Вы находитесь на странице: 1из 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. ANALISIS SITUASI

Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

pesat. Periode 1000 hari pertama sering disebut window of opportunities atau

sering juga disebut periode emas (golden period) didasarkan pada kenyataan

bahwa pada masa janin sampai anak berusia dua tahun terjadi proses tumbuh

kembang yang sangat cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Oleh

karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan

kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi.PMT-BOK Masalah gizi terjadi di

setiap siklus kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan (janin), bayi, anak,

dewasa dan usia lanjut. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa

kritis, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

pesat. Gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat permanen, tidak dapat
KADARZI
dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi.

Oleh karena itu, intervensi yang tepat pada kelompok tersebut sangat berdampak

besar pada kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depannya.

Gagal tumbuh pada periode 1000 hari pertama kehidupan, selain akan

mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik, juga akan menyebabkan gangguan

metabolic, khususnya gangguan metabolism lemak, protein, dan karbohidrat yang

pada akhirnya dapat memicu munculnya penyakit tidak menular seperrti obesitas,

diabetes, dan penyakit jantung koroner pada usia dewasa.

1
Masalah gizi di tingkat keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh

kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan bagi anggotanya baik jumlah

maupun jenis sesuai kebutuhan gizinya. Selain itu, pengetahuan, sikap serta

keterampilan keluarga dalam hal memilih, mengolah dan membagi makanan antar

anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan gizinya; memberikan perhatian dan

kasih sayang dalam mengasuh anak; memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan

dan gizi yang tersedia, terjangkau dan memadai (Posyandu, Pos Kesehatan Desa,

Puskesmas dll).KADARZI Gambaran perilaku gizi yang belum baik juga ditunjukkan

dengan masih rendahnya pemanfaatan fasilitas pelayanan oleh masyarakat. Saat

ini baru sekitar 50 % anak balita yang dibawa ke Posyandu untuk ditimbang

sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan.KADARZI

Untuk mengetahui status gizi anak dapat dilakukan dengan penilaian status

gizi Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah

gizi secara umum. Indikator ukuran antropometri digunakan sebagai kriteria

utama untuk menilai kecukupan asupan gizi dan pertumbuhan bayi dan balita

Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, dapat dilihat pada gambar 1.1, secara

nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari

5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan

angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat

meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen

tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan

prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013.riskesdas

2
Gambar 1.1 Kecenderungan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada balita,
Indonesia 2007, 2010, dan 2013.

Pada tahun 2016, berdasarkan data Pemantauan Status Gizi 2016, Indonesia

mempunyai persentase balita gizi buruk menurun menjadi 3,4%, namun

persentase balita gizi kurang meningkat menjadi 14,4%. Provinsi Kalimantan

Selatan memiliki persentase gizi buruk di atas rata-rata nasional yaitu 4,1% dan

persentase gizi kurang dengan 17,7%. Data tersebut dapat dilihat pada gambar 1.2

dan 1.3.

Gambar 1.2 Persentase status gizi Usia 0-59, Indonesia 2016PSG 2016
3
Jumlah kasus gizi buruk di provinsi Kalimantan Selatan masih cukup tinggi.

Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Kalsel, sepanjang tahun 2015 terdapat 70

kasus gizi buruk yang ditangani. Sebagian besar dari angka tersebut adalah

balita.Borneonews Berdasarkan data Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, pada tahun 2017 terdapat 4 kasus gizi buruk di Kalimantan

Selatan.Direktorat bina gizi Persentase gizi buruk di kota Banjarbaru tahun 2015 yaitu

3,7%, sedangkan gizi kurang 12,1%

Gambar 1.3 Persentase Balita Gizi Kurang Usia 0-59 Bulan berdasarkan provinsi

Salah satu sasaran dari 5 sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah prevalensi

gizi kurang/ kekurangan gizi (underweight) pada anak balita menurun dari 19,6%

menjadi 17,0%. Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan 2015-

4
2019, kegiatan pembinaan gizi masyarakat diarahkan untuk meningkatnya

pelayanan gizi masyarakat dengan sasaran program pada tahun 2019 salah satunya

adalah persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan mencapai

90,0%. Jumlah balita yang berisiko menjadi kurus masih cukup tinggi, oleh

karena itu upaya penanggulangan balita kurus harus dilakukan bukan hanya untuk

menangani balita yang sudah kurus tapi juga untuk mencegah balita yang berisiko

kurus agartidak jatuh menjadi kurus, sehingga intervensi mulai dilakukan pada

balita berisiko kurus.

