Вы находитесь на странице: 1из 7

1.

PENDAHULUAN

Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Walaupun peristiwa perubahan sosial
telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi
agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan
menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka
kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu
faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu
masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak
mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih
lengkap.

Dalam buku Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals[1] menyatakan bahwa pada awalnya
orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan
nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti ini juga terjadi di
Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang
tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti lagi,
agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa diutak-atik.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat
memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri.
Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang “berlomba-
lomba”•melakukannya dengan berbagai pendekatan.

Agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas kompleksitas unit yang saling terkait antara
satu dengan lainnya. Sehingga hal itu berpengaruh terhadap bagaimana cara orang
memandang dan meneliti, termasuk dalam memilah-milah metodologinya.

Meskipun demikian, salah satu cara pemilahan terhadap jenis-jenis metodologi studi agama
dapat dilakukan dengan menguraikan unsur apa saja yang terdapat dalam agama. Kalangan
akademik memetakan unsur-unsur dalam agama dengan istilah 4 C: Canon, Cault,
Community, dan Culture. Canon adalah unsur agama yang berwujud kumpulan ajaran atau
doktrin yang menjadi pegangan oleh setiap pemeluk agama dalam sebuah kitab suci,
misalnya al-Qur’an, Injil, Zabur, Torah dll. Cault merupakan unsur agama yang berupa
imam, nabi,pemimpin atau tokoh yang menjadi panutan bagi suatu komunitas agama.
Community merujuk pada kumpulan, masyarakat atau organisasi yang menjadi wadah bagi
para penganut agama tertentu. Culture yang terjemahannya adalah budaya merujuk pada sisi
ekspresi keberagamaan seseorang atau suatu masyarakat.[2]

Dari 4C di atas, dapat dilakukan pemetaan metodologi studi agama. Ketika seseorang
melakukan penelitian agama yang mengambil canon sebagai obyeknya, maka berarti dia
berusaha mencari makna di balik statemen-statemen dalam kitab suci atau mungkin
melakukan interpretasi bahkan kritik. Ini artinya orang tersebut telah melakukan penelitian
(studi) normatif atau filosofis terhadap agama. Bisa juga disebut sebagai kajian teks jika
kitab suci tersebut diposisikan sebagai kumpulan statemen yang bebas.

Sedangkan jika seseorang melakukan penelitian terhadap sisi cault dari agama, berusaha
mencari tahu bagaimana perilaku para pemimpin dan pengaruhnya, bagaimana perlakuan
umat terhadap pemimpin agama dan seterusnya. Studi yang demikian dapat dikelompokkan
ke dalam kajian antropologi agama.
Lain hanya jika yang dijadikan obyek penelitian adalah community dari agama. Maka
penelitian tersebut dapat dikategorikan ke dalam kajian sosiologi agama karena meneliti
komunitas, masyarakat dan organisasi-organisasi keagamaan. Jika penelitian dilakukan
terhadap unsur culture (budaya) agama, maka penelitian tersebut disebut sebagai kajian
budaya agama.[3]

1. B. MAKNA PENELITIAN ANTROPOLOGI AGAMA

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena kultural di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin
ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.[4] Pertemuan antara
doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam
Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi
sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara
nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan
terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari
keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang
selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.

Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam
sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur
konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata
ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-
seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi
oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat
menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh
Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di
Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam
mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu
menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka
untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang
holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya
antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis
sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’
(wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam
Islam.

Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang
memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri
pada zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-
bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga
menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan
missionaris, selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa,
ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk
kepentingan jajahan.

Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah
digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia.
Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga
binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah
yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide
kunci, ide tentang evolusi.[5]

Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam
keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap
bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih
berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi
bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi
biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.

Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni
pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial
dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang
diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik,
magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat sebagai
sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.

Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat
dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan
dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata
sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan
beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama
dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan penelitian antropologi, golongan
masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain pada umumnya lebih tertarik kepada
gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan
pihaknya.

Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui
bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan
tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya. Dengan demikian, prilaku keberagamaan seseorang pada
dasarnya juga tidak terlepas dari interaksi simbolik yang dilakukan oleh individu.[6] Inilah
makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.

