Вы находитесь на странице: 1из 9

Inilah Bendera & Panji Rasulullah SAW:

Al-Liwâ’ & Al-Râyah


Oleh: Irfan Abu Naveed al-Atsari, M.Pd.I

Dipresentasikan Oleh: Rudi1

B
endera dan panji, menempati posisi yang agung sebagai simbol suatu negara, begitu
pula bagi Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, sebagai pemimpin Negara
Islam pertama di Madinah al-Munawwarah. Hal itu dibuktikan dalil-dalil al-sunnah
dan atsar, dirinci penjelasan para ulama mu’tabar, mengulas bendera dan panji yang
dijuluki al-liwâ’ dan al-râyah, berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang
istimewa. Di sisi lain, saat ini kaum Muslim dihadapkan pada upaya mungkar, stigmatisasi
negatif dan kriminalisasi panji al-liwâ’ dan al-râyah dan para pengembannya, bagaimana
mendudukkan al-liwâ’ dan al-râyah sebagaimana Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa
sallam- dan para sahabat bersikap?

A. Pengertian dan Karakteristik Al-Liwâ’ & Al-Râyah


Al-liwâ’ dan al-râyah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera).2
Namun secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula al-râyah al-’azhîmah
(panji agung)3, dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin,4 yang
tidak dipegang kecuali oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade
pasukan (amîr al-jaisy) yakni Khalifah itu sendiri5, atau orang yang menerima mandat dari
Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik
berwarna putih, dengan khath berwarna hitam “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”,
berjumlah satu.6

Sedangkan al-râyah (jamak: al-râyât), ia adalah panji (al-’alam) berwarna hitam,


dengan khath berwarna putih “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, dinamakan pula
al-’uqâb. al-râyah berukuran lebih kecil daripada al-liwâ’, dan digunakan sebagai panji
jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), tersebar sesuai
dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.7

B. Dalil-Dalil Al-Liwâ’ & Al-Râyah


Banyak dalil-dalil al-sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-liwâ’ dan al-
râyah, diantaranya dari Ibn Abbas –radhiyaLlâhu ’anhu-:

1 Disampaikan dalam Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi, 12 Februari 2017.
2 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, juz V, hlm. 4109.
3 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf Al-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turats al-

‘Arabi, cet. II, 1392 H, juz XII, hlm. 43.


4 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, juz V, hlm. 4109.
5 Ibid.
6 Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.
7 Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar.

Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 1


»‫س ْودَا َء‬ َ َ‫ أ َ ْبي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫« َكانَ ِل َواء‬
َ ‫ َو َرا َيته‬،‫ض‬
“Bendera (liwâ’) Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berwarna putih, dan
panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi, al-Tirmidzi. Lafal al-
Hakim)8

Dari Ibn Abbas –radhiyaLlâhu ’anhu-:

‫ّللا م َح َمد‬ َ ‫ َم ْكتوب‬،‫س ْودَا َء َو ِل َواؤه أ َ ْب َيض‬


َ ‫ َل ِإلَهَ ِإ َل‬:‫ع َل ْي ِه‬ ْ ‫« َكان‬
ِ َ ‫َت َرا َية َرسو ِل‬
َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ّللا‬
ِ َ ‫َرسول‬
»‫ّللا‬
“Panjinya (râyah) Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berwarna hitam, dan
benderanya (liwâ’) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “lâ ilâha illaLlâh
Muhammad RasûluLlâh”.” (HR. Al-Thabrani)9

Dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâhu ’anhu-:

َ َ‫ َكانَ ِل َواؤه يَ ْو َم دَ َخ َل َم َكةَ أ َ ْبي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫«أ َ َن النبي‬


»‫ض‬
“Bahwa Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota
Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim)10

Dari Yunus bin Ubaid mawla’ Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin
al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib, aku bertanya tentang râyah Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib menjawab:

»‫س ْودَا َء م َربَ َعةً ِم ْن ن َِم َرة‬ ْ ‫« َكان‬


َ ‫َت‬
”(Al-Râyah) ia berwarna hitam, berbentuk persegi panjang terbuat dari kain wol.”
(HR. Al-Tirmidzi, al-Baghawi, al-Nasa’i)11

Dari al-Hasan –radhiyaLlâhu ’anhu-, ia berkata:

