Вы находитесь на странице: 1из 24

MAKALAH tentang Mengenal Manusia Purba di Indonesia

Karya Tulis

Mengenal Manusia Purba di Indonesia


Disusun Oleh:

Drevanda Opsian S. (13)

X MIA-4

SMAN 1 KANDANGAN

TAHUN PELAJARAN 2014/2015


MAKALAH mengenal manusia purba di indonesia

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Mengenal Manusia Purba di Indonesia

Penyusun : Drevanda Opsian S.

Kelas : X MIA-4

Sekolah : SMAN 1 Kandangan

Makalah ini Telah diterima dan disahkan

Oleh :

Kandangan, 2014

Guru Pembimbing
Dra. MINUK SRI KUNTARI

NIP: 19651112 199303 2 001

Yang bersangkutan

Penulis
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Makalah

Mengenal Manusia Purba di Indonesia", yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari sejarah.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggung perasaan
pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Kandangan, 2014

"Penulis"
DAFTAR ISI

1.

Lembar pengesahan

2.

Kata pengantar

3.
Daftar isi

4.

Pendahuluan

5.

Pembahasan

6.

Penutup

18

7.

Daftar Pustaka

19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penemuan - penemuan fosil di dunia banyak disumbang oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia
merupakan wilayah tropis dan mempunyai iklim yang cocok di huni manusia kala itu. Penemuan –
penemuan fosil sangat bergua bagi perkembangan ilmu sejarah sekarang ini. Baik dalam hal menjelaskan
kehidupan manusia kala itu,. Hewan yang pernah hidup dan bagaimana evolusi manusia hingga menjadi
sekarang ini. Indonesia banyak menyumbang fosil manusia –manusia purba. Oleh karena itu dalam
makalah ini akan dijelaskan perkembangan manusia purba dari mulai bagaimana menemukannya,cirri-
ciri dari manusia purba dan tempat ditemukanya,sampai evolusi manusia mulai dari pertama kali muncul
hingga menjadi manusia sekarang ini.

Dilihat dari hasil penemuan di Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia mempunyai banyak sejarah
peradapan manusia mulai saat manusia hidup. Dengan begitu ilmu sejarah akan terus berkembang
sejalan dengan fosil- fosil yang ditemukan. Makalah ini dibuat untuk mengetahui lebih jelas dan
terperinci mengenai fosil- fosil manusia purba yang ditemuakan di Indonesia. Penemuan –penemuan
terbaru juga termasuk di dalamnya. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui perkembangan fosil terbaru
yang ditemukan seperti Homo Moernman. Dijelaskan pula tempat penemuan dan bentuk penemuannya
agar isi makalah ini dapat dipercaya kebenaranya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas
adalah sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana jenis dan ciri manusia purba pada zaman dahulu?

1.2.2 Bagaimana persebaran manusia purba pada zaman dahulu?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan sebagai berikut :

1.3.1 Untuk mengetahui Jenis manusia purba pada zaman dahulu

1.3.2 Untuk mengetahui tempat persebaran manusia purba pada zaman dahulu

1.4 Manfaat

Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaca untuk menambah pengetahuan tentang
jenis danciri manusia purba pada zaman dahulu

1.4.2. Dapat menjadi informasi berharga bagi para penulis guna menciptakan tulisan yang lebih
bermanfaat bagi masyarakat untuk bisa mengetahui manusia-manusiapurba di Indonesia pada zaman
dahulu.
1.4.3. Digunakan penulis untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah dalam kurikulum 2013 ini.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manusia Purba

Tempat-Tempat Penemuan Fosil Manusia purba

1. Sangiran

Sangiran, daerah pedalaman di kaki bukit Gunung Lawu, sekitar tujuh belas kilometer dari kota Solo,
Jawa Tengah, dikenal sebagai kawasan yang menyimpan sisa-sisa kehidupan masa lampau. Setidaknya
telah ditemukan sekitar empat belas ribu fosil, atau sisa-sisa kehidupan masa silam yang telah membatu.