1. C. MODEL PENELITIAN ANTROPOLOGI AGAMA


Penelitian di bidang antropologi agama antara lain dilakukan oleh seorang antropolog
bernama Clifford Geertz pada tahun 1950-an. Hasil penelitiannya itu telah dituliskan dalam
buku berjudul The Religion Of Java. Model penelitian yang dilakukan Geertz adalah
penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data
yang dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan, survey, dan penelitian Grounded
Research, yakni penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang
ditelitinya.

Dari segi waktu yang digunakan untuk penelitian tersebut selama tiga tahap. Tahap pertama,
antara September 1951 sampai 1952, persiapan yang intensif dalam bahasa Indonesia (yakni
melayu) dilakukan di Universitas Havard, mula-mula di bawah Professor Isadora Dyen dan
kemudian di bawah Tuan Rufus Hendon, yang kemudian hari menjadi direktur proyek,
dengan bantuan orang-orang Indonesia. Waktu antara bulan juli sampai Oktober 1952
dipergunakan di Negeri Belanda, mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang
Indonesia di Universitas leiden dan di Tropical Institut di Amsterdam.

Tahap kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 dipergunakan terutama di
Yogyakarta, tempat ia mempelajari bahasa Jawa dan memperoleh sejumlah pengetahuan
umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Selama masa ini, satu setengah bulan
lamanya dihabiskan juga untuk mewawancarai pemimpin-pemimpin agama dan politik di ibu
kota Negara, Jakarta, sambil mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi
pemerintah pada umumnya dan Departemen Agama pada khususnya.

Tahap ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, merupakan masa penelitian
lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Ia dan istrinya sepanjang masa itu
tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota, rumah itu sebenarnya tidak terletak
di desa Mojokuto, tetapi di desa sebelahnya, yang hanya bersifat kota di bagian tenggaranya.

Selanjutnya, dari segi informan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitiannya itu,
Geertz mengatakan bahwa ia melakukan banyak kegiatan sistematis dan lama dengan
informan-informan tertentu mengenai suatu topik, baik dirumah mereka sendiri maupun di
kantor.[7]

Sedangkan pendekatan analisisnya menggunakan kerangka teori yang terdapat dalam ilmu
antropologi. Dengan pendekatan ini, fenomena keagamaan yang terjadi di daerah Jawa dapat
di jelaskan dengan baik

Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-


kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan
politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada
realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan
santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis
pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam
birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat
dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum
santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di
Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan
masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara
agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang
terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat
bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi
pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat
agama yang dipraktikkan.

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa model
penelitian antropologi agama yang dilakukan Geertz dapat di jadikan model atau bahan
perbandingan bagi para peneliti selanjutnya. Hal ini, karena secara metodologi dan
konseptual penelitian yang dilakukan Geertz tergolong penelitian yang lengkap dan
memenuhi prosedur penelitian lapangan yang baik.

1. Obyek Kajian dalam Pendekatan Antropologi

Secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi
fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya
dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski antropologi fisik
menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta
memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini
sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak
ada kebudayaan tanpa manusia.[8]

Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama
sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak
membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual
dan kepercayaan kepada yang sakral,[9] wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian
terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,[10] ada lima fenomena agama
yang dapat dikaji, yaitu:

1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.


2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya.
3. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
4. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti
Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.

Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek
tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.

1. 2. Kajian Antropologi dalam Islam

Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-
persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya.
Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan
keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia
dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau
mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang
biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi,
sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan
kemampuan nalar maupun teknologi.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah
realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki
dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan atau dalam bahasa lainnya Islam
yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.

Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan
masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,
sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia,
adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Oleh
karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah
berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian
interpretatif untuk mencari makna (meaning).

Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah
mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang
bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata
realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates
berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena
kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan
keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan
relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana.
Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern
menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu
kecenderungan transendensi dan sekularisasi.[11]

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-


persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia
digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini
berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami
realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap
ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di
sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi,
menjadi sangat penting.

Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika
membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk
menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-
Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an
menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an
yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam
perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman
realitas kemanusiaan.

Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan.
Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-
baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam
bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat
realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya
manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik
dari realitas universal agama-great tradition.

1. D. PENUTUP

Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan
ciri-ciri Islam lokal. Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama
tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya.
Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang
ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati
posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara
keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia.
Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah
realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam
mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang
merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu
agama itu sendiri.

Вам также может понравиться