Вы находитесь на странице: 1из 31

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Retardasi Mental

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

Subastian dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyatakan retardasi

mental adalah kerterlambatan perkembangan yang dimulai pada masa anak, yang

ditandai oleh intelegensi/kemampuan kognitif di bawah normal dan terdapat

kendala pada perilaku adaptif sosial. Sementara itu, yang dimaksud dengan

perilaku adaptif sosial adalah kemampuan sesorang untuk mandiri, menyesuiakan

diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur

dan budayanya. Armatas (2009) menyebutkan bahwa retardasi mental (mental

retardation) bukan merupakan suatu penyakit, melainkan hasil patologik didalam

otak yang menggambarkan keterbatasan intelektualitas dan fungsi adaptif.

Sedangkan Salmiah (2009) menyatakan retardasi mental dapat terjadi dengan atau

tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya.

Definisi retardasi mental menurut American Association on Mental

Retardation (AAMR) adalah fungsi intelektual umum secara bermakna di bawah

normal, disetai adanya keterbatasan pada dua fungsi adaptif atau lebih, yaitu

komunikasi, menolong diri sendiri, ketrampilan sosial, mengarahkan diri,

ketrampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu luang, kesehatan, dana atau

keamanan, keterbatasan ini timbul sebelum umu 18 tahun (Soetjiningsih, dan

Ranuh, 2014).

2.1.2 Etiologi Retardasi Mental


6

Subastian CS (2001) dan Harun KH (2002) dalam Soetjiningsih dan

Ranuh (2014), penyebab retardasi mental adalah sebagai berikut :

1. Pranatal
a. Chromosomal Aberration
1) Sindrom Down

95% kasus Sindrom Down disebabkan trisomi 21, sisanya disebabkan oleh

transolakasi dari mosaik.

2) Delesi

Contoh, sindrom cri-du-chat disebabkan delasi pada kromosom 5p3

3) Sindrom malformasi akibat mikrodelalasi

Contoh, sindrom Prader-Wili (paternal origin) dan Angelman (maternal

origin) terjadi mikrodelesi pada kromosom 15q11-12, terdapat perbedaan fenotif

kerena mekanisme imprinting.

b. Disorder with autosomal-dominan inheritance

Contoh adalah tuberus-sclerosis yang disebabkan mutasi gen pada

pembentukan lapisan ektodermal dari fetus. Bila diagnosis tuberus sclerosis

ditegakkan, kedua orang tuanya harus diperiksa, karena risiko kejadian dapat

berulang 50% pada setiap kehamilan.

c. Disorder with autosomal-recessive inheritance

Sebagian besar penyakit metabolik mengikuti kategori ini. Contohnya adalah

phenylketonuria (PKU), penyaki metabolik yang banyak diketahui. Gangguan ini

pertama kali diketahui pada tahun 1934 oleh Folling pada anak dengan retardasi

mental.

d. X-linked mental retardation


7

Fragile X syndrome merupakan penyebab kedua retardasi mental, setelah

Sindrom Down. Kelainan kromosom terjadi pada lokasi Xq27.3.

e. Infeksi Maternal
1) Infeksi rubela pada bulan pertama kehamilan, dapat mempengaruhi

organogensis fetus (50%). Infeksi pada bulan ketiga kehamilan

mengakibatkan gangguan perkembangan fetus (15%). Kelainan akibat infeksi

rubela berupa retardasi mental, mikrosefali, gangguan pendengaran, katarak,

dan kelainan jantung bawaan.


2) Infeksi sitomegalovirus konginetal dapat menyebabkan mikrosefali, gangguan

pendengaran sensorineural, dan retardasi psikomotor.


3) Toksoplasmosis konginetal mengakibatkan 20% bayi yang terinfeksi

mengalami kelainan hidrosefalus, mikrosefali, gangguan perkembangan

psikomotor, mata, dan pendengaran.


4) Human Immunodeficiency Virus (HIV) konginetal dapat menyebabkan

ensefalopati, yang ditandai oleh mikrosefali, kelainan neurologi progresif,

retardasi mental, dan gangguan perilaku.


f. Zat-zat Racun

Zat teratogen yang terpenting pada ibu hamil adalah etanol, yang dapat,

menyebabkan Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Alkohol menyebabkan tiga kelainan

utama yaitu : (1) Gambaran dismorfik (bila terpajan pada tahap organogenesis),

(2) Retardasi pertumbuhan prenatal dan pascanatal, (3) Disfungsi susunan saraf

pusat (SSP), termasuk retardasi mental ringan atau sedang, perkembangan

motorik lambat, hiperaktivitas. Beratnya kelainan tergantung pada jumlah alkohol

yang dikonsumsi.

g. Toksemia kehamilan dan insufesiensi plasenta

Intrauterine Growth Retardation (IUGR) banyak penyebabnya. Penyebab

yang penting adalah toksemia kehamilan yang dapat mengakibatkan kelainan pada
8

SSP. Prematuritas dan terutama IUGR merupakan predisposisi komplikasi

perinatal, yang bisa mempengaruhi SSP dan menimbulkan masalah perkembangan

lainnya.

2. Perinatal
a. Infeksi

Infeksi pada periode neonatal dapat menyebabkan sekuele perkembangan,

misalnya herpes simplek tipe 2 yang dapat menyebabkan ensefalitis dan

sekuelenya. Infeksi bakteri yang menyebabkan sepsis dan meningitis dapat

mengakibatkan hidrosefalus.

b. Masalah kelahiran

Asfiksia berat, prematuria, trauma lahir, dan gejala-gejala neurologis pada

masa bayi harus diwaspadai sebagai faktor risiko retardasi mental.

c. Masalah perinatal lainnya

Misalnya, pada retinopathy of prematurity (fibroplasias retrolental) karena

pemakaian oksigen 100% pada bayi premature, selain mengakibatkan kebutaan

juga dapat mengakibatkan retardasi mental. Demikian pula, hiperbilirubinemia

dapat menyebabkan ikterus dan retardasi mental.

