Вы находитесь на странице: 1из 16

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 2


BAB II ISI ............................................................................................................................. 4
A. Potret Pendidikan Matematika di sekolah Inklusi......................................................... 4
B. Urgensi Pendidikan Matematika Inklusif ...................................................................... 5
C. Perbedaan Matematika Biasa dengan Matematika Inklusif .......................................... 8
D. Perubahan untuk Menjadi Pendidikan Matematika Inklusif ......................................... 9
E. Hambatan dan Tantangan Pendidikan Matematika Inklusif ......................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 15
A. Simpulan ....................................................................................................................... 15
B. Saran .............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16

1
BAB I
PENDAHULUAN

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan
jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan
yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh
kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidiakn bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan
melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan
khusus, sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak
berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar
yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra),
itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang
keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus
merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk
pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus bersama sama anak lainnya
(reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa
di dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi
kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu disiapkan

2
segala sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan
dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin
membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu
yang cukup lama.
Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup Pendidikan Inklusif. Hal
ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa, agama, dan kondisi alam yang
terfragmentasi secara geologis dan geografis. "Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling
menarik untuk menghadapi permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif, karena inilah
negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 buah.
Pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan,
melainkan juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS, anak-anak yang berada di
lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak- anak jalanan (anjal), anak-anak di daerah
perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak korban bencana alam. "Anak anak ini
semua membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya”.
Anak-anak tersebut dalam paradigma pendidikan inklusif disebut Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). ABK ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer meliputi: anak-anak yang
berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan, anak-anak
korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak
yang menjadi korban HIV AIDS dan ABK permanen adalah anak-anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, Anak Berkesulitan Belajar, Anak berbakat
dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.

3
BAB II
ISI

A. Potret Pendidikan Matematika di Sekolah Inklusi


Pendidikan inklusif yang menghargai semua siswa dengan keunikan mereka tidak serta
merta berjalan mudah, termasuk dalam pendidikan matematika (Susetyawati, E., dkk., 2008).
Sistem pendidikan yang masih mengedepankan penyeragaman untuk memenuhi target
kurikulum daripada penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik merupakan
salah satu kendala utama. Padahal, untuk bisa menjalankan pendidikan matematika inklusif,
filosofi, sistem, maupun praktekpendidikan harus berubah.
Paradigma standarisasi pendidikan menyebabkan praktek pembelajaran matematika di
sekolah inklusi dilaksanakan seperti pada sekolah reguler. Guru matematika di kelas inklusi
masih cenderung mengajar sesuai kemampuan siswa normal. Proses pembelajaran dan penilaian
dilaksanakan berdasar pada logika sekolah reguler sehingga ABK kurang mendapatkan layanan
yang sesuai. Praktek seperti ini menyerupai bentuk sekolah model integrasi dimana ABK yang
harus menyesuaikan dengan pembelajaran yang dilaksanakan, bukan pembelajaran yang
disesuaikan dengan keunikan kebutuhan belajar mereka.
Potret buram pendidikan matematika, baik dari sisi proses maupun hasil, yang selama ini
terjadi pada pendidikan matematika di sekolah reguler juga terjadi pada sekolah inklusi, bahkan
menjadi lebih rumit. Seperti halnya pada pembelajaran matematika di sekolah reguler selama ini,
guru matematika sekolah inklusi banyak menerapkan model pembelajaran konvensional dimana
guru mendominasi kelas. Dominasi guru menyebabkan siswa pasif selama pembelajaran. Minat
dan motivasi belajar siswa juga kurang nampak. Siswa seolah mengikuti pembelajaran sebagai
sebuah rutinitas dan kewajiban. Dari sisi hasil, prestasi belajar matematika siswa sekolah inklusi
umumnya rendah. Tingkat ketuntasan belajar siswa dalam mempelajari kompetensi yang
diajarkan guru relatif rendah.
Permasalahan menjadi semakin pelik bagi ABK karena kurang memperoleh ruang
memadai untuk belajar sesuai kemampuan. Proses belajar mengajar di kelas yang masih
bertumpu pada pola pembelajaran kelas reguler mengakibatkan ABK sulit mengimbangi
kecepatan belajar kelas. Keunikan belajar ABK menuntut perlakuan khusus guru. Jika guru tidak
mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya, ABK pasti mengalami kesulitan