Di kawasan Sangiran ini pula, fosil homo erectus, manusia purba yang sudah maju ditemukan. Dengan
luas wilayah hampir enam puluh kilometer persegi, Sangiran menyimpan lima puluh persen jumlah fosil
yang ditemukan di dunia, serta enam puluh lima persen fosil yang ada di Indonesia. Tahun 1977,
Sangiran resmi ditetapkan sebagai daerah cagar budaya, diperkuat dengan ketetapan Komite World
Heritage, UNESCO, Sangiran sebagai salah satu warisan dunia. Bisa dibayangkan, bagaimana Sangiran
menjadi suatu kawasan istimewa bagi Indonesia.

Bangunan museum Sangiran yang terletak di lokasi situs purbakala ini tergolong biasa saja. Padahal di
bangunan sederhana inilah tersimpan sebagian rahasia kehidupan masa prasejarah yang penuh misteri.
Ruang pamernya menghadirkan berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran, baik fosil hewan maupun
manusia. Dari koleksi fosil yang ada, bisa diketahui serta dipelajari pola hidup hewan dan manusia,
berjuta-juta tahun lalu.

Fauna yang pernah ditemukan antara lain, buaya dan kura-kura raksasa, dan fosil gading gajah sepanjang
4 meter, serta rahang badak, rhinocerus sondaicus.

Hewan-hewan ini diperkirakan hidup di Sangiran sekitar 500 ribu hingga 700 ribu tahun lalu.
Selain hewan bertulang belakang, di museum Sangiran juga dapat dijumpai fosil-fosil manusia purba.
Bahkan, koleksi Sangiran merupakan koleksi terlengkap yang dapat menjelaskan tentang tahap
perkembangan manusia, mulai dari yang belum mengenal peradaban, hingga yang sudah maju. Hal ini
bisa diketahui dari bentuk fisik, seperti volume otak, cara berjalan, hingga penemuan alat-alat batu yang
membuktikan pola pikir manusia saat itu, sudah maju. Seperti ciri-ciri homo erectus, dengan tinggi
badan 165 hingga 180 senti meter, postur tegap, serta cara berjalan tegak, merupakan contoh manusia
purba sempurna, tidak berbeda dengan manusia sekarang. Dengan koleksi yang tergolong lengkap,
bukan satu keanehan, jika Sangiran menjadi salah satu tempat penelitian utama bagi arkeolog dalam dan
luar negeri. Namun sebagai tempat wisata, Sangiran menjadi pilihan terakhir bagi wisatawan, jika hanya
menawarkan temuan fosil.

Berbagai koleksi di museum ini, tidak bisa dilepaskan dari kerja keras para ahli purbakala yang ada. Perlu
kehati-hatian dalam menjaga serta merawat keutuhan sebuah fosil, karena ciri khas fosil yang mudah
hancur akibat lapuk. Namun pada kenyataannya, masih banyak pegawai museum yang mendapatkan gaji
di bawah standar, yakni sebesar 140 ribu rupiah perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja, beberapa
karyawan museum masih belum diangkat sebagai pegawai resmi museum.

Museum Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit. Bahkan sebelum resmi
menjadi museum seperti sekarang ini, benda purbakala di Sangiran berpindah-pindah ke beberapa
tempat. Seperti di Balai Desa Krikilan, yang dikenal sebagai museum Plestosin tahun 1975 hingga 1987.
Sangiran baru diresmikan sebagai museum prasejarah nasional di tanah air tahun 1988, seiring
bertambahnya penemuan fosil di kawasan tersebut.

Proses penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil yang ada, 80 persen
merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar, sementara hanya 20 persen murni hasil penelitian.
Bertani sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakat setempat, semakin mendukung temuan fosil
oleh warga sekitar, mengingat temuan tersebut lebih banyak ditemukan saat mereka bercocok tanam.

Setelah sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian untuk membedakan
apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu biasa. Keahlian ini mereka peroleh dari
keterlibatan mereka saat para peneliti seperti von koenigswald tahun 1934, melakukan pencarian fosil di
kawasan tersebut.

