Вы находитесь на странице: 1из 28

LAPORAN KASUS

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)

KEJADIAN KASUS SCABIES PADA BABI, KAMBING, SAPI DAN


ANJING DI KABUPATEN KLUNGKUNG TAHUN 2012 – 2016

OLEH
NAMA : AYU CHITRA ADHITYA PUTRI
NIM : 1309006041
KELOMPOK : 11 H

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan
pertolonganNya laporan kasus ini dapat diselesaikan seturut kehendakNya.
Laporan kasus ini berjudul “Kejadian Kasus Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan
Anjing di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali Tahun 2012-2016”.

Dalam laporan ini pembaca dapat mengetahui status penyakit scabies yang
ada di wilayah Kabupaten Klungkung terkhusus pada ternak babi dan kambing.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan laporan ini,
dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat menambah pengetahuan dan wawasan dari pembaca,
akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Denpasar, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 3
1.5 Waktu dan Tempat 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kabupaten Klungkung 4
2.2 Scabies 5
2.3 Epidemiologi Penyakit Scabies 7
BAB III METODOLOGI
3.1 Metode Penulisan 12
3.2 Parameter 12
3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 13
4.2 Pembahasan 18
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 21
5.2 Saran 21
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Morfologi dorsal S. scabiei var. suis 7


Gambar 2. Kambing yang menderita scabies 8
Gambar 3. Rambut rontoh pada babi yang mengalami scabies 8
Gambar 4. Grafik Jumlah Kasus Scabies tahun 2012 – 2016 15
Gambar 5. Grafik Prevalensi kasus scabies pada Babi dan Kambing 17
Gambar 6. Grafik Prevalensi kasus scabies pada Sapi dan Anjing 17

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Penyakit Hewan Menular di Kabupaten Klungkung tahun


2012 – 2016 13
Tabel 2. Data Populasi Hewan Terkena Scabies di Kabupaten Klungkung
Tahun 2012 – 2016 14
Tabel 3. Kejadian Kasus Scabies tahun 2012 – 2016 di Kab. Klungkung 14
Tabel 4. Prevalensi kasus Scabies pada Babi di Kabupaten Klungkung
tahun 2012 – 2016 15
Tabel 5. Prevalensi kasus Scabies pada Kambing di Kabupaten Klungkung
tahun 2012 – 2016 15
Tabel 6. Prevalensi kasus Scabies pada Sapi di Kabupaten Klungkung
tahun 2012 – 2016 16
Tabel 7. Prevalensi kasus Scabies pada Anjing di Kabupaten Klungkung
tahun 2012 – 2016 16

v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peternakan merupakan salah satu sektor agraris yang berkembang di
Indonesia. Nutrisi yang dapat diperoleh yang bersumber dari peternakan seperti
protein hewani, kalsium, dan beberapa zat lainnya. Untuk memperoleh bahan asal
hewan yang berkualitas, aman, utuh, dan sehat diperlukan perhatian pada
sumbernya yaitu peternakan itu sendiri. Namun dalam perjalanan beternak
tidaklah semuanya berjalan mulus. Dalam hal ini penyakit dapat mengganggu
pertumbuhan hewan ternak. Ketika pemeliharaan yang dilakukan kurang baik
misalnya kurangnya sanitasi, kurangnya kebersihan, pakan yang diberikan tidak
cukup memenuhi kebutuhan hewan, serta tindakan kuratif dan promotif yang
terlambat juga dapat mengundang penyakit.
Scabies adalah penyakit kudis yang disebabka oleh ektoparasit. Scabies
memang tidak mempengaruhi kualitas daging ketika ada hewan ternak diserang
oleh penyakit ini akan tetapi yang terjadi adalah pertumbuhan hewan ternak yang
menjadi tidak baik. Tidak nafsu makan dikarenakan rasa gatal yang begitu
hebatnya akan membuat hewan ternak kelaparan sehingga tidak tercukupi
kebutuhan pangan yang seharusnya dikonsumsi setiap hari. Rasa gatal yang hebat
itu disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang tumbuh dan berkembang di
bawah lapisan kulit dengan membentuk terowongan di dalam dan hidup di dalam
foliker minyak rambut.
Scabies ini menyerang banyak sekali jenis hewan tidak hanya hewan
kesayangan tetapi hewan ternak dan satwa liar juga. Sarcoptes scabiei bersifat
obligat parasit yang mutlak memerlukan induk semang untuk berkembang biak.
Masalah skabies masih banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada negara
berkembang dan industri. Tingkat higiene, sanitasi dan sosial ekonomi yang
relatif rendah menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Di samping itu,
kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, kekurangan
makan dan hidup berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit skabies
dari penderita kepada hewan yang sehat (Partosoedjono, 2003). Berbeda dengan
pernyataan di atas, Mc Carthy et al. (2004) menyebutkan bahwa skabies dapat

