Вы находитесь на странице: 1из 17

Rumah Adat Jawa Tengah - Rumah Joglo

Penjelasan di bawah ini akan menguraikan secara rinci mengenai rumah adat Jawa Tengah yang
terkenal dengan rumah joglo disertai dengan penjelasan mengenai rumah adat Jawa Tengah
lainnya.

Sesuai dengan namanya, Provinsi Jawa Tengah berada di bagian tengah Pulau Jawa dengan
Semarang sebagai Ibukotanya. Provinsi Jawa Tengah berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di
sebelah barat, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia dan Daerah
Istimewa Yogyakarta, lalu disebelah timur berbatasan dengan Jawa Timur, dan di sebelah utara
berbatasan dengan Laut Jawa. Selain itu Provinsi Jawa Tengah juga mencakup Pulau
Nusakambangan di sebelah selatan dan juga Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.

Mendengar kalimat rumah adat Jawa Tengah, yang terlintas pertama kali pastilah rumah joglo.
Hal ini dikarenakan rumah joglo sudah menjadi identitas ataupun ciri khas dari rumah adat Jawa
Tengah bahkan hingga Jawa Timur dan Yogyakarta. Akan tetapi, selain rumah Joglo terdapat
pula rumah adat lainnya yang terdapat di Jawa Tengah yang bentuknya tidak kalah menarik dan
bersejarah. Sejarah jawa menyatakan bahwa rumah adat dari Jawa Tengah diklasifikan menjadi
lima kategori, yaitu Joglo (Tikelan), Tajug (Tarub), Limasan, Kampung dan Panggang Pe.
Perbedaan dari kelima rumah adat ini dapat dilihat pada tabel berikut.

No Kategori Soko Atap Bubungan Bentuk atap tampak


Rumah Adat Guru samping
Jawa Tengah

Joglo atau 4 belah


1 Ada Ada
Tikelan sisi

Tajug atau 4 belah Tidak ada


Ada
2 Tarub sisi (meruncing)

Tidak 4 belah Ada


Limasan
3 Ada sisi

Tidak 2 belah
4 Kampung Ada
Ada sisi

Tidak 1 belah
Panggang Pe Tidak ada
5 Ada sisi

*geser tabel

1. Rumah Joglo
Rumah joglo merupakan rumah adat Jawa Tengah yang dibangun berlandaskan keyakinan atau
filosofi jawa. Penyebutan rumah joglo terjadi akibat bentuk atap rumah joglo yang menyerupai
dua gunung atau taJUG LOro (JUGLO) dan berkembang penyebutannya menjadi Joglo.
Penggunaan gunung diyakini oleh masyarakat Jawa saat itu sebagai tempat suci atau rumah para
dewa.
Tidak hanya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta pun memiliki rumah joglo dengan cirri
khas daerahnya masing-masing. Ciri khas rumah joglo secara umum yaitu memiliki pekarangan
yang luas dan lapang tanpa dibatasi oleh sekat, bangunannya berbentuk persegi panjang,
memiliki tiga pintu depan dan terdapat tiang yang disebut Soko Guru atau Saka Guru. Denah
utama rumah Joglo terdiri dari tiga bagian utama yaitu, Pendhapa atau Pendopo, Pringgitan dan
Omah Dalem atau Omah Njero dan bagian tambahan lainnya. Berikut ini skema sederhana
rumah Joglo.
1.1 Pendhapa atau Pendopo

Pendhapa atau pendopo merupakan bagian depan rumah yang terbuka, tidak berdinding,
berpagar ataupun bersekat dan tempat tiang Soko Guru berada. Kata dasar Pendhapa yaitu
Andhap yang berarti rendah, karena posisinya yang lebih rendah dari Omah Ndalem. Umumnya
ruangan ini dimanfaatkan penghuninya sebagai tempat pertemuan, menerima tamu, kerabat dan
saudara. Kadang kala tempat ini juga dimanfaatkan sebagai tempat latihan menari dan kegiatan
lainnya.
Ruang depan yang terbuka menggambarkan falsafah penduduk Jawa yang memiliki sifat ramah,
terbuka dan membebaskan siapa saja tamu yang hendak datang. Sebagai pengganti meja dan
kursi, lantai teras dilapisi tikar agar suasana dapat lebih santai dan lebih akrab sehingga tidak
terdapat perbedaan status antara penghuni kediaman dan tamu. Uniknya, walaupun letaknya di
bagian depan, jalur utama untuk memasuki rumah bukanlah dari pendopo akan tetapi melewati
pintu samping.