3. Pascanatal
a. Infeksi, isalnya ensefalitis dan meningitis.
b. Penyebab pascanatal lainnya. Misalnya tumor ganas pada otak, trauma kepala

pada kecelakaan, dan hampir tenggelam.


c. Zat-zat racun, misalnya keracunan logam-logam berat
d. Masalah psikososial. Misalnya, depresi, deprivasi maternal, kurang stimulasi,

kemiskinan, dan lainnya.


e. Penyebab tidak diketahui

Sekitar 30% retardasi mental berat dari 50% retardasi mental ringan tidak

diketahui. Kebanyakan anak yang menderita anak retardasi mental ini berasal dari
9

golongan sosial ekonomi rendah kurangnya stimulasi dari lingkungannya, yang

secara bertahap menurunkan IQ bersamaan dengan terjadinya maturasi.

2.1.3 Gejala Klinis Retardasi Mental

Shapiro BK (2007) dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) gejala klinis

yang sering menyertai retardasi mental berdasarkan umur adalah sebagai berikut :

1. Newborn

Sindrom dismorfik, mikrosefali, disfungsi sistemorgan major.

2. Early infancy (2-4 bulan)

Gagal berinteraksi dengan lingkungan, gangguan penglihatan atau

pendengaran.

3. Later infancy (6-12 bukan)

Keterlambatan motorik kasar.

4. Toddlers (2-3 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan bicara.

5. Preschool (3-5 tahun)

Keterlambatan atau kesulitan berbicara; masalah perilaku termasuk

kemampuan bermain; keterlambatan perkembangan motorik halus: menggunting,

mewarnai, dan menggambar

6. School age (>5 tahun)

Kemampuan akademik kurang; masalah perilaku (perhatian, kecemasan,

nakal dan lainnya).

2.1.4 Diagnosis Retardasi Mental


10

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan kriteria diagnostik untuk anak

retardasi metal menurut Diagnostic and Statistical Manual IV – TR (DSM IV–

TR) adalah sebagai berikut :

1. Fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) yang diperiksa

secara individual
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (kekurangan individu

untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari

lingkungan budayanya) dalam sedikitnya dua hal yaitu : komunikasi, self

care, kehidupan rumah tangga, ketrampilan sosial/interpersonal,

menggunakan sarana komunitas, mengarahkan diri sendiri, keterampilan

akademis fungsional, pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan


3. Awitan terjadi sebelum 18 tahun

2.1.5 Klasifikasi Retardasi Mental

Soetjiningsih dan Ranuh (2014) menyebutkan terdapat bermacam-macam

klasifikasi retardasi mental yaitu :

1. Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency (AAMD) dan

WHO

Tabel 2.1 Klasifikasi menurut American Assocation Mental Deficiency


(AAMD) dan WHO
Derajat American Association World Health
Mental Deficiency Organization
Ringan 55 – 69 50 – 70
Sedang 40 – 54 35 – 49
Berat 25 – 39 20 – 34
Sangat berat 0 – 24 0 – 20

2. Menurut Melly dalam Soetjiningsih dan Ranuh (2014) :


a. Retardasi mental tipe klinik

Pada retardasi mental tipe klinik mudah dideteksi sejak dini, karena kalaianan

fisik dan mentalnya cukup besar. Penyebab terseringnya adalah kelainan organik.
11

Kebanyakan anak ini perlu perawatan yang terus menerus dan kelaianan ini dapat

terjadi pada kelas sosial tinggi maupun rendah. Orang tua anak retardasi mental

tipe klinik ini cepat mencari pertolongan karena mereka melihat sendiri kelaianan

pada anaknya.

b. Retardasi mental tipe sosiobudaya.

Biasanya, kelaianan ini baru diketahui setelah anak masuk sekolah dan

ternyata tidak dapat mengikuti pelajaran. Penampilannya seperti anak normal,

sehingga tipe ini disebut anak retardasi enam jam, karena begitu mereka keluar

sekolah mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini

kebanyakan berasal dari golongan sosial ekonomi rendah. Para orang tua tipe ini

tidak melihat adanya kelainan pada anaknya. Mereka mengetahui kalau anaknya

retardasi mental dari gurunya atau dari psikolog, karena anaknya gagal naik kelas

beberapa kali.

3. Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR)

AAMR hanya membagi retardasi mental menjadi dua kategori yaitu retardasi

mental ringan dan berat.

Tabel 2.2 Perbedaan Kriteria Retardasi Mental Berdasarkan DSM-IV-TR dan AAMR
DSM-IV-TR AAMR
Ringan (IQ) 55 – 69 52 – 75
Sedang (1Q) 40 – 54
Berat (IQ) 25 – 39 < 50
Sangat berat (IQ) < 24
Keterangan :

AAMR hanya membedakan retardasi mental ringan dan berat. Pembagian

ini berdasarkan kriteria yang lebih alamiah, antara lain berdasarkan meningkatnya

likelihood dari :

a. Penyebab yang dapat didentifikasikan


b. Komorbid kesehatan, perilaku dan gangguan psikiatrik
12

c. Ketidakmampuan untuk mengikuti pendidiakn formal


d. Kebutuhan untuk perwalian nanti kalau sudah dewasa pada retardasi mental

berat
4. Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan

Tabel 2.3 Klasifikasi berdasarkan pendidikan dan bimbingan


Kategori IQ Pendidikan Bimbingan Prevalen
Ringan 55 – 70 Mampu didik Kadang - 0,9-2,7%
kadang
Sedang 40 – 54 Mampu latih Terbatas
Berat 35 – 39 Tidak mampu Ekstensif 0,3-0,4%
latih
Sangat berat < 25 Tidak mampu Pervasive
latih
Retardasi mental tipe ringan masih mampu didik, retardasi mental tipe

sedang mampu dilatih, sedangkan retardasi mental mental tipe berat dan sangat

berat memerlukan pengawasan dan bimbingan seumur hidupnya. Bimbingan

untuk anak retardasi mental tergantung pada tingkat kemandirian anak.

2.1.6 Karakteristik Anak Retardasi Mental

Retardasi mental (RM) merupakan suatu keadaan perkembangan jiwa

yang terhenti atau tidak lengkap sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan

secara menyeluruh, misalnya keterbatasan kemampuan kognitif, kerterbatasan

bahasa, keterbasatan motorik kasar dan halus, dan interaksi sosial (Maslim, 2007).

