Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh :
Neti Yuliana
SUMMARY
Tempoyak is fermented durian that is popular as a side dish and condiment prepared by placing durian pulp in jars to
which salt is added, carefully mixed and tightly closed and kept for seven to ten days to let fermentation take place.
Based on salt content, tempoyak can be categorized as tempoyak with low salt content (less than 5%) that result in sour
tempoyak and tempoyak that has high salt content more than 5% (salty tempoyak). Law salt content is more favor for
lactic acid bacteria (LAB) growth so the final acidity of tempoyak is higher than those with hight salt content. Durian
fermentation process can be carried out trhough spontaneous fermentation or in under controlled fermentation with
LAB starter addition, wet or dry starter. This last mean will shorthen the fermentation length to be 2-4 days with better
microbiology quality. Tempoyak inoculated with wet starter has caharecterisitc watery concistency. Mean while, dry
Pediococcus acidilactici application give tempoyak with more prefered sensory, less watery consistency and less acid
taste as well as easier fermentation control. However, its adaptation time is longer than that in wet starter application.
To enhance the sensory, some cane sugar can be added before tempoyak being fermented and the level of sugar added
should consider the balance of the sour taste and sweet sensory of the final tempoyak.
Kata kunci : pengolahan tempoyak, kultur cair, kultur kering, tempoyak asam
dan tempoyak asin.
Tabel 1. Perubahan pH tempoyak selama fermentasi spontan pada berbagai konsentrasi garam
Konsentrasi Hari fermentasi
garam 0 4 6 8 12 16
0,5-3% 6,6-6,7 4,57-4,75 4,19-4,31 - - -
5% 6,57 5,68 - 5,12 4,64 4,15
10% 6,59 6,27 - 5,68 5,44 5,14
Sumber: Yuliana dkk (2005); Yuliana dan Murhadi (2007).
5.50
Penampakan Tempoyak
5.00
4.50
4.00
3.50
y(I0) = -0.3622x + 5.2778 r = 0.8917
3.00
y(I4) = 0.0933x + 3.6444 r = 0.7593
2.50
y(I8) = 0.1133x + 3.5222 r = 0.9752
2.00
0 2 4 6
Waktu Fermentasi (Hari)
I0 I4 I8
Gambar 2. Pengaruh inokulum selama fermentasi terhadap skor penampakan Tempoyak (I0 tanpa inokulum, I4 dan I8
dengan inokulum)
Skor 1 = Berair sekali, 3 = Berair, 5 Tidak berair dan 7 = Tidak berair sekali (Sumber: Yuliana dkk ,2005).
Penampakan yang agak berair juga menjadi indikator Penggunaan starter dalam bentuk inokulum kering
penerimaan panelis. Panelis lebih menyukai sangat diperlukan pada fermentasi tempoyak, karena
tempoyak yang sedikit berair dibandingkan dengan proses penanganan starter bakteri asam laktat
yang berair karena mempengaruhi tekstur tempoyak. menjadi mudah dan fermentasi lebih terkontrol
Penampakan yang berair berasosiai dengan tekstur sehingga resiko kontaminasi diperkecil. Pengadaan
tempoyak yang agak lunak sedangkan penampakan inokulum kering juga memudahkan penanganan
yang kurang berair membuat tekstur menjadi agak kultur starter dan memungkinkan penggunaan kultur
padat. Tekstur tempoyak yang terlalu lunak kurang starter baru pada setiap lot fermentasi, sehingga
disukai oleh konsumen. Karenanya upaya fermentasi lebih terkontrol dan kualitas produk lebih
pengembangan produksi tempoyak dapat diarahkan terjamin. Namun demikian, kultur kering lebih lama
dengan menggunakan inokulum kering atau dalam beradaptasi dengan medium fermentasi dibandingkan
bentuk ragi (Yuliana dan Rizal, 2005). kultur cair.
Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Volume 12, No.2, September 2007 76
Neti Yuliana Pengolahan Durian. . .