Rata-rata masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang purba, karena ketidak
sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di antara situs Sangiran yang berupa tebing-tebing.
Akibat terkikis air, fosil tersebut akan nampak ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat musim tanam
tiba, masyarakat justru disibukkan oleh penemuan fosil baru. Hasil temuan mereka selanjutnya, akan
diserahkan kepada museum Sangiran. Sebagai imbalan, pihak museum akan memberikan uang imbalan
yang disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil gading gajah sepanjang 4 meter misalnya,
museum mengganti uang sebesar 300 ribu rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum
memberikan imbalan hingga 3 juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.
Di sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual belikan secara gelap, dengan harga
yang cukup menggiurkan. Kabarnya, seorang arkeolog Jepang pernah membeli sebuah fosil tengkorak
manusia dari Sangiran, seharga 3 milyar rupiah dari pasar gelap. Pengawasan terhadap tindak pencurian
ini diakui cukup sulit, karena hanya mengandalkan petugas museum. Saat ini laporan temuan dari
masyarakat dirasakan semakin menurun, sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat warga setempat
menjual temuan-temuan mereka secara diam-diam, ditampung pihak-pihak yg tidak berhak.

Ada rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih menarik minat
wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang, serta membenahi ruang museum yang sudah
tidak mampu menampung fosil yang ada saat ini.

Sangiran, selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya. Namun disinilah
terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa prasejarah, yang bisa dijadikan tuntunan
umat manusia dalam menghadapi tantangan di masa depan. Pemikiran untuk menjadikan Sangiran
sebagai salah satu obyek wisata perlu dipertimbangkan matang, agar warisan dunia ini tetap terjaga
keutuhannya.

2. Trinil

Trinil adalah situs paleoantropologi di Indonesia yang sedikit lebih kecil dari situs Sangiran. Tempat ini
terletak di Desa Kawu, KecamatanKedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, kira-kira 13 km sebelum
pusat kota Ngawi dari arah kota Solo. Trinil merupakan kawasan di lembah Bengawan Solo yang menjadi
hunian kehidupan purba, tepatnya zaman Pleistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.

Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi menemukan bekas manusia purba
pertama di luar Eropa (saat itu) yaitu spesimen manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil
manusia purba Pithecanthropus erectus serta berbagai fosil hewan dan tumbuhan purba.

Saat ini di Trinil berdiri sebuah museum yang menempati area seluas tiga hektare, dengan koleksi di
antaranya fosil tengkorakPithecantrophus erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris),
fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng
purba (Bibos palaeosondaicus). Situs ini dibangun atas prakarsa dari Prof. Teuku Jacob, ahliantropologi
ragawi dari Universitas Gadjah Mada.
A. Perkembangan Fosil Manusia Purba di Indonesia

Penemuan manusia purba diawali dengan kegiatan excavasi / penggalian di tempat-tempat yang diyakini
terdapat fosil-fosil manusia purba. penggalian dilakukan dengan teknik arkeologi agar fosi tidak
mengalami kerusakan. setelah digali, maka fosil akan dibersihkan dengan bahan-bahan kimia tertentu,
agar unsur-unsurnya tdk mengalami kerusakan. Langkah selanjutnya adalah merekonstruksi / menyusun
lagi fosil-fosil seprti pada saat ditemukan.

Penelitian ilmiah mengenai fosil dimulai pada akhir abad ke-19. Penelitian Paleoantropologi manusia
purba di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1889-1909, 1931-1941, dan 1952 hingga
sekarang.

Eugone Dubois menduga bahwa manusia purba pasti hidup di daerah tropis. Menurutnya, hal ini
disebabkan perubahan iklim sepanjang sejarah tidak banyak dan di daerah tropis pula monyet serta kera
masih banyak yang hidup. Ketika datang ke Indonesia, Eugone Dubois mulai menyelidiki gua-gua di
Sumatera Barat. Namun, hanya tulang-tulang subresen yang ditemukan.

