beliau berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan perbuatan yang tidak berfaedah
untuk akhiratmu.”

Harta yang halal hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat yang halal.
Jangan mencari pada sumber yang halal’ tetapi membelanjakannya pada jalan maksiat.
Atau kebalikannya, mengambil dari sarang penyamun dan membelanjakannya untuk
ibadat.

Itu semua bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya harta adalah
titipan dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila Allah menghendaki akan
lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah harta itu ada dalam genggaman, tetapi
tidak menguasai hati kita.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang memiliki harta
kekayaan sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia dikatakan sebagai seorang
yang zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu dikatakan zuhud apabila ada dua sifat: Tidak
terlalu bergembira ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu berduka-cita apabila
hartanya berkurang.“

Nikmatilah dunia dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang dimiliki tidak
menahan langkah di akhirat kelak dan melambatkan perjalanan ke pintu surga. Karena
semakin banyak harta, maka dapat dipastikan semakin rumit pula hisab perhitungan
yang dilakukan, kecuali harta yang halal yang dibelanjakan untuk keridhaan Allah.

Boleh jadi para koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari pandangan manusia.
Maka bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat kelak? Dapatkah mereka
menyembunyikan hasil kejahatan mereka?

Islam menggalakkan umatnya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan


duniawi. Semua kekayaan yang dianugerahkan Allah hendaklah dibelanjakan di jalan
Allah. Rasulullah saw berpesan agar umat Islam tidak memberatkan masalah ibadat
yang sebenarnya mudah dilakukan, sampai pada tahap berlebih-lebihan sehingga
menyusahkan diri sendiri. Islam menghendaki umatnya kaya dengan harta benda agar
tidak ditindas karena kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi bangsa yang
selalu mengemis mencari bantuan asing.

Allah telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak ada alasan bagi
orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk
berjihad dan melipat gandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya
apalagi yang mati syahid.

Jihad pun dapat dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu dengan zakat, infak,
shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun sarana pendidikan, sarana
ekonomi, sarana kesehatan, dan lain-lain yang bertujuan untuk membangun kekuatan
umat. Hal ini ditegaskan pada dalam surat Al Anfal ayat 60:

‫َيءٍ فِي‬ ْ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم ُه ْم َو َما ت ُ ْن ِفقُوا مِ ْن ش‬


َّ ‫عد َُّو ُك ْم َو َءاخ َِرينَ مِ ْن د ُونِ ِه ْم ََل ت َ ْعلَ ُمونَ ُه ُم‬ َ ‫ط ْعت ُ ْم مِ ْن ق ُ َّوةٍ َومِ ْن ِربَاطِ ْال َخي ِْل ت ُ ْر ِهبُونَ بِ ِه‬
ِ َّ ‫عد َُّو‬
َ ‫َّللا َو‬ َ َ ‫َوأ َ ِعدُّوا لَ ُه ْم َما ا ْست‬
ْ ُ ‫ف ِإلَ ْيكُ ْم َوأ َ ْنت ُ ْم ََل ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ِ َّ ‫يل‬
َّ ‫َّللا ي َُو‬ ِ ‫س ِب‬َ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).”
Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa melakukan
berbagai persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi setiap upaya konspirasi
kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh Allah. Persiapan-persiapan tersebut
hendaklah bersifat menyeluruh dengan mencakup semua lini kekuatan dan aspek
kehidupan umat.

Sudah saatnya Islam melaksanakan jihad secara terencana dan terorganisasi, dan
bukan semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang terorganisasilah yang akan dapat
menggentarkan musuh-musuh Allah.

Kita semua paham bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki kembali oleh umat
Islam kalau kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah kekuatan iman, kekuatan ilmu,
kekuatan persaudaraan, kekuatan harta dan kekuatan angkatan perang. Seluruh
kekuatan ini ternyata memang ada dalam masyarakat Rasulullah. Kita akan membahas
satu kekuatan yang dapat kita jadikan pelajaran dalam pembinaan umat ini, yaitu
kekuatan harta (Quwwatul Maal) (dkwt)

A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) ‫المال ّلل‬

alhikmah.ac.id – Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rezki kepada kita,
ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rezki yang ada
pada kita. Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rezki
itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini
digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah
berfirman:

َ‫ع ْن ذُنُو ِب ِه ُم ْال ُمجْ ِر ُمون‬


َ ‫شد ُّ مِ ْنهُ قُ َّوة ً َوأ َ ْكث َ ُر َج ْمعًا َو ََل يُسْأ َ ُل‬ ِ ‫َّللاَ قَ ْد أ َ ْهلَكَ مِ ْن قَ ْب ِل ِه مِ نَ ْالقُ ُر‬
َ َ ‫ون َم ْن ه َُو أ‬ َ ُ‫قَا َل ِإنَّ َما أُوتِيتُه‬
َّ ‫علَى ع ِْل ٍم ِع ْندِي أ َ َولَ ْم يَ ْعلَ ْم أ َ َّن‬

Karun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak
mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa
itu, tentang dosa-dosa mereka.” (QS. Al-Qashash: 78)

Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq
di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan
memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah
seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian
datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan
silaturrahim. Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku
dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka
mengambilnya sedikitpun.” (Muslim)

Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala
karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia
yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan
silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertaqwa.
Sesungguhnya harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan
ke jalan yang diridhai Allah.

Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah:

“Seorang hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal hartanya itu


sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang
dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain
yang 3 itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain”. (Muslim)

Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih
sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu,
mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi budak
harta yang terlena dan terpedaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi
keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:

َ ‫َّللاُ ِع ْندَهُ أَجْ ٌر‬


‫عظِ ي ٌم‬ َّ ‫إِنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأ َ ْو ََلدُكُ ْم فِتْنَةٌ َو‬

”Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah


pahala yang besar.” (QS. At−Taghabun: 15).

Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga
menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun
besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta
yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang
bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah
amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya.

ْ ُ ‫قُ ْل َمت َاعُ الدُّ ْنيَا قَلِي ٌل َو ْاْلخِ َرة ُ َخي ٌْر ِل َم ِن اتَّقَى َو ََل ت‬
ً ‫ظلَ ُمونَ فَت‬
‫ِيل‬

“Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu
lebih baik untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit
pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).

Rasmul Bayan “Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)”

Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya.
Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu:
orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan.
Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.

Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar
harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.

َ‫َّللا َو َم ْن يَ ْفعَ ْل ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْالخَاس ُِرون‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ََل ت ُ ْل ِه ُك ْم أ َ ْم َوالُكُ ْم َو ََل أ َ ْو ََلد ُ ُك ْم‬
ِ َّ ‫ع ْن ِذ ْك ِر‬

”Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu


melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka
itulah orang−orang yang rugi.” (QS. Al−Munafiqun: 9).

Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud
adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan terpedaya dengan harta
dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan
berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:

ٍ ‫َال فَ ُخ‬
‫ور‬ َّ ‫علَى َما فَات َ ُك ْم َو ََل ت َ ْف َر ُحوا ِب َما َءات َا ُك ْم َو‬
ٍ ‫َّللاُ ََل يُحِ بُّ ُك َّل ُم ْخت‬ َ ْ ‫َي ََل ت َأ‬
َ ‫س ْوا‬ ْ ‫ِلك‬

”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid:
23).

Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu
merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan
terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanah dari Allah untuk
dipergunakan dengan tepat.

Seorang sufi menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas dengan apa
yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita
yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak
akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang
mengendalikan harta. (dkwt)

B. Kebutuhan Jihad akan Harta (Ihtiyajatul Jihad)

‫إحتياجات الجهاد‬

alhikmah.ac.id – Jihad yang sempurna dilakukan dengan jiwa, harta dan lisan.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Berjihadlah kalian menghadapi kaum musyrikin
(kafirin) dengan harta, jiwa dan lisan kalian.” (HR. Abu Daud dan lainnya)

Itulah jihad yang sempurna dan totalitas. Namun demikian, dalam keadaan tertentu
bisa saja ada sesuatu yang menghalangi orang untuk dapat berjihad secara langsung.
Dalam keadaan demikian tidak berarti ia tidak mengambil bagian dalam jihad sama
sekali. Ibnul Qayyim Al-Jauzi berpendapat dalam Zaadul Ma’ad bahwa apabila
seseorang tidak berangkat ke medan jihad (tidak berjihad dengan jiwa)maka ia tetap
wajib berjihad dengan harta.

Di antara keutamaan berjihad dengan harta adalah dicatat sebagai orang yang ikut
berjihad dan merupakan shadaqah yang paling utama. Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut
berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan
kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan
Tirmidzi).
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengkarantina
kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya
segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya)
akan ditimbang oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Rasmul Bayan “Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)”

Hudzaifah Ibnul Yaman, yang biasa dikenal sebagai shohibussirri (intel) Rasulullah
SAW, senantiasa mencemaskan hal-hal yang akan membawa kepada fitnah dan
kerusakan. Dalam kaitan amar ma’ruf nahi munkar, beliau mengingatkan bahwa orang-
orang yang menentang kemunkaran dengan hati, lisan dan perbuatannya adalah
bentuk keimanan yang sempurna. Barang siapa menghadapi dengan hati dan lisannya
tetapi tidak dengan perbuatannya maka ia telah terjatuh satu kakinya. Barang siapa
menghadapi kemunkaran dengan hati dan tidak dengan lisan dan perbuatan maka
sudah terjatuh kedua kakinya. Dan barang siapa menghadapi kemunkaran tidak
dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya maka ia telah menjadi mayat.

Hudzaifah menganggap orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dalam melawan


kemunkaran dan tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam penentangan terhadap
kezhaliman sama dengan orang mati. Sebuah perumpamaan yang sangat tepat
mengingat keberadaannya sudah tidak lagi diperhitungkan dalam barisan kaum
Muslimin, wujuduhu ka adamihi (eksistensinya tidak diakui), ia telah mati sebelum
ajalnya tiba. Orang-orang seperti itu kelak pada gilirannya akan digantikan oleh Allah
dengan generasi yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya:

َ ‫ي َوأ َ ْنت ُ ُم ْالفُقَ َرا ُء َوإِ ْن تَت ََولَّ ْوا يَ ْست َ ْبد ِْل قَ ْو ًما‬
‫غي َْركُ ْم ث ُ َّم‬ ُّ ِ‫َّللاُ ْالغَن‬
َّ ‫ع ْن نَ ْف ِس ِه َو‬
َ ‫َّللا فَمِ ْن ُك ْم َم ْن يَ ْب َخ ُل َو َم ْن يَ ْبخ َْل فَإِنَّ َما يَ ْب َخ ُل‬
ِ َّ ‫يل‬ َ ‫هَاأ َ ْنت ُ ْم َهؤ ََُلءِ ت ُ ْد‬
َ ‫ع ْونَ ِلت ُ ْن ِفقُوا فِي‬
ِ ِ‫سب‬
‫ََل يَ ُكونُوا أ َ ْمثَالَ ُك ْم‬

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan
Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya
dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan
kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia
akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini).” ( Qs. Muhammad: 38)
Seorang mukmin sejati, pantang untuk digantikan dan pantang untuk mundur dari
gelanggang dakwah dan jihad fii sabilillah. Karena dengan demikian dia akan hancur
dipermainkan oleh musuh-musuh Allah dalam keadaan terhina. Sebaliknya ia akan
senantiasa memompa semangatnya untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan
dakwah baik dengan hati, lisan dan perbuatannya. Laa izzataillaa bijihaadin (tidak ada
kemuliaan kecuali dengan jihad).