Posyandu merupakan garda depan kesehatan balita dimana pelayanan yang

diberikan posyandu sangat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan dan

keuntungan bagi kesehatan masyarakat, khususnya bayi dan balita. Tujuan

penimbangan balita tiap bulan yaitu untuk memantau pertumbuhan balita sehingga

dapat sedini mungkin diketahui penyimpangan pertumbuhan balita. Keberhasilan

posyandu tergambar melalui cakupan SKDN dimana (S) merupakan seluruh

jumlah balita di wilayah kerja posyandu, (K) jumlah semua balita yang memiliki

KMS, (D) balita yang ditimbang, (N) balita yang berat badannya naik. Dari data

D/S tergambar baik atau kurangnya peran serta masyarakat dalam penggunaan

posyandu.

Berdasarkan data cakupan SKDN dari Kementerian Kesehatan per

Desember 2015, persentase D/S di provinsi Kalimantan Selatan adalah 64,4% dan

kota Banjarbaru 72,8%. Untuk kota Banjarbaru, persentase N/D 80,5% dengan
data SKDN kemenkes
persentase balita bawah garis merah (BGM) 0,1%. . Berdasarkan

karakteristik masalah gizi masyarakat

5
Timbulnya masalah balita gizi buruk disebabkan oleh berbagai macam

faktor yang sangat kompleks. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi secara

langsung maupun tidak langsung. Faktor yang langsung mempengaruhi antara lain

penyakit dan asupan gizi, yang keduanya dipengaruhi oleh pola asuh, kondisi

ekonomi dan lingkungan.

Berdasarkan perbedaan karakteristik masalah gizi yang ada di Indonesia

maka dalam melakukan intervensi perlu memperhatikan beberapa hal: a. Masalah

gizi yang bersifat kronis perlu meningkatkan peranan intervensi sensitif b.

Masalah gizi yang bersifat akut lebih mengutamakan pemberian makanan

tambahan dan edukasi gizi c. Masalah gizi yang bersifat kronis dan akut perlu

meningkatkan peranan intervensi sensitif dan pemberian makanan tambahanPSG.

Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai perbaikan status gizi adalah

melalui upaya penanggulangan gizi kurang yaitu: Pemantauan pertumbuhan balita

di posyandu, penyuluhan dan konseling menyusui dan Makanan Pendamping ASI

dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan pada balita gizi kurang.

Sedangkan untuk balita gizi buruk perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan untuk

ditangani sesuai dengan tatalaksana gizi buruk. Pemerintah telah mengadakan

kegiatan intervensi langsung berupa pemberian PMT-P (Pemberian Makanan

Tambahan Pemulihan) pada balita gizi buruk yang diberikan minimal selama 90

hari dengan standar kalori 300 dan protein sekitar 5-7 gram per hari.PMT-BOK

PMT Pemulihan bagi anak usia 6-59 bulan dimaksudkan sebagai tambahan,

bukan sebagai pengganti makanan utama sehari-hari. PMT Pemulihan dimaksud

berbasis bahan makanan lokal dengan menu khas daerah yang disesuaikan dengan

6
kondisi setempat. Makanan tambahan adalah makanan bergizi sebagai tambahan

selain makanan utama bagi kelompok sasaran guna memenuhi kebutuhan gizi.

Posyandu sangat berperan penting dalam usaha perbaikan status gizi

misalnya mempersiapkan bahan PMT (Pemberian Makanan Tambahan),

penyuluhan Kader membuat PMT (Pemberian Makanan Tambahan), dan

penyuluhan dengan bahan makanan yaang diperoleh dari daerah setempat,

beraneka ragam dan bergizi.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan data laporan tahunan Puskesmas Liang Anggang 2016

menunjukkan selama bulan Januari–Desember 2016 dari 880 balita yang

ditimbang, 490 balita mengalami kenaikan (N/D 56,7%) dan hanya 40,4% (N/S)

dari jumlah balita keseluruhan (1235 balita). Balita BGM (bawah garis merah)

yang mendapat makanan pendamping ASI/pemberian makanan tambahan dari

puskesmas berjumlah 50 balita. Tahun 2017, di wilayah kerja puskesmas Liang

Anggang, persentasi N/S Januari 43,4% dengan N/D 73,7%; bulan Februari N/D

66,59% dan N/S 62,8%; bulan Maret N/S 31,5% dan N/D 52,4%, sedangkan

untuk target pencapaian sebesar 70%, sehingga masih belum memenuhi target.