َ َ‫س َمى ْالعق‬


»‫اب‬ َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َت َرايَة النَ ِبي‬
َ ‫س ْودَا َء ت‬ ْ ‫« َكان‬
“Râyah Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- berwarna hitam disebut al-‘Uqab.” (HR.
Ibn Abi Syaibah)12

Dalil-dalil di atas secara sharîh menisbatkan bendera dan panji dengan


karakteristiknya yang istimewa kepada Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Maka
tidak mengherankan jika para ulama hadits bahkan menuliskan satu subbab khusus
berkenaan dengan al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya: Al-Bukhari dalam Shahih-nya
menuliskan subbab (‫) َما قِ ْي َل فِي ِل َواء النَبِي صلى هللا عليه و سلم‬, Ibn Majah dalam Sunan-nya menuliskan
subbab (‫الرايَات واأل َ ْل ِويَة‬
َ ‫)باب‬, Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya menuliskan subbab (‫الرايَات‬ َ ‫ي‬ ْ ِ‫) َما َجا َء ف‬,
Ibn Hibban dalam Shahih-nya menuliskan subbab ( ‫سل َم ِع ْندَ دخو ِل ِه‬ َ َ ‫ّللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ
َ ‫ص لى‬ َ ‫ص‬
َ ‫طفَى‬ ْ
ْ ‫اء الم‬
ِ ‫ف ِل َو‬ ِ ‫ص‬ ْ ‫ِذ ْكر َو‬

8 HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2506), Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah (2663), al-Tirmidzi dalam

Sunan-nya (1681): “Hadits hasan gharib”.


9 HR. Al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath (219).
10 HR. Ibn Majah dalam Sunan-nya (2817), Al-Hakim dalam al-Mustadrak (2505): “Hadits shahih memenuhi

syarat syaikhayn (al-Bukhari dan Muslim) meski keduanya tidak meriwayatkannya”, Ibn Hibban dalam Shahîh-nya
(4743) dengan sedikit perbedaan redaksi.
11 HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1680): “Hadits hasan gharib.”, Al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah

(2663), al-Nasa’i dalam Sunan-nya (8552).


12 HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (33604).

Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 2


ِ‫ ) َم َكةَ َي ْو َم ْالفَتْح‬dan lainnya, yang cukup menunjukkan keberadaan bendera dan panji istimewa
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.

C. Kedudukan dan Fungsi Al-Liwâ’ Al-Râyah


Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa al-liwâ dan
al-râyah, merupakan simbol kenegaraan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, hal
itu ditandai dengan praktik Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- sebagai kepala
negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan al-liwâ’ ditangannya semisal
ketika Fathu Mekkah, atau diserahkan kepada orang yang ditunjuknya secara resmi untuk
memimpin pasukan perang, di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- ketika Perang Khaibar:

َ ‫ َوي ِحبه‬،‫ّللاَ َو َرسولَه‬


»‫ّللا َو َرسوله‬ َ ‫غدًا َرجلً ي ْفتَح‬
َ ‫ ي ِحب‬،‫علَى َيدَ ْي ِه‬ َ َ‫الرا َية‬
َ ‫ْط َي َن‬
ِ ‫«ألع‬
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng)
melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya
pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)13

Ketika bendera al-liwâ’ diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang,


maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para
komandan detasemen pemegang al-râyah dan para pasukan itu sendiri. Ibn Bathal
menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang
bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh al-Imam (Khalifah)
saja, tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan
dan kedudukan Khalifah-pen.).14

Ibn Bathal pun menukil penuturan al-Muhallab bahwa dalam hadits al-Zubair –
radhiyaLlâhu ’anhu-, terdapat petunjuk bahwa al-râyah tidak diserahkan kecuali dengan
izin al-Imam (Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan
kedudukannya. Maka tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali
berdasarkan perintah Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara spesifik dirinci oleh Ibn
Bathal dalam satu bab khusus ()‫) َما قِي َل فِى ِل َواء النَ ِب ِى (صلى هللا عليه وسلم‬.15

Hadits ini merupakan nas yang menunjukkan mandat resmi tersebut.16 Ibn Hajar al-
’Asqalani (w. 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad –radhiyaLlâhu ’anhu- adalah
salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam-17, dan hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam-.18 Sebagaimana Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu- dan Sa’ad bin
Ubadah –radhiyaLlâhu ’anhu- yang juga pernah menerima mandat al-râyah dari
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-.19

13 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya

(1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.


