Вы находитесь на странице: 1из 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan

penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya.

Jika suatu penyakit atau keadaan tertentu menghancurkan eritrosit sebelum

waktunya, maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya dengan mempercepat

pembentukan retikulosit sampai sepuluh kali kecepatan normal. Namun jika

penghancuran eritrosit telah melebihi usaha pembentukannya dan masa hidup eritrosit

menurun menjadi 15 hari atau kurang, maka akan terjadi anemia hemolitik.

Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga

terjadi pada keadaan eritropoesis inefektif seperti pada anemia megaloblastik dan

thalasemia.

3.2 Epidemiologi

Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki dan

perempuan memiliki jumlah yang sama. Angka kejadian tahunan anemia hemolitik

autoimun dilaporkan mencapai 1/100.000 orang pada populasi secara umum.

Sferositosis herediter (SH) merupakan anemia hemolitik yang paling sering dijumpai,

angka kejadiannya mencapai 1/5000 orang di negara Eropa, di Indonesia belum

diketahui dengan pasti. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH di

Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM belum

15
mencatat pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi Molekular Eijkman

menemukan 12 pasien yang terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008.

Eliptositosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Di Amerika,

prevalensi eliptositosis kira-kira 3-5 per 10.000 kasus dan di Afrika eliptositosis

terjadi sekitar 20,6% dari populasi. Bentuk lain penyakit ini juga terjadi di Asia

Tenggara, ditemukan sekitar 30% dari populasi yang diturunkan secara dominan

autosomal.

Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia

hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-

14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%, di Indonesia bagian

Timur disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7% .

3.3 Etiologi

Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:

3.3.1 Gangguan intrakorpuskular

Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme

dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:

1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit, terbagi menjadi:

a. Sferositosis

b. Ovalositosis (eliptositosis)

c. A-beta lipoproteinemia

d. Gangguan pembentukan nukleotida

16
2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam

eritrosit.

a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G6PD)

b. Defisiensi Glutation reduktase

c. Defisiensi Glutation

d. Defisiensi Piruvatkinase

e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase

f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase

g. Defisiensi Heksokinase

h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3. Hemoglobinopati

Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin,

yaitu:

a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal)

misalnya HbS, HbE dan lain-lain.

b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misalnya

talasemia.

3.3.2 Gangguan ekstrakorpuskuler

Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan oleh:


1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin

(hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka bakar.

17
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan

penghancuran eritrosit.

3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya

reaksi antigen-antibodi seperti:

a. Inkompatibilitas ABO atau Rhesus.

b. Alergen yang berasal dari luar tubuh, kemudian menimbulkan reaksi

antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.

c. Hemolisis akibat proses autoimun.

3.4 Patofisiologi

Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam


tubuh (hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi 2, yaitu:2

18
Gambar 1: patomekanisme hemolisis intravaskuler dan ekstravaskuler2

3.4.2 Hemolisis Ekstravaskuler

Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan

hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem

retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang

karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Hemolisis terjadi karena

kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi

hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler

lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan

memberi kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme

fragmentasi.

Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan

dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag

(cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin

akan menghasilkan gas karbonmonoksida (CO) dan bilirubin. Bilirubin dalam

darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami

konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui

empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen

dalam urine.

19
Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh

haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah

pada hemolisis intravaskuler.

3.4.1 Hemolisis Intravaskuler

Pemecahan eritrosit intrvaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin

bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin

(suatu globulin alfa) sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun.

Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibawa oleh hati dan RES dalam

beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan

terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai

hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi

methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh

hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel

hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga terjadi

hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh

sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel

mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine

(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik.2,3,10

20
3.5 Diagnosis

Anemia hemolitik ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis anemia hemolitik dapat dibedakan menjadi 2

golongan yaitu secara umum dan khusus berdasarkan etiologinya yang sering

dijumpai seperti: sferositosis herediter (SH), thalasemia, dan malaria.

a) Manifestasi atau gejala klinik

Secara umum penyakit hemolitik dapat didasarkan atas 3 proses yang

juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis, yaitu:1

1. Kerusakan pada eritrosit

 Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah

 mikrosferosit

2. Katabolisme hemoglobin yang meninggi

 Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus

 Hemoglobinemia

 Urobilinogenuria atau urobilinuri

 Hemoglobinuri atau methemoglobinuri

 Hemosiderinuri

 Haptoglobin menurun

3. Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)

a. Darah tepi

 Retikulositosis sebagai derajat hemolisis

21
 Normoblastemia atau eritroblastemia

b. Sumsum tulang

 Hiperplasia eritroid

Rasio mieloid: eritroid menurun atau terbalik

 Hiperplasia sumsum tulang

Perubahan tulang-tulang (tengkorak dan panjang)