Penemuan Eugena Dubois : Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia
setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di
Wajak, Tulung Agung.yang menyebabkan Dubois memindahkan kegiatan penelitiannya ke daerah Jawa.
Fosil kiriman itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah
berpikir maju). homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000 hingga
150.000 tahun yang lalu. Temuan Dubois pertama, 1889, berupa fosil atap tengkorak Pithecanthropus
Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir
Bengawan Solo, dekat Ngawi, , tahun 1891. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar
770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan tersebut adalah tulang
rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang tengkorak.Temuan lainnya adalah Pithecanthropus
Mojokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto dan Pithecanthropus Soloensis, ditemukan di daerah
Solo.

Penemuan Selenka dan Tim : Pada 1907-1908, Selenka dan regunya melakukan penyelidikan dan
penggalian di Trinil. Namun, penggalian tersebut tidak membuahkan hasil fosil manusia purba. Yang
ditemukan berupa fosil hewan dan tumbuhan yang dapat menambah referensi mengenai kehidupan
manusia Pithecanthropus Erectus.

Penemuan Ter Haar dan Tim : Antara 1931-1933, Ter Haar dan Oppenoorth melakukan pencarian di
Ngandong, Blora. Dari hasil pencarian, didapat penemuan yang sangat penting berupa tengkorak dan
tulang kering Pithecantropus Erectus. Satu seri tulang tengkorak yang besar jumlahnya dalam masa
pendek dan berada di satu tempat yang tidak begitu luas.

Penemuan Tjokrohandojo : Pada 1926, Tjokrohandojo yang bekerja di bawah pimpinan Duyfjes
menemukan fosil manusia purba anak-anak di daerah Perning, sebelah utara Mojokerto. Penemuan ini
adalah pertama kali ditemukannya fosil tengkorak anak-anak di lapisan bawah Pleistosen Bawah.

Penemuan Von Koenigswald : Antara 1936-1941, Von Koenigswald menemukan fosil-fosil rahang, gigi,
dan tengkorak Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus juga fosil hewan di daerah Sangiran,
Surakarta. Penemuan ini terjadi di lapisan Pleistosen Tengah maupun Pleistosen Bawah pada satu tempat
dan memperlihatkan adanya variasi morfologis. Perbedaan variasi tersebut, menurut para ahli, memiliki
perbedaan pada tingkat rasial, spesies, maupun genus. Yaitu, varian-varian yang berasal dari masa lalu.
Penemuan lain Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning
berusia 5 tahun, Mojokerto. . Homo Sapien Soloensis (Homo Soloensis), ditemukan oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich di tempat-tempat antara lain : Ngandong Blora, Sangiran dan Sampung
macan (Sragen), lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 – 1934.

Penemuan lain tentang manusia Purba ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha
manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan
(Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).

Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh
Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.

Semua hasil penemuan fosil-fosil manusia purba pada tahap pertama disimpan di Leiden dan temuan
tahap kedua disimpan di Frankfurt (Jerman Barat). Akibat adanya Perang Dunia II, pencarian
Paleontropologi tertunda. Tahap ketiga baru dimulai setelah Indonesia merdeka dan penemuan yang
didapat disimpan di negara tempat fosil tersebut ditemukan, Indonesia.

2.2 Jenis-Jenis Manusia Purba

Ada beberapa jenis manusia purba yang ditemukan di wilayah Indonesia adalah sebagai berikut :

2.2.1 Meganthropus Paleojavanicus

Meganthropus paleojavanicus berasal dari kata-kata; Megan artinya besar, Anthropus artinya manusia,
Paleo berarti tua, Javanicus artinya dari Jawa. Jadi bisa disimpulkan bahwa Meganthropus paleojavanicus
adalah manusia purba bertubuh besar tertua di Jawa. Fosil manusia purba ini ditemukan di daerah
Sangiran, Jawa tengah antara tahun 1936-1941 oleh seorang peneliti Belanda bernama Von
Koeningswald. Fosil tersebut tidak ditemukan dalam keadaan lengkap, melainkan hanya berupa
beberapa bagian tengkorak, rahang bawah, serta gigi-gigi yang telah lepas. Fosil yang ditemukan di
Sangiran ini diperkirakan telah berumur 1-2 Juta tahun.

Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus :

· Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.

· Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok.

· Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai kera.

· Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.

· Makanannya berupa daging dan tumbuh-tumbuhan.

2.2.2 Pithecanthropus

Fosil manusia purba jenis Pithecanthrophus adalah jenis fosil manusia purba yang paling banyak
ditemukan di Indonesia. Pithecanthropus sendiri berarti manusia kera yang berjalan tegak. Fosil
Pithecanthropus berasal dari Pleistosen lapisan bawah dan tengah. Mereka hidup dengan cara berburu
dan mengumpulkan makanan Mereka sudah memakan segala, tetapi makanannya belum dimasak.
Terdapat tiga jenis manusia Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia, yaitu Pithecanthrophus
erectus, Pithecanthropus mojokertensis, dan Pithecanthropus soloensis. Berdasarkan pengukuran umur
lapisan tanah, fosil Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia mempunyai umur yang bervariasi,
yaitu antara 30.000 sampai 1 juta tahun yang lalu.

1. Pithecanthropus erectus, ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di sekitar lembah sungai
Bengawan Solo, Trinil, Jawa Tengah. Mereka hidup sekitar

satu juta sampai satu setengah juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Erectus berjalan tegak dengan
badan yang tegap dan alat pengunyah yang kuat. Volume otak Pithecanthropus mencapai 900 cc.
Volume otak manusia modern lebih dari 1000 cc, sedangkan volume otak kera hanya 600 cc.

(Pithecanthropus erectus)

2. Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus. Fosil manusia purba
ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di Mojokerto, Jawa Timur. Temuan tersebut
berupa fosil anak-anak berusia sekitar 5 tahun. Makhluk ini diperkirakan hidup sekitar 2,5 sampai 2,25
juta tahun yang lalu. Pithecanthropus Mojokertensis berbadan tegap, mukanya menonjol ke depan
dengan kening yang tebal dan tulang pipi yang kuat.
3. Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan
Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan berupa
tengkorak dan juga tulang kering.

Ciri-ciri Pithecanthropus :

· Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.

· Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.

· Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc.

· Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.

· Hidung lebar dan tidak berdagu.

· Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang besar.

· Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.

2.2 Homo Sapiens

Homo Sapiens merupakan sebuah spesies dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan
tinggi. Dalam sebuah mitos, manusia seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi
kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dimasyarakat
majemuk serta perkembangan teknologinya, serta berdasarkan kemampuan mereka membentuk sebuah
kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan. Manusia pada dasarnya
adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu
melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnya dengan alat
pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama
makhluk alamiah, berbeda dengan manusia hewan tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan
nalurinya dan terikat erat oleh alam sekitarnya.

Jenis manusia ini termasuk manusia yang memiliki pikiran yang cerdas dan bijaksana. Dengan daya
pikirnya manusia dapat berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan pada masa sekarang atau masa yang
akan datang berdasar kan pertimbangan masa lalu yang merupakan pengalaman. Pemikiran yang
sifatnya abstrak merupakan salah satu wujud budaya manusia yang kemudian diikuti wujud budaya lain,
berupa tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan mengerjakan suatu tindakan. Manusia purba jenis
ini memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia sekarang. Dibandingkan manusia purba
sebelumnya, homo sapiens lebih banyak meninggalkan benda – benda berbudaya. Diduga, inilah yang
menjadi nenek moyang bangsa – bangsa di dunia.

Ciri-ciri Homo Sapiens :

§ Tinggi tubuh 130-210 cm

§ berat badan 30 – 159 kg, dan volume otak 1350 – 1450 cc.

§ Otak lebih berkembang dari pada Meganthropus dan pithecanthropus.

§ Otot kunyah, gigi, dan rahang sudah menyusut.

§ Tonjolang kening sudah berkurang dan sudah berdagu.

§ Mempunyai ciri-ciri ras Mongoloid dan Austramelanosoid.