Selain itu, cakupan pemberian PMT pada balita kurus masih kurang karena

ada balita yang tidak rutin kontrol dan mengambil PMT di puskesmas, oleh karena

itu perlu alternatif lain untuk pemecahan masalah tersebut.

Berdasarkan wawancara awal yang telah dilakukan pada ibu dengan balita

yang pernah tidak mengalami kenaikan berat badan dalam penimbangan, faktor

7
keterbatasan ekonomi ketersediaan makanan di rumah tangga menyulitkan ibu

untuk memberikan makanan yang bergizi untuk anak. Kurangnya tenaga

kesehatan yang melakukan penyuluhan massal dan berkala tentang bagaimana

pelaksanaan PMT juga menjadi kendala.

Secara garis besar permasalahan yang dihadapi dalam program perbaikan

gizi di Puskesmas dapat dijabarkan dalam diagram di bawah ini.

MONEY MAN

Biaya operasional untuk


pembinaan posyandu Kurangnya jumlah tenaga
dan penyuluhan serta kesehatan puskesmas yang
penyediaan makanan memberikan sosialisasi
pemulihan gizi untuk
`
balita gizi kurang.
pengetahuan tentang
pemberian makanan tambahan

Rendahnya
persentase
balita yang
berat
Media sosialisasi Cara yang digunakan Kurangnya
badannya naik
yang kurang dalam menyampaikan frekuensi promosi
beragam. informasi PMT kurang kesehatan tentang
interaktif dan aplikatif PMT
dalam kehidupan
sehari-hati

MATERIAL MARKET
METHOD

Gambar 1.4 Diagram fishbone

8
C. Alternatif pemecahan masalah

Tabel 1.2 Daftar masalah dan alternatif

No Masalah Pemecahan Masalah


Man:

Kurangnya jumlah tenaga Memberikan reward kepada tenaga


1. kesehatan puskesmas yang kesehatan yang melakukan penyuluhan.
memberikan sosialisasi pengetahuan
tentang pemberian makanan
tambahan

Money:

Biaya operasional untuk pembinaan Mengalokasikan dana tahunan untuk


2. posyandu dan penyuluhan serta kegiatan pelatihan kader untuk pembinaan
penyediaan makanan pemulihan posyandu dan penyuluhan serta penyediaan
gizi untuk balita gizi kurang. makanan pemulihan gizi untuk balita gizi
kurang.

Methode:

Cara yang digunakan dalam Metode yang digunakan bisa berupa


3. menyampaikan informasi PMT penyuluhan, demo masak makanan
kurang interaktif dan aplikatif tambahan balita di posyandu atau
dalam kehidupan sehari-hati puskesmas dengan ibu-ibu

Market:

4. Kurangnya frekuensi promosi Meningkatkan promosi kesehatan


kesehatan tentang pemberian mengenai pemberian makanan tambahan
makanan tambahan sesuai metode dengan cara yang interaktif
dan menarik

Material:

5. Media sosialisasi yang kurang Mengoptimalkan media promosi yang


beragam. kreatif dan menarik misalkan penyuluhan
dengan powerpoint, leaflet, poster, video.

9
D. PRIORITAS PEMECAHAN MASALAH (metode Bryant)

Penentuan prioritas masalah merupakan hal yang sangat penting, setelah

masalah-masalah kesehatan teridentifikasi. Metode yang dapat dilakukan dalam

penentuan prioritas masalah dibedakan atas 2, yaitu: secara scoring dan non-

scoring. Kedua metode tersebut pelaksanaanya berbeda-beda dan pemilihannya

berdasarkan data yang tersedia. Dalam kegiatan PBL ini, prioritas pemecahan

masalah menggunakan teknik scoring jenis metode Bryant. Pemilihan prioritas

dilakukan dengan memberikan score untuk berbagai parameter tertentu yang telah

ditetapkan. Metode Bryant merupakan pilihan karena melibatkan unsur

masyarakat (Community). Setelah didapatkan daftar masalah dan alternatifnya,

maka ditentukan prioritas untuk pemecahan permasalahan berdasarkan prioritas.

