Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolic multisistem dengan ciri


hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Kelainan pada sekresi atau kerja insulin tersebut menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Estimasi prevalensi diabetes mellitus
(DM) pada dewasa (usia 20-79 tahun) sebanyak 6,4% atau 285 juta orang pada tahun
2010 dan akan meningkat menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada 2030 (Shaw et al.,
2010). Prevalensi DM tipe 2 terus meningkat. Pada tahun 2020, jumlah penderita DM
tipe 2 diperkirakan akan mencapai 250 orang di seluruh dunia (Shulman, 2000).

Indonesia sendiri menempati urutan ke-9 dalam estimasi epidemiologi DM dunia pada
tahun 2010 dengan 7 juta kasus dan akan terus naik menjadi peringkat ke-5 pada
tahun 2030 dengan 20 juta kasus (Shaw et al., 2009). Penyakit ini jelas memberikan
dampak ekonomi pada penderitanya. Data pada tahun 2005 di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa diabetes membutuhkan biaya hingga 130 miliar USD, yaitu 92
miliar USD adalah biaya medis langsung dan 40 miliar USD adalah kerugian tidak
langsung seperti kecacatan, kehilangan pekerjaan dan kematian (Cheng, 2005)
Resistensi insulin berperan penting dalam patogenesis DM tipe 2. Manifestasi klinis
dari resistensi insulin, intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia, adalah konsekuensi
dari ketidakmampuan insulin untuk merangsang penyerapan glukosa dalam jaringan
target insulin, seperti otot dan lemak (Garvey et al, 2004).

Resistensi insulin adalah suatu keadaan dimana munculnya respons biologis / gejala
klinis akibat meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan
dengan terganggunya sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa
(Wilcox, 2005). Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara
lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetic dari fosforilasi
tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi
GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005). NR1C1 (PPAR⍺) berlokasi
pada kromosom 22q13.3 dan terdiri dari delapan ekson. Singlenucleotide
polymorphisms (SNPs) menurut Yong et al (2018) Chen etal (2010) gen tersebut

1
menunjukkan hubungan dengan dislipidemia, resistensi insulin, diabetes Melitus dan
cardiovascular disease.

Resistensi insulin mengakibatkan glikosa tidak dapat ditransport kedalam sel sehingga
kadarnya didalam darah meningkat, kondisi ini yang disebut dengan diabetes melitus.
Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik yang kompleks yang ditandai dengan
hiperglikemia karena kekurangan sekresi insulin dan / atau tindakan insulin. Faktor
risiko yang terkait dengan diabetes tipe 1 meliputi riwayat keluarga, penyakit dan
penyakit pankreas dan penyakit Diabetes tipe 2 meliputi obesitas, gestational diabetes,
gangguan toleransi glukosa, bertambahnya usia, diet tidak sehat dan aktivitas fisik.
Komplikasi diabetes Melitus termasuk retinopati diabetes, neuropati dan nefropati
Pasien dengan pertemuan diabetes melitus dengan lebih banyak efek samping setelah
infark miokard dibandingkan untuk pasien non-diabetes. Kejadian ini mungkin
disebabkan oleh Proses aterosklerotik dipercepat, diastolik kiri disfungsi ventrikel
yang berhubungan dengan kardiomiopati diabetes atau proses yang tidak terdeteksi
lainnya.(Peter et al, 1989).

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi polimorfisme Gen NR1C1 atau
Peroxisome Proliferators-Activated Receptor alpha (PPARα) pada pasien Diabetes
melitus

1.3 Urgensi Penelitian


1.3.1 Diabetes melitus merupakan penyakit metabolikyang jumlahnya terus
meningkat dimanatahun 2020 diperkirakan Indonesia akan menempatiurutan
ke 5
1.3.2 Diabetes Melipus adalah penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi ke
berbagai organ yang dapat menyebabkan gangguan psikologis dan
menurunkan produktifitas seseorang dan dapat berdampak secara ekonomi dan
sosial
1.3.3 untuk mencegah timbulnya komplikasi pada penderita Diabetes Melitus maka
diperlukan deteksi dini secara genetik sebelum timbulnya masifestasi klinis
sehingga timbulnya penyakit dapat di cegah