Anemia hemolitik kongenital

c. Eritropoesis ekstramedular

 Splenomegali atau hepatomegali

d. Absorpsi Fe yang meningkat

b) Pemeriksaan fisis1

1. Tampak pucat dan ikterus

2. Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati

3. Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali

c) Pemeriksaan penunjang

Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah tepi,

retikulosit, analisis Hb, Coomb’s test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin,

pemeriksaan enzim-enzim.1

Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik yang sering

dijumpai. Gejala klinik SH dapat berupa anemia ringan sampai berat disertai ikterus

22
dan splenomegali. Pembesaran limpa, hiperpigmentasi kulit dan batu empedu sering

dijumpai pada anak yang lebih besar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan

kadar hemoglobin (Hb) masih normal atau turun mencapai 6-10 gr/dL, jumlah

retikulosit meningkat mencapai 6-20%, hiperbilirubinemia. Tes Coomb’s negatif,

dan tes fragilitas osmotik juga negatif. Gmbaran darah tepi menunjukkan adanya

polikromasi, sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit yang

meningkat.

Gambar 2: sferositosis herediter

Pada thalasemia keluhan yang sering timbul berupa pucat, gangguan nafsu

makan, gangguan tumbuh kembang, dan perut membesar karena pembesaran limpa

dan hati. Pemeriksaan fisis ditemukan bentuk muka mongoloid (Facies Cooley),

dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, penipisan korteks, hair on end/ hair

brush appearance, hipertropi jantung. Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb rendah

menyebabkan anemia berat, retikulosit meningkat, resistensi osmotik meningkat, Fe

serum meningkat, saturasi transferin meningkat, analisa Hb (Hb A sangat rendah, Hb

F tinggi 10-90%, Hb A2 normal atau meningkat. Hapusan darah tepi terdapat

anisositosis dan polikilositosis, mikrositik, hipokromik, fragmentasi, sel target,

leptositosis, normoblast.1,2

23
Gambar 3: Sel target7 gambar 4: Gambaran darah tepi saat krisis:
sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan atau
bite, dan sel lepuh atau blister. Heinz Bodies
atau hemoglobin teroksidasi terdenaturasi
tampak pada retikulosit, terutama pada saat
splenektomi2

Gejala utama malaria berupa demam yang bersifat serangan dan berulang,

anemia, dan pembesaran limpa. Gejala tambahan yaitu sakit kepala, kejang, lemah,

lesu, nyeri otot-otot dan tulang, anoreksia, mual, muntah, sakit perut dan diare,

ikterus, pembesaran hati.1

3.6 Komplikasi

Anemia hemolitik dapat menimbulkan komplikasi yang berat berupa gagal

ginjal akut (GGA). Pada malaria yang berat dapat menimbulkan komplikasi seperti:

hiperpireksia, kolaps sirkulasi (renjatan), hemoglobinuria (black water fever),

hipogikemi (gula darah < 40 mg/dl).

24
3.7 Penatalaksanaan

Terapi anemia hemolitik dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:

1. Suportif dan simtomatik (sesuai kausa atau penyebab dasar)

Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:

a) Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.

b) Meningkatkan jumlah sel darah merah

c) Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka untuk

mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,

serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan selain

transfusi.3

Indikasi transfusi darah untuk :

1. Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak ada

respon sebelumnya dengan pemberian cairan koloid/kristaloid.

2. Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara periodik.

3. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam jiwa

penderita.

Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:1

Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb konsentrasi Hb ialah 15

gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC mengandung 60-

70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1 gr/dl diperlukan 3 cc/kg bb.

25
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk menekan

proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan kortikosteroid seperti

prednison dapat menekan sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap sel darah

merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat

lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada

anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk

mencegah krisis megaloblastik.

Pada thalasemia diberikan desferoxamine setelah kadar feritin serum sudah

mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam dosis 25-50

mg/kgBB/hari minimal selama 5 hari setiap selesai transfusi.1

Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan

elektrolit sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl,

bila terjadi renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang

ditangani sesuai protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk

tablet difosfat dan sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg

kina sulfat.

2. Operatif

Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak

dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat

dihancurkan sebelum waktunya. Sehingga transplantasi darah dan sumsum tulang

mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini,

26
transplantasi ini mengganti sitem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari

pendonor.

3.8 Prognosis

Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi dini.

Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi dapat

mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia hemolitik

autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar

memiliki perjalanan penyakit yang kronik. Sebagai contoh penderita dengan

hemolisis autoimun akut biasanya datang dengan keadaan yang buruk dan dapat

meninggal akibat hemolisis berlebihan.

27

Вам также может понравиться