1.2. Pringgitan

Pringgitan merupakan suatu ruangan yang mengkoneksikan pendopo dengan omah njero atau
omah dalem. Pringgitan merupakan sebuah ruangan semi privat yang biasanya digunakan
sebagai ruang tamu untuk menerima tamu atau saudara yang lebih dekat hubungan
kekerabatannya. Umumnya antara Pendhapa dengan pringgitan tidak dibatasi oleh sekat
sehingga kita dapat melihat pendhapa secara keseluruhan, namun sekarang ini banyak juga
pringgitan yang diberi sekat atau sketsel dengan pendhapa, sedangkan sekat dengan omah
ndalem menggunakan gebyok. Masyarakat Jawa dahulu biasa menggunakan Pringgitan untuk
menghelat pagelaran wayang kulit dan para penonton menyaksikan dari pendhapa. Oleh karena
itu ruangan ini disebut Pringgitan yang memiliki kata dasar Ringgit yang berarti wayang.
Penggunaan Pringgitan sebagai ruang interaksi dan pagelaran seni menggambarkan falsafah
orang Jawa sebagai mahluk social, mahluk budaya dan mahluk Tuhan, karena ruangan ini dahulu
juga dimanfaatkan untuk upacara atau ruwetan kepada para dewa, namun dengan
berkembangnya agama islam ruangan ini digunakan sebagai tempat ibadah.

1.3. Omah Ndalem atau Omah Njero

Omah Ndalem atau Omah Njero kadang disebut juga sebagai omah-mburi dan dalem ageng.
Ruangan ini adalah bangunan inti dari rumah joglo dan merupakan ruangan khusus para
penghuni rumah untuk bercengkrama dan bersantai antar sesama keluarga. Omah Ndalem terdiri
dari ruang keluarga dan beberapa kamar yang disebut dengan senthong. Masyarakat dulu hanya
membangun senthong sebanyak tiga senthong, yaitu senthong Kiwo, senthong tengah dan
senthong tengen. Namun masyarakat sekarang ini membuat senthong disesuaikan dengan jumlah
anggota keluarga.

1.4. Senthong Kiwo


Senthong Kiwo merupakan kamar yang berada di bagian kiri omah ndalem, sesuai dengan
namanya “Kiwo” yang berarti kiri dalam bahasa Jawa. Karena posisinya yang lebih dekat dengan
dapur Senthong Kiwo umumnya digunakan untuk menaruh bahan pokok rumah tangga seperti
beras dan bumbu dapur, hasil tani dan lainnya. Selain itu ruangan ini juga dimanfaatkan juga
untuk menyimpan senjata dan perlengkapan pertanian.

1.5. Senthong Tengah

Senthong Tengah merupakan kamar yang berada di bagian tengah, posisinya paling dalam dan
merupakan bagian paling disucikan dan disakralkan oleh pemilik rumah Joglo. Banyak istilah
yang digunakan untuk menyebut ruangan ini sesuai dengan fungsinya, diantaranya krobongan,
pasren, pedaringan, sepen dan Sri.

a. Krobongan

Krobongan berarti tempat pembakaran (berasal dari kata “Obong” atau bakar). Istilah tersebut
diberikan karena senthong tengah biasa digunakan sebagai ruangan untuk membakar kemenyan
ketika si pemilik rumah melakukan upacara pitra yadnya (pemujaan kepada leluhur).

b. Pasren

Pasren/pepasren/sesaji terbentuk dari kata pa-sri-an yang memiliki arti sebagai tempatnya Dewi
Sri, yaitu dewi penguasa tanaman padi. Saat datangnya musim panen, para petani membungkus
seuntai padi yang pertama kali dipotong menggunakan kain batik kemudian diletakkan di
senthong tengah sebagai persembahan kepada Dewi Sri. Oleh karena itu pasren disebut sebagai
tempat untuk Dewi Sri.

c. Pedaringan

Pedaringan memiliki arti tempat padi (berasal dari kata “Daring” yang berarti gabah kering).
Istilah itu disematkan karena padi identik dengan Dewi Sri. Istilah berikutnya yaitu

d. Sepen

Sepen atau tempat untuk menyepi, karena ruangan ini sering digunakan oleh penghuninya untuk
berdoa, bermeditasi dan sembahyang.