2
Rencana Target Capaian

No Jenis Luaran Indikator Capaian


(pada akhir penelitian)
1 Publikasi Ilmiah Internasional √
Nasional Terakreditasi
2 Pemakalah dalam Internasional √
temu ilmiah Nasional
3 Invited Spiker dalam Internasional
temu ilmiah Nasional
4 Hak Kekayaan Paten
Intelektua (HKI) Paten Sederhana
Hak Cipta
Merek dagang
Rahasia Dagang
Desain Prodak Industri
Indikasi geografis
Perlindungan varietas tanaman
Perlindungan topografi sirkuit
terpadu

Teknologi Tepat Guna


Model/Purwarupa/Desain/Karya seni/rekayasa Sosial
Buku Ajar (ISBN)
Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT)

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GEN NR1C1 ATAU PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATOR


RECEPTOR ALPHA (PPARα)
PPARs (NR1Cs/ Nuclear Receptor subfamily 1, group C, members) merupakan sebuah
kelas ligand-activated transcription factor, berperan sebagai pengatur transkripsional
metabolisme lipid dan karbohidrat. Lipid jenuh dan lipid tidak jenuh dan derivative
eicosanoid nya merupakan aktivator alami pada subkelas nuclear receptors tersebut.
Peningkatan peran PPARs pada pengaturan metabolik disebabkan oleh adanya fibrate
hipolipidemia dan thiazolidinediones-sensitizer insulin yang mengsintesis ligand PPARα
(NR1C1) dan PPARγ (NR1C3), PPARδ atau yang lebih dikenal PPARβ yang merupakan
isotipe PPAR (Lefebvre et al, 2006).

PRARs merupakan nuclear reseptor pengaturan asam lemak membentuk pasangan


heterodimer dengan RXRs (retinoid X recerptors) dan berikatan dengan peroxisome
prolifetaror regulatory elements (PPREs) pada promotor yang memberi respon pada gen.
semua sub tipe PPAR (⍺, β/δ,γ1 dan γ2) mengikat asam lemak (Xu et al, 1999; Jump; et
al, 2006); ikatan asam lemak menstimulasi rekrutmen coactivator dan transkripsi gen.
PPARs merupakan sensor lipid intraseluler, level intraseluler non-esterified fatty acid
(NEFA) pada hepatosit tikus sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil penelitian
menyatakan bagaimana asam lemak mengontol fungsi PPAR⍺. Pertama, level NEFA
intraseluler dipertahankan pada level sangat rendah dengan hasil <0.1% dari total lipid
didalam sel. Kedua, perubahan pada sel terkait asam lemak, menyebabkan perubahan
signifikan pada NEFA intraseluler dan menunjukkan respon yang kuat pada target gen
PPAR⍺, seperti cytochrome P450-4A (CYP4A) dan cytosolic thioesterase (CTE-1).
Ketiga, dampak asam lemak pada signalling PPAR⍺ adalah cepat, tetapi bersifat
sementara. Pada dasarnya asam lemak merubah target gen PPAR⍺ secara
parallel merubah NEFA intraseluler. Seperti pada konsep penelitian bahwa PPARs
memonitor komposisi NEFA intraseluler dan berespon secara sesuai dengan jalur
metabolic yang dirangsang untuk meminimalkan kerusakan akibat NEFA intraseluler
yang berlebihan (Pawar et al, 2003; Jump et al, 2006).

4
PPARα sebagian besar diekspresikan di hati, tetapi juga ditemukan pada myocite
jantung, proximal tubular sel epitel ginjal, otot skeletal, epitel usus besar, endothelium
dan sel otot polos dan juga pada sel kekebalan termasuk makrofag, limfosit dan
granulosit (Kliewer et al.,1994; Varga et al., 2011). PPARα merupakan kunci pengaturan
peroksisome dan β-oksidasi mitokondria asam lemak, sintesis badan-badan keton dan
metabolisme sistemik lipid. Oksidasi lipid secara utama terjadi didalam hati dan untuk
mencegah steatopsis (penumpukan lemah di hati). Selama pasokan asam lemak,
merangsang transkripsi PPARα untuk mengatur gen dan sistem oksidasi (sistem oksidasi
microsomal omega dan beta oksidasi mitokondrial dan beta oksidasi peroksisomal)
diaktivasi. Aktivasi dan peningkatan sensitivitas didalam hati menyebabkan peningkatan
pembakaran energi dan menurunkan penyimpanan lemak. Fungsi PPARα sebagai
sonsoring lipd dan mengontrol pembarakan energi. Juga memiliki peran dalam
pathogenesis fatty liver disease (FLD) dan ligan pada reseptor mungkin efektif didalam
penurunan staetosis melalui meningkatkan penggunaan energi (Grygiel dan Górniak,
2014).