َ‫علِي ٌم بِ ْال ُمتَّقِين‬ َّ ِ‫ََل يَ ْست َأ ْ ِذنُكَ الَّذِينَ يُؤْ مِ نُونَ ب‬


َّ ‫اللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر أ َ ْن ي ُ َجا ِهد ُوا بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم َو‬
َ ُ‫َّللا‬

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin
kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah
mengetahui orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At-Taubah: 44)

Seorang dai seyogianya menjadi titik sentral dari orang-orang yang mengikutinya.
Dalam hal mobilisasi infak untuk aktivitas dakwah banyak potensi yang masih terbuka
lebar tanpa harus berebut lahan. Bagaimana tidak, menurut perhitungan para ahli jika
benar-benar umat ini memobilisasi dana zakat akan didapatkan dana segar sebesar 7
trilyun untuk membangun umat. Dan jika ditambah dengan infak tidak kurang dana
yang terkumpul sekitar 35 trilyun rupiah. Sebuah angka yang menjadi modal bagi
kebangkitan umat di masa mendatang.

Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita dalam meniti jalan
dakwah ini betapa pun beratnya ujian yang harus dihadapi. Dan semoga Allah
memberikan quwwatut ta’tsir pada diri kita, sehingga lebih banyak lagi orang yang
tertarik kepada kita dan menyerahkan hartanya untuk penegakan dakwah dan jihad fii
sabilillaah. (dkwt)

C. Jihad Harta Upaya Perimbangan Dalam Menghadapi Musuh Dakwah

‫التوازن في مواجهة اَلعداء‬

alhikmah.ac.id – Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, jihad dengan harta


merupakan jihad yang melengkapi bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala
bentuk jihad Islam pasti memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat
vital untuk mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya
akan terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.
Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,

“Sebenarnya jihad dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-
jihad yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya
bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan
kekuatan dalam rangka menghadang kekuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa
terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan sarana
dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.

Jihad lisan memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet,
majalah, dan sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk
membiayai pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif
yang ditunjang peralatan secara memadai serta tenaga-tenaga pendidik yang
profesional.

Jihad fisik dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan
senjata, peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para
syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang memadai
akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat Al-Qur’an,
Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”

Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi
syarat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya
sebagaimana yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan,
politik, sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan
beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering
dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.

Di sini tidak dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid,


madrasah, menyantuni fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah
umum diketahui masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan
sering ditelantarkan karena salah pengertian.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad
masa kini yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut
 Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam,
sebagai pusat ta’lim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam,
menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar,
membentengi aqidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara
kemurnian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri
untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.
 Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar
(non muslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam
berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.
 Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah
tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang
merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir
kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.
 Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-
penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan
membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-
mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya
para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua
itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah,
beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam pada manhaj Islam, bekerja
penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.
Dr. Said Hawwa menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini
dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga
pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai
berikut Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang
menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan
yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.

Jika masyarakat Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan
memang memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat
dipercaya, di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan
luas yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga
ini merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah
menuju jalan yang hendak ditempuh.”
Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam
aturan lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena
mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam.
Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka memelihara
hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam berdakwah serta
membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya dengan pedang,
kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”

Selanjutnya, beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan


umum kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan
pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat) tidak
termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang
mampu saja; di samping itu, haji merupakan fardhu ain seperti halnya shalat dan
puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan dunia-kenegaraan.

Akan tetapi, syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa
dibiayai dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan
dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran mudik
untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”

Selanjutnya dia menulis, “Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup


kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama
dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli
senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan para
pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di zaman ini
adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara kafir dengan
dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur rapi, yang memberikan
dana yang cukup kepada mereka.”

Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu


lebar yang mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan
kalimat Allah. Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad,
mempersiapkan dan melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan
hukum-hukum dan syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-
sekolah dan universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan
benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah pemerintah
yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun sekolah-sekolah
yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan mereka sejak anak-anak
padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk menghadapi pendangkalan iman
itu.”

Demikianlah beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat
ini dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara
yang disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan
kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini.
Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,

ُ
َ ‫يُؤْ تِي ْالحِ ْك َمةَ َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُؤْ تَ ْالحِ ْك َمةَ فَقَ ْد أوت‬
ً ‫ِي َخي ًْرا َكث‬
‫ِيرا‬

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-
Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi al-
hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….,’ (Qs. Al-
Baqarah: 269)

Ayat di atas diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak
yang disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,

‫س ْبت ُ ْم‬
َ ‫ت َما َك‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا مِ ْن‬
ِ ‫ط ِيّبَا‬

‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik….’ (Qs. Al-Baqarah: 267)

Di antara hikmah yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah
meletakkan infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling
tinggi karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”

Pada kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam
membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur
Tengah yang jika menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau
memberikannya kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya.
Walaupun sudah banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit
sekali dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas
keislaman lainnya.

Semua ini tentu akibat dari ketidakmengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka.
Apalah artinya masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat
membimbing manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan
megah sebuah masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan
memanfaatkannya? Membangun gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah
membiayai pendidikan ulama dan dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah
hartawan muslim dituntut kejeliannya.