1
menyerang semua golongan sosial ekonomis. Lalu lintas perdagangan hewan dan
produknya ke seluruh wilayah Indonesia atau internasional membuka pintu
penyebaran penyakit menular semakin luas. Penularan skabies yang relatif cepat
menjadi tantangan bagi dunia peternakan dan kesehatan manusia. Rendahnya
kesadaran serta pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies, harga obat
yang relatif mahal dan bervariasinya hasil pengobatan juga masih perlu mendapat
perhatian dari kalangan praktisi kesehatan hewan ataupun manusia.
Walaupun penyakit ini telah diketahui sudah seribu tahun yang lalu dan
bersifat persisten terhadap kesehatan masyarakat dan beban ekonomi, namun
belum ada alat diagnostik yang praktis dan control pencegahan yang tersedia.
Diagnosis scabies yang berlaku selama ini masih didasarkan pada gejala klinis
dan pemeriksaan mikroskopis dari scraping kulit yang menunjukkan gejala
krusta, hal tersebut menjadi kesulitan pada saat menangani ternak dan menyalahi
secara etik (ethical clearance) karena untuk pemeriksaan adanya tungau
diperlukan scraping kulit sampai timbuI bintik-bintik darah. Tungau tidak selalu
mudah ditemukan dan umumnya dengan scraping ditemukan positif sekitar 30-
50%. Dalam tulisan ini akan diulas mengenai persebaran penyakit scabies pada
populasi hewan ternak babi dan kambing yang tergolong sangat banyak dipelihara
di Kabupaten Klungkung.
1.2 Rumusan Masalah
1 Berapa prevalensi kejadian Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan
Anjing di Kabupaten Klungkung?
2 Apa tindakan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang sudah
dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung untuk meminimalisir
tersebarnya penyakit Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan Anjing?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui tingkat
prevalensi penyakit Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan Anjing di Kabupaten
Klungkung. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui pencegahan, pengendalian,
dan pemberantasan yang sudah dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten
Klungkung untuk meminimalisir tersebarnya penyakit Scabies pada Babi,
Kambing, Sapi dan Anjing di Kabupaten Klungkung, Bali.

2
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
penulis maupun pembaca tentang penyakit yang tingkat kejadian tinggi pada
hewan khususnya penyakit Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan Anjing, serta
mengetahui cara yang tepat untuk melakukan tindakan pengobatan dan
pencegahan penyakit Scabies pada Babi, Kambing, Sapi dan Anjing.

1.5 Waktu dan Tempat

Pelaksanaan kegiatan PPDH dilakukan pada tanggal 08 Januari - 12 Januari


2018 yang bertempat di Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung, Bali.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kabupaten Klungkung


Kabupaten Klungkung merupakan Kabupaten yang paling kecil dari 9
(sembilan) Kabupaten dan Kodya di Bali, terletak diantara 115° 27' - 37'' 8° 49'
00''. Lintang Selatan dengan batas-batas disebelah utara Kabupaten Bangli. Sebelah
Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kabupaten Gianyar, dan sebelah
Selatan Samudra India, dengan luas : 315 km². Wilayah Kabupaten Klungkung
sepertiganya ( 112,16 km²) terletak diantara pulau Bali dan dua pertiganya (202,84
km² lagi merupakan kepulauan yaitu Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan. Menurut penggunaan lahan di Kabupaten Klungkung terdiri dari lahan
sawah 4.013 hektar, lahan kering 9.631 hektar, hutan negara 202 hektar,
perkebunan 10.060 hektar dan lain-lain 7.594 hektar. Kabupaten Klungkung
merupakan dataran pantai sehingga potensi perikanan laut.Panjang pantainya
sekitar 90 km yang terdapat di Klungkung daratan 20 km dan Kepulauan Nusa
Penida 70 km. Permukaan tanah pada umumnya tidak rata, bergelombangbahkan
sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering dan tandus. Hanya sebagian
kecil saja merupakan dataran rendah.Tingkat kemiringan tanah diatas 40 % (terjal)
adalah seluas 16,47 km2 atau 5,32 % dari Kabupaten Klungkung (Badan Pusat
Statistik Kabupaten Klungkung, 2018).
Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat)
Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas disebelah Utara
Kabupaten Karangasem, sebelah Timur Kecamatan Dawan, sebelah Barat
Kecamatan Banjarangkan dan sebelah Selatan dengan Selat Badung, dengan luas
2.095 Ha, secara persis semua terletak di daerah daratan pulau Bali. Kecamatan
Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat dari 4 (empat)
Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas, sebelah Utara
Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah Barat Kabupaten
Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 km². Kecamatan
Dawan merupakan Kecamatan yang terletak paling Timur dari 4 (empat)
Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung dengan batas-batas, sebelah Utara