NR1C1 (PPARα) dapat diaktivasi oleh ligand secara natural ataupun sintetik, seperti
Polyunsaturated Fatty Acid, eicosanoid dan obat-obatan hipolipidemik (fibrates) dan
mengatur transkripsi DNA dengan cara berikatan dengan sekuensi nukleotida yang
spesifik berlokasi pada region pengaturan pada target gen, seperti; peroxisome
proliferator responsive elements (PPRES). Ikatan Ligand dengan DNA membutuhkan
heterodimer, yaitu PPARα dan Retinoic X receptor ⍺ yang berinteraksi dengan PPRE
yaitu konsensus sekuensi (AGGTCA N AGGTCA) terdiri dari 2 pengulangan dipisahkan
oleh 1 nukleotida. Ketika ligand berikatan dengan PPARα, terjadi perubahan bentuk pada
PPARα-retinoic X receptors sehingga mengaktivasi kompleks transkripsional untuk
berpasangan dengan protein coactivator, salah satunya secara sekuensi atau menjadi
pasangan modul subkomplek. Selanjutnya kompleks coactivator acetylate (steroid
receptors coactivators,p300) meremodeling kromatin nukleosom dan komponen mediator
PPARα untuk memfasilitasi perekrutan pada bagian transkripsi basal
dengan RNA polymerase II untuk transkripsi pada target gen spesifik (Contreas, et
al.,2012).

5
2.2. Struktur dan fungsi NR1C1 (PPARα)
Struktur 3 dimensi PPARs terdiri dari DNA binding domain pada N-terminus dan
sebuah ligand binding domain (LBD) pada C-terminus. Setelah interaksi dengan agonis,
PPARs ditranslokasikan ke nucleus dan heterodimerisasi dengan nuclear receptor lain,
yaitu retinoid X receptor (RXR). RXR membentuk sebuah heterodimer dengan sejumlah
reseptor lain (misalnya; vitamin D atau hormone tiroid). Area spesifik DNA sebagai
target area yang telah berikatan dengan PPARs disebut Peroxisome proliferator hormone
response elements (PPREs). PPREs ditemukan pada promotor gen respon PPAR, seperti
fatty acid-binding protein (aP2). Pada sebagian besar kasus, proses ini mengaktivasi
transkripsi pada berbagai gen melibatkan berbagai proses fisiologi dan patofisiologi.

Fungsi PPARs dimodifikasi oleh sejumlah coactivator dan core processor, dengan
cara menstimulasi atau menghambat fungsi reseptor, atau sebaliknya. Ligand engaktivasi
PPARγ-RXR, sehingga menyebabkan pertukaran co-repressor menjadi co-activator. ada
sel manusia terdapat berbagai cofactor bergantung kepada jenis sel dan hubungan
cofactor secara khusus dengan gen lainnya. Peroxisome proliferator-activated receptor
dibagi menjadi 3 isoform; PPARα, PPARβ/δ dan PPARγ. Setiap isoform berbeda
pendistribusiannya, spesifikasi litgand dan peran fisiologisnya. Setiap isoform berfungsi
untuk mengaktivasi atau menghambat gen yang berbeda. Semua isoform berperan pada
homeostasis lipid dan pengaturan glukosa (keseimbangan energi) dan kerjanya secara
terbatas pada jenis jaringan tertentu. PPARα secara mayoritas diekspresikan pada
jaringan dengan metabolik aktif, seperti hati, jantung, otot skeletal, mukosa intestinal dan
jaringan adiposa cokelat. Reseptor ini berimplikasi pada metabolisme lipid dan aktif jika
kadar lipid rendah.