Mengenai masalah ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami
buatkan tiga ilustrasi:

 potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan


tunanetra;
 potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan
makanan;
 potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang
mengajak kepada Allah.
Tak pelak lagi, barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi
tersebut, dia adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu,
manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?

Orang yang menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang
menyebabkan Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan
melahirkan banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian
menghidupi banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang
disampaikannya, banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama
Allah. Dari aspek ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang
paling banyak manfaat dan pahalanya.

Andaikata seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang


mengajak kepada Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan,
kemaksiatan, dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan
generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat
bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang
yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar
dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing
dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”

Selanjutnya, beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk
bersedekah dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang
memperbolehkan kita memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk
membantu kondisi itu. Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua
kondisi itu, berarti ia mendapat yang baik.

Akan tetapi, ada ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan
ini, misalnya keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak
lain; orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain;
kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus;
menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas
kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan
fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah harus
didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.

Semua itu harus dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak
menyerahkan zakatnya. Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan
sedekah itu akan diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau
ia tepat menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak
mendapat pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan
mendapat pahala asalkan niatnya benar.”

Demikianlah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim
dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat
balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta di
jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat dan
kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya,
sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat
banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak karena
dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Dalam kondisi
seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar harus diutamakan.
Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih pasukan/tentara
Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya, mendidik ulama dan
dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi sarana menuju ke
sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.

Apalah artinya membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan
dipergunakan memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat
difungsikan sebagaimana dikehendaki Islam.

Dalam kondisi seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih
utama daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman
pemerintah kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan
murni. Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi
ini dari cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah
pekerjaan yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah.
Semua usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim
yang menghendaki hikmah.

Demikian pula halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang
tertentu yang akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk
melahirkan ahli spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas
yang dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal. (dkwt)

D. Distribusi Infaq Fii Sabilillah (Pengaturan Sumber Dana)

alhikmah.ac.id – Kebanyakan kaum muslimin ataupun gerakan-gerakan Islam dewasa


ini kurang memperhatikan pengaturan dana yang kontinyu dalam menjalankan
aktivitas perjuangannya. Jika ada, itu pun hanya kerja sambilan yang kurang
diperhatikan. Mereka hanya mengharapkan sumbangan dari donaturnya, baik sebagai
anggota maupun simpatisan. Mereka kurang mengembangkan potensi perekonomian
Islam dan kaum muslimin untuk melancarkan sumber dana, yang mana ini pun
merupakan salah bentuk jihad yang harus dilaksanakan.
Pada saat kaum muslimin belum memiliki negara yang dapat menjamin dana
perjuangan dan langkanya para hartawan muslim yang seharusnya menjadi donatur
bagi perjuangan Islam, mereka yang kaya telah terjangkiti penyakit kikir sehingga tidak
mau mengeluarkan hartanya di jalan Allah. Di samping itu, ada pula hartawan muslim
yang berkeinginan mengeluarkan hartanya membantu perjuangan Islam, namun
dihantui ketakutan penangkapan dan penyiksaan dari penguasa-penguasa zhalim vang
anti-Islam. Masih banyak lagi faktor yang menahan hartawan muslim mengeluarkan
hartanya di jalan Allah. Hal ini jelas akan menyusahkan perjuangan Islam karena
kekurangan dana. Banyak program pokok dalam perjuangan terbengkalai akibat
ketiadaan dana. Bagaimanapun, dana sangat penting bagi keberhasilan misi
perjuangan.

Sementara itu, musuh-musuh Islam, pasukan-pasukan thagut, terus melancarkan


operasi penghancuran dan penghapusan Islam dengan berbagai fasilitas dan tunjangan
dana besar dari para donaturnya yang memiliki jaringan internasional. Apakah karena
ketiadaan dana ini menyebabkan pejuang-pejuang fi sabilillah mundur dari
perjuangannya dan membiarkan pengikut-pengikut iblis yang dilaknat Allah itu
menyesatkan manusia. Apakah ketiadaan dana ini mendorong mereka mengemis pada
musuh-musuh Islam untuk memberikan dana bagi perjuangannya dengan syarat
mereka harus melacurkan aqidahnya, atau hanya pasrah saja menunggu dana dari
donatur; jika dana sudah tersedia, baru menjalankan aktivitas perjuangan.

Semua ini adalah pekerjaan orang-orang frustasi, orang-orang yang kalah mentalnya
dalam berinteraksi dengan kejahiliyahan. Inilah sifat tercela yang harus dijauhi
pejuang-pejuang fi sabilillah. Kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Yang
Maha Kaya dan Maha Kuasa pasti akan mendatangkan bantuan-Nya, namun apakah
bantuan itu akan datang dengan sendirinya tanpa ikhtiar sungguh-sungguh dari
pejuang-pejuang suci ini. Bukankah Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
untuk berusaha semaksimal kemampuannya untuk menegakkan din-Nya, kemudian
dengan usaha sungguh-sungguh itulah Allah mendatangkan bantuannya, sebagaimana
disebutkan Al-Qur’an,

‫ت أ َ ْقدَا َم ُك ْم‬
ْ ّ‫ص ْر ُك ْم َويُث َ ِب‬
ُ ‫َّللاَ يَ ْن‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ِإ ْن ت َ ْن‬
َّ ‫ص ُروا‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Dengan demikian, Allah hanya akan menolong hamba-hamba-Nya yang sudah
berikhtiar dengan seluruh kemampuannya, bukan orang-orang yang patah semangat
kemudian tidak berbuat.