Penerapan inokulum kering telah banyak ditambahkan bahan pengisi yang berperan sebagai
diaplikasikan produk-produk fermentasi diantaranya pelindung terhadap suhu pengeringan dan kondisi
pada pembuatan yoghurt (Nuraida, dkk., 1995), lingkungan yang kering. Untuk dapat digunakan
pengawetan ikan lemuru (Purwono, 1995; Tandriarto, sebagai kultur cair dalam pembuatan kultur kering,
1996), pembuatan kefir (Sari, 2001) dan pembuatan kultur cair tersebut harus berada dalam jumlah
nata de coco (Siahaan, 2004). Penggunaan inokulum maksimal yaitu saat akhir fase logaritmik. Untuk
kering pada tempoyak, sejauh ini belum pernah bakteri asam laktat, fase logaritmik biasanya dicapai
dilakukan masyarakat maupun produsen tempoyak. pada inkubasi 18 – 24 jam tergantung media dan
Yuliana dan Rizal, (2005) untuk pertamakalinya jenis BAL. Monitoring jumlah sel dapat dilakukan
melakukan kajian pembuatan kultur kering untuk dengan mengukur nilai kekeruhan media inkubasi.
produksi tempoyak. Nilai kekeruhan (Optical Density) kultur cair yang
Pembuatan kultur kering dapat dilakukan dengan digunakan pada pembuatan kultur kering tempoyak
bantuan mesin pengering seperti oven, oven vakum berkisar antara 1,264 sampai 1,578 dengan jumlah sel
dan pengering beku atau dengan bantuan sinar rata-rata 1012 cfu/g (Yuliana dan Rizal, 2006 dan
matahari. Pengeringan beku dan oven vakum Malau, 2006).
merupakan jenis pengeringan terbaik dengan Pengeringan kultur cair menjadi kultur
aktivitas sel (pH dan total asam) yang lebih tinggi kering dapat menggunakan berbagai metode dan
dibandingkan dengan jenis pengeringan oven biasa jenis pengering sedemikain sehingga kultur kering
dan sinar matahari. Namun pengeringan dengan alat- BAL yang diihasilkan masih mempunyai aktivitas sel
alat tersebut relatif mahal sedangkan penggunaan tinggi dan dapat digunakan sebagai inokulum starter.
sinar matahari sangat tergantung cuaca dan rentan Aktivitas sel pada BAL tercermin dari perubahan pH
terhadap kontaminasi. Oleh karenanya diperlukan dan total asam media pertumbuhan yang diberi kultur
pengeringan yang berbeda yang dapat mengeliminasi kering. Jenis pengering berpengaruh terhadap
kelemahan tersebut agar dapat dihasilkan paket aktivitas sel BAL kering yang dihasilkan. Perubahan
teknologi yang lebih ekonomis dan aplikatif di pH kultur kering yang dihasilkan dari pengeringan
masyarakat, diantaranya dengan pengeringan beku lebih besar dari yang dihasilkan dari pengering
kemoreaksi. matahari dan oven biasa tetapi tidak berbeda dari
Pengeringan kemorekasi merupakan salah satu yang dihasilkan dengan oven vakum. Kultur kering
alternatif pengeringan mikroba yang relatih murah yang dihasilkan dari pengering beku dapat
dan mudah dilaksanakan. Mekanisme pengeringan berkembang lebih baik dengan aktivitas sel (pH dan
kemorekasi dengan batu api (CaO) adalah terjadinya total asam) yang lebih tinggi dibandingkan dengan
reaksi antara CaO dengan uap air dari bahan basah, yang dihasilkan dari pengering lainnya.
sehingga kapur menjadi panas yang menyebabkan Walaupun aktivitas sel kultur kering BAL
udara di sekeliling bahan menjadi kering. Percobaan yang dihasilkan masih baik, namun pengeringan
pengeringan secara kemoreaksi pada BAL yang BAL untuk tempoyak mempunyai viabilitas sel rata-
diisolasi dari tempoyak menghasilkan jumlah sel rata yang rendah. Sehingga viabilitas sel merupakan
hidup antara 107-109 per gram kultur kering (Yuliana factor yang harus diperbaiki dalam pengeringan
dan Zuidar, 2007a; Joyonegoro, 2008). Aplikasi kultur tempoyak. Rendahnya viabilitas sel
pengeringan kemoreaksi kultur Saccharomyces menunjukkan bahwa tingkat kematian sel masih
cerevisiae untuk ragi roti dengan CaO menghasilkan tinggi sebagai akibat efek pengeringan setiap jenis
viabilitas sekitar 72% dengan jumlah sel hidup 109 pengering dan bahan pengisi yang belum optimal
per gram kultur kering (Novelina dkk, 2005). Jumlah sehingga berpengaruh terhadap kestabilan membran
ini sudah lebih dari cukup sebagai starter, karena sel. Masih diperlukan upaya-upaya agar diperoleh
minimal sel viabel yang diperlukan sebagai starter metode peneringan BAL yang tepat untuk produksi
umumnya adalah 106 sel (Oliveira, 2002). tempoyak. Meskipun demikian, walau viabilitas sel
yang dihasilkan masih rendah namun jumlah sel
akhir rata-rata yang dihasilkan masih memenuhi
Proses Pembuatan Kultur Kering
syarat ideal untuk digunakan sebagai inokulum, yaitu
sebesar 2,1 x 107 cfu/g (Yuliana dan Rizal, 2006 dan
Pada dasarnya proses pembuatan kultur
Malau, 2006).