e. Sri

Istilah yang terakhir yaitu Sri sesuai dengan nama Dewi Sri sebagai tempat Dewi Sri bertandang.
Keberadaan Dewi Sri diwujudkan dengan dibuatnya patung Loro Blonyo sebagai symbol dewi
kemakmuran.
Senthong tengah ini sengaja tidak ditiduri atau sengaja dikosongkan oleh sang pemilik rumah.
Dahulu isi ruangan dan kelengkapan prasarana untuk upacara atau ritual di dalam senthong
tengah disesuaikan dengan status ekonomi pemiliknya. Untuk masyarakat dengan status ekonomi
rendah seperti petani, senthong tengah hanya diisi dengan sebuah meja sesaji. Untuk masyarakat
keturunan bangsawan dan priyayi, selain meja sesaji, ruangan juga diisi tempat tidur berukuran
kecil, lengkap dengan kasur, bantal, guling, dan sprei. Sedangkan pada bangsawan dengan status
sosial yang sangat tinggi, ruang senthong tengah yang mereka miliki berukuran besar, tempat
tidur yang ditaruh mengenakan kelambu, dan diletakkan sepasang arca pengantin di depan
kasurnya.

Salah satu ciri khas senthong tengah adalah kondisi ruangan yang sangat gelap sekali tanpa ada
cahaya yang masuk. Hal ini terjadi karena posisinya yang berada ditengah dan tidak terdapat
jendela. Pemilik rumah berdoa dengan keadaan gelap gulita dimana kondisi ini disebut pati geni
yang berarti tidak melihat cahaya atau berada diruang hampa cahaya.
1.6. Senthong Tengen

Senthong Tengen merupakan kamar yang berada di bagian kanan omah ndalem, sesuai dengan
namanya “Tengen” yang berarti kanan dalam bahasa Jawa. Umumnya kamar ini dimanfaatkan
sebagai ruang tidur khusus pemilik rumah sehingga sifatnya sangat pribadi dan tertutup untuk
dimasuki orang luar. Akan tetapi kamar ini lebih multifungsi bila dibandingkan dengan Senthong
Kiwo karena untuk penduduk menengah ke atas pada jaman dahulu, ruangan ini dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang digunakan dalam acara resmi (pakaian adat,
perhiasan), keperluan upacara (dupa, kemenyan), dan barang pusaka (keris, tombak) yang
tersimpan di dalam lemari. Namun bagi masyarakat menengah kebawah biasanya senthong
tengen hanya digunakan sebagai kamar tidur orang tua.

1.7. Gandhok Kiwo

Gandhok merupakan ruangan yang terletak di bagian kanan dan kiri Pringgitan dan Omah
Ndalem, bentuknya bangunannya memanjang dan posisinya berpisah dari bangunan utama
dengan halaman terbuka sebagai pemisah. Umumnya Gandhok dimanfaatkan sebagai ruang
tidur bagi keluarga, saudara dan tempat tamu menginap. Gandhok terdiri atas dua bagian yaitu
Gandhok Kiwo dan Gandhok Tengen. Gandhok Kiwo berada di bagian kiri bangunan Omah
Ndalem dan digunakan sebagai ruang tidur para laki-laki.

1.8. Gandhok Tengen

Gandhok Tengen berada di bagian kanan bangunan Omah Ndalem dan digunakan sebagai ruang
tidur para perempuan. Walaupun umumnya digunakan sebagai ruang tidur, adakalanya Gandhok
juga digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan.

1.9. Pawon

Pawon atau dapur berada di bagian belakang Omah Ndalem yang dipisahkan dengan halaman
terbuka seperti halnya Gandhok. Posisi dapur dipisahkan dari bangunan inti karena bangunan inti
dianggap sangat suci dan sacral sehingga tidak baik bila berdekatan dengan dapur yang kotor.
Dahulu proses memasak masih memakai kayu sebagai sumber bahan bakar sehingga dapur
identik dengan banyaknya abu yang terbentuk dari hasil pembakaran. Oleh karena itu kata pawon
berasal dari kata dasarnya yaitu awu atau abu.
1.10. Pekiwan

Pekiwan dimanfaatkan sebagai kamar mandi dan toilet bagi para penghuni rumah. Di dalam
pekiwan ini terdapat sumur sebagai sumber air yang digunakan untuk mandi, mencuci dan
memasak. Uniknya posisinya jauh terpisah dari bangunan inti yaitu berada di bagian belakang
dapur. Seperti halnya dapur, Pekiwan dianggap sebagai tempat yang kotor dan bau sehingga
posisinya tidak boleh berdekatan dengan bangunan inti.
1.11. Seketheng