4
dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kecamatan Klungkung dan
sebelah Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 km². Menurut penggunaannya
luas wilayah Kecamatan Dawan terdiri 16,21% lahan sawah, 17,26% lahan tegalan,
35,50% lahan perkebunan, 6,93% lahan pekarangan 0,21% kuburan dan lainnya
23,89%. Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai
berbukit. Desa-desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar
dengan kemiringan 0 - 3% dari ketinggian lahan 0-268 m dpl. Semakin ke selatan
kemiringan lerengnya semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan
bagian Utara merupakan lahan datar dengan kemiringan 0-3% dan dibagian Selatan
kemiringannya 3-8%. Sedangkan Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng
bervariasi antara 8-15% dan 15-30% dengan kondisi tanah bergelombang dan
berbukit (Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2017).
Kabupaten klungkung termasuk kabupaten yang terdapat di provinsi Bali
yang beriklim tropis. Bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering antara kecamatan
Nusa Penida dan Kabupaten Klungkung daratan sangat berbeda. Rata - rata curah
hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Klungkung yaitu sebesar 189 mm dengan rata
- rata hari hujan sebesar 7,17 hari setiap bulannya, sedangkan terendah di
Kecamatan Dawan dengan rata - rata curah hujan sebesar 128 mm dan rata rata hari
hujan 9,50 hari setiap bulannya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung,
2017).

2.2 Scabies
Scabies atau yang dikenal dengan nama penyakit kudis ini disebababkan
oleh ektoparasit tungau Sarcoptes scabei. Scabies umumnya disebut “itch mite”
merupakan penyakit yang menyebabkan gatal sehingga menyebabkan depresi dan
kelelahan pada penderita. Tungau sarkoptik terdiri dari spesies Sarcoptes scabiei
yang bersembunyi di dalam kulit dan menyebabkan kudis sarkoptik.
Menurut McCarthy et al. (2004) Sarcoptes scabiei ini ditemukan hampir di
seluruh dunia. Penularan Sarcoptes scabiei dapat terjadi jika melakukan kontak
langsung secara sengaja dengan larva, nimfa dan tungau betina fertil baik dari
permukaan kulit secara langsung atau dari benda-benda yang terinfeksi Sarcoptes
scabiei (Sasmita dkk., 2005). Prevalensi scabies pada manusia di negara yang
belum berkembang sebesar 4% sampai 27% (Guldbakke, 2006), sedangkan

5
prevalensi pada ternak cukup tinggi seperti pada babi sebesar 20% sampai 80%
(Damriyasa et al., 2004). Scabies merupakan penyakit kulit yang bersifat zoonosis
dengan menimbulkan kegatalan yang hebat serta gejala kudis yang berkerak dan
sangat mengganggu dalam aktivitasnya yang berakibat menurunnya produktivitas
daging dan kulit. Sarcoptes scabiei mempunyai banyak varietas sesuai dengan
induk semangnya yaitu Sarcoptes scabiei var.humani pada manusia, var.canis
pada anjing, var.suis pada babi, var.ovis pada biri-biri, var.caprae pada kambing,
var.equi pada kuda dan var.bovis pada sapi. Walaupun penyakit ini diketahui
seribu tahun yang lalu, namun belum ada alat diagnostik yang praktis dan kontrol
pencegahan yang tersedia.

2.2.1 Etiologi
Penyakit Scabies atau kudis adalah penyakit kulit yang gatal dan menular
pada mamalia domestik maupun mamalia liar yang disebabkan oleh ektoparasit
jenis tungau (mite) Sarcoptes scabiei, dengan berbagai varietas seperti pada
kambing S. scabiei var.caprae, pada domba S.scabiei var.ovis, pada kelinci
S.scabiei var.cuniculi pada anjing S scabiei var. canis, pada manusia S.scabiei
var.hominis dan pada babi S.scabiei var.suis. Tungau merupakan arthropoda yang
masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas astigmata ordo astigmata, dan family
sarcoptidae.
Secara morfologi berukuran kecil, bentuk bulat dengan garis luar kasar.
Tungau betina berukuran 330-600 μm x 250-400 μm dan jantan berukuran 200-
240 μm x 150-200 μm, mempunyai kaki pendek dan gemuk, sepasang kaki ketiga
dan keempat tidak tampak dari dorsal tubuhnya. Bentuk dewasa mempunyai 4
pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang
betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga
berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Leuvine,
2000).