Dalam menentukan prioritas masalah, metode yang digunakan adalah

metode Bryant yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu pemberian skoring

(1=paling minimal, sampai 5=paling maksimal) oleh masing-masing tim penilai

berdasarkan beberapa kriteria dan dilanjutkan dengan menjumlahkan skor. Nilai

yang tertinggi merupakan masalah urutan pertama, urutan selanjutnya sesuai

besarnya nilai prioritas masalah kesehatan. Kriteria dalam penilaian adalah:

1) P (prevalence) atau besar masalah yang menggambarkan jumlah atau

kelompok masyarakat yang terkena masalah, makin besar jumlah semakin tinggi

skor yang diberikan;

2) S (seriousness) atau keseriusan masalah untuk segera ditanggulangi,

misalnya ditinjau dari kegawatan masalah yaitu tingginya angka morbiditas atau

mortalitas. Semakin serius masalah semakin tinggi skor yang diberikan;

10
3) C (community concern) yaitu perhatian atau kepentingan masyarakat

dan pemerintah atau instansi terkait terhadap masalah tersebut. Makin tinggi

tingkat kepentingannya makin tinggi skor yang diberikan;

4) M (manageability) yaitu ketersediaan sumber daya (tenaga, dana, sarana

dan metode/cara) yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah. Semakin mampu

sumberdaya yang dibutuhkan, makin tinggi nilai yang diberikan. Menurut cara ini

masing-masing skor dikalikan. Hasil perkalian ini dibandingkan antara masalah-

masalah yang dinilai. Masalah-masalah dengan skor tertinggi akan mendapat

prioritas yang tinggi pula.

Metode Bryant menggunakan skor yang berdasarkan pada kriteria: P =

besarnya kelompok atau staf yang terkena masalah, S = tingkat keseriusan atau

kegawatan masalah, C = dampak masalah terhadap perusahaan atau istansi terkait, M =

ketersediaan teknisi atau kesediaan perangkat. Rumus: Total skor = P x S x C x M

Untuk mendapatkan skor dari kriteia P, S, C, dan M yaitu dengan cara berikut ini :

A. Pada kriteria P diatas skornya didapatkan dari rumus berikut : P =5- A/O

Keterangan : P = besarnya kelompok atau staf yang terkena masalah A = jumlah

aset O = jumlah pengguna. Skor:

1 = jumlah individu/masyarakat yang terkena sangat sedikit

2 = jumlah individu/masyarakat yang terkena sedikit

3 = jumlah individu/masyarakat yang terkena cukup besar

4 = jumlah individu/masyarakat yang terkena sangat besar

11
B. Pada kriteria S skor didapatkan dari tingkat keseriusan atau kegawatan

suatu masalah. Skor:

1 = masalah yang ditimbulkan tidak berat

2 = masalah yang ditimbulkan cukup berat

3 = masalah yang ditimbulkan berat

4 = masalah yang ditimbulkan sangat berat

C. Pada kriteria C merupakan dampak masalah terhadap perusahan atau

instansi terkait. Skor:

1 = tidak mendapat perhatian masyarakat

2 = kurang mendapat perhatian masyarakat

3 = cukup mendapat perhatian masyarakat

4 = sangat mendapat perhatian masyarakat

D. Kriteria M dimaksudkan sebagai ketersediaan teknisi atau ketersediaan

perangkat. Skor:

1 = tidak dapat dikelola dan diatasi

2 = cukup dikelola dan diatasi

3 = dapat dikelola dan diatasi

4 = sangat dapat dikelola dan diatasi

12
Tabel 1.2 Prioritas pemecahan permasalahan

PEMECAHAN
NO P S C M NILAI PRIORITAS
MASALAH

Man:

Memberikan reward 5
1. kepada tenaga 2 2 2 1 8
kesehatan yang
melakukan
penyuluhan.
Money:

Mengalokasikan dana
tahunan untuk kegiatan
pelatihan kader untuk
3
3. pembinaan posyandu 2 2 2 2 16
dan penyuluhan serta
penyediaan makanan
pemulihan gizi untuk
balita gizi kurang.

Methode:

Metode yang
digunakan bisa berupa
penyuluhan, demo
1
4. masak, masak bersama 4 3 4 2 96

makanan tambahan
balita di posyandu atau
puskesmas dengan ibu-
ibu

Market:

Meningkatkan promosi
kesehatan mengenai
5. pemberian makanan 3 3 3 2 54 2
tambahan sesuai
metode dengan cara
yang interaktif dan
menarik

13
Material:

Mengoptimalkan
media promosi yang
6. 4
kreatif dan menarik 2 3 2 1 12
misalkan penyuluhan
dengan powerpoint,
leaflet, poster, video.

14

Вам также может понравиться