14 Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, Riyadh: Maktabat al-Rusyd, cet. II, 1423 H/2003, juz V, hlm. 141.
15 Ibid., hlm. 140-141.
16 Ibid.
17 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2811).
18 Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379, juz VI, hlm.

127.
19 Ibid.

Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 3


Adanya mandat resmi dalam mengemban al-liwâ’ dan al-râyah ini, menunjukkan
bahwa ia adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (al-Dawlah al-
Islâmiyyah). Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis, adanya konsep
negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah –shallaLlâhu
’alayhi wa sallam- bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Namun
bukan sembarang negara, melainkan negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam),
sebagaimana termaktub pada al-liwâ’ dan al-râyah, yang menunjukkan filosofi asas negara
yang dibangun Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Negara wajib berasaskan
akidah Islam, kaum Muslim tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai asasnya.
Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif
yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliyyah (lihat: QS. Al-Mâ’idah [5]: 50) yang
mengundang malapetaka (lihat: QS. Thâhâ [20]: 124).

Penisbatan al-liwâ’ dan al-râyah dalam hadits dan atsar sebagai bendera dan panji
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar
Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat
pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam
ikatan yang hakiki, ikatan akidah Islam. Maka jelas bahwa keduanya termasuk syi’ar Islam
yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syi’ar-syi’ar jahiliyyah yang
menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagungkan dan
menjunjung tinggi syi’ar Islam, sesungguhnya bagian dari apa yang Allah firmankan:

ِ ‫ّللاِ فَإِنَ َها ِمن ت َ ْق َوى ْالقلو‬


}٣٢{ ‫ب‬ َ ‫ش َعائِ َر‬
َ ‫ذ ِل َك َو َمن ي َع ِظ ْم‬
”Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan qalbu.” (QS. Al-Hajj [22]: 32)

Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah, Syaikh Nawawi al-Bantani (w.
1316 H) menukil ayat ini menjelaskan, di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang
bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya.20 Sifat
takwa ini, ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik –radhiyaLlâhu ’anhu-,
bahwa Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda:

»‫ْب‬ ِ ‫ ث َم أ َ َخذَ اِبْن َر َوا َحة فَأ‬،‫ْب‬


َ ‫صي‬ ِ ‫ ث َم أ َ َخذَ َج ْعفَر فَأ‬،‫ْب‬
َ ‫صي‬ َ ‫صي‬ َ ‫«أ َ َخذَ ا‬
ِ ‫لرا َيةَ زَ يْد فَأ‬
“Zaid mengambil al-Râyah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (al-Râyah) lalu ia
gugur, kemudian Ibn Rawahah mengambil (al-Râyah) lalu ia gugur.” (HR. Al-Bukhari &
Ahmad)21

D. Kriminalisasi Al-Liwâ’ & Al-Râyah


Salah satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslim saat ini, adalah
stigmatisasi negatif terhadap panji al-râyah sebagai bendera teroris (irhâbiyyah), dan
adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji al-râyah
yang dijadikan barang bukti terorisme bom bekasi (news.detik.com,15/12/2016). Padahal

20 Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam al-Tawfîq, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. I, 1431 H, hlm. 103.
21 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (1189), Ahmad dalam Musnad-nya (12114).
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 4
tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan
panji al-râyah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.

Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya
bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang
benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka
semua dari kebenaran (QS. Al-Hijr [15]: 39). Dalam sirah, kejahatan ini telah dipraktikkan
kaum Kuffar yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng
orang terdahulu, dan Rasul-Nya sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair22. Itu
semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.

Kebatilan tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan
ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Termasuk dari apa yang
Allah peringatkan:

‫ّللاِ ِب َغي ِْر ِع ْلم َو َيت َ ِخذَهَا هز ًوا ۚ أو َٰلَ ِئ َك لَه ْم‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫ض َل‬ ِ ‫اس َم ْن َي ْشت َ ِري لَ ْه َو ْال َحدِي‬
ِ ‫ث ِلي‬ ِ َ‫َو ِمنَ الن‬
}٦{ ‫عذَاب م ِهين‬ َ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
(QS. Luqmân [31]: 6)