2.3. Polimorfisme gen NR1C1 (PPARα)


NR1C1 (PPAR⍺) berlokasi pada kromosom 22q13.3 dan terdiri dari delapan ekson.
Singlenucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut menunjukkan hubungan
dengan dislipidemia, resistensi insulin, diabetesdan cardiovascular disease (Yong et
al,2008; Chen etal, 2010). L162V polymorphisms (rs1800206) menunjukkan substitusi
“C” menjadi “G” menyebabkan asam amino leucine menjadi valine, pertukaran pada
kodon 162 (Flavel et al,2000; Sapone et al, 2000; Chen et al, 2010). Polimorfisme gen
ini juga berhubungan dengan variasi pada konsentrasi plasma total kolesterol, LDL,

6
HDL, TG, APOB dan APOA1, tetapi hubungannya masih kontroversi (Yong et al,2008;
Chen et al, 2010).

2.4. Diabetes Melitus


Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya (Perkeni, 2015). Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel
beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari Diabetes
mellitus. Insulin dikode oleh lengan pendek kromosom 117 dan disintesa oleh sel β dari
islet pancreas Langerhans sebagai proinsulin. Proinsulin disintesa di ribosom-Retikulum
Endoplasmakasar dari mRNA sebagai pre-proinsulin. Pre-proinsulin dibentuk melalui
sintesa signal peptide.Pelepasan signa peptida akan membentuk proinsulin di Retikulum
Endoplasma. Vesikel sekretori akan mengirim proinsulin dari reticulum endoplasma ke
badan golgi. Di badan golgi, proinsulin akan diberikan tambahan zink dan kalsium yang
akan menyebabkan bentukan heksamerproinsulin yang tidak larut air. Enzim di luar
badan golgi akan merubah proinsulin menjadi insulin dan C-peptide (Wilcox, 2005).
Sekresi insulin dapat dipengaruhi oleh perubahan pada transkripsi gen, translasi,
modifikasi post-translasi di badan Golgi, dan factor-faktor lain yang mempengaruhi
pelepasan insulin oleh granula sekretorik.

Insulin dalam memberikan efeknya harus berikatan dengan reseptor insulin. Reseptor
insulin memiliki struktur heterotetramer yang terdiri dari subunit glikoprotein 2 α dan 2 ,
yang dihubungkan dengan ikatan disulfide dan berlokasi di membrane sel. Gen yang
mengkode reseptor insulin terletak pada lengan pendek dari kromosom 19. Insulin
berikatan dengan subunit α ekstraseluler, yang mengakibatkan perubahan bentuk
sehingga mengakibatkan ikatan ATP pada komponen intraseluler dari subunit β. Ikatan
ATP akan memicu fosforilasi dari subunit β melalui enzim tyrosine kinase. Fosforilasi
tyrosine pada substrat intraseluler ini disebut sebagai (IRS). IRS dapat mengikat
molekul-molekul sinyal yang lain, yang dapat mengaktivasi insulin (Wilcox, 2005).

Terdapat 4 jenis protein IRS. IRS 1 merupakan IRS terbesar di otot rangka. IRS 2
merupakan IRS penting di liver, yang berfungsi dalam aktivitas perifer dari insulin dan
pertumbuhan dari sel β pancreas. IRS 3 ditemukan hanya pada jaringan adipose, sel β,
dan liver. Sedangkan IRS 4 ditemukan di timus, otak dan ginjal. IRS yang telah
terfosforilasi akan mengikat src-homology-2 domain protein (SH2) yang spesifik, yang

7
meliputi enzim penting seperti phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase) dan
phosphotyrosine phosphatase SHPTP2 (atau Syp), dan protein lain yang bukan enzim
tapi dapat menghubungkan IRS-1 dengan system sinyal intraseluler yang lain (Grb2 yang
menghubungkan dengan jalur RAS (rat sarcoma protein)) (Wilcox, 2005).
PI 3-kinase akan mengakibatkan translokasi dari protein glukosa transporter, glikogen,
lipid dan sintesis protein, anti-lipolisis, serta mengatur glukoneogenesis di liver. PI 3-
kinase bekerja melalui kinase serine dan threonine seperti Akt/protein kinase B (PKB),
protein kinase C (PKC) dan PI dependent protein kinases1& 2 (PIPD 1&2) (Wilcox,
2005).