Untuk menanggulangi kekurangan dana dalam perjuangan, saat ini diperlukan usaha-
usaha perekonomian yang dapat menghasilkan dana, baik dalam usaha perdagangan,
pabrik, jasa, maupun usaha-usaha halal lainnya. Tentu, usaha ini dikelola sesuai
dengan perkembangan sistem perekonomian modern yang sesuai dengan Islam,
dilaksanakan oleh orang-orang yang amanah dan bertanggung jawab, memiliki
komitmen yang kuat terhadap perjuangan Islam dan profesional di bidangnya, di
bawah kontrol lembaga perjuangan Islam, baik secara langsung jika hal ini
memungkinkan maupun tersembunyi.

Sangat bijak jika pergerakan Islam melaksanakan usahanya secara sembunyi (rahasia),
terutama di negara-negara yang penguasanya anti-Islam, tidak terang-terangan secara
langsung mengatasnamakan lembaga perjuangannya dalam aktivitas perekonomian,
misalnya atas nama pribadi yang dibiayai dan dikontrol lembaga. Cara semacam ini
menjaga kemungkinan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan perjuangan
dari sumber kekuatan ekonomi karena mereka senantiasa berusaha untuk itu dengan
menghalalkan segala cara.

Usaha-usaha perekonomian itu harus dilakukan dengan menjalankan sistem


perekonomian Islam. Baik berupa syirkah, mudharabah, murabahah, qiradh, dan
sejenisnya yang tidak terkontaminasi sistem ekonomi non-Islam. Misalnya, beberapa
anggota pergerakan yang memiliki kelebihan harta mengumpulkan modal untuk
dijalankan. Kemudian dari keuntungan usaha tersebut disisihkan bagian untuk dana
perjuangan. Atau seseorang/beberapa orang yang memiliki modal dan yang lainnya
mendirikan usaha. Keuntungan dari usaha itu dibagi antara pemberi modal dan yang
menjalankannya kemudian disisihkan bagian untuk perjuangan Islam.

Atau sebuah pergerakan Islam yang memiliki dana cukup, kemudian membuka usaha
sebagai bagian dari aktivitasnya sebagai sumber dana perjuangan; dan lain-lain bentuk
perekonomian yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan dijalankan dengan
manajemen modern dan profesional.
Dengan usaha-usaha pengaturan dana melalui perekonomian ini, para pejuang fi
sabilillah tidak perlu bersusah payah mengemis pada orang-orang kikir ataupun musuh-
musuhnya dan tidak perlu terlalu mengharapkan bantuan yang belum pasti datangnya.
Dengan usaha yang bersungguh-sungguh dan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya,
rahmat dan pertolongan Allah akan senantiasa datang kepada pejuang di jalan Allah.
Selain itu, dapat dilihat keberhasilan yang telah diperoleh pejuang-pejuang di jalan
Allah yang menaruh perhatian besar terhadap pengaturan sumber dana ini, bahkan
menjadikannya sebagai bagian dari perjuangan yang mesti digarap, tidak kalah
pentingnya dengan jihad lainnya.

Rasmul Bayan “Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)”

Sebagai contoh, Imam Syahid Hasan al-Banna sangat menaruh perhatian pada aspek
perekonomian ini. Gerakannya mampu mengorganisasi usaha-usaha perekonomian,
bahkan pabrik-pabrik besar, sebagai sumber dana perjuangannya. Usahanya itu
dikelola oleh jamaah secara profesional. Demikian pula halnya dengan gerakan
ekonomi yang dikelola gerakan al-Arqam, yang berpusat di Malaysia, dengan pabrik-
pabrik dan usaha perdagangan yang cukup maju serta dikelola secara profesional oleh
pribadi-pribadi berdedikasi tinggi. Dengan usahanya itu, gerakan Arqam mampu
berkembang ke beberapa negara.

Berapa banyak gerakan Islam yang gulung tikar ataupun susah berkembang karena
kurang memperhatikan pengaturan sumber dana secara profesional, tidak menggarap
sektor perekonomian sebagaimana menggarap bagian-bagian perjuangan lainnya,
sedangkan ekonomi adalah kunci dari keberhasilan perjuangan secara menyeluruh.
Kini, sudah saatnya lembaga-lembaga perjuangan Islam, bahkan merupakan tuntutan
yang mesti dilakukan, untuk memiliki lembaga khusus yang bergerak dalam bidang
ekonomi dalam rangka menunjang dana perjuangan dengan mengikuti kaidah-kaidah
perekonomian modern yang sesuai dengan Islam.

Untuk membahas persoalan ini secara rinci diperlukan keterlibatan para pakar ekonomi
dan bisnis serta manajemen yang komitmen terhadap perjuangan Islam dalam rangka
menuju kejayaan Islam dan umatnya. Di antara seruan Allah SWT dalam memobilisasi
kaum Muslimin untuk berjihad di jalan-Nya adalah dalam Surat At-Taubah ayat 41:

َ‫َّللا ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَكُ ْم إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬


ِ َّ ‫يل‬ َ ‫ا ْنف ُِروا خِ فَافًا َوثِقَ ًاَل َو َجا ِهد ُوا بِأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنفُ ِس ُك ْم فِي‬
ِ ِ‫سب‬
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)

Infaq di jalan Allah menjadi sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan dalam
jihad fii sabilillah, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit. Dalam
ayat tersebut secara gamblang disebutkan bahwa berjihadlah dengan harta dan
jiwamu.