6
Gambar 1. Morfologi dorsal S. scabiei var. suis

Bagian mulut terdiri atas Chelicorn yang bergigi, Pedipalp berbentuk


kerucut yang bersegmen tiga dan Palb bibir yang menjadi satu dengan
Hipostoma. Anusnya terletak di terminal dari tubuh dan tungau yang jantan tidak
memiliki alat penghisap untuk kawin atau Adanal sucker. Alat genital tungau
betina berbentuk celah yang terletak pada bagian ventral sedangkan alat genital
jantan berbentuk huruf ‘Y’ dan terletak diantara pasangan kaki empat (Belding,
2001).

2.3 Epidemiologi Penyakit Scabies


2.3.1 Penyebaran Penyakit
Manifestasi tungau pada kulit inangnya serta bergerakmembuat terowongan
di babawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum) yang membuat gatal
pada penderitanya. Pada kambing tersebar di ujung mulut, sekitar mata, dan di
dalam telinga. Jika terjdi di sekitar mulut menyebabkan kambing kesulitan makan
yang dapat berakibat fatal jika terjadi berkepanjangan seperti mati dikarenakan
kelaparan. Kegatalan yang hebat terjadi pada semua spesies. Pada babi
manifestasi ektoparasit ini membuatnya menggosok-gosokkan badan ke dinding
yang berdampak pada kulit yang tergores dan rusak. Penularan penyakit ini terjadi
dikarenakan kontak langsung antara hewan penderita dan hewan sehat.

2.3.2 Hewan Rentan


Kejadian skabies dapat terjadi pada semua hewan berdarah panas, seperti
kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, unta, anjing dan hewan liar

7
lainnya. Distribusi lesi bervariasi di antara spesies, yaitu moncong, telinga, dan
wajah (kucing, anjing, domba, kambing dan babi); kaki (anjing); paha bagian
dalam (sapi); seluruh tubuh (babi); leher (kuda, sapi) dan ekor (anjing, sapi).

Gambar 2. Kambing yang menderita scabies.

Hewan yang terserang tungau Sarcoptes scabiei ditandai dengan radang pada kulit,
yang sering sekali sampai menjadi keropeng, rambut rontok pada daerah yang
diserang. Pada kasus yang parah menyebabkan hewan menggosok-gosokkan badan
pada dinding kandang atau pohon dikarenakan kegatalan hebat yang ditimbulkan
oleh infestasi tungau di bawah lapisan kulit. Tidak hanya itu tak jarang hewan juga
mencakar-cakar serta menggigit-gigit kulit secara terus menerus. Pada kambing
yang terinfeksi terlihat lesu, turgor kulit jelek, rambut rontok, tidak nafsu makan,
kulit tampak menebal, berkerak, hiperemi pada selaput lendir lumut, lepuh sekitar
mulut dan dapat menyebabkan conjungtivitis.

Gambar 3. Rambut rontoh pada babi yang mengalami scabies.

8
2.3.3 Cara Penularan
Penularan terjadi saat adanya kontak langsung antara hewan penderita
dengan hewan yang sehat. Jika kita amati dari siklus hidup tungau sebagai
berikut: Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan
mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang
betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum
korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya
2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah
dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam
waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat
tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan
menjadi nimfa yang empunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki.
Akibat terowongan yang digali Sarcoptes betina dan hypopi yang memakan sel-
sel di lapisan kulit itu, penderita mengalami rasa gatal, akibatnya penderita
menggaruk kulitnya sehingga terjadi infeksi ektoparasit dan terbentuk kerak
berwarna coklat keabuan yang berbau anyir. Seluruh siklus hidupnya mulai dari
telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari (Andi,
Djuanda.1999). Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 – 4 hari, kemudian
larva meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya
larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau betina
akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati setelah
kopulasi.

2.3.4 Diagnosis
Dasar diagnosa scabies adalah dengan melihat gejala klinis yang terjadi.
Diagnosa scabies dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang persisten
dengan gejala-gejala klinis seperti yang diuraikan di atas dan konfirmasi agen
penyebab Sarcoptes scabiei, larva, telur atau kotoran dengan pemeriksaan
mikroskopis yakni membuat kerokan kulit dari hewan yang terinfeksi (David,
2002). Kerokan kulit diambil dari beberapa bagian kulit yang luka, kemudian
dikerok dengan scalpel atau silet hingga berdarah (Colville, 2000). Kerokan kulit
yang berupa kerak, sisik, serta bekas luka ditampung ke dalam botol reagen
kemudian dibersihkan dengan larutan KOH 10 %. Kemudian dilihat di bawah