Transfort glukosa membutuhkan system transport. Glukosa dapat masuk ke dalam sel
melalui facilitated diffusion yang membutuhkan ATP, yakni melalui Glukosa
Transporter (GLUT). Terdapat 5 subtipe dari GLUT berdasarkan spesifisitas
terhadap substrat, profil kinetk, dan distribusinya pada jaringan. Sebagai contoh, sel otak
memiliki GLUT 1 sehingga sel tersebut mapu memasukkan glukosa ke dalam sel dalam
konsentrasi yang rendah di darah tanpa membutuhkan insulin. Sementara itu GLUT 4
ada sel adipose dan sel otot membutuhkan insulin dan konsentrasi glukosa yang tinggi.
PI 3-kinasemerupakan protein yang penting dalam translokasi GLUT 4 ke membrane sel
pada sel otot dan adipose dan menginduksi enzim-enzim yang bekerja pada downstream
(Wilcox, 2005).

`GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel otot dan sel
lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter (2 sampai 10 mmol
perliter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa ditunjukkan melalui penelitian
pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen diganggu. Tikus-tikus ini mengalami
pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4 pada otot rangka, jantung, dan sel lemak,
dan mereka mengalami resistensiinsulin berat; diabetes berkembang pada setidaknya
setengah tikus jantan (Sheperd et al, 1999). Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4
didaur ulang antara membran plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4
berbeda dari transporter glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat
kondisi tidak ada rangsang insulin atau rangsangan lain seperti
olahraga (Sheperd et al, 1999) Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan
dari proses daur ulang ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel
penyimpanan intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada

8
sel otot,. Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke
dalam sel. (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000).

2.5.Resistensi Insulin dan Mekanismenya

Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis / gejala klinis akibat
meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan dengan terganggunya
sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa (Wilcox, 2005).

Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan ada sekitar 250 juta orang yang terkena
diabetes mellitus tipe 2 di seluruh dunia. Meskipun faktor utama yang menyebabkan
penyakit ini tidak diketahui, jelas bahwa resistensi insulin memainkan peran utama
dalam perkembangannya. Bukti untuk ini berasal dari (a) adanya resistensi insulin 10-20
tahun sebelum timbulnya penyakit, (b) penelitian lintas seksi yang menunjukkan bahwa
resistensi insulin adalah penemuan yang konsisten pada pasien dengan diabetes tipe 2,
dan (c) studi prospektif menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah prediktor terbaik
dari apakah seorang individu nantinya akan menjadi diabetes (Shulman, 2000).

Secara fisiologis di seluruh tubuh, kerja insulin dipengaruhi oleh peran hormone lain.
Insulin bersama growth-hormone (GH) dan IGF-1 mendorong proses metabolic pada saat
makan. GH disekresi sebagai respons terhadap peningkatan insulin, sehingga tidak
terjadi hipoglikemia akibat insulin. Hormone kontraregulator insulin seperti glucagon,
glukokortikoid, dan katekolamin mendorong proses metabolic pada saat puasa. Glukagon
menyebabkan proses glikogenolisis, glukoneogenesis, dan ketogenesis. Rasio insulin-
glukagon memperlihatkan derajat fosforilasi atau defosforilasi dari enzim-enzim yang
berperan dalam sekresi/aktivasiinsulin. Katekolamin menyebabkan lipolisis dan
glikogenolisis. Sementara glukokortikoid menyebabkan katabolisme otot,
glukoneogenesis, dan lipolisis. Sekresi yag berlebihan dari hormone-hormon kontra-
insulin akan berakibat resistensi insulin pada beberapa tempat.

Resistensi Insulin Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis /


gejala klinis akibat meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan
dengan terganggunya sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa
(Wilcox, 2005). 2.2.1 Mekanisme Seluler pada Kondisi Resistensi Insulin
Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan ada sekitar 250 juta orang yang terkena
diabetes mellitus tipe 2 di seluruh dunia. Meskipun faktor utama yang menyebabkan

9
penyakit ini tidak diketahui, jelas bahwa resistensi insulin memainkan peran utama
dalam perkembangannya. Bukti untuk ini berasal dari (a) adanya resistensi insulin 10-20
tahun sebelum timbulnya penyakit, (b) penelitian lintas seksi yang menunjukkan bahwa
resistensi insulin adalah penemuan yang konsisten pada pasien dengan diabetes tipe 2,
dan (c) studi prospektif menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah prediktor terbaik
dari apakah seorang individu nantinya akan menjadi diabetes (Shulman, 2000).
Secara fisiologis di seluruh tubuh, kerja insulin dipengaruhi oleh peran hormone lain.
Insulin bersama growth-hormone (GH) dan IGF-1 mendorong proses metabolic pada saat
makan.