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum berlomba-lomba menginfaqkan harta mereka setiap


kali seruan infaq datang kepada mereka. Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya
kepada Rasulullah, Umar menginfaqkan separuh hartanya kepada Rasulullah, Utsman
bin Affan pernah menginfaqkan seribu ekor unta berikut isinya. Pantaslah para muassis
dakwah pada zaman sekarang ini pun mengandalkan penggalangan dana dari infaq
para pendukungnya dengan slogan shunduuqunaa juyuubuna. Tidak mengandalkan
kepada uluran tangan dan belas kasihan orang lain. Asy-Syahid Hasan Al-Banna pernah
menolak pemberian dari kerajaan Inggris untuk aktivitas dakwah beliau.

Mengapa kita diharuskan berjihad dengan harta kita? Hal itu disebabkan karena
kebatilan pun untuk bisa eksis, didukung oleh para pendukung kebatilan (orang-orang
kafir) yang berani mengeluarkan biaya besar. Allah berfirman:

َ‫علَ ْي ِه ْم َحس َْرة ً ث ُ َّم يُ ْغلَبُونَ َوالَّذِينَ َكف َُروا ِإلَى َج َهنَّ َم ي ُحْ ش َُرون‬
َ ُ‫سيُ ْن ِفقُونَ َها ث ُ َّم ت َ ُكون‬
َ َ‫َّللا ف‬
ِ َّ ‫يل‬ َ ‫ع ْن‬
ِ ‫س ِب‬ ُ َ‫ِإ َّن الَّذِينَ َكف َُروا يُ ْن ِفقُونَ أ َ ْم َوالَ ُه ْم ِلي‬
َ ‫صدُّوا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk


menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian
menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka
Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan,” (QS. Al-Anfal: 36)

Oleh karena itu, pelalaian akan infaq di jalan Allah ini akan menyebabkan surutnya
kembali cahaya Islam dan tertutupinya kebenaran Islam. Tertutup oleh kegelapan
kebatilan dan kezhaliman yang mengobral harta mereka untuk melawan kebenaran.

Perhatikanlah dalam penggalan sejarah ketika para sahabat berkeinginan meminta


dispensasi kepada Rasulullah untuk tidak lagi berinfaq dan meninggalkan dakwah yang
telah maju di Madinah untuk sekadar memetik keuntungan duniawi. Permintaan
dispensasi tersebut dijawab oleh Allah dengan sebuah penegasan untuk berinfaq di
jalan Allah SWT.

َ‫َّللاَ يُحِ بُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬


َّ ‫َّللاِ َو ََل ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة َوأَحْ ِسنُوا إِ َّن‬
َّ ‫يل‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا فِي‬
ِ ِ‫سب‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Semoga Allah SWT senantiasa melapangkan rezki kepada kita dan memberikan
kekuatan kepada kita untuk berinfaq di jalan Allah SWT dalam menegakkan agama
Allah di muka bumi ini. (dkw)

Generasi Islam pertama yang dibina Rasulullah SAW adalah sebaik-baik generasi Islam
yang seluruh kehidupannya merupakan teladan kaum muslimin sepanjang masa.
Mereka adalah generasi yang diturunkan Allah kepada umat manusia, hidup di bawah
bimbingan wahyu Allah dan pendidikan Rasulullah sehingga mereka dijuluki sebagai
umat terbaik yang diturunkan Allah ke muka bumi. Mereka adalah generasi-generasi
agung, yang keagungannya menjadi mercusuar sepanjang zaman.

Demikian pula, mereka adalah pejuang-pejuang agung yang rela mengorbankan jiwa
raga dan hartanya untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di muka bumi. Mereka
adalah sebaik-baik teladan dalam perjuangan di jalan Allah. Karenanya, tidaklah
sempurna pembahasan mengenai jihad dengan harta jika perjuangan mereka dalam
mengorbankan hartanya di jalan Allah tidak dikemukakan. Pada bagian ini akan
dikemukakan profil para pejuang di jalan Allah yang telah mengeluarkan hartanya
untuk perjuangan Islam.

1. Khadijah RA., Ummahatul Mu’minin Pertama

Dalam tarikhnya, Ibnu Atsir menulis, “Siti Khadijah adalah seorang niagawati yang
mempunyai kedudukan terhormat dan memiliki harta kekayaan besar. Dalam
mengelola perniagaannya, ia mempekerjakan kaum pria untuk menjualkan barang-
barang dagangannya dengan menerima sebagian dari keuntungan yang
didapatnya. (”3) (Lihat Muhammad al-Ghazali, Fiqhus Sunnah, hlm. 132)
Niagawati kaya raya ini lalu menikah dengan seorang pemuda calon pemimpin besar
umat manusia, Muhammad al-amin. Allah telah memilih pendamping yang sangat tepat
bagi misi-misi besar yang diembannya kelak, seorang wanita terhormat, kaya raya,
cerdas, tegas, bijaksana, dan rela mengorbankan hartanya untuk mendukung
perjuangan suaminya tercinta. Khadijah RA adalah profil hartawan muslimah agung
yang pengorbanannya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Ketika suami tercintanya menjauhi dunia untuk ber-tahannuts, mencari kebenaran


hakiki di kesunyian Gua Hira, dengan penuh pengorbanan, disiapkannya seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Seluruh harta benda miliknya dikorbankan kepada
perjuangan suci suaminya untuk membebaskan umat manusia dari kesesatan dan
kejahiliyahan. la tidak pernah mengeluh dan menghitung-hitung berapa besar yang
dikeluarkannya untuk perjuangan suaminya ketika wahyu telah turun.