9
mikroskop untuk menentukan penyebab agen Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan
kerokan kulit yang diperkirakan masih agak lama, hasil kerokan kulit disimpan
atau ditampung ke dalam botol reagen berisi alkohol 70 %. Botol bagian dalam
dan luar perlu diberi alkohol 70 % agar parasit Sarcoptes scabiei mati dan tidak
mencemari lingkungan (Manurung, 2001).
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara
menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah
tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit,
kemudian tinta diusap/ dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes
dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat tungau
juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence tetracycline test
(Burkhart et al., 2000). Berdasarkan teknik ELISA telah dikembangkan metode
untuk mendeteksi antibodi S. scabiei pada babi dan anjing yang telah
dikomersialisasikan di Eropa. Uji tersebut menggunakan antigen tungau yang
diperoleh dari S. scabiei var suis dan S. scabiei var vulpes. Menunjukkan adanya
reaksi silang antara varian S. scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi
antibodi skabies anjing dan domba menggunakan var. vulpes.
Strategi lain untuk melakukan diagnosis scabies adalah
videodermatoskopi, biopsi kulit dan mikroskopi epiluminesken.
Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem mikroskop video dengan
pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima menit. Umumnya
metode ini masih dikonfirmasi dengan basil kerokan kulit. Pengujian
menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat papilari dermis
superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta mempunyai angka
positif palsu yang rendah. Kendati demikian, metode-metode diagnosis tersebut
kurang diminati karena memerlukan peralatan yang mahal.

2.3.5 Pencegahan dan pengobatan


Kambing yang terserang skabies dapat diobati menggunakan ivermectin
dengan dosis 0,2 mg/kg bobot badan secara subkutan. Pengobatan dapat diulangi
kembali pada hari ke-21. Selain ivermectin, kambing yang menderita skabies juga
dapat dimandikan dengan larutan Asuntol 0,1% sebanyak lima kali setiap sepuluh

10
hari (Manurung et al ., 1986). Penggunaan oli bekas 50% dan salep belerang 2,5%
mampu mengatasi skabies pada kambing (Manurung et al ., 1986). Lalu lintas
ternak dari satu tempat ke tempat lainnya menjadi pintu masuknya bibit penyakit
ke suatu daerah sehingga harus diperhatikan secara serius. Pernyataan di atas
didukung oleh mewabahnya kejadian skabies di Sumbawa. Awal terjangkitnya
skabies di Sumbawa diduga akibat masuknya kambing Peranakan Etawah yang
menderita skabies pada tahun 1992 (komunikasi pribadi dengan Sub Kesehatan
Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa). Sejak saat itu sampai sekarang,
skabies kambing masih belum dapat teratasi dengan baik. Hewan yang terserang
skabies sebaiknya diisolasi dari kelompoknya dan diobati sampai sembuh.
Populasi ternak yang terlalu padat dalam suatu kandang dan sanitasi yang buruk
harus dihindari untuk mencegah penularan antara ternak. Kandang bekas
penderita skabies dianjurkan untuk dicat dengan kapur dan dikosongkan beberapa
waktu, kemudian dapat diisi lagi dengan ternak yang baru. Penyuluhan tentang
penyakit skabies dan tata cara serta tindakan pengobatan skabies perlu lebih
digiatkan. Umumnya peternak kurang menyadari akan bahaya skabies bagi
dirinya sendiri mapun ternaknya. Suhardono et al. (2005) membuktikan bahwa
pengobatan skabies yang dilakukan petemak pascapenyuluhan menunjukkan hasil
yang nyata dibandingkan tanpa penyuluhan. Berdasarkan epidemiologi, beberapa
faktor pendorong timbulnya suatu penyakit antara lain adanya agen penyakit,
adanya induk semang yang peka, serta lingkungan dan manajemen. Agen
penyakit scabies dapat dibasmi dengan obat akarisidal dengan dosis sesuai
anjuran . Pengobatan dan isolasi induk semang yang peka sejak dini dapat
mempercepat kesembuhan dan mencegah penularan ke penderita yang sehat.
Lingkungan dan manajemen yang baik dengan memperhatikan sanitasi, pola dan
kebiasaan hidup bersih serta makanan yang cukup gizi akan meminimalkan
kejadian skabies baik pada ternak maupun manusia.

11
BAB III
METODELOGI

3.1 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah dengan
menggunakan data sekunder dan kepustakaan yang bersumber dari Dinas Pertanian
Kabupaten Klungkung dengan topik pembahasan penyakit Scabies yang terjadi di
kabupaten Klungkung. Data yang diperoleh tersebut merupakan data kasus
penyakit strategis selama lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2016. Pada penulisan laporan ini digunakan pula sumber data penunjang
yang bersumber dari buku, jurnal, dan internet yang berhubungan dengan topik
yang dibahas.
3.2 Parameter
Berdasarkan data kejadian kasus penyakit hewan menular yang bersumber dari
Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung Bidang Kesehatan Hewan pada tahun 2012
sampai dengan tahun 2016, dilakukan perhitungan prevalensi infeksi Scabies
menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah hewan yang sakit pertahun