GH disekresi sebagai respons terhadap peningkatan insulin, sehingga tidak terjadi


hipoglikemia akibat insulin. Hormone kontraregulator insulin seperti glucagon,
glukokortikoid, dan katekolamin mendorong proses metabolic pada saat puasa. Glukagon
menyebabkan proses glikogenolisis, glukoneogenesis, dan ketogenesis. Rasio insulin-
glukagon memperlihatkan derajat fosforilasi atau defosforilasi dari enzim-enzim yang
berperan dalam sekresi/aktivasi insulin. Katekolamin menyebabkan lipolisis dan
glikogenolisis. Sementara glukokortikoid menyebabkan katabolisme otot,
glukoneogenesis, dan lipolisis. Sekresi yag berlebihan dari hormone-hormon kontra-
insulin akan berakibat resistensi insulin pada beberapa tempat.

Resistensi insulin pada kebanyakan tempat dipercaya sebagai manifestasi tingkat seluler
dari defek sinyal insulin post-reseptor. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab
resistensi insulin antara lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme
genetic dari fosforilasi tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau
abnormalitas fungsi GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005).
Peningkatan konsentrasi plasma bebas asam lemak biasanya terkait dengan banyak
insulin resisten negara bagian, termasuk obesitas dan diabetes melitus tipe 2 (Kahn et al,
2000; Shulman, 2000). Dalam sebuah penelitian cross-sectional dari muda keturunan,
berat badan normal dari pasien diabetes tipe 2, kami menemukan hubungan terbalik
antara konsentrasi plasma puasa asam lemak dan sensitivitas insulin, konsisten dengan
hipotesis bahwa metabolisme asam lemak diubah kontribusi untuk resistensi insulin pada
pasien dengan diabetestipe 2 (Shulman, 2000; Garvey et al, 1998). Selanjutnya, studi
terbaru ukuran konten trigliseridaintramuskular oleh otot biopsi atau konten trigliserida
intramyocellular dengan 1H NMR (Shulman, 2000) telah menunjukkan hubungan yang
lebih kuat antara akumulasi trigliserida intramyocellular dan resistensi insulin. Dalam

10
serangkaian studi klasik, Randle dkk. menunjukkan bahwa asam lemak bersaing dengan
glukosa untuk oksidasi substrat dalamhati tikus terisolasi otot dan otot diafragma tikus.
Mereka berspekulasi bahwa oksidasi lemak menyebabkan peningkatan resistensi insulin
berhubungan dengan obesitas (Kahn et al, 2000; Shulman, 2000).

Mekanisme asam lemak yang berakibat resistensi insulin pada otot rangka seperti yang
diusulkan oleh Randle dkk. Peningkatan lemak konsentrasi asam mengakibatkan
ketinggian asetil KoA yang intramitochondrial/CoA dan NADH/NAD+ rasio, dengan
inaktivasi berikutnya dari piruvat dehidrogenase. Hal ini pada gilirannya menyebabkan
konsentrasi sitrat untukmeningkat, menyebabkan penghambatan fosfofruktokinase.
Setelah kenaikan intraseluler glukosa-6-fosfat konsentrasi akan menghambat aktivitas
heksokinase II, yangakan mengakibatkan peningkatan intraseluler konsentrasi glukosa
dan penurunan otot pengambilan glukosa. Bawah: Usulan alternatif mekanisme untuk
asam lemak yang diinduksi resistensi insulin pada otot rangka manusia. Peningkatan
pengiriman dari asam lemak ke otot atau penurunan metabolisme intraseluler asam
lemak menyebabkan peningkatan intraseluler metabolit asam lemak seperti diasilgliserol,
lemak asil KoA, dan ceramides. Metabolit ini mengaktifkan serin/treonin kinase cascade
(mungkin diprakarsai oleh protein kinase Cq) menyebabkan fosforilasi serin/treonin situs
pada substrat reseptor insulin (IRS-1 dan IRS-2), yang pada gilirannya mengurangi
kemampuan substrat insulin reseptor untuk mengaktifkan PI 3-kinase. Sebagai akibatnya,
glukosa transportasi kegiatan dan lainnya peristiwa hilir reseptor insulin signaling
berkurang (Garvey, 1998; Shulman, 2000; Pessin, 2000).