Smith et al dalam Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007) Anak-anak

retardasi mental secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelektual di

bawah rata-rata dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap prilaku

adaptif selama masa perkembangan dari nol tahun sampai 18 tahun. Bidang

prilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi meliputi :

1. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan, minum,

berpakaian, dan memelihara kesehatan diri.


2. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak
3. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif
13

4. Keterampilan sosial, keterampilan bermain, keterampilan berinteraksi,

berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam pergaulan,

tangggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan memanfaatkan waktu luang,

dan ekspresi emosi


5. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti pengetahuan

tentang warna) membaca, menulis, fungsi-fungsi: pengenalan terhadap angka,

waktu, uang dan pengukuran.


6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,

berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan

diri, dan memelihara diri secara praktis.


7. Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, dan cara

mengatur pembelanjaan.
8. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan

memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan dan

mencuci.
9. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,

memanfaatkan sumber-sember lingkungan, penggunaan telepon, menjaga

keselamatan lingkungan.
10. Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta prilakunya,

keterampilan mencari pekerjaan, prilaku sosial dalam pekerjaan dan menjaga

keselamatan kerja

2.1.7 Tumbuh Kembang Anak Retardasi Mental

Tabel 2.4 Ciri-ciri perkembangan anak retardasi mental


Tingkat Umur pra-sekolah: Umur Sekolah: 6- Masa dewasa: 21
Retardasi 0-5 20 tahun tahun
Mental Tahun Latihan dan atau lebih
Pematangan dan Pendidikan Kecukupan Sosial
Perkembangan dan
Pekerjaan
Berat sekali Retardasi berat: Perkembangan Perkembangan
kemampuan motorik motorik
minimal sedikit, dapat dan berbicara
14

untuk berfungsi bereaksi sedikit;


dalam terhadap latihan dapat mencapai
bidang sensori- terus mengurus diri
motorik; mengurus diri sendiri
membutuhkan sendiri secara sangat
perawatan secara minimal terbatas;
atau membutuhkan
terbatas perawatan.
Berat Perkembangan Dapat berbicara Dapat mencapai
motorik atau sebagian dalam
kurang; bicara belajar mengurus diri
maksimal; berkomunikasi; sendiri
pada umumnya dapat dilatih dibawah
tidak dalam pengawasan
dapat dilatih untuk kebiasaan penuh; dapat
mengurus diri- kesehatan dasar; mengembangkan
sendiri; dapat dilatih secara
keterampilan secara minimal berguna
komunikasi sistemik dalam keterampilan
tidak ada atau kebiasaan menjaga
hanya diri dalam
sedikit lingkungan
yang terkontrol.
Sedang Dapat berbicara Dapat dilatih Memerlukan
atau dalam pengawasan dan
belajar keterampilan bimbingan bila
berkomunikasi; sosial dan mengalami stress
kesadaran sosial pekerjaan; sulit sosial
kurang; mengalami atau stress
perkembangan perkembangan ekonomi
motorik dalam yang ringan
cukup; dapat bidang akademik
mengurus setelah
diri sendiri; dapat kelas dua
diatur SD;dapat
dengan berpergian sendiri
pengawasan ketempat yang
sedang. sudah
dikenal
Ringan Dapat Dapat belajar Biasanya dapat
mengembangkan keterampilan mencapai
keterampilan akademik sampai keterampilan
sosial dan kira-kira sosial dan
komunikasi; kelas enam pada pekerjaan
keterbelakangan umur yang cukup
minimal belasan tahun; mencari
dalam bidang dapat nafkah, tetapi
sensomotorik; dibimbing ke arah memerlukan
15

sering tidak konformitas sosial


bimbingan
dapat dibedakan dan bantuan bila
dari mengalami stress
normal hingga sosial
usia tua atau stress
ekonomi
yang luar biasa.
Sumber: Freedman, AM.,H.I dan Sadock, B.J. ; Modem Synopsis of
Comprehensive Textbook of Psychiatry, Wiliams &Wilkins Co, Baltimore, 1972,
HI. 313 dalam Maramis 2009.

2.1.8 Gangguan Perkembangan Anak Retardasi Mental

Pada anak retardasi mental mengalami suatu keadaan perkembangan

mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya

gangguan ketrampilan baik kecakapan ataupun skill selama masa perkembangan,

sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif,

verbal, motorik, maupun sosial (Lumbantobing, 2006).

1. Gangguan kognitif

Alimin dalam Kemis & Rosnawati (2013:27-30) anak tunagrahita mengalami

apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin dalam salah satu atau

lebih proses kognitif seperti: persepsi, daya ingat, mengembangkan ide, evaluasi

dan penalaran. Dalam DSM-V (2013:34) menjelaskan bahwa:

“Deficits in intellectual functions, such as reasoning, problem solving, planning,


abstract thingking, judgment, academic learning, and learning from experience,
confirmed by both clinical assesment and individualized, standardized
intelligence testing. Conceptual domain for school-age children and adults, there
are difficulties in learning academic skills involving reading, writing, arithmatic,
time or money, with support needed in one or more areas to meet age-related
expectation”.
Definisi kemampuan kognitif anak tunagrahita menurut DSM-V (2013:34)

dapat dimaknai bahwa anak tunagrahita mengalami defisit fungsi intelektetual

seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian,


16

kemampuan akademik, dan pengalaman belajar, didapat dari asessmen klinik dan

individual, serta standar pengujian kecerdasan. Pada bidang konseptual

tunagrahita ringan usia sekolah dan dewasa mereka mengalami kesulitan dalam

pembelajaran akademik termasuk kemampuan membaca, menulis, aritmatika,

waktu dan uang.

Menurut penjelasan-penjelasan dari beberapa ahli maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa masa perkembangan anak normal dengan anak tunagrahita

berbeda. Anak tunagrahita ringan sulit untuk memahami kaidah dalam belajar

sehingga mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sebab-akibat. Anak

tunagrahita mengalami hambatan dalam kognitif berlaku untuk tunagrahita usia

sekolah maupun dewasa yang mana mempengaruhi persespsi, daya ingat,

mengembangkan ide, evaluasi, dan penalaran.