Prevalensi = x 100%
Jumlah populasi yang beresiko pertahun

3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data


Pengambilan data tentang kasus penyakit hewan strategis Scabies diperoleh
dari Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung dengan rekapan data penyakit selama
lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016. Waktu
pengambilan data penyakit hewan strategis tersebut dilakukan saat mahasiswa
melakukan Koasistensi Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung yang dilaksanakan
pada tanggal 8 Januari 2018 – 12 Januari 2018

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Data jumlah kasus penyakit hewan menular di Kabupaten Klungkung dari
tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 berdasarkan data yang bersumber dari dinas
Pertanian kabupaten Klungkung disajikan dalam benttuk tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Daftar Penyakit Hewan Menular di Kab. Klungkung tahun 2012-2016
Jumlah Kasus pada Tahun Jumlah
Jenis
No. PHMS Total
hewan 2012 2013 2014 2015 2016
Kasus
1 Hog Cholera Babi 27 11 9 6 0 53
2 Avuan
Influenza Unggas 100 48 113 0 11 272
3 Rabies Anjing 187 49 36 98 164 534
4 Streptococcus Babi 485 324 346 588 412 2516
5 BEF Sapi 722 684 759 924 756 3815
6 Colibacillosis Babi 2499 1331 1408 1408 905 7572
Sapi 7 2 7 0 5
7 Coccidiosis Sapi 558 342 429 633 502 2471
Anjing 1 0 3 3 0
8 Scabies Babi 883 449 509 524 347
Kambing 131 39 23 124 155 3379
Anjing 0 24 84 37 29
Sapi 18 6 18 26 3
9 Helminth Sapi 799 558 1297 1186 687
Babi 1097 466 523 412 272 7687
Kambing 17 11 31 122 125
Anjing 0 3 67 13 1
10 Lain-lain Sapi 167 225 371 405 224
Babi 1112 232 68 92 49 2995
Kambing 0 0 18 32 0
Anjing 0 0 0 0 0
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung

13
Tabel 2. Data Populasi Hewan Terkena Scabies di Kab. Klungkung Tahun 2012 –
2016
Jenis Jumlah Populasi pada tahun Total
No
Hewan 2012 2013 2014 2015 2016 Populasi
1. Babi 35619 34418 36832 25755 27027
2. Kambing 1077 1005 958 958 1026
3 Sapi 46995 33914 37250 38732 41586
4 Anjing 4389 4553 7476 8979 10036
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung

Tabel 3. Kejadian Kasus Scabies tahun 2012 – 2016 di Kab. Klungkung


Jumlah Kasus (ekor)
No. Jenis Hewan
2012 2013 2014 2015 2016
1 Babi 883 449 509 524 347
2 Kambing 131 39 84 124 155
3 Sapi 18 6 18 26 3
4 Anjing 0 24 84 36 29
Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung

14
883

900

800
509 524
700 449

600
347
500

400

300 18
6 18
200 131 84 26
0 24
3
100 39 124 36 155 29
0 23

2012
2013
2014
2015
2016

KAMBING ANJING SAPI BABI

Gambar 4. Grafik Jumlah Kasus Scabies tahun 2012 – 2016

Tabel 4. Prevalensi kasus Scabies pada Babi di Kab. Klungkung tahun 2012 – 2016
Tahun Populasi (ekor) Kasus Scabies (ekor) Prevalensi (%)
2012 35619 883 2,47
2013 34418 449 1,30
2014 36832 509 1,38
2015 25755 524 2.03
2016 27027 347 1,28

Tabel 5. Prevalensi kasus Scabies pada Kambing di Kab. Klungkung tahun 2012 –
2016
Tahun Populasi (ekor) Kasus Scabies (ekor) Prevalensi (%)
2012 1077 131 12,16
2013 1005 39 3,88

15
2014 958 84 8,77
2015 958 124 12,94
2016 1026 155 15,11

Tabel 6. Prevalensi kasus Scabies pada Sapi di Kab. Klungkung tahun 2012 – 2016
Tahun Populasi (ekor) Kasus Scabies (ekor) Prevalensi (%)
2012 46995 18 0,04
2013 33914 6 0,02
2014 37250 18 0,05
2015 38732 26 0,07
2016 41586 3 0,01

Tabel 7. Prevalensi kasus Scabies pada Anjing di Kab. Klungkung tahun 2012 –
2016
Tahun Populasi (ekor) Kasus Scabies (ekor) Prevalensi (%)
2012 4389 0 0
2013 4553 24 0,53
2014 7476 84 1,12
2015 8979 36 0,40
2016 10036 29 0,30

16
18
15.11

16 12.94
12.16

14

12
8.77
10
Kambing
8 Babi

6 3.88

4
2.47
2.03
1.3 1.38 1.28
2

0
2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 5. Grafik Prevalensi kasus scabies pada Babi dan Kambing