Khadijah RA, bangsawan kaya raya yang telah mengorbankan seluruh miliknya untuk
perjuangan menegakkan risalah Islam yang diemban suaminya tercinta, Muhammad
Rasulullah. Dengan pengorbanannya, ia rela hidup menderita, senantiasa kekurangan,
meninggalkan kemewahan duniawi, menjadi miskin demi menegakkan keyakinannya;
sampai ia wafat di tengah-tengah kemiskinan dan kekurangan suami dan para pengikut
setianya. Sesungguhnya, pantaslah Rasulullah mencintai orang yang telah
mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan Islam seperti Khadijah, istrinya tercinta.

Tiada kata-kata yang lebih indah untuk melukiskan pengorbanan sucinya kecuali kata-
kata sang kekasihnya, Muhammad Rasulullah, orang yang langsung merasakannya,
“Demi Allah, tiada ganti yang lebih baik darinya, yang beriman kepadaku di saat semua
orang ingkar, yang membenarkanku ketika semua mendustakanku, yang
mengorbankan hartanya di saat semua berusaha menahannya, dan… darinyalah aku
mendapatkan keturunan….”

Berbahagialah Khadijah RA., seorang hartawan muslimah yang telah hidup bersama
Islam dan menghidupkan Islam dengan apa yang dimilikinya dan rela meninggal di
tengah-tengah keislamannya dalam mendukung perjuangan suci suaminya. Pantaslah
ia mendapatkan kedudukan terhormat di mata Rasul-Nya dengan pengorbanan yang
telah diberikannya sehingga menimbulkan kecemburuan istri-istrinya yang lain,
walaupun Khadijah telah wafat.
2. Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar ibnul-Khaththab

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah salah seorang bangsawan dan hartawan Quraisy yang
mengikuti Rasulullah di awal dakwah Islam. Dengan kekayaan yang dimilikinya, Abu
Bakar telah banyak berbuat untuk menjayakan perjuangan Islam, membantu saudara-
saudara seimannya yang lemah, membebaskan mereka dari perbudakan dan kesulitan-
kesulitan ekonomi lainnya. Kedermawanan Abu Bakar tidak dapat ditandingi oleh para
sahabat lainnya karena ia telah mengorbankan seluruh harta bendanya untuk
perjuangan Islam. Dalam sebuah riwayat disebutkan sebagai berikut.

Umar ibnul-Khaththab RA., berkata, “Rasulullah menyuruh kami supaya bersedekah.


Kebetulan ketika itu, aku mempunyai harta. maka kataku dalam hati, ‘Sekarang, aku
dapat mengungguli Abu Bakar sekalipun aku tidak pernah mengunggulinya.’ Aku pun
datang membawa separo hartaku. Rasulullah bertanya, ‘Berapa engkau tinggalkan
untuk keluargamu?’ ‘Sebanyak itu pula,’ jawabku. Datanglah Abu Bakar membawa
seluruh hartanya dan Rasulullah bertanya kepadanya, ‘Berapa engkau tinggalkan untuk
keluargamu?’Jawabnya, ‘Aku tinggalkan buat mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Aku (Umar)
berkata, ‘Aku tidak akan dapat mengungguli Anda buat selama-lamanya.” (HR Abu
Dawud dan Tirmidzi)

Kedermawanan mereka berdua, Abu Bakar dan Umar, tidak perlu dikomentari panjang
lebar lagi. Riwayat tersebut telah menggambarkannya dengan indah dan tuntas.
Mereka tidak pernah menahan harta bendanya jika; hal itu untuk kepentingan Islam
dan perjuangannya; mereka selalu berlomba- lomba untuk mengeluarkannya.

3. Utsman bin Affan

Ketika Perang Tabuk (perang terbesar ketika itu antara kaum muslimin dan tentara
Romawi pada bulan Rajab tahun 9 H) diperintahkan oleh Rasulullah pada musim panas
yang terik, perjalanan yang ditempuh amat jauh dan jumlah musuh sangat besar.
Demikian pula perlengkapan yang dipersiapkan harus memadai. Rasulullah lalu
menganjurkan kepada para sahabat untuk mengeluarkan sumbangan menurut
kemampuan masing-masing.

Para sahabat berlomba-lomba mengeluarkan infak, demikian juga kaum wanita


berlomba mengeluarkan barang perhiasannya dan menyerahkannya kepada Rasulullah
guna membantu persiapan angkatan perang, namun sumbangan itu tidak seberapa
banyak dan belum mencukupi persiapan guna menghadapi tentara Romawi yang
demikian besar dan tangguh.

Ketika Rasulullah memandang pasukan yang besar dan panjang dari para sahabat,
beliau bersabda, “Barangsiapa yang dapat membiayai mereka. Allah akan
mengampuninya.” Mendengar jaminan ampunan Allah itu, tampillah Utsman dari arah
yang tidak diduga dari dalam barisan panjang itu, menyanggupkan diri untuk
membiayai seluruh keperluan pasukan perang yang terkenal dengan nama Jaisul
Usrah ‘pasukan di waktu susah’.

Berkata Ibnu Syihab az-Zuhri sehubungan dengan infak Utsman bin Affan itu, “Utsman
telah menyerahkan kepada Jaisul Usrah dalam Perang Tabuk sejumlah 940 ekor unta
ditambah dengan 60 ekor kuda untuk membulatkan jumlah menjadi seribu ekor.”

Berkata Hudzaifah al-Yamani, “Utsman datang kepada Rasulullah saw. dengan


membawa uang untuk Jaisul Usrah dengan dicurahkan di atas telapak tangannya.
Rasulullah pun membolak-balikkan uang itu dengan tangannya seraya bersabda, ‘Allah
telah mengampuni dosa-dosamu, yang kamu wahai Utsman, baik yang kamu
sembunyikan maupun nyatakan, begitupun apa yang akan terjadi nanti sampai kiamat”

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya baru berhijrah ke Madinah, mereka langsung
mendapat ujian dari Allah dengan menghadapi kesulitan air, sehingga ada di antara
para sahabat yang berkata, “Kami tidak tahan tinggal di tempat ini,” sambil menunjuk
tempat yang banyak airnya milik orang Yahudi, sebuah mata air tawar yang suka
dijualya dengan satu gantang gandum untuk setimba air.

