Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
penghancuran eritrosit telah melebihi usaha pembentukannya dan masa hidup eritrosit
menurun menjadi 15 hari atau kurang, maka akan terjadi anemia hemolitik.
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga
terjadi pada keadaan eritropoesis inefektif seperti pada anemia megaloblastik dan
thalasemia.
3.2 Epidemiologi
perempuan memiliki jumlah yang sama. Angka kejadian tahunan anemia hemolitik
Sferositosis herediter (SH) merupakan anemia hemolitik yang paling sering dijumpai,
diketahui dengan pasti. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH di
Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM belum
15
mencatat pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi Molekular Eijkman
prevalensi eliptositosis kira-kira 3-5 per 10.000 kasus dan di Afrika eliptositosis
terjadi sekitar 20,6% dari populasi. Bentuk lain penyakit ini juga terjadi di Asia
Tenggara, ditemukan sekitar 30% dari populasi yang diturunkan secara dominan
autosomal.
14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%, di Indonesia bagian
3.3 Etiologi
dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
a. Sferositosis
b. Ovalositosis (eliptositosis)
c. A-beta lipoproteinemia
16
2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam
eritrosit.
c. Defisiensi Glutation
d. Defisiensi Piruvatkinase
g. Defisiensi Heksokinase
3. Hemoglobinopati
yaitu:
talasemia.
17
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran eritrosit.
3.4 Patofisiologi
18
Gambar 1: patomekanisme hemolisis intravaskuler dan ekstravaskuler2
karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Hemolisis terjadi karena
lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan
fragmentasi.
dalam urine.
19
Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh
bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin
sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel
20
3.5 Diagnosis
golongan yaitu secara umum dan khusus berdasarkan etiologinya yang sering
mikrosferosit
Hemoglobinemia
Hemosiderinuri
Haptoglobin menurun
a. Darah tepi
21
Normoblastemia atau eritroblastemia
b. Sumsum tulang
Hiperplasia eritroid
c. Eritropoesis ekstramedular
b) Pemeriksaan fisis1
c) Pemeriksaan penunjang
retikulosit, analisis Hb, Coomb’s test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin,
pemeriksaan enzim-enzim.1
dijumpai. Gejala klinik SH dapat berupa anemia ringan sampai berat disertai ikterus
22
dan splenomegali. Pembesaran limpa, hiperpigmentasi kulit dan batu empedu sering
dijumpai pada anak yang lebih besar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
kadar hemoglobin (Hb) masih normal atau turun mencapai 6-10 gr/dL, jumlah
dan tes fragilitas osmotik juga negatif. Gmbaran darah tepi menunjukkan adanya
polikromasi, sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit yang
meningkat.
Pada thalasemia keluhan yang sering timbul berupa pucat, gangguan nafsu
makan, gangguan tumbuh kembang, dan perut membesar karena pembesaran limpa
dan hati. Pemeriksaan fisis ditemukan bentuk muka mongoloid (Facies Cooley),
dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, penipisan korteks, hair on end/ hair
leptositosis, normoblast.1,2
23
Gambar 3: Sel target7 gambar 4: Gambaran darah tepi saat krisis:
sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan atau
bite, dan sel lepuh atau blister. Heinz Bodies
atau hemoglobin teroksidasi terdenaturasi
tampak pada retikulosit, terutama pada saat
splenektomi2
Gejala utama malaria berupa demam yang bersifat serangan dan berulang,
anemia, dan pembesaran limpa. Gejala tambahan yaitu sakit kepala, kejang, lemah,
lesu, nyeri otot-otot dan tulang, anoreksia, mual, muntah, sakit perut dan diare,
3.6 Komplikasi
ginjal akut (GGA). Pada malaria yang berat dapat menimbulkan komplikasi seperti:
24
3.7 Penatalaksanaan
Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka untuk
serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan selain
transfusi.3
1. Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak ada
3. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam jiwa
penderita.
Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan sebagai berikut:1
gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC mengandung 60-
25
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk menekan
prednison dapat menekan sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap sel darah
merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat
lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada
anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam dosis 25-50
elektrolit sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl,
bila terjadi renjatan ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang
ditangani sesuai protokol kejang pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk
tablet difosfat dan sulfat, kina dalam bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg
kina sulfat.
2. Operatif
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak
dapat membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat
26
transplantasi ini mengganti sitem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari
pendonor.
3.8 Prognosis
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi dini.
Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi dapat
mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia hemolitik
autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar
hemolisis autoimun akut biasanya datang dengan keadaan yang buruk dan dapat
27