1.4

1.12
1.2

0.8
Anjing
0.53 Sapi
0.6
0.4

0.4 0.3

0.2
0
0.05 0.07
0.04 0.02
0 0.01
2012 2013 2014 2015 2016

Gambar 6. Grafik Prevalensi kasus scabies pada Sapi dan Anjing

17
4.2 Pembahasan
Berdasarkan grafik populasi di atas dapat dilihat bahwa jumlah hewan setiap
tahun mengalami perubahan baik penurunan jumlah populasi maupun
peningkatan jumlah populasi. Penurunan jumlah populasi yang cukup drastis di
tahun 2014 ke 2015 dari jumlah pemeliharaan ternak babi di Kabupaten
Klungkung berbeda halnya dengan populasi kambing yang tidak begitu terlihat
perbedaan jumlah populasinya setiap tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Kemungkinan terjangkit penyakit dan juga permintaan daging babi di
pasaran juga dapat mempengaruhi hal ini. Dari tabel di atas dapat dilihat
perbedaan yang sangat signifikan kejadian scabies pada babi yang mengalami
puncaknya di tahun 2012 yakni 883 kasus dengan prevalensi 2.47% dan
mengalami penurunan di tahun 2013 yakni 449 kasus dengan prevalensi 1,30%.
Kejadian terendah terjadi pada tahun 2016 sebanyak 347 kasus dengan prevalensi
1.28%. Berdasarkan grafik yang ada juga dapat dilihat bahwasanya terjadi
peningkatan kasus yang sangat drastis dari tahun 2014 ke 2015. Jumlah populasi
yang semakin menurun dengan jumlah kasus yang terus meningkat menjadikan
grafik terlihat meningkat begitu drastis. Skabies pada babi menyerang seluruh
permukaan kulit, hal ini dapat menjadi salah satu faktor penularan scabies yang
penyebarannya selalu dalam angka tinggi karna penularan melalui kontak
langsung itu sangat mudah terjadi. Sedangkan pada kambing terjadi penurunan
kasus yang cukup signifikan dari tahun 2012 tercatat 131 kasus (12,16%) dan 39
kasus (3,88%) pada tahun 2013, dan kemudian menurun lagi menjadi 23 kasus
(2,40%) di tahun 2014. Tetapi mengalami kenaikan yang begitu pesat di tahun
2016 mencapai angka 155 (15,10 %) dan menjadi kasus tertinggi lima tahun
terakhir. Jika dibandingkan kasus yang terjadi pada babi yang mengalami
penurunan pada tahun 2016 berbeda halnya dengan kambing yang mengalami
kenaikan yang signifikan.

Kejadian penyakit scabies pada sapi tahun 2012 yaitu sebanyak 18 ekor,
tahun 2013 terjadi penurunan kasus scabies pada sapi yaitu berjumlah 6 ekor, pada
tahun 2014 kasus pada sapi kembali mengalami peningkatan yaitu 18 ekor, tahun
2015 kasus scabies pada sapi mengalami kenaikan yaitu 26 ekor, dan pada tahun
2016 terjadi penurunan kasus hingga mencapai 2 ekor. Prevalensi scabies pada sapi

18
berdasarkan data yang didapat dari Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung, selama
lima tahun terakhir dari tahun 2012 - 2016, yaitu 0,04% pada tahun 2012, 0,02%
pada tahun 2013, 0,05% pada tahun 2014, 0,07% pada tahun 2015, dan 0,01% pada
tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian scabies pada sapi memiliki
prevalensi terendah dari hewan lainnya, ini dapat disebabkan kemungkinan lokasi
pemeliharaan sapi - sapi tersebut dalam kondisi yang baik sehingga kasus scabies
tidak banyak terjadi pada sapi. Sedangkan populasi anjing mengalami peningkatan
setiap tahunnya dari tahun 2012 hingga tahun 2016. Kasus scabies pada anjing juga
mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2012 dilaporkan tidak terjadi
kasus scabies yang menyerang anjing, tahun 2013 terjadi 24 kasus scabies dengan
prevalensi 0,53%, tahun 2014 terjadi 84 kasus scabies dengan prevalensi 1,12%,
lalu mengalami penurunan pada tahun 2015 menjadi 36 kasus scabies dengan
prevalensi 0,40% dan pada tahun 2016 terjadi 29 kasus scabies dengan prevalensi
0,30%. Jika membandingkan jumlah kasus scabies setiap hewan yang dilaporkan
oleh pihak Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung, Scabies paling banyak terjadi
pada ternak babi. Tingkat higiene, sanitasi dan sosial ekonomi yang relatif rendah
menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. Di samping itu, kondisi
kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, kekurangan makan dan
hidup berdesakan semakin mempermudah penularan penyakit scabies dari
penderita kepada hewan yang sehat (Wardhana, dkk. 2006). Kurangnya kesaadaran
dari peternak akan hal di atas akan semakin mempercepat proses penularan
penyakit.