11
2.6. Roadmap Penelitian

2021
2020 penemuan
penggunaan antagonis
2019 pitofarmaka dari NR1C1
menghubun sebagai dan uji
gkan antagonis klinik
mengidenti polimorfism dari NR1C1 . sediaan
fikasi e NR1C1 diawali pitofarmaka
hubungan dengan dengan sebagai
2018 gen NR1C1 Kondisi luka identifikasi antagonis
mengide dengan diabetik kandungan dari NR1C1
ntifikasi meabolism pasien dan uji pada
polimorfi e Diabetes hewan coba
sme gen karbohidra Melitus
NR1C1 t pada
pada pasien
pasien Diabetes
Diabetes Melitus
Melitus

12
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk
mengidentifikasi variasi genetik (polimorfisme) gen NR1C1 (PPARα) pada penderita
Diabetes Melitus

3.2 Populasi dan Sampel


Populasi penelitian seluruh penderita Diabetes Melitus yang dirawat di RSU Adam
Malik Medan dan sampel diambil dengan teknik consecutive sampling yaitu pemilihan
sampel dengan menetapkan subjek sesuai kriteria penelitian sampai jumlah sample
terpenuhi.Sesuai dengan rancangan penelitian cross sectional, besar sampel dihitung dengan
rumus sampel untuk proporsi tunggal. N=Za²PQ

N=1,96²x0,26x0,74 N=76
0,1²

N= Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan, Z= skor Z, berdasarkan


nilai α =derajat kepercayaan (ditetapkan)= 0,05 (95%), d= ketepatan absolut (ditetapkan)
=0,1, P= proporsi ekpresi gen pada penelitian sebelumnya=0,26

3.3 Lokasi Penelitian dan Waktu penelitian


Penelitian dilakukan di RSUAdam Malik Medan Lokasi penelitian ini diambil karena Rumah
Sakit H. Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit rujukan dari berbagai daerah di Sumatera Utara
dapat mewakili kondisi sumatera utara dan jumlah pasien Diabetes Melitus mencukupi untuk
penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Setelah mendapatkan izin dari rumah sakit, tahap awal peneliti memilih responden penelitian
yang sesuai dengan kriteriaselajutnya peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan meminta persetujuan
responden untuk menjadi sampel dengan menandatangani informed consent, kemudian peneliti mulai
mengumpulkan data dan dasar penelitian berdasarkan kuisioner yang telah disusun. Peneliti
mengumpulkan data karakteristik responden penelitian, dan mencatat dalam lembar instrumen
pengumpulan data karakteristik. Selanjutnya pengambil sampel darah dari masing masing
responden.Sampel darah di bawah ke laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

13
Utara intuk dilakukan isolasi DNA selanjutnya pemeriksaan Polimorfisme genNR1C1 (PPARα)
dilakukan menggunakan protokol PCR-RFLP dengan enzim TaqI.

3.5. Analisa Data

Analisis deskriptif data karakteristik responden penelitian ditampilkan dalam bentuk


tabel distribusi frekwensi. Polimorfisme Gen PPARα dianalisa dengan metode PPPCR-
RFLP sesuai protokol. Kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dan ditampilkan
dalam bentuk tabel distribusi frekwensi. Data karateristik responden juga dianalisis
secara deskriptif dan ditampilkan dalam tabel distribusi frekwensi.