2. Gangguan verbal

McLean dan Synder (dalam Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan

bahwa anak retardasi mental mengalami kesulitan dalam komunikasi verbal,

meliputi morfologi, sintaksis, dan semantik. Dalam di bidang semantik anak

retardasi mental cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim,

penggunaan kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara objek

dengan ruang, waktu, kualitas, dan kuantitas. Bernstein dan Tiegerman (dalam

Sidiarto, 2009:139) menyatakan bahwa pada diri anak yang terbelakang mental

(retardasi mental, tunagrahita) disfungsi otak bersifat difus, sehingga

kemampuannya berkurang dalam hampir semua fungsi yang mendasari belajar.

Anak-anak ini belajar dengan tempo yang lebih lambat sehingga informasi yang

ditangkap juga berkurang. Jadi, bukan hanya perkembangan bicara dan


17

bahasanya yang terlambat, tetapi juga perkembangan lainnya, seperti

perkembangan motorik, kognitif, dan sosialnya terlambat.

Menurut Bernstein dan Tigerman (dalam Sidiarto, 2009:139) ciri-ciri

gangguan verbal yang dialami anak retardasi mental adalah (a) penggunaan

kalimat yang lebih pendek dan sederhana, dengan bentuk yang lebih primitif

disertai dengan artikulasi, (b) penggunaan arti kata yang lebih konkret, dan (c)

penggunaan yang lebih sedikit dari beberapa fungsi semantik, seperti keterangan

tempat dan waktu.

3. Gangguan motorik

Anak retardasi mental mengalami hambatan dalam perkembangan

motoriknya, sehingga mereka kesulitan dalam bergerak seperti berjalan maupun

berlari. Pengembangan motorik merupakan aspek penting dalam peningkatan

kualitas gerak. Menurut Mumpuniarti (2010:82) Pada Anak retardasi mental perlu

adanya latihan dan pengarahan secara khusus. Mereka dalam memenuhi

kebutuhan fisik terhambat dalam aspek: kemampuan sensorimotor, kemampuan

keseimbangan tubuh, kemampuan pengenalan lingkungan, kemampuan

koordinasi dan mobilitas fisik, kemampuan integrasi sensorimotor, kemampuan

ketangkasan fisik, rasa keindahan serta rasa kebersihan. Dengan adanya aspek-

aspek yang sebagai hambatan itu perlu diprogramkan dalam bentuk latihan agar

Anak retardasi mental dapat memenuhi kebutuhan fisiknya. Latihan gerak dasar

seperti berjalan, berlari, melompat, meloncat dan keterampilan menguasai bola

seperti melempar, menendang, menangkap dan 4 memantulkan bola (bouncing)

merupakan pengembangan dari beberapa variasi gerak yang dilakukan pada masa

anak kecil. Keterampilan motorik dasar berkembangkan pada masa sebelum


18

sekolah dan pada masa sekolah awal, dan ini akan menjadi bekal awal untuk

mendapatkan keterampilan gerak yang efesien bersifat umum dan selanjutnya

akan dipergunakan sebagai dasar untuk perkembangan keterampilan motorik

yang lebih khusus (Phil. Yanuar kiram, 2007:42).

4. Gangguan sosial

Menurut Chaplin dalam Wati (2012:4) anak tunagrahita tidak mengetahui

bagaimana yang benar bergaul dengan teman sebayanya, seperti melakukan

aktivitas bergurau dengan teman-temannya, berbicara dengan guru dengan bahasa

yang kurang atau tidak sopan, suka menggertak baik ucapan maupun perbuatan,

bersikap menyerang dan merusak. Penyesuaian diri merupakan variasi dalam

kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan,

namun tidak sepenuhnya berlaku pada anak tunagrahita. Menurut Grossman

dalam jurnal Mayasari & Wijiastuti (2013) tunagrahita itu mengacu pada fungsi

intelektual yang nyata berada dibawah rata-rat bersamaan dengan kekurangan

dalam adaptasi dan tingkah laku serta dampak lain yang menyertainya.

Pendapat mengenai kemampuan sosial anak tunagrahita ringan menurut

American Psychiactric Association (APA, 2013:34).

“Compared with typically developing agemates the individual is immature in


social interactions. For example there may be difficulty in accurately perceiving
peer’s social cues. Communication, conversation, and language are more
concrete or immature than expected for age. These may be difficulties are
regulating emotion and behavior in age-appropriate fashion; these difficulties are
noticed by peer’s in social situations. There is limited understanding of risk in
social situations, social judgment is immature for age, and the person is at risk of
being manipulated by other (gullibility).”
Berdasarkan pengertian di atas dapat dimaknai bahwa dibandingkan

dengan anak seusianya anak tunagrahita ringan belum mengalami kematangan

dalam interaksi sosialnya. Contohnya, mereka mungkin tidak memahami isyarat


19

sosial. Komunikasi, percakapan dan bahasa butuh konsentrasi lebih atau belum

matang dibandingkan dengan anak seusianya. Mereka mungkin mengalami

kesulitan dalam mengontrol emosi dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan

usianya. Mereka kekurangan dalam memahami situasi sosial, penilaian sosial di

usianya, dan anak ini memiliki resiko dimanipulasi oleh orang lain (mudah

tertipu).

Dari penjabaran para ahli tersebut anak tunagrahita mengalami masalah

pada bidang interaksi sosialnya, hal tersebut merupakan dampak dari kemampuan

kognitif anak tunagrahita ringan yang secara nyata di bawah rata-rata. Mereka

kurang atau belum memiliki kesadaran terhadap lingkungan sosialnya. Sering kali

anak tunagrahita tidak mampu mengontrol emosi dan tingkah laku jika

dibandingkan dengan anak seusianya belum mengalami kematangan.

Perkembangan sosial dan interaksi anak tunagrahita ringan belum

mengalami kematangan jika dibandingkan dengan anak seusianya. Mereka

mengalami kesulitan dalam memahami masalah yang terjadi dalam kehidupan

sosialnya atau bahkan tidak mengalami kesadaraan dalam lingkungan sosial. Jika

dibandingkan dengan anak normal seusianya anak tunagrahita ringan memiliki

perbedaan perkembangan sosial di bawah usia anak normal. Dalam memahami

situasi sosial, komunikasi, percakapan dan bahasa anak tunagrahita ringan juga

mengalami kesulitan. Hal tersebut terjadi karena dampak kemampuan anak

tunagrahita yang memang secara nyata dibawah rata-rata.