Sistem penggembalaan, pengandangan dan manajemen pemeliharaan dari


masing-masing ternak sangat mempengaruhi terjadinya kasus scabies pada hewan
ternak, sedikit ruang gerak dari ternak semakin mudah ternak sehat terpapar/tertular
tungau Sarcoptes scabiei. Penyakit ini berdampak buruk bagi peternak karena akan
mengalami kerugian ekonomi. Penyakit scabies bersifat zoonosis yang mana dari
hewan dapat ditularkan kepada manusia. Untuk itu peternak juga tidak dianjurkan
melakukan kontak fisik secara langsung ataupun tidak langsung dengan ternak
penderita.

19
Penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Klungkung adalah
dengan pemberian ivermectin serta vitamin kepada ternak yang menderita scabies.
Sanitasi kandang dilakukan untuk mencegah terjadinya scabies dan juga isolasi
kepada ternak yang terserang scabies juga membantu penyebaran penyakit ini
semakin meluas. Semakin meningkatnya kasus scabies baik pada ternak babi dan
kambing perlu diperhatikan secara khusus oleh pemerintah Kabupaten
Klungkung. Perlu disosialisasikan kepada peternak tentang penyakit kulit ini yang
mana dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup tinggi dikarenakan
pertumbuhan yang terhambat dari ternak agar kebersihan dari lingkungan
penggembalaan dan kandang juga perlu diperhatika

20
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data dan kondisi lapangan yang ditemukan dapat disimpulkan
kejadian scabies pada ternak dan hewan kesayangan merupakan salah satu penyakit
di Kabupaten Klungkung bersifat ekonomis yang dapat merugikan masyarakat
Klungkung, khususnya peternak babi dikarenakan tingkat prevalensi scabies pada
babi yang tertinggi dari hewan – hewan yang rentan terserang penyakit scabies.
Penyakit scabies tidak hanya dapat menular ke manusia tapi juga dapat
memberikan kerugian yang cukup besar kepada peternak, karena terjadinya
penurunan berat badan, pertumbuhan terhambat, dan jika tidak segera ditangani
dapat menimbulkan kematian yang berakibat kegagalan pada produksi peternakan.

5.2 Saran
Penyakit Scabies dapat dikendalikan dengan memperhatikan kondisi
lingkungan. Lingkungan yang bersih akan mengurangi terjadinya kasus scabies dan
menghambat pertumbuhan agen penyakit.

21
DAFTAR PUSTAKA
Arlian, Larry G., dan Marjorie S. Morgan. 2017. A Review of Sarcoptes Scabiei:
past, present and future. Arlian and Morgan Parasites & Vectors. 10:297.
Belding, D. L. 2001. Textbook of Clinical Parasitology. Appleton Century Croft.
New York.
Burkhart, C.G ., C.N. Burkhart And K .M. Burkhart. 2000. An epidemiologic and
therapeutic reassessment of scabies . Cutis . 65 : 233 - 240
Damriyasa, I.M., Failing, K., Volmer, R., Zahner, H. and Bauer, C. (2004)
Prevalence, risk factors and economic importance of infestations with
Sarcoptes scabiei and Haematopinus suis in sows of pig breeding farms in
Hesse, Germany. Med. Vet. Entomol., 18(4): 361-367.
David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Bina Rupa Aksara: Jakarta.
Guldbakke, K. K. 2006. Crusted Scabies: a Clinical Review Journal of Drugs in
Dermatology.
Leuvine, N. D. 2000. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Manurung, J. 2001. Pravalensi Kutu, pinjal dan tungau pada kambing dan domba
di 4 Kabupaten di Jawa Timur.
Manurung, J., Berijaya, S. Partoutomo, dan Knox. 1986. Pengobatan kudis
kambing yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei dengan ivermectin
dan asuntol. Penyakit Hewan. 18(31): 59-62.
Mc Carthy, J .S ., D .J . Kemp, S .P. Walton and B .J . Currie. 2004 . Scabies :
More Than Just an Irritation . Postgrad. Med. J . 80 : 382 - 387.
Partosoedjono, S . 2003 . Scabies dan kualitas sanitasi masyarakat. Kompas,
Jum'at, 05 September 2003.
Sasmita, R., Poedji H., Agus S. Ririen N.W. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Arthropoda Veteriner. Laboratorium Entomogi dan Protozoologi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga, Surabaya.
Suhardono, J. Manurung, A.P. Batubara, Wasito dan H. Harahap. 2005 .
Pengendalian penyakit kudis pada kambing di Kabupaten Deli Serdang. Pro.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12 - 13
September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor . him . 1001 - 1014.

22
23

Вам также может понравиться