Frase lahw al-hadits, mencakup perkara-perkara kebatilan yang disuarakan,


dituliskan untuk menyesatkan manusia, menyimpangkan mereka dari jalan Allah (Islam).
Al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menuturkan, “Cakupannya (lahw al-hadits) segala
hal berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari jalan Allah, berupa hal-hal yang
Allah dan Rasul-Nya larang untuk mendengarkannya, karena Allah SWT mengungkapkan
keumuman dalam firman-Nya: (lahw al-hadits), dan Dia tidak mengkhususkannya. Oleh
karena itu, ia tetap dalam keumumannya hingga ada dalil yang mengkhususkannya.” 23

Kebatilan tersebut merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai,


dihadapi dan diluruskan. Karena dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi
terhadap simbol dan ajaran Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindak
kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman. Kondisi dan bahayanya,
sebagaimana peringatan al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, “Imperialisme tak sekedar
menggunakan tsaqafah ini, bahkan meracuni kaum Muslim dengan beragam pemikiran
dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslim
yang lurus. Dengannya rusak suasana Islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum
Muslim dalam segala aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan
kaum Muslim...”24

Tuduhan keji atas bendera dan panji tauhid ini, bisa jadi menggambarkan apa yang
Allah firmankan:

22 Diinformasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an.


23 Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Beirut: Mu’assasat al-
Risâlah, cet. I, 1420 H, juz ke-20, hlm. 130.
24 Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Takattul Al-Hizbi, Beirut: Dâr al-Ummah, hlm. 6.

Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 5


َ ‫ت ْالبَ ْغ‬
}١١٨{ ‫ضاء ِم ْن أ َ ْف َوا ِه ِه ْم َو َما ت ْخ ِفي صدوره ْم أ َ ْكبَر‬ ِ َ‫قَ ْد بَد‬
“Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan
oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Âli Imrân [3]: 118)

Dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol Islam


merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindakan kriminal yang wajib dicegah dan
dikenai sanksi hukuman.

E. Peringatan Atas Bahaya Kejahilan & Prasangka Buruk


Penolakan terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa terjadi karena ketidakpahaman
terhadap hakikat keduanya dalam Islam, namun mengedepankan kecurigaan dan
prasangka buruk, ini tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H):

‫النَاس أَعدَاء َما َج ِهل ْوا‬


“Manusia (terkadang-pen.) menjadi musuh atas apa-apa yang tidak mereka
ketahui.”25

Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti
dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana
firman-Nya:

}١٢{ ‫ظ ِن ِإثْم‬
َ ‫ض ال‬ َ َ‫يرا ِمن‬
َ ‫الظ ِن ِإ َن َب ْع‬ ْ ‫َيا أَي َها الَذِينَ آ َمنوا‬
ً ‫اجتَ ِنبوا َك ِث‬
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari
prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS. Al-Hujurât
[49]: 12)

Ayat ini menyeru orang-orang yang beriman, dengan perintah menggunakan kata
ijtanib yang lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata utruk, yang maknanya
adalah “jauhilah”, artinya ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka
buruk. Dan kalimat (‫الظ ِن إِثْم‬
َ ‫ض‬ َ ‫ )إِ َن بَ ْع‬yang menyifati prasangka buruk sebagai perbuatan dosa,
menjadi indikasi tegas atas larangan dalam ayat ini, sehingga larangan dalam ayat ini
merupakan tuntutan tegas untuk meninggalkan prasangka buruk, yang menunjukkan
bahwa hukumnya haram.

Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) ketika menjelaskan kata ijtanibû


menegaskan bahwa ia merupakan ungkapan tentang perkara yang harus mereka
tinggalkan, dan maknanya lebih kuat (ablagh) daripada kata utruk (tinggalkanlah) ( ‫َوذلِكَ أَ ْبلَغ‬
‫ اتْرك ْوه‬:‫)م ْن قَ ْو ِل ِه ْم‬.
ِ 26 Karena kata ijtanib tak sekedar perintah untuk meninggalkan melainkan
perintah untuk meninggalkan dan menjauhinya (meninggalkan sejauh-jauhnya). Dan Allah
‘Azza wa Jalla menggunakan kata ijtanib dalam ayat yang agung di atas untuk melarang
prasangka buruk, maka sudah seharusnya kita menjauhinya.