2.1.9 Penatalaksanaan

Pleyte dan Humris (2014) menyebutkan penatalaksanaan anak retardasi

mental meliputi tiga hal yaitu :


20

1. Pendekatan yang berhubungan dengan etiologi, misalnya menetapkan diet

secara dini untuk penderita yang penyebabnya adalah fenilketonuria atau

substansi hormon ini.


2. Terapi untuk gangguan fisik dan mental yang menyertai retardasi mental
3. Pendidikan yang sesuai dan rehabilitasi

Keterbatasan anak retardasi mental dapat dikurangi dengan modifikasi

perilaku, sehingga modifikasi perilaku perlu diberikan kepada anak retardasi

mental melalui terapi perilaku (Nisa, 2010). Efendi (2006) Jenis terapi perilaku

yang diberikan kepada anak retardasi mental yaitu melalui kegiatan bermain.

Terapi permainan yang diberikan yang memiliki muatan antara lain:

1. Setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda.


2. Sosok permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak

retardasi mental (Prasedio dalam Efendi 2006).


Nisa (2010) menyatakan nilai terapi yang penting dalam perkembangan anak

retardasi mental yaitu:


1. Pengembangan fungsi fisik, misalnya pernapasan, peredaran darah, dan

pencernaan makanan
2. Pengembangan sensomotorik, melalui bermain dapat melatih ketajaman

penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan melatih kemampuan

gerak.
3. Pengembangan daya khayal, anak diberi kesempatan untuk mampu

menghayati makna kebebasan untuk pengembangan kreasinya


4. Pembinaan pribadi, anak berlatih memperkuat kemauan, memusatkan

perhatian, mengembangkan keuletan, dan percaya diri


5. Pengembangan sosialisasi, anak bermain dengan teman sebaya, berkelompok,

anak harus mampu menerima kekalahan, menunggu giliran, setia, jujur,

terjadinya komunikasi dan interaksi antara individu.


21

6. Pengembangan intelektual, dalam permainan yang dilakukan, anak diberi

kesempatan untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas apa

yang dilihat dan didengar tentang permainan yang dilakukan.

2.2 Kemampuan Berhitung

2.2.1 Pengertian Kemampuan

Didalam kamus bahasa Indonesia (2015), kemampuan berasal dari kata

“mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada,

kaya, mempunyai harta berlebihan). Kemampuan adalah suatu kesanggupan

dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan

sesuatu yang harus ia lakukan.

Menurut Chaplin (2011) ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan,

bakat, kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu

perbuatan. Kemampuan juga bisa disebut dengan kompetensi. Kata kompetensi

berasal dari bahasa Inggris “competence” yang berarti ability, power, authority,

skill, knowledge, dan kecakapan, kemampuan serta wewenang. Jadi kata

kompetensi dari kata competent yang berarti memiliki kemampuan dan

keterampilan dalam bidangnya sehingga ia mempunyai kewenangan atau atoritas

untuk melakukan sesuatu dalam batas ilmunya tersebut.

Pengertian-pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa

kemampuan (ability) adalah kecakapan atau potensi menguasai suatu keahlian

yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau praktek dan

digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya.

2.2.2 Pengertian Berhitung


22

Berhitung menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah melakukan

hitungan (seperti menjumlahkan, mengurangi dan sebagainya) (Departemen

Pendidikan Nasional, 2005, 359). Permainan berhitung merupakan bagian dari

matematika, diperlukan untuk menumbuh kembangkan ketrampilan berhitung

yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan

yang merupakan juga dasar pagi pengembangan kemampuan matematika maupun

kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar (Depdiknas, 2007).

Keterampilan menghitung berkaitan dengan perkembangan berpikir anak.

anak sedang berada pada tahap berpikir kongkret saja. Anak memahami bilangan

tiga dari tiga buah jeruk. Ketrampilan menghitung juga mencakup koordinasi

memegang dan menunjuk benda, menyebut angka, dan mengingat urutannya. Ini

memang cukup sulit bagi anak sehingga membutuhkan waktu lama baginya untuk

secara sungguhsungguh mengenal bilangan yang mewakili sejumlah benda

(Susilo,2011:109).

Dapat dikatakan bahwa dalam semua aktivitas kehidupan manusia

memerlukan kemampuan ini. Sedangkan menurut Peterson menyarankan bahwa,

untuk memberikan penekanan pada makna dan pemahaman tersebut serta untuk

mengembangkan kemampuan berpikir dengan tingkat yang lebih tinggi, maka

pemecahan masalah dalam matematika tidak hanya merupakan bagian yang

terintegrasi dalam pembelajaran, melainkan harus menjadi dasar atau inti dari

kegiatan.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

berhitung adalah suatu kegiatan atau sebuah cara menyenangkan untuk belajar

memahami konsep bilangan. Matematika pada hakekatnya merupakan cara belajar


23

untuk mengatur jalan pikiran seseorang dengan maksud melalui matematika

seseorang dapat mengatur jalan pikirannya Suriasumantri (Ahmad Susanto,

2011:98). Dalam kaitannya, salah satu cabang dari matematika ialah berhitung.

Berhitung merupakan dasar dari beberapa ilmu yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari seperti, penambahan, pengurangan, pembagian, ataupun perkalian.

Untuk anak usia dini dapat menambah dan mengurangi serta membandingkan

sudah sangat baik setelah anak memahami bilangan dan angka.

2.2.3 Kemampuan Berhitung Pada Anak Retardasi Mental Ringan

Kemampuan anak retardasi mental ringan dari segi kognitif pada

umumnya terhambat akibat lemahnya intelektual yang dimiliki. Tahapan proses

kognitif menurut Mussen, Conger dan Ragan dalam Mohammad Effendi (2006:

96) melalui; (1) persepsi, (2) ingatan, (3) pengembangan ide, (4) penilaian, (5)

penalaran. Sementara itu perkembangan kognitif menurut Piaget dalam

Mohammad Effendi (2006: 97) melewati periode perkembangan (1) periode

sensomotor (0-2 tahun), (2) periode praoperasional (2-7 tahun), (3) periode

operasional konkret (7-11/12 tahun), (4) periode operasional formal (11/12- 13/14

tahun).

