Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Tabel .2
Rasio Pendidikan Tahun 2002/2003
No
Kelayakan Negeri % Swasta % Jumlah %
.
SD 92.6 7.4
1 a. Layak 1,143,070 47.3 91,857 3.3 1,234,92 100.0
b. Tidak 584,395 45.2 41,315 4.1 625,7107 50.7
Layak
SMP 558,675 66.7 50,542 33.3 609,217 49.3
2 a. Layak 311,531 43.4 155,217 20.7 466,748 100.0
b. Tidak 202,720 23.3 96,385 12.6 299,105 64.1
Layak
SMA 108,811 53.4 58,832 46.6 167,643 35.9
3 a. Layak 122,803 38.0 107,311 29.1 230,114 100.0
b. Tidak 87,379 15.4 67,051 17.5 154,430 67.1
Layak
SMK 35,424 33.0 40,260 67.0 75,684 32.9
4 a. Layak 48,645 19.0 98,914 37.7 147,559 100.0
b. Tidak 27,967 14.0 55,631 29.3 83,598 56.7
Layak
Sumber : Diolah dari BPS20,678
2004 43,283 63,961 43.3
Proporsi guru yang berpendidikan di bawah kualifikasi minimal tersebut tentu
tidak memadai jika Pemerintah ingin menyediakan pelayanan pendidikan yang
berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP dan SM yang menggunakan sistem guru
mata pelajaran, banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan
dengan latar belakang pendidikan guru. Pada jenjang SMP, SMA dan SMK persentase
guru yang belum memiliki kualifikasi masing-masing adalah 36%, 33%, dan 43%.
Pada pendidikan tinggi, peningkatan mutu dan kualifikasi dosen menjadi faktor
yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada tahun 2003, dari 58.664 orang di
perguruan tinggi negeri (PTN), proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 baru
mencapai 54,50%. Sedangkan pada PTS, dari jumlah 88.865 orang dosen yang ada,
proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 hanya 34,50 %.
Dari data BPS (2004) juga dilaporkan bahwa aspek fisik juga menujukan bahwa
kondisi prasarana dan sarana pendidikan belum sepenuhnya memadai, hal ini antara lain
dapat dilihat dari ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD
yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang
merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misalnya, terdapat 72,8% SD yang memiliki
Tabel 4 perpustakaan sedangkan di Maluku
Utara hanya lima persen yang sudah
Kondisi Ruang Belajar Tahun 2003 memiliki perpustakaan sekolah. Selain
Jenjang %Kondisi Ruang Belajar kondisi fasilitas yang demikian, juga
Jumlah
Pend.
banyak ruang belajar dan sarana belajar
LP RB RR
lain seperti laboratorium, sarana
olahraga yang rusak. Pada tabel 4, dari
1. SD 42,1 23,3 34,6 865.258
sekitar 865.258 ruang belajar (lokal)
2. SMP 82,3 5,1 12,6 187.480 terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI
3. SMA 92,3 2.0 5,6 78.412
a
1
at
s
s
guru, sementara biaya operasi satuan pendidikan di luar gaji hanya mencapai paling
er
Kl
Kl
Kl
Kl
Kl
Kl
R
tinggi 5—10%. Akibatnya, pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran,
pengembangan staf, dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi
antardaerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk
dalam pembiayaan untuk gaji dan di luar gaji masih sangat besar sehingga menimbulkan
potensi ketidakadilan dalam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu.
Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses
pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap
penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan
belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu berorientasi
pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta
pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga proses pembelajaran yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang optimal.
Grafik 1 menunjukkan bahwa angka mengulang kelas pada SD kelas awal cukup
tinggi, yaitu 7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah.
Dilihat kecenderungan angka mengulang kelas menurut tingkat, makin tinggi tingkat kelas
makin rendah angka mengulang kelas di SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang
makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa/i SD/MI dan 270.000
siswa/i SMP/MTs putus sekolah setiap tahun.
Grafik 2 menunjukkan bahwa makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka
putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari
perspektif gender, angka putus sekolah anak laki-laki memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan.
Faktor yang turut berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pendidikan adalah
rendahnya kemampuan pengelolaan berbagai masukan pendidikan baik dalam menjalankan
proses pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan secara keseluruhan, baik pada
tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan yang ada di atasnya. Hal ini
dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang dilakukan oleh tenaga
fungsional seperti pengawas sekolah untuk tingkat SD dan/atau pengawas bidang studi untuk
tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala sekolah sebagai manajer
sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hasil
belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para supervisor, sehingga kelemahan-
kelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat teridentifikasi secara akurat.
Sementara itu, rendahnya mutu hasil belajar ditandai oleh standar kelulusan yang
ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus
apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 4,25%. Dengan
standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian
Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan
SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%. Grafik 2
Walaupun angka ketidaklulusan
ujian nasional (UN) tahun 2004/2005 Nilai Ujian Nasional SMA Program IPA
DAFTAR RUJUKAN
Dirjen Dikti. 2003. “Peran, Fungsi, dan Kebijakan Pemerintah Pusat pada Pembangunan
Pendidikan Tmggi 2003-2010” Consolidated Report. 11 November2003.
Parluhutan Tobing dan Soenardi Ronowisroyo. 1978. Statistik Pendidikan di Lingkungan
Departemen P dan K, Buku II. Jakarta, BP3K.
Pusat Statistik Pendidikan.2002. Statistik Persekolahan 1973-2001, Jakarta.
Rentra Depdiknas 2004-2009.
Sayidiman Suryohadiprojo. 2002. “Pendidikan Dasar yang Bermutu”, Pendidikan untuk
Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Grasindo.
Safrudin Chamidi dan Prayitno.2004. Tahap Awal Pendalaman Indikator Pendidikan
Lanjut. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 046, Tahun Ke-1O. .Januari 2004
S. Suryana. 2007. Kebijakan Mutu Pendidikan :Analisis Model Indikator Pendidikan:,
Edukasi Tahun XVII No 3 hal 1-16. edisi September-Desember 2007.