4
dalam mempelajari matematika. Tingkat kesulitan belajar matematika yang tinggi semakin sulit
karena keterbatasan mereka. Hal ini kontraproduktif jika dilihat dari pemikiran awal pendidikan
inklusif yang ingin memberikan layanan lebih baik bagi ABK.
Dalam pembelajaran, ABK sebenarnya didampingi guru pembimbing khusus (GPK), yaitu
guru dari Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang ditugaskan mendampingi ABK di Sekolah Inklusi.
Selain dari PLB, sekolah mengupayakan GPK atas inisiatif sendiri, kerjasama dengan LSM, atau
dari bantuan wali murid. Namun pendampingan yang dilakukan GPK tidak selalu bisa
membantu. Secara material, GPK tidak selalu kompeten dalam matematika. Permasalahan teknis
tentang materi pelajaran matematika seringkali tidak dikuasai oleh GPK, terutama pada tingkat
SLTP dan SLTA. Selain itu, GPK dari PLB tidak selalu bisa mendampingi. Mereka datang
hanya pada jadwal tertentu, biasanya 2-3 kali perminggu. Jika pada jam pelajaran matematika
GPK tidak datang maka pendampingan belajar dilakukan guru kelas. Keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan guru kelas tentang ABK menyebabkan mereka kesulitan memberikan
pendampingan.

B. Urgensi Pendidikan Matematika Inklusif


Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak
berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar
dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Seseuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 70
tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa Pendidikan inklusif bertujuan :
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya;
2. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak
diskriminatif bagi semua peserta didik;

5
3. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada
satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
4. Peserta didik yang memiliki kelainan terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya;
l. tunaganda

Pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada seluruh anak


untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Pendidikan inklusif merupakan sistem
layanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua anak, termasuk anak
berkebutuhan khusus, belajar bersama-sama di sekolah dengan memperhatikan keragaman dan
kebutuhan individual. Semangat pendidikan inklusif adalah memberikan akses yang seluas-
luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan memberikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Pendidikan inklusif merupakan salah satu reformasi penting sistem pendidikan di
Indonesia untuk merespon keberagaman kebutuhan dan heterogenitas masyarakat. Pendidikan
inklusif memberikan harapan yang lebih besar bagi tercapainya education for all, termasuk anak
berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

6
adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan
program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru,
agar anak-anak berhasil (Stainback,1980).
Matematika merupakan mata pelajaran wajib yang harus dipelajari oleh setiap siswa di
sekolah, termasuk juga siswa tuna netra. Matematika diperlukan sebagai pendidikan dasar dan
bekal untuk berpikir secara ilmiah. Sebagian besar orang berfikir bahwa belajar matematika
identik dengan belajar berhitung, tetapi sesungguhnya dalam matematika kita diajarkan untuk
berfikir secara sistematis.
Pada saat ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
pembelajaran matematika yang belum dapat kita carikan solusinya. Diantaranya yaitu anggapan
bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit dan menakutkan. Anggapan ini muncul bukan
berasal dari anak yang memiliki kebutuhan khusus seperti tuna netra saja, tetapi siswa yang
normal pun berpandangan demikian
Pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia dan merupakan solusi untuk membuat
anak berkebutuhan khusus dapat belajar matematika denga baik Itulah ungkapan yang dipakai
untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen di balik
pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia:
a. Semua anak memiliki hak untuk belajar bersama
b. Anak-anak seharusnya tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau
disisihkan hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka
c. Orang dewasa yang cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas
sekolah khusus, menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini
d. Tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka, anak-anak milik
bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan mereka tidak butuh
dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).

Adapun alasan-alasan di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang
baik:
a. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik
maupun sosial, dalam setting yang inklusif.

7
b. Tidak ada pengajaran atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat
terjadi dalam sekolah biasa.
c. Dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan inklusif merupakan suatu penggunaan
sumber-sumber pendidikan yang lebih efektif.

Pendidikan inklusif yang ramah anak dapat memanjakan emosi anak, belajar dengan
nyaman, sehingga disadari atau tidak mereka akan memotret apa yang mereka dengar, lihat, dan
rasakan sehingga mempengaruhi emosi positif dan mempermudah untuk tercapainya tujuan
pembelajaran.
Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga.
Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari
perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam
transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang
peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara
potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi
tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan
pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup
fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta
didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin
untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain (UNESCO, 2003)
C. Perbedaan Pembelajaran Matematika Biasa Dengan Matematika Inklusif
Pendidikan matematika di sekolah yang biasa tentu saja berbeda dengan pendidikan
matematika di sekilah inklusif. Jika pada pendidikan matematika di kelas regular guru hanya
dibebankan untuk mengajar anak yang normal, maka pada kelas inklusif selain harus mengajar
anak normal guru juga harus mengajar anak yang memiliki kebutuhan khusus. Kurikulum yang
digunakan pun tentuny berbeda antara sekolah biasa dengan sekolah inklusif.
Selain itu, sarana dan prasarana yang digunakan dalam menunjang proses pendidikannya
pun berbeda. Misalkan pada sekolah biasa, sekolah tidak harus menyediakan sarana khusus.
Sedangkan pada sekolah inklusif maka sekolah tersebut harus mempunyai beberapa sarana dan
prasarana yang bisa diakses oleh anak berkebutuhan khusus. Sarana dan prasarana tersebut
diantaranya:

8
1. Jalan yang berkramik khusus untuk anak tuna netra.
2. Peralatan computer dan multimedia lain yang bisa diakses oleh anak berkebutuhan khusus.
3. Tersedianya jalan yang landai pada setiap tangga yang memungkinkan siswa yang memakai
kursi roda bisa naik.
4. Laboratorium khusus anak berkebutuhan khusus.
5. Ruangan belajar khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
Perbedaan yang lain yaitu pada pembelajaran matematika biasa guru bisa menggunakan
model belajar apapun untuk menyampaikan materi yang akan diajarkan, karena para siswa
normal tidak akan kesuliatan untuk menikuti materi. Tetapi dalam pembelajaran matematika
inklusif model yang digunakan untuk menyampaikan materi kepada para siswa harus
disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing siswa yang kemudian digabungkan dan
kemudian diambil metode yang dapat melayani semua kebutuhan para siswa baik siswa yang
normal maupun yang memiliki kebutuhan khusus.
Penggunaan sumber belajar pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dari para siswanya.
Misalkan pada kelas normal sumber belajar dapat mengguakan buku yang menggunakan tulisan
alvabet. Pada kelas inklusif sumber belajar harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
siswa, sebagai contoh siswa yang tuna netra menggunakan buku yang menggunakan huruf braile.
D. Perubahan Untuk Menjadi Pendidikan Matematika Inklusif.
Sekolah umum/reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi
secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum
dan pembelajaran yang bersifat individual.
c. Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melakukan kolaborasi
dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melibatkan orangtua secara
bermakna dalam proses pendidikan.
Selain perubahan di atas, kurikulum yang digunakan pun harus disesuaikan. Kurikulum
pendidikan inklusi menggunakan kurikulum sekolah reguler (kurikulum nasional) yang

9
dimodofikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus,
dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya.
Modifikasi kurikulum dilakukan terhadap:
1. alokasi waktu,
2. isi/materi kurikulum,
3. proses belajar-mengajar,
4. sarana prasarana,
5. lingkungan belajar, dan
6. pengelolaan kelas.
a) Pengembang Kurikulum
Modifikasi/pengembangan kurikulum pendidikan matematika inklusi dapat
dilakukan oleh Tim Pengembang Kurikulum yang terdiri atas guru-guru yang mengajar
di kelas inklusi bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait, terutama guru
pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah berpengalaman mengajar
di Sekolah Luar Biasa, dan ahli Pendidikan Luar Biasa (Orthopaedagog), yang dipimpin
oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusi (Kepala SD Inklusi) dan sudah dikoordinir oleh Dinas
Pendidikan.
b) Pelaksanaan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dilaksanakan dengan:
1) Modifikasi alokasi waktu
Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar
siswa. Misalnya materi pelajaran (pokok bahasan) tertentu dalam kurikulum reguler
(Kurikulum Sekolah Dasar) diperkirakan alokasi waktunya selama 6 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal (anak
berbakat) dapat dimodifikasi menjadi 4 jam.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal dapat
dimodifikasi menjadi sekitar 8 jam;
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar) dapat dimodifikasi menjadi 10 jam, atau lebih; dan untuk
anak tunagrahita menjadi 18 jam, atau lebih; dan seterusnya.
2) Modifikasi isi/materi

10
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di atas normal, materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat digemukkan (diperluas dan diperdalam)
dan/atau ditambah materi baru yang tidak ada di dalam kurikulum sekolah
reguler, tetapi materi tersebut dianggap penting untuk anak berbakat.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi relatif normal materi
dalam kurikulum sekolah reguler dapat tetap dipertahankan, atau tingkat
kesulitannya diturunkan sedikit.
 Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki inteligensi di bawah normal
(anak lamban belajar/tunagrahita) materi dalam kurikulum sekolah reguler dapat
dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitannya seperlunya, atau bahkan
dihilangkan bagian tertentu.
3) Modifikasi proses belajar-mengajar
 Mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi, yang meliputi analisis, sintesis