Menurut Kirk dalam Mohammad Effendi (2006: 98), perkembangan

kognitif anak retardasi mental ringan berhenti pada tahap operasional konkret.

Oleh karena itu, meskipun usia kronologis anak retardasi mental ringan sama

dengan anak normal pada umumnya, tetapi prestasi yang diraih berbeda dengan

anak normal. Meskipun demikian, potensi yang dimiliki anak retardasi mental

ringan masih dapat dikembangkan secara akademik melalui bimbingan khusus.


24

Menurut Mohammad Effendi (2006: 98) dampak keterlambatan

perkembangan kognitifnya antara lain: cenderung berpikir konkret dan sukar

berpikir, mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, prestasi tertinggi bidang baca

dan tulis sedangkan hitung tidak lebih dari siswa normal setingkat kelas 3-4 SD.

Kemampuan berhitung anak retardasi mental ringan melalui bimbingan khusus

diajarkan dalam permainan yang mengasah kemampuan berhitung anak retardasi

mental.

Berhitung merupakan materi yang perlu diberikan bagi anak retardasi

mental ringan, hal ini karena berhitung secara sadar ataupun tidak selalu

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dalam menggunakan

uang, kasus tersebut menerapkan konsep dan berfikir berhitung yang berdasar

dengan kemampuan mengenal kuantitas bilangan menurut nilai dan tempatnya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan belajar

menghitung secara kognitif anak retardasi mental ringan rendah. Meskipun

demikian, potensi kemampuan berhitung yang dimiliki dapat dikembangkan

melalui bimbingan khusus dengan memperhatikan tahapan perkembangannya

yaitu operasional konkret.

Materi pembelajaran berhitung bagi anak retardasi mental ringan menurut

Mumpuniarti (2007: 122- 125) diutamakan dalam keterampilan hitung. Lebih

lanjut dijelaskan pembelajaran pada bidang tersebut meliputi: keterampilan pra

hitung, kemampuan menambah, mengurangi, mengalikan dan membagi.

Keterampilan menghitung bagi anak retardasi mental ringan dengan usia mental 8

tahun antara lain:


25

1. Menghitung Pokok (cardinal), pada usia 8 tahun mencapai angka 10 sampai

1000.

2. Pengangkaan

a. Kata angka pada usia 8 tahun mencapai angka sepuluh sampai seratus.

b. Angka hindu arab pada usia 8 tahun mencapai 100 – 1000

c. Nilai tempat pada usia 8 tahun mencapai ratusan.

d. Pemecahan masalah, pada usia 8 tahun mencapai pemecahan masalah

uang seribu ditambah lima ratus rupiah dan memecahkan masalah

mengurang uang seribu dikurang lima ratus.

2.2.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berhitung Pada

Anak Retardasi Mental Ringan

2.3 Bermain Congklak

2.3.1 Pengertian Bermain

Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau

mempraktekkan ketrampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi

kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa. Sebagai suatu

aktivitas yang memberikan stimulasi dalam kemampuan ketrampilan, kognitif,

dan afektif maka sepatutnya diperlukan suatu bimbingan mengingat bermain bagi

anak merupakan suatu kebutuhan bagi dirinnya sebagaimana kebutuhan lainnya

seperti kebutuhan makan, kebutuhan rasa amam, kebutuhan rasa kasih sayang, dan

lain-lain (Hidayat, 2009).

Banyak ditemukannya anak pada masa tumbuh kembang mengalami

perlambatan yang dapat disebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan pada diri

anak termasuk didalamnya adalah kebutuhan bermain, yang seharusnya masa


26

tersebut merupakan masa bermain yang diharapkan menumbuhkan kematangan

dalam pertumbuhan dan perkembangan karena masa tersebut tidak digunakan

sebaik mungkin maka tentu akhirnya mengganggu tumbuh kembang anak

(Hidayat, 2009).

2.3.2 Fungsi Bermain Pada Anak

Fungsi bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-motorik,

perkembangan intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreatifitas,

perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi

(Supartini, 2004).

1. Perkembangan sensorik-motorik
Pada saat melakukan permainan, aktivitas sensori-motorik merupakan

komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk

perkembangan fungsi otot. Misalnya, alat permainan yang digunakan untuk bayi

yang mengembangkan kemampuan sensori-motorik dan alat permainan. Untuk

anak usia toddler dan prasekolah yang banyak membantu perkembangan aktivitas

motorik baik kasar maupun halus.


2. Perkembangan kognitif (intelektual)
Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala

sesuatu yang ada di lingkungan sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk,

ukuran, tekstur, dan membedakan objek. Pada saat bermain pula anak akan

melatih diri untuk memecahkan masalah.


3. Perkembangan sosial
Perkembangan sosial ditandai dengan kemampuan berinteraksi dengan

lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan

menerima. Bermain sama orang lain akan membantu anak untuk mengembangkan

hubungan sosial dan belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut.


4. Perkembangan kreativitas
27

Berkreasi adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan mewujudkannya

ke dalam bentuk objek atau kegiatan yang akan dilakukan. Melalui bermain anak

akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya. Misalnya, dengan

membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya

untuk semakin berkembangan.


5. Perkembangan kesadaran diri
Melalui bermain, anak akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur

tingkah laku. Anak juga akan belajar mengenal kemampuannya dengan mencoba

peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkah lakunya terhadap orang lain.
6. Perkembangan moral
Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari

orang tua dan guru. Dengan melakukan aktivitas bermain, anak akan mendapatkan

kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima

dilingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan kelompok

yang ada dalam lingkungannya.

2.3.3 Prinsip - Prinsip dalam Aktivitas Bermain

Dienar Hasri D (2006) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan agar aktivitas bermain biasa menjadi stimulasi yang efektif

sebagaimana berikut ini:

1. Perlu ekstra energi


Bermain memerlukan energi yang cukup, sehingga anak memerlukan nutrisi

yang memadai. Asupan (intake) yang kurang dapat menurunkan gairah, anak yang

sehat memerlukan aktivitas bermain yang bervariasi, baik bermain aktif maupun

bermain pasif, untuk menghindari rasa bosan atau jenuh.