Seketheng merupakan dinding pembatas yang terbuat dari batu bata dan memiliki dua buah
gerbang kecil. Seketheng digunakan sebagai penghubung halaman luar rumah dengan halaman
dalam rumah.
Umumnya rumah Joglo dibangun menggunakan kayu jati berkualitas tinggi sehingga awet tetapi
juga mahal. Oleh karena itu dahulu rumah Joglo hanya mampu dibangun untuk masyarakat
kalangan atas. Struktur utama rumah Joglo berupa struktur Rongrongan yang terbentuk dari
beberapa bagian seperti gambar berikut:
Meskipun strukturnya dibangun dari beberapa bagian namun rumah Joglo lebih dikenal dengan
tiang soko guru dan tumpang sarinya. Tiang Soko Guru atau Sakaning Guru merupakan empat
buah tiang penopang atap yang berada dibagian tengah pendhapa dan lebih tinggi dari tiang-tiang
lainnya. Selain fungsinya sebagai penopang atap dan penyangga tegaknya rumah, masing-masing
tiang ini juga menjadi simbol empat arah mata angin yang mewakili empat esensi kesempurnaan
hidup dan esensi dari sifat manusia. Tiang soko guru ini terletak dibagian pendopo terdiri
bersama dengan tiang pangarak atau tiang samping yang menopang bagian lain pendopo.
Walaupun berfungsi sebagai penopang atap, tiang-tiang soko guru ini tidak langsung bersentuhan
dengan atap, akan tetapi menempel pada suatu undakan - undakan atau balok-balok yang
bersusun dan memiliki pola piramida terbalik atau brunjung, yaitu semakin ke bawah semakin
mengecil atau yang biasa dikenal dengan tumpang sari. Selain bentuk brunjung atau piramida
terbalik, sekarang ini banyak juga tumpang sari yang berbentuk menyerupai piramida dimana
susunan balok semakin ke atas semakin mengerucut. Tumpang sari ini berfungsi untuk
menopang bagian langit-langit Joglo (pamindhangan).
Selain tiang soko guru dan tumpang sari, tentu saja atap rumah joglo menjadi cirri khas utama
rumah joglo. Penyebutan Joglo berdasarkan bentuk atapnya yang berbentuk gunung dan
dinamakan Tajug, namun kemudian berkembang menjadi atap Joglo/Juglo yaitu singkatan dari
Tajug Loro atau dua tajug yang digabungkan menjadi satu.

Atap rumah Joglo terdiri atas dua bagian, yaitu rangka atap dan penutup atap. Bahan yang
umumnya digunakan untuk rangka atap Joglo yaitu kayu, baik kayu polos maupun yang dipenuhi
ukiran, yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing penghuni. Sedangkan
bahan penutup atap biasanya menggunakan genteng tanah liat dan atap sirap.

Genteng tanah liat dihasilkan dari tanah liat yang ditekan kemudian dibakar. Kekurangan dari
genteng ini adalah terjadinya perubahan warna dan munculnya jamur bila semakin lama
digunakan. Sedangkan atap sirap terbuat dari kepingan tipis kayu ulin. Kelebihan penutup atap
ini yaitu ringan, kuat, memantulkan panas sehingga membuat ruangan dibawah lebih sejuk dan
membuat tampilan atap lebih cantik. Selain itu atap sirai mampu bertahan sampai 25 tahun
bahkan bisa selamanya bergantung dari lingkungan, kualitas kayu yang digunakan, dan besarnya
sudut atap.

Bentuk atap rumah Joglo terdiri dari beberapa macam, seperti gambar berikut.

Joglo Pengrawit Joglo Hageng Joglo Jompongan Joglo Lambang Sari

Joglo Ceblokan Joglo Mangkurat Joglo Kepuhan Joglo Kepuhan


Apitan Lawakan
Joglo Kepuhan Joglo Semar Joglo Sinom Joglo Wantah Apitan
Limalasan Tinandu Apitan

*geser tabel

Joglo Pati Joglo Kudus

Joglo Jepara Joglo Rembang
Rumah Adat Jawa Tengah | Rumah Joglo - written by Rumah-adat.com , published at 5:39
PM, categorized as Rumah Adat . And have 1 commen

Вам также может понравиться