kering meliputi tahapan penyiapan starter, pembutan
starter cair aktif kemudian dilakukan sentrifugasi
Aplikasi Kultur Kering Pediococcus acidilactici
dengan kecepatan 1500 rpm selama 30 menit,
yang Dihasilkan dari
endapan sel yang terbentuk dicampur dan
Pengering Beku pada Pembuatan Tempoyak
dihomogenisasi dengan bahan pengisi yang
sebelumnya telah disterilisasi pada suhu 121oC
Aplikasi kultur kering Pediococcus
selama 15 menit dengan rasio tepung–kultur 1:1.
acidilactici yang dihasilkan pengering beku pada
Kemudian adonan disebar tipis pada loyang
fermentasi durian menghasilkan pH rata-rata 4,84.
pengering, lalu dikeringkan, dan akhirnya digerus
Nilai pH ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan
untuk memperoleh starter kering berbentuk serbuk.
tempoyak yang diberi kultur cair Pediococcus
Dalam pembuatan kultur kering, proses
acidilactici, dengan rata-rata nilai pH sebesar 4,55
pengeringan yang digunakan dapat menyebabkan
(Tabel 8). Hasil ini berkorelasi dengan hasil uji
kerusakan sel-sel bakteri, oleh karena itu perlu
organoleptik terhadap rasa yang menyebutkan
Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Volume 12, No.2, September 2007 77
Neti Yuliana Pengolahan Durian. . .
tempoyak yang dibuat dengan penambahan kultur tampak pada fermentasi yoghurt, kultur kering yang
cair lebih asam dibandingkan tempoyak yang dibuat dihasilkan dari pengeringan beku memiliki fase
dengan penambahan kultur kering. Perbedaan adaptasi yang lama dan memerlukan paling sedikit
tersebut disebabkan karena inokulum dalam bentuk dua kali subkultur untuk memperoleh starter cair
cair lebih cepat beradaptasi dengan medium yang aktif.
fermentasi dibandingkan kultur kering. Pola ini juga
Tabel 2. Perbandingan pH dan rasa asam tempoyak yang diberi kultur kering dan kultur cair Pediocoiccus acidilactici
Tempoyak dengan Tempoyak dengan
kultur kering kultur cair
pH rata-rata 4,84 4,55
Jumlah panelis yang 3 12
menyatakan lebih asam
Sumber: Yuliana dan Rizal (2006).
Penurunan pH mengindikasikan bahwa kultur cair. Penambahan massa ragi juga berpengaruh
kultur kering dapat melakukan aktivitas pertumbuhan dalam sedikit mereduksi kandungan air bahan.
pada substrat. Bakteri asam laktat dapat Dipandang dari sisi pengawetan suatu bahan, reduksi
mendegradasi gula reduksi (glukosa dan fruktosa) kandungan air merupakan langkah yang
menjadi asam-asam organik seperti asam laktat, asam menguntungkan. Namun demikian kelemahan
asetat, asam malat, asam butirat, dan asam-asam penggunaan kultur kering pada tempoyak adalah
lainnya (Merican, 1997; Ekowati, 1998; Yuliana, masa adaptasi yang lebih lama dibandingkan dengan
2004). Akumulasi asam organik ini menyebabkan kultur cair.
pH menurun selama fermentasi tempoyak
berlangsung. Nilai total asam yang dihasilkan pada 4.5. Karakteristik Fisik dan Sensori Tempoyak
tempoyak dengan penambahan kultur kering Tempoyak memiliki cita rasa dan aroma
Pediococcus acidilactici berkisar antara 1,07% yang kuat yang terbentuk karena keseimbangan
sampai 1,21% dengan rata-rata total asam sebesar antara komponen gula dari buah dan asam laktat
1.12% (Yuliana dan Rizal, 2006; Malau, 2006). yang terbentuk selama fermentasi. Secara fisik,
Aplikasi inokulum kering (ragi) pada tempoyak merupakan massa yang bersifat semi
tempoyak berpengaruh terhadap karakteristik padat, berwarna putih sampai kekuning-kuningan
tempoyak yang dihasilkan. Kultur kering yang (Gambar 3).
diaplikasikan pada pembuatan tempoyak
menghasilkan produk yang lebih disukai oleh panelis,
dengan konsistensi yang lebih kering dan rasa yang
kurang asam dibandingkan tempoyak yang diberi
Gambar 3.Gambar 3.