2. Waktu permainan
Anak harus mempunyai cukup waktu untuk bermain sehingga stimulasi yang

diberikan dapat optimal. Selain itu, anak akan mempunyai kesempatan yang

cukup untuk mengenal alat-alat permainannya.


28

3. Alat permainan
Alat permainan yang digunakan harus sesuai dengan usia dan tahap

perkembangan anak. Orang tua hendaknya memperhatikan hal ini, sehingga alat

permainan yang diberikan dapat berfungsi dengan benar. Yang perlu diperhatikan

adalah bahwa alat permainan tersebut aman dan mempunyai unsur edukatif bagi

anak.
4. Ruang untuk bermain
Aktivitas bermain dapat dilakukan dimana saja, di ruangan, di halaman,

bahkan di ruang tidur. Diperlukan suatu ruangan atau tempat khusus untuk

bermain bila memungkinkan, dimana ruangan tersebut sekaligus juga dapat

menjadi tempat untuk menyimpan mainannya.


5. Pengetahuan cara bermain
Anak belajar bermain dari mencoba-coba sendiri, meniru teman-temannya,

atau diberi tahu oleh orang tuanya. Cara yang terakhir adalah yang terbaik karena

anak lebih terarah dan berkembang pengetahuannya dalam menggunakan alat

permainan tersebut. Orang tua tidak pernah mengetahui cara bermain dari alat

permainan yang diberikan umumnya membuat hubungan dengan anak cenderung

kurang hangat.
6. Teman bermain
Dalam bermain, anak memerlukan teman, bisa teman sebaya, saudara, dan

orang tuannya. Ada saat-saat tertentu dimana anak bermain sendiri agar dapat

menemukan kebutuhannya sendiri. Bermain yang dilakukan bersama dengan

orang tuannya akan mengakrabkan hubungan dan sekaligus memberikan

kesempatan kepada orang tua untuk mengetahui setiap kelainan yang dialami oleh

anaknya, diperlukan untuk mengembangkan sosialisasi anak dan membantu anak

dalam memahami perbedaan.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Bermain


29

Ada lima faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak, yaitu

tahap perkembangan anak, status kesehatan anak, jenis kelamin anak, lingkungan

yang mendukung, serta alat dan jenis permainan yang cocok atau sesuai bagi anak

(Supartini, 2004)

1. Tahap pekembangan anak


Aktivitas bermain yang tepat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan

pertumbuhan dan perkembangan anak. Tentunya permainan anak usia bayi tidak

lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Demikian

juga sebaliknya karena pada dasarnya permainan adalah alat stimulasi

pertumbuhan dan perkembangan anak.


2. Status kesehatan anak
Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Walaupun demikian,

bukan berarti anak tidak perlu bermain pada saat sedang sakit. Kebutuhan bermain

pada anak sama halnya dengan kebutuhan bekerja pada orang dewasa.
3. Jenis kelamin anak
Ada beberapa pandangan tentang konsep gender dalam kaitannya dengan

permainan anak. Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis

kelamin laki-laki maupun wanita. Semua alat permainan dapat digunakan oleh

anak laki-laki.
4. Alat dan jenis permainan yang cocok
Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anaknya.

Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh-kembang anak. Label yang tertera pada

mainan harus dibaca terlebih dahulu sebelum membelinya. Alat permainan tidak

selalu harus yang dibeli di toko atau mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang

dapat menstimulasi imajinasi dan kreativitas anak.

2.3.5 Congklak

Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional yang

menggunakan bidang panjang dengan tujuh cekungan pada masing-masing sisi


30

dan dua cekungan yang lebih besar di bagian tengah ujung kiri dan kanan yang

disebut sebagai lumbung. Cekungan pada sisi diisi dengan biji-bijian (bisa biji

sirsak atau biji sawo) atau batu kerikil. Selain itu, ada pula biji congklak yang

berasal dari cangkang kerang laut berbentuk bulat agak oval atau tiruannya

berbahan plastik berbentuk. Masing-masing cekungan diisi dengan 12 biji (Fad,

2014).

Lumbung sebelah kanan adalah milik pemain “A”, lumbung sebelah kiri

milik pemain “B”. Pemain “A” memilih salah satu cekungan yang ada pada sisi

terdekatnya, mengambil bijinya dan membaginya satu per satu tanpa mengisi

limbung sebelah kanan. Jika biji terakhir jatuh pada cekungan yang ada isinya

maka pemain boleh mengambil dan membaginya lagi. Tentu saja lumbung sebelah

kiri (milik pemain “B”) tidak diisi. Akan tetapi, jika biji terakhir jatuh pada bidang

kosong, itu berarti pemain “A” berhenti bermain dan ganti pemain “B” yang

bermain (Fad, 2014).

Pada permainan congklak, kemenangan dihitung berdasarkan banyak

jumlah biji pada lumbung masing-masing. Kunci permainan ini terletak pada

pilihan jumlah biji pada cekungan yang akan dimainkan. Pemain yang sering

berjalan atau mengambil biji dari cekungan maka berarti ia sering mengisi

lumbungnya.

Dalam permainan Congklak, terdapat dua bahan yaitu papan Congklak (a)

dan buah Congklak (d). Dapat dilihat pada gambar 2.1. papan Congklak berbentuk

sampan yang dibuat dari berbagai jenis kayu dan terdapat tujuh lubang satu baris

yang disebut sebagai 'kampung' (c) dan di kedua ujungnya terdapat lubang ibu

yang disebut sebagai 'rumah' (b). Panjang papan Congklak tujuh lubang biasanya
31

sekitar 80 cm dan lebarnya 18 cm. Dan untuk buah Congklak berjumlah 98 (14x7)

buah yang menggunakan sejenis cangkang kerang dan kadang kala digunakan

juga biji-bijian dari tumbuh-tumbuhan dan batubatuan.

Gambar 2.1 Permainan Congklak

Permainan Congklak dilakukan oleh dua orang. Langkah-langkah

permainan Congklak adalah sebagai berikut :

1. Pada awal permainan setiap lubang kecil diisi dengan tujuh buah biji.

2. Dua orang pemain berhadapan, salah seorang yang memulai dapat memilih

lubang berisi biji yang akan diambil.

3. Pemain mengambil seluruh biji dalam lubang yang dipilih kemudian

meletakkan satu per satu biji ke lubang di sebelah kirinya atau searah jarum

jam dan seterusnya sampai biji yang berada di tangan pemain habis

diletakkan.