2.5 Jenis-Jenis Homo Sapiens

Homo Sapiensadalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia
sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana,
dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2 yaitu:

1. Homo Soloensis ( Manusia dari Solo)

Fosil ini ditemukan pada tahun 1931 – 1934 oleh Von Koenigswald dan Wedenreich di desa Ngadong
lebah Bengawan Solo. Fosilnya berupa tengkorak menurut penelitian terrnyata Homo Soloensis
tingkatanya lebih tinggi di banding Pithecanthropus Erektus.

Ciri-ciri homo soloensis :

§ Otak kecilnya lebih besar dari pada otak kecil Pithecanthropus Erectus.

§ Tengkoraknya lebih besar daripada Pithecanthropus Erectus.

§ Tonjolan kening agak terputus di tengah (di atas hidung).

§ Tinggi badan antara 130 – 210 cm

§ Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc

§ Otot tengkuk mengalami penyusutan

§ Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna

2. Homo Wajakensis
Fosil ini ditemukan pada tahun 1889 oleh Eugene Dobois di desa

Wajak( Tulung Agung) Jawa Timur. Fosil yang ditemukan berupa tulang tengkorak, rahang atas dan
rahang bawah tulang pah dan tulang kering. Homo Wajakensis golongan homo Sapiens kelompok
manusia purba maju dan terakhir. Dan ini membuktikan bahwa Indonesia sejak 40.000 tahun yang lalu
sudah didiami manusia sejenis Homo Sapiens.

Ciri-ciri homo wajakensis :

Ø Berbadan tegap

Ø Mukanya tidak terlalu menonjol ke depan.

Ø Hidung lebar dan bagian mulutnya menonjol

Ø Tengkoraknya lebih besar dibanding Pithecanthropus.

Ø Dahinya agak miring dan di atas mata terdapat busur kening yang nyata

Ø Tenggorokannya sedang, agak lonjong, dan agak bersegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari
muka ke belakang

Ø Tingginya sekitar 180 cm

Ø Memiliki volume otak kecil, yaitu sekitar 1000-2000 cc dengan rata-rata 1350-1450 cc.

Ø Tinggi badang antara 130-210 cm, berat badan antara 30-150 kg.

Ø Hidup antara 25.000-40.000 tahun yang lalu

Ø Mampu membuat alat-alat dari batu dan tulang yang masih sederhana.

3. Homo Floresiensis

Homo floresiensis (“Manusia Flores“, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh kelompok peneliti
untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil
(sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua,
Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9)
menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).

Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan berbagai
ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-
temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari
94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
Penemuan

Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.

Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat
ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiensdan
berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali
menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung,
mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.

Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi
nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh RadenPandji Soejono
dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood
dari Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima
meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia
tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan
fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan,
Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan
terlebih dahulu.

Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000
tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-
individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat
diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu
disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya
sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka
dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu
untuk dilakukan.

Ciri-ciri Kontroversi

Salinan tengkorak H. floresiensis “LB1″ (kiri) dibandingkan dengan tengkorak manusia yang terkena
mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.

Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga
terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil
dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati
pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang
disebut mikrosefali (“kepala kecil”). Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang
manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok
Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu
bertengkorak kecil dan berotak kecil.

Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di
sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi
penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.

Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru
berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut
menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan
spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan
mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo
floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.

Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H.
sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological
Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa
Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari
H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali. Hasil analisis
kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1
(betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa
kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H.
floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin
purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance. Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak
membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.

Sumber: wikipedia

Perbandingan tengkorak Homo Floresiensis dengan Homo Sapiens

Hobbit Flores, Species Baru Hominin

TEMPO Interaktif, Jakarta – Debat tentang fosil Manusia Flores, Homo floresiensis, sering disebut juga
dengan hobbit Flores, masih terus berlangsung. Selama ini ada dua arus pendapat. Pertama, yang
menganggap Homo floresiensis sebagai spesies baru dari hominin, sering disebut Hobbit, pendapat ini
dimotori oleh para peneliti dari Australia, seperti antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan para
koleganya. Pendapat kedua mengatakan, Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru, tetapi
merupakan bagian dari spesies manusia modern dari bangsa Homo erectus yang menderita sindroma
kekerdilan dan penyakit microchepaly, –penyakit yang menyebabkan pengerdilan volume otak dan
ukuran tubuh, pendapat ini dimotori Profesor Teuku Jacob dan para koleganya dari Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

Baru-baru ini, para peneliti dari Universitas Medis Stony Brook, New York, Amerika Serikat,
mengumumkan hasil penelitiannya terhadap fosil Homo florensiensis yang cenderung mendukung
pendapat pertama dan menyimpulkan bahwa fosil itu merupakan spesies manusia kuno baru, atau
hobbit, dan kelainan mereka bukan disebabkan oleh suatu penyakit sehingga ukuran tubuhnya menjadi
mini. Dengan menggunakan metode penelitian analisa statistik terhadap kerangka fosil yang ditemukan,
para peneliti meyakini Homo floresiensis merupakan sebuah spesies baru dari manusia kuno, atau
hobbit, yang bertubuh mini, dan bukan versi manusia modern yang terkena penyakit sehingga tubuhnya
menjadi kerdil dan kemudian diturunkan secara genetis. Sehingga Homo floresiensis merupakan generasi
manusia yang belum sempurna jika dibandingkan dengan generasi Homo erectus, dan generasi manusia
sempurna Homo sapiens yang kini mendiami bumi. Detail lengkap dari hasil penelitian ini baru akan
dipublikasikan dalam Jurnal Significance, terbitan Royal Statistical Society, pada edisi bulan Desember
mendatang. Fosil Homo florensiensis pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh sekelompok peneliti
Australia dan Indonesia, di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.

Dari hasil rekonstruksi diketahui fosil ini merupakan kerangka dari manusia yang memiliki tubuh mini,
volume otak kecil, dan mirip dengan hominin, yaitu bangsa manusia kuno. Dari uji karbon terhadap fosil
temuan, spesies ini diperkirakan hidup di Flores sekitar 18.000 tahun yang lalu. Jika Anda menonton seri
film Lord of The Ring, manusia hominin ini disebut dengan hobbit yang bertubuh kecil. Para peneliti dari
Universitas Medis Stony Brook yang dipimpin William Jungers dan Karen Baad melakukan penelitian
terhadap kerangka fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan yang diberi code LB1 dan diberi
nama penelitian ‘Little Lady of Flores’ atau ‘Flo’, menyimpulkan fosil itu merupakan spesies hasil evolusi
hobbit. Penelitian meliputi fosil bagian tengkorak, rahang, telapak tangan, kaki, dan telapak kaki, yang
dibandingkan dengan ukuran fosil-fosil manusia temuan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan, kapasitas
otak LB1 diperkirakan hanya sekitar 400 cm saja, yang sebanding dengan ukuran otak Simpanse atau
Siamang berkaki dua di Afrika. Ukuran tengkorak dan tulang rahang Homo floresiensis, juga lebih primitif
dari ukuran fosil manusia modern normal yang ditemukan daerah dimanapun.

Temuan fosil Homo floresiensis relatif lengkap, sehingga para ilmuwan dapat melakukan rekonstruksi
sosoknya, yang dapat dibandingkan dengan sosok manusia modern. Tulang paha dan tulang betisnya
jauh lebih pendek daripada yang dimiliki manusia modern, bahkan jika dibandingkan dengan temuan
fosil manusia kerdil serupa di Afrika Tengah, Afrika Selatan, dan manusia kerdil negritto di Kepulauan
Andaman dan Filipina. Sehingga para peneliti berspekulasi ini merupakan bagian dari sebuah rantai
evolusi dari bangsa hominid, yang menyebar di berbagai lokasi dunia pada masa lalu. “Sulit dipercaya
proses evolusi dipengaruhi juga dengan kemampuan gerak agar lebih ekonomis,” ujar Jungers, “spesies
ini mengembangkan paha dan kaki yang lebih pendek, agar dapat berjalan kaki lebih baik dan efektif
pada waktu itu.”
Analisis statistik dari Jungers dengan persamaan regresi yang dia kembangkan, menunjukkan rata-rata
tinggi Homo floresiensis sekitar 106 cm, jauh lebih pendek dari rata-rata tinggi manusia modern kerdil
yang rata-rata memiliki tinggi 150 cm. Rekonstruksi menunjukkan sosok fisik LB1, juga jauh berbeda
dengan umumnya orang kerdil serupa yang ditemukan di Asia Tenggara maupun Afrika, baik pada tinggi
maupun ukuran tubuh. “Anatomi Homo floresiensis jauh lebih unik daripada anatomi manusia yang
terkena penyakit seperti microcephaly dan sindroma kekerdilan,” tegas Dr. Baab.

Debat apakah Homo floresiensis merupakan jenis manusia modern yang menderita penyakit kelainan
atau salah satu varian hobbit, tampaknya masih belum akan final. Namun jika Anda ingin mengenal
sosoknya, Anda bisa mengunjungi Museum Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung, Jawa Barat,
yang membuat dan memajang patung sosok Hobbit Flores ini didepan museum.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Manusia yang hidup pada zaman praaksara (prasejarah) disebut manusia purba. Manusia purba adalah
manusia penghuni bumi pada zaman prasejarah yaitu zaman ketika manusia belum mengenal tulisan.
Ditemukannya manusia purba karena adanya fosil dan artefak. Jenis-jenis manusia purba dibedakan dari
zamannya yaitu zaman palaeolitikum, zaman mezolitikum, zaman neolitikum, zaman megalitikum, zaman
logam dibagi menjadi 2 zaman yaitu zaman perunggu dan zaman besi. Ada beberapa jenis manusia
purba yang ditemukan di wilayah Indonesia MeganthropusPaleojavanicus yaitumanusia purba bertubuh
besar tertua di Jawa dan Pithecanthrophus adalah manusia kera yang berjalan tegak.

Corak kehidupan prasejarah indonesia dilihat dari segi hasil kebudayaan manusia prasejarah
menghasilkan dua bentuk budaya yaitu : bentuk budaya yang bersifat spiritual dan bersifat material; segi
kepercayaan ada dinamisme dan animisme; pola kehidupan manusia prasejarah adalah bersifat
nomaden (hidup berpindah-pindah dan bersifat permanen (menetap); sistem bercocok
tanam/pertanian; pelayaran; bahasa; food gathering dan menjadi food producing.

Homo Sapiensadalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia
sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka sangat sederhana,
dan hidupnya mengembara. Jenis kaum Homo Sapiens yang ditemukan di Indonesia ada 2 yaitu:

1. Homo Soloensis
2. Homo Wajakensis

Hasil kebudayaan Homo sapiens adalah perkakas yang terbuat dari batu dan zaman manusia
mempergunakan perkakas dari batu disebut Zaman Batu. Zaman batu terbagi dua tahap, yaitu: Zaman
Batu Tua (paleolithikum) dan Zaman Batu Baru (Neolithikum).

3.2 Saran

3.2.1 Diharapkan agar masyarakat dapat memahami maksud dari makalah ini dan bisa menambah
pengetahuan dan wawasan tentang manusia purba pada zaman dahulu.

3.2.2 Diharapkan bagi penulis lain untuk mencari referensi yang lebih relevan sebagai bahan dalam
pembuatan makalah guna menciptakan karya tulis yang lebih bermanfaat mengenai manusia homo
sapiens pada zaman dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.plengdut.com/2013/03/Manusia-Purba-Indonesia-yang-Hidup-pada-Masa-Praaksara.html

http://indonesiaindonesia.com/f/89905-manusia-purba-indonesia/

http://www.info-asik.com/2012/10/sejarah-manusia-purba.html

http://marhadinata.blogspot.com/2013/01/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://smpn1sdk91bubun2013.blogspot.com/2013/03/sejarah-manusia-purba.html

http://yessicahistory.blogspot.com/2013/04/sejarah-manusia-purba-di-indonesia.html

http://zulfahmigo.blogspot.com/2013/01/manusia-purba-pithecanthropus-erectus.html

http://jagoips.wordpress.com/2012/12/28/kehidupan-manusia-pra-aksara/

Вам также может понравиться