3.6.Alur Penelitian

Pengkajian awal
Pemilihan sampel
untuk memperoleh Pengambilan sampel
sesuai dengan
data karakterisitik darah
kriteria penelitian
tentang stroke

Pemeriksaan PCR-
Analisa data
RFLP sesuai Isolasi DNA
penelitian
protokol

14
BAB 4. BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN

4.1.Anggaran Biaya

No. Jenis Pengeluaran Biaya Yang Dibutuhkan


1. Honor Petugas laboratorium dan Pengumpul data Rp.4.320.000.00
2. Bahan habis pakai dan peralatan Rp.19,590,000.00
3. Biaya perjalanan Rp. 2,600,000.00
4. Lain-lain Rp.3,500,000.00
Total akhir Rp. 30.010.000.00
4.2. Jadwal Penelitian

N Jenis Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt
o Kegiatan

1 Pembuatan √
Proposal

2 Pengumpulan √ √ √
Data&
pemeriksaan
lab

3 Analisa Data √ √

4 Penyusunan √
Laporan
Kemajuan

5 Penyusunan √ √
Laporan
Akhir

6 Persiapan √ √
Publikasi

7 Seminar √ √
Hasil

15
DAFTAR PUSTAKA

Cheng D. Prevalence, Predisposition and Prevention of Type II Diabetes. Nutrition &


Metabolism; 2005; 2:29.

Contreas et al, 2012. PPAR-a as a Key Nutritional and Environmental Sensor for Metabolic
Adaptatio. American Society for Nutrition, Vol.10.

Flavell et al, 2002. Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Gene Variants Influence


Progression of Coronary Atherosclerosis and Risk of Coronary Artery Disease.
Circulation. 2002;105:1440-1445.

Garvey WT, Maianu L, Zhu JH, Brechtel-Hook G, Wallace P, Baron AD. Evidence for
Defects in the Trafficking and Translocation of GLUT4 Glucose Transporters in
Skeletal Muscleas a Cause of Human Insulin Resistance. The Journal of Clinical
Investigation; 1998;
Volume 101, Number 11, 2377–2386.

Grygiel dan Górniak, 2014. Peroxisome proliferator-activated receptors and their ligands:
nutritional and clinical implications – a review. Nutrition Journal.

Kahn BB, Flier JS. Obesity and Insulin Resistance. The Journal of Clinical Investigation;
2000; Volume 106; Number 4.

Kliewer et al, 1994. Differential Expression and Activation of a Family of Murine


Peroxisome Proliferator-Activated Receptors. Physiology Vol. 91, pp. 7355-7359.

Lefebvre et al, 2006. Sorting Out the Roles of PPARα in Energy Metabolism and Vascular
Homeostasis.The Jounal of Clinical Investigation. Volume 116, Number 3.

Meigs JB. Association of Oxidative Stress, Insulin Resistance, and Diabetes Risk Phenotypes.
Diabetes Care; 2007; Volume 30, Number 10.

Pawar et al, 2003. Unsaturated Fatty Acid Regulation of Peroxisome Proliferator-activated


Receptor α Activity in Rat Primary Hepatoctes.Vol 278, No. 36.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2015), Konsensus Pengendalian dan Pencegahan


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta.
Pessin JE, Saltiel AR. Signaling Pathways in Insulin Action: Molecular Targets of Insulin
Resistance. The Journal of Clinical Investigation; 2010; Volume 106, Number 2.

Sapone et al, 2000. The human peroxisome proliferator-activated receptor α gene:


identification and functional characterization of two natural allelic
variants. Pharmacogenetics. 2000;10:321–33.

Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global Estimates of The Prevalence of Diabetes for 2010
and 2030. Diabetes Research And Clinical Practice; 2010; 87, pp.4-14.

16
Sheperd PR, Kahn BB. Glucose Transporter and Insulin Action. The New England Journal of
Medicine; 1999.

Shulman GI. Cellular Mechanisms of Insulin Resistance. The Journal of Clinical


Investigation; 2000; Volume 106, Number 2.

Varga et al, 2011. PPARs are a unique set of fatty acid regulated transcription factors
controlling both lipid metabolism and inflammation. Biochimia et Biophysica Acta
1812. 1007-1022.

Wilcox, Gisela. Insulin and Insulin Resistance. 2005. Clin Biochem Rev. 2005 May; 26(2):
19–39.

Xu et al, 1999. Molecular Recognition of Fatty Acids by Peroxisome Proliferator-Activated


Receptors. Molecular Cell. Vol 3, 397-403.

17

Вам также может понравиться