Tempoyak Tempoyak
Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Volume 12, No.2, September 2007 78
Neti Yuliana Pengolahan Durian. . .
Warna tempoyak ditentukan oleh warna asli asam, asin, manis, gurih dan lezat. (Sukowaty, 2007).
daging durian yang dijadikan bahan baku tempoyak Dengan karakteristik fisik dan sensori seperti
yang umumnya bergantung dari varietas durian. disebutkan di atas, tempoyak tidak dikonsumsi begitu
Selain itu umur simpan tempoyak juga menentukan saja melainkan digunakan sebagai sambal, bumbu
warna tempoyak. Tempoyak yang masih baru penyedap pada gulai ikan dan pepes ikan air tawar.
berwarna cerah dari putih sampai ke kuning namun Tempoyak yang disenangi panelis umumnya
tempoyak yang telah lama akan berwarna kecoklatan mempunyai rasa yang agak asam, warna cerah serta
sebagai akibat reaksi oksidasi. masih mempunyai aroma yang khas durian dan tidak
Terkait sensori tekstur, berdasarkan survey terlalu berair. Untuk meningkatkan sensori tempoyak
ke konsumen, dan diskusi focus group (Sukowaty, terkadang pada pembuatan tempoyak ditambahkan
2007) karakteristik tempoyak dikatakan memiliki gula pasir. Tingkat penambahan gula yang
tekstur lunak, berserat halus, lembut agak kental, ditambahkan sebaiknya menghasilkan keseimbangan
seperti bubur durian sampai penampakan sedikit antara sensori rasa asam dan manis pada tempoyak.
berair. Tekstur lunak dan berair pada tempoyak Percobaan Yuliana dan Zuidar (2007b) menunjukkan
disebabkan oleh degradasi daging durian selama penambahan gula 2,5% menghasilkan tempoyak
fermentasi dan kandungan air yang dikandungnya yang disukai panelis dengan skor sensori rasa suka.
tinggi, yaitu sekitar 55-67%. Ditilik dari sisi aroma, Semakin lama fermentasi kesukaan terhadap warna,
atribut sensori utama yang berhasil dikumpulkan rasa, aroma dan penerimaan keseluruhan panelis
melalui survey konsumen, diskusi focus group adalah terhadap tempoyak menurun.
beraroma asam, durian, alkohol, vinegar sedangkan
dari sisi rasa atribut sensorinya adalah rasa durian,
Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Volume 12, No.2, September 2007 79
Neti Yuliana Pengolahan Durian. . .
monocytogenes Associated with Fresh Meat. Tannock,G.W. 1999. Probiotics, A Critical Review.
Appl. Environ. Microbiol 56:2142-2145. Horizon Scientific Press. Norfolk. England.
Novelina. 2005. Pengeringan Kemoreaksi Kultur Tandrianto, N. 1996. Produksi Starter Kering
Saccharomyces cereviceae dengan CaO Lactobacillus plantarum dan Aplikasinya
serta Pengaruh Sorpsi Kadar Air terhadap pada Pengawetan Ikan Lemuru. Skripsi.
Stress dan Kematian Kultur Kering. Bogor: Fateta. IPB. Bogor.
J. Tek. Ind. Pangan XVI (1): 71-81. Veramonika, F. 2005. Karakter Tempoyak yang
Nuraida, L., D. R. Adawiyah, Subarna. 1995. Diinokuladi dengan P. acidilactici. Skripsi.
Pembuatan dan Pengawetan Laru untuk Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.
Pembuatan Yoghurt. Bogor: J. Tek. Ind. Bandar Lampung.
Pangan VI (3): 85-93. Wang,Y-C., Yu,R-C., Chou,C-C. 2006.
Nurbaiti. 2005. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Antioxidative Activities of Soymik
Laktat yang Berpotensi sebagai Probiotik Fermented with Lactic Acid Bacteria and
dari Tempoyak. Skripsi, Fakultas Pertanian- Bifidobacteria. Journal of Food
Unila. Bandar Lampung. . Microbiology ,23 (2), 128-135.
Oliveira,M.N., Sodini,I, Wirawati, C.U. 2004. Skrining Bakteri Asam Laktat
Remeuf,F,Tissier,J.P.,Corrieu,G. 2002. dari Tempoyak Sebagai Kandidat Probiotik.
Manufacture of Fermented Lactic Beverages Jurnal Teknologi dan Industri Hasil
Containing Probiotic Culture. Journal of Pertanian. Vol 8 (1): 1-8.