Abu Hamid al-Ghazali, Qawâ’id al-‘Aqâ’id, Lebanon: ‘Âlam al-Kutub, cet. II, 1405 H, hlm. 101.
25
26Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân,
Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 206.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 6
Kesalahpahaman terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa juga lahir karena tersebarnya
syubhat, dan tidak mau ber-tabayyun (cek ulang, mengkaji faktanya), mengedepankan
kepercayaan terhadap syubhat dan khurafat yang tersebar. Maka dalam kasus ini, Allah –
Ta’âlâ- memperingatkan:

‫علَ َٰى َما فَ َع ْلت ْم‬ ِ ‫َيا أَي َها الَذِينَ آ َمنوا ِإ ْن َجا َءك ْم فَا ِسق ِب َن َبإ فَت َ َبيَنوا أ َ ْن ت‬
ْ ‫صيبوا قَ ْو ًما ِب َج َهالَة فَت‬
َ ‫ص ِبحوا‬
}٦{ َ‫نَاد ِِمين‬
”Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seseorang yang fasik
membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurât [49]: 6)

Ayat ini menyeru orang-orang beriman untuk melakukan konfirmasi terhadap


kebenaran suatu informasi, yang datang dari orang yang fasik, yang tidak bisa dipercaya.
Karena makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran), yakni tidak
tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Farra
(w. 207 H)27, atau dalam penjelasan al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari yakni tidak tergesa-gesa
hingga mengetahui kebenarannya, dan tidak tergesa-gesa menerima berita tersebut.28

Atau sebagaimana disebutkan Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (w. 489 H) yakni
meninggalkan ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya dengan hati-hati dalam
urusan tersebut.29 Karena ketergesaan bisa jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan,
dari Ibn Wahb, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik –radhiyaLlâhu ’anhu- berkata:

ِ ‫ْال َع َجلَة ِفي ْالفَتْ َوى ن َْوع ِمنَ ْال َج ْه ِل َو ْالخ ْر‬
‫ق‬
”Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”30

Maka menjadi tugas para ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat
awam terhadap hakikat al-liwâ’ dan al-râyah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali
sebagaimana sikap Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabatnya. Tugas
ini menjadi semakin menantang, di zaman ketika tersebarnya syubhat di tengah-tengah
masyarakat, dan syi’ar Islam digantikan oleh syi’ar-syi’ar ’ashabiyyah jâhiliyyah. Hal itu
karena peringatan, bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan
keimanan:

ِ ‫ّللا ۚ َوأو َٰلَئِ َك ه ْم أولو ْاأل َ ْلبَا‬


}١٨{ ‫ب‬ َ ‫سنَه ۚ أو َٰ َلئِ َك الَذِينَ َهدَاهم‬
َ ‫الَذِينَ يَ ْستَ ِمعونَ ْالقَ ْو َل فَ َيت َ ِبعونَ أ َ ْح‬
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya,
mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-
orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar [39]: 18)

Inilah sifat mereka yang dipuji Allah dengan istilah, ulul albâb, dan peringatan
bermanfaat bagi mereka yang beriman:
27 Yahya bin Ziyad al-Farra’, Ma’âni al-Qur’ân, Mesir: Dâr al-Mishriyyah, cet. I, t.t., juz III, hlm. 31.
28 Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz ke-22, hlm. 286.
29 Abu al-Muzhaffar Manshur bin Muhammad al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I,

1418 H, juz V, hlm. 217.


30 Ahmad bin al-Husain Abu Bakr al-Baihaqi, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ’, Kuwait: Dâr al-Khulafâ’,

hlm. 437, atsar no. 817; Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Damaskus: al-Maktab
al-Islâmi, cet. II, 1403 H, juz I, hlm. 306.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 7
}٥٥{ َ‫الذ ْك َر َٰى تَ ْنفَع ْالمؤْ ِمنِين‬
ِ ‫َوذَ ِك ْر فَإ ِ َن‬
“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Al-Dzâriyât [51]: 55)

F. Teladan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- & Para Sahabat


Lalu bagaimana sikap Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabat
terhadap al-liwâ’ dan al-râyah? Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan para sahabat yang memberikan keteladanan dalam
mengemban keduanya, menjadikannya sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang
tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia. Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- kepada pemegang panji al-râyah ketika Perang Khaibar:

َ ‫ َوي ِحبه‬،‫ّللاَ َو َرسولَه‬


»‫ّللا َو َرسوله‬ َ ‫غدًا َرجلً ي ْفتَح‬
َ ‫ ي ِحب‬،‫علَى يَدَ ْي ِه‬ َ َ‫الرايَة‬
َ ‫ْط َي َن‬
ِ ‫«ألع‬
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang yang, ditaklukkan
(benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan
Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)31
َ ‫ ي ِحب‬،‫)ي ْفت َح َعلَى يَدَ ْي ِه‬, merupakan sifat mulia dari lelaki (ً‫) َرجل‬
َ ‫ َوي ِحبه‬،‫ّللاَ َو َرسولَه‬
Kalimat (‫ّللا َو َرسوله‬
yang disebutkan oleh Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dalam hadits. Hal ini
sesuai kaidah:

‫صفَات‬ ِ ‫الج َمل َب ْعدَ النَ ِك َرا‬


ِ ‫ت‬
”Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”32

Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun mengawali informasi penting dalam


hadits tersebut dengan lâm al-tawkîd dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah33, keduanya termasuk
bentuk tawkid (penegasan). Dalam tinjauan disiplin ilmu balaghah, ia dinamakan al-khabar
al-inkâri,34 atau meminjam istilah Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, yakni al-ta’kîd al-inkâri.
Apa faidahnya? Keberadaan kata-kata penegasan seperti ini, berfungsi menegaskan
kebenaran informasi di dalamnya, menafikan segala bentuk pengingkaran atau keraguan
terhadap kebenarannya.

Lantas, siapa lelaki yang dimaksud Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-?


Dalam perincian haditsnya, Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- akhirnya
menyerahkan panji tauhid ini kepada ’Ali bin Abi Thalib –radhiyaLlâhu ’anhu- Bagaimana
sikap para sahabat? Digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang
juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’ dan al-râyah dalam Islam. Ibn Bathal (w.
449 H) bahkan menegaskan bahwa mandat resmi dalam serah terima al-liwâ’ dan al-râyah

31 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya

(1608), Ibn Majah dalam Sunan-nya (121), lafal al-Bukhari.


32 Sebagaimana disebutkan doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham el-Shanshouri al-Mishri

dalam diskusi empat mata selepas shalat isya’ pada bulan September 2015. Lihat pula: Jamaluddin bin Hisyam,
Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI, 1985, hlm. 560.
33 Abu al-Hasan Nuruddin al-Sindi, Kifâyat al-Hâjat fî Syarh Sunan Ibn Mâjah, Beirut: Dâr al-Jîl, hlm. 58.
34 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, cet. II,

1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw
wa al-Sharf wa al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983,
hlm. 161.
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 8
termasuk sunnah Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- yang sudah semestinya
diteladani oleh kaum Muslim, Ibn Bathal menuturkan:

ْ ‫اللم يَدل أَنَ َها َكان‬


‫ فِ ْي حر ْو ِب ِه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َت ِم ْن سنَتِ ِه‬ ِ ‫ف َو‬ِ ‫الرايَةَ) َف َع َرفَ َها ِباأل َ ِل‬
َ ‫ْطي ََن‬ ِ ‫( َألع‬
.‫ار بِ ِسي َْرتِ ِه ِف ْي ذ ِل َك‬
َ ‫س‬َ ‫فَيَ ْن َب ِغ ْي أ َ ْن ي‬
Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- bersabda, “Sungguh aku akan
menyerahkan al-râyah”, Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- mengungkapkan
kata al-râyah dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lâm, yakni sudah dikenal secara
spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi
wa sallam- dalam berbagai peperangannya, maka sudah seharusnya hal tersebut
diikuti (oleh kaum Muslim).35

Maka setiap syubhat dan khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi
atas al-liwâ’ dan al-râyah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya –
shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-. Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum
Muslim, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslim tidak memandang al-liwâ’
dan al-râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- dan
para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali, dengan berjuang
menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang
berdiri di atas asas tauhid, dan kita sebagaimana sya’ir:

‫ َونَ ْف َعل ِمثْ َل َما فَ َعل ْوا‬،‫َت أ َ َوائِلنَا * ت َ ْبنِي‬


ْ ‫نَ ْبنِي َك َما َكان‬
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”36

[]

35 Ibn Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V, hlm. 141.


36 Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, (I/6).
Halqah Syahriyyah DPD II HTI Kab. Sukabumi | 9

Вам также может понравиться