4. Setelah biji pada tangan pemain habis, terdapat empat kondisi :

a. Jika biji habis di lubang kecil yang berisi biji lainnya, ia dapat mengambil

biji-biji tersebut dan melanjutkan mengisi seperti pada langkah 3.


32

b. Jika biji habis di lubang besar miliknya maka ia dapat melanjutkan dengan

memilih lubang kecil di sisinya.

c. Jika biji habis di lubang kecil di sisinya maka ia berhenti dan mengambil

seluruh biji di sisi yang berhadapan.

d. Jika biji habis dan berhenti di lubang kosong di sisi lawan maka ia

berhenti dan tidak mendapatkan apa-apa.

5. Permainan dianggap selesai bila sudah tidak ada biji lagi yang dapat diambil

(seluruh biji ada di lubang besar kedua pemain). Pemenangnya adalah yang

mendapatkan biji terbanyak (Fourtofour, 2013).

2.3.6 Pengembangan

Untuk mengasah kemampuan berhitung dalam permainan congklak maka

dapat dikembangkan dengan memberikan biji dalam jumlah yang berbeda-beda

setiap melewati lumbung. Misalnya, pada putaran pertama yang ditinggal di

lumbung 1 biji, putaran kedua 2 biji, putaran ketiga 3 biji, dan seterusnya. Tentu

saja yang dibagikan pada tiap sisi pemain “A” atau pemain “B” hanya 1 biji.

Permainan congklak juga dapat melatih ketangkasan, kepemimpinan, kreativitas,

kerja sama, strategi, dan wawasan (Fad, 2014).

Menurut Keen Achroni, (2012) berpendapat bahwa manfaat bermain

congklak antara lain :

1. Memberikan kegembiraan pada anak.


2. Melatih kemampuan motorik halus anak.
3. Melatih kesabaran anak ketika menunggu giliran untuk bermain.
4. Melatih kemampuan anak menyusun strategi untuk memenangkan permainan.
5. Mengembangkan kemampuan berhitung anak.
6. Melatih ketelitian anak. Anak yang sedang bermain harus teliti untuk

memasukkan biji–biji dakon satu demi satu hingga habis.


7. Melatih kejujuran anak.
33

2.4 Permainan Congklak Terhadap Kemampuan Berhitung Anak

Retardasi Mental Ringan

Melakukan kegiatan berhitung bagi anak retardasi mental tidak hanya

sekedar menjumlah atau mengurangkan angka dan benda, agar anak retardasi

mental mampu dan merasa senang dalam melakukan kegiatan berhitung tersebut

hendaknya menggunakan media yang menarik dan baru bagi anak.

Media untuk melatih kemampuan kemampuan berhitung anak bermacam-

macam bentuk dan jenisnya, salah satunya adalah permainan tradisional congklak.

Congklak merupakan alat permainan tradisional yang sudah ada sejak dahulu dan

memiliki manfaat yang banyak untuk anak anak retardasi mental salah satunya

adalah melatih kemampuan berhitung anak. seperti yang dikemukakan oleh Cahyo

(2011:35) bahwa Melalui bermain congklak anak retardasi mental akan

memperoleh manfaat yang dapat mengembangkan dasar kemampuan berhitung,

contohnya dengan bermain congklak anak retardasi mental mampu membedakan

konsep penuh kosong, menyebutkan hasil penambahan, menghubungkan dua

kumpulan benda, membilang dengan menunjuk benda, menunjukkan urutan benda

untuk bilangan sampai 10, menghubungkan atau memasangkan lambang bilangan

dengan benda-benda.

Diah Rahmawati (2010) menyatakan bahwa permainan congklak juga

membutuhkan kecerdasan berhitung. Disaat anak memasukkan biji congklak

disetiap lobang congklak atau disaat anak menghitung biji congklak. Disitu anak

diajarkan untuk bermian spekulasi dengan pertimbangan dan perhitungan yang

matang.
34

Dapat penulis simpulkan bahwa permainan congklak sangat berkaitan

dengan kognitif karena permainan tradisional congklak selain melatih motorik

kasar dapat melatih keterampilan berhitung dan mempertimbangkan apa yang

akan dilakukan sebelum bermain. Menurut peneliti dapat mengenalkan pertama

kali pemahaman tentang pengetahuan sejak usia dini dari lingkungan sekitar kita

dan pengalaman sehari – hari serta memberikan stimulus yang mendukung. Peran

perawat dan orang tua sangat penting dalam melatih anak retardasi mental

dirumah maupun di pelayanan tumbuh kembang anak merupakan basis utama

pendidikan anak retardasi mental.

Untuk membantu kemmapuan kognitif, anak retardasi mental perlu

memperoleh pengalaman belajar yang dirancang melalui kegiatan observasi.

Untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak retardasi mental dapat dilakukan

dengan salah satu cara berdasarkan penguasaan pengetahuan anak retardasi mental

adalah bermain congklak, misalnya pada tahap penguasaan konsep menghitung

benda dengan lambang bilangan, yaitu dengan cara menghitung buah congklak

kedalam lobang congklak.

Dalam menggunakan permainan tradisional (congklak) dan melalui

kegiatan yang beragam, maka anak retardasi mental akan merasa tidak cepat

bosan, dan dengan bermain congklak anak retardasi mental dapat belajar

memecahkan masalah dalam kehidupannya.


35

2.4 Kerangka Berpikir

Gangguan pada anak


retardasi mental:
Gangguan Kemampuan
Kognitif. Belajar
Gangguan Kurangnya kemampuan
motorik. berhitung:
Gangguan 1. Mengenal konsep
Sosial. bilangan.
Gangguan 2. Penjumlahan. Bermain
3. Pengurangan. congklak
Verbal.
Peningkatan kemampuan
berhitung pada anak
retardasi mental.
Keterangan :
: Di teliti
: Tidak di teliti

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Studi Kasus Penerapan Terapi Bermain


Congklak untuk Meningkatkan Kemampuan Berhitung Pada
Anak dengan Retardasi Mental Ringan di Poli Tumbuh
Kembang RS Jiwa Menur Surabaya

Вам также может понравиться