Вы находитесь на странице: 1из 1

Aku mirip dengan beberapa karakter utama geek di kartun-kartun Jepang atau drama-drama

Korea: pendiam, pemalu, susah bergaul dengan orang lain, sering menghabiskan waktu dengan
hal-hal yang kurang produktif, dan berbagai hal-hal negatif lain ada pada diriku. Tetapi di akhir
cerita banyak dari mereka yang bisa sukses dan berubah total: mempersembahkan good ending
kepada penonton pada kisah mereka masing-masing.

Dengan harapan mendapatkan good ending seperti pada kartun-kartun Jepang dan drama-drama
Korea yang sering kutonton, aku harus berubah.

"Dulu saya cupu, gak pede, gak eksis, gak gaul. Setelah ikut mentoring, saya jadi seperti ini,
terima kasih mentoring!"

-BZ

Kurang lebih seperti itu tulisan–yang mirip iklan klinik terkenal–di selebaran pamflet yang
mengenalkan kepadaku mentoring saat aku masih mahasiswa baru. Ternyata frase “seperti ini”
yang tertulis di sana–setelah aku sedikit kepo–bukan “seperti ini” biasa. Penulis adalah seorang
ketua angkatan, mahasiswa berprestasi fakultas, pejabat penting di berbagai organisasi dan
kepanitiaan, bahkan ia memiliki segudang prestasi, belum lagi kisah hidupnya yang kujamin
dapat menginspirasi orang banyak. Aku mulai termotivasi untuk ikut mentoring.

Karena tulisan yang cukup memrovokasiku tersebut, serta hari-hari di kampus yang terlewati
begitu saja tanpa kesan berarti: hanya kuliah-lab-pulang saja. Aku memutuskan untuk mengikuti
mentoring.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang memulai fase mentoringnya di SMA, aku baru mulai
mengenal dunia pembinaan ini saat duduk di bangku kuliah. Aku harus mengejar ketertinggalan
dari teman-teman yang sudah lebih dulu mentoring. Aku tertinggal banyak, apalagi soal ilmu
agama. Aku bukanlah orang yang saleh-saleh banget: shalat sering telat, baca Qur’an hanya
sesekali jikalau sempat, boro-boro melakukan ibadah sunnah, berat.

Alhamdulillah, rasanya aku mendapatkan banyak hal positif setelah ikut mentoring selama
beberapa bulan. Aku yang pendiam, jadi orang yang cukup supel dan mudah bergaul. Aku mulai
terbiasa berbicara di depan–walau kadang masih terbata-bata–umum. Aku juga sibuk di Rohis
kampus, insya Allah aktif di sana membuat waktuku cukup terkuras dalam berbagai hal
kebaikan; tentu ini ‘memaksa’ diriku untuk belajar Islam lebih dalam, aku bahkan sempat
dicalonkan sebagai ketua Rohis di fakultas.

Sekarang sudah genap dua tahun aku resmi menjadi santri—walaupun sudah berkali-kali
berganti-ganti mentor. Aku betah berada di lingkungan ini: lingkaran sederhana yang
menentramkan, tempat mengembalikan semangat yang berceceran, menemukan cahaya-cahaya
Islam, dan solusi akan masalah-masalah hidup. Sampai akhirnya sekarang, semesta
berkonspirasi: kakak mentorku adalah Kakak yang menjadi cover pamflet waktu itu.

By the way, enaknya, setiap mentoring pasti ada makanan (berat) yang disediakan kakak mentor,
minimal bubur ayam atau nasi goreng. :P

Вам также может понравиться