Rasulullah sangat mengharapkan kiranya di antara sahabat ada yang bersedia membeli
telaga itu sehingga air dapat dialirkan kepada kaum muslimin tanpa memungut
bayaran. Tampillah sekali lagi Utsman bin Affan untuk memenuhi harapan Rasulullah itu
dan membeli separo dari telaga itu dengan harga 12.000 dirham. Cara pemanfaatannya
dengan bergiliran, satu hari Yahudi dan satu hari untuk kaum muslimin. Karena orang
Yahudi itu mengharapkan pendapatan yang lebih banyak, ia menawarkan kepada
Utsman bin Affan untuk membeli yang sebagian lagi, lalu dibelilah seluruhnya, sehingga
melimpahruahlah air itu untuk kaum muslimin.
4. Abdurrahman bin Auf

Diriwayatkan dari Anas RA. bahwa ketika Aisyah di rumahnya tiba-tiba terdengar suara
getaran dan hiruk pikuk di luar rumah. Aisyah bertanya, “Suara apakah itu?’ Dijawab
oleh seseorang, “Itu suara kafilah Abdurrahman bin Auf yang baru tiba dari Syam
membawa barang dagangannya kira-kira tujuh ratus unta, yang menimbulkan suara
demikian.” Aisyah berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Saya telah
melihat Abdurrahman bin Auf masuk ke dalam surga dengan merangkak.”’ Keterangan
ini sampai kepada Abdurrahman bin Auf, lalu ia berkata, “Jika dapat, aku akan
usahakan untuk masuk sambil berdiri.” Semua unta dengan muatannya lalu diinfakkan
di jalan Allah.

5. Ummahatul Mukminin Aisyah RA.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Abdullah bin Zubair mengirim uang sebanyak
180.000 dirham kepada Aisyah RA., sedangkan ketika itu ia tengah berpuasa. Uang itu
lalu dibagi-bagikan hingga petang dan tidak tersisa. Ketika sudah petang, Aisyah
berkata kepada hambanya, “Sediakan untuk berbuka puasa.” Disediakanlah roti dan
minyak zaitun oleh hambanya sambil berkata, “Apakah engkau tidak dapat membeli
daging dari uang yang dibagi-bagikan itu walau hanya sedirham?” Aisyah RA.
menjawab, “Sudahlah, jangan marah padaku. Sekiranya engkau mengingatkan, tentu
aku dapat mengerjakan itu.”

6. Sa’ad Ibn Ar-Rabi

Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut. Setibanya kaum Muhajirin di Madinah,


Rasulullah saw. segera mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad ibnur-
Rabi.’ Ketika itu, kepada Abdurrahman, Sa’ad berkata, “Aku termasuk orang Anshar
yang mempunyai banyak harta kekayaan dan kekayaan itu akan kubagi dua, separo
untuk Anda dan separo untukku. Aku juga mempunyai dua istri. Lihatlah mana yang
Anda pandang baik bagi Anda sebutkan namanya, ia akan segera kucerai dan sehabis
masa iddahnya, Anda kupersilakan menikahinya.”

Abdurrahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda.


Tunjukkanlah kepadaku di manakah pasar kota kalian.”
Demikianlah sedikit dari beberapa contoh agung para pejuang di jalan Allah yang telah
mengorbankan harta bendanya untuk menegakkan Islam di muka bumi. Seluruh
generasi Islam pertama adalah para pejuang sejati yang telah mengorbankan jiwa dan
hartanya untuk perjuangan di jalan Allah. Dada mereka yang telah dipenuhi oleh
keimanan dan keislaman, tidak akan ragu mengorbankan apa saja untuk kepentingan
agamanya.

Perjuangan agung mereka tidak mungkin dapat diuraikan satu per satu, namun
perjuangan mereka pada hakikatnya adalah perjuangan suci yang dilandasi keimanan
mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka sangat yakin bahwa semua pengorbanan
yang diberikan akan dibalas dengan surga dan segala kenikmatannya. Untuk mendapat
kenikmatan akhirat inilah, mereka berlomba-lomba mengeluarkan hartanya di jalan
Allah. Pengorbanan mereka yang agung dan mulia telah menjadikan Islam sebagai
agama yang menyelamatkan dunia.

Mereka yang memiliki harta benda dan mengaku sebagai orang yang beriman, tidak
akan menumpuk harta bendanya secara berlebih-lebihan sebagaimana yang telah
dicontohkan generasi Islam pertama, karena mereka mengetahui bahwa dunia ini
adalah ladang untuk menanam amal saleh agar dapat dipanen kelak di akhirat. Mereka
yang telah diberi kelebihan harta oleh Allah, namun dipergunakan untuk kepuasan
duniawi dan tidak dibelanjakan di jalan Allah, bukanlah termasuk orang-orang yang
dirahmati Allah kelak.

Apalagi seperti saat ini, di mana musuh-musuh Islam telah menggalang dana besar
untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin, sedangkan para pejuang di jalan
Allah sangat kesusahan mendapatkan dana perjuangan mereka. Pada saat seperti ini,
pengorbanan mengeluarkan harta di jalan Allah akan mendapatkan ganjaran yang
sangat besar dan orang-orang yang tidak mengeluarkannya akan mendapat kemurkaan
dan bencana besar. (dkwt)

Вам также может понравиться