Food Science Vol 67 (6). Yin,L-J.,Pan,C-L., Jiang,S-T. 2002. Effect of Lactic
Acid Bacterial Fermentation on the
Purwono. 1995. Produksi Kultur Starter Kering
Characteristics of Minced Mackerel. Journal
Lactococcus lactis subsp. cremoris dan
of Food Science, 67 (2),786-791.
Aplikasinya pada Pengawetan Ikan Lemuru.
Yuliana, N. 2004. Biochemical Changes in
Skripsi. Fateta. IPB. Bogor.
Fermented Durian (Durio zibhethinus
Rahmawati, N.I. 1997. Karakteristik Mikrobiologi
Murr.). Dissertation. UPLB. Laguna.
dan Analisis Kimia Selama Proses
Phillippines.
Pembuatan Tempoyak Secara Tradisional.
Yuliana, N. 2005a. Komponen Asam Organik
Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Tempoyak. J. Teknologi dan Industri
Sriwijaya. Palembang.
Pangan. Vol.XVI, No.1:82-87.
Ray, B. 1996. Probiotic of Lactic Acid Bacteria.
Yuliana, N. 2005b. Identifikasi Bakteri Bukan
Science or Mith? In Lactic Acid Bacteria:
Penghasil Asam Laktat yang Berasosiasi
Current Advanced in Metabolism, Genetic,
dengan Tempoyak (Durian Fermentasi). J.
and Application, NATO, ASI series, 4:101-136.
Ray,B., Daeschel, M.A. 1994. Bacteriocins of Mikrobiologi Indonesia, Vol.10, No.1:25-28
Starter Culture Bacteria. Di dalam Yuliana, N. 2005c. Volatile Flavouring Constituents
Boards,R.G. (editor). Natural Antimicrobial of Tempoyak Made From Chanee Durian.
Systems and Food Preservation. 9th ASEAN Food Conference. Augustus, 8-
Wallingford,U.K: CAB International. Hal 10-2005. Jakarta. p.1-6
135-165. Yuliana, N.,Murhadi, Zuidar, A.S. 2005. Produksi
Rolfe, R.D. 2000. The Role of Probiotic in Cultures Tempoyak Secara Terkontrol Menggunakan
in the Control of Gastrointestinal Health. J. Pediococcus acidilactici Sebagai Starter.
Nutr (Suppl) 130: 396S-402S. Laporan Penelitian RG-TPSDP Batch 1
Roos NM, de Katan MB. 2000. Effects of Probiotic Universitas Lampung.
Bacteria on Diarrhea Lipid Metabolism, and Yuliana,N.,Rizal,S. 2006. Optimasi Pengolahan
Carcinegenets: a Review of Paper Published Durian Fermentasi (Tempoyak). Laporan
Between 1980 and 1988. Am J. Clm Nutr Penelitian Hibah Bersaing XIII. Universitas
71:405-411. lampung. Bandar Lampung.
Sari, F. 2001. Pembuatan Kultur Kering Kefir Yuliana, N. 2007. Kajian Agensia Bioteknologi,
dengan Metode Pengeringan Beku dan Bakteri Asam Laktat, Sebagai Starter untuk
Pengeringan Semprot Serta Aplikasinya. Produksi Tempoyak. Prosiding Seminar
Skripsi. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Nasional Sains dan Teknologi 2007.
Siahaan, A. 2004. Pengaruh Cara Pengeringan Univeristas Lampung, 27-28 Agustus 2007.
terhadap Karakteristik Starter Kering Yuliana,N., Zuidar,A.S. 2007a. Produksi Kultur
Acetobacter xylinum. Skripsi. Fakultas Kering BAL untuk Tempoyak
Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Menggunakan Metode Kemorekasi. Laporan
Lampung Penelitian RG-TPSDP Batch 1. Universitas
Steinkraus, K.H., R.E. Cullen., C.S. Pederson.., L.F. Lampung.
Nellis, B.K. Gravitt. 1983. Handbook of Yuliana, N., Zuidar, AS. 2007b. Sensori
Indegeneus Fermented Food. Mercel Tempoyakyang Difermentasi dengan
Dekker, inc. New York. P.669. Pediococcus acidlactici pada Berbagai
Sukowaty, A. 2007. Karakterisasi Sifat Sensori Tingkat Konsentrasi Gula. Jurnal Agritek
Tempoyak. Skripsi. Fakultas Pertanian. Vol 15 No 4 Agustus 2007: 721-727
Universitas Lampung.
Jurnal Teknologi dan Industri Hasil Pertanian Volume 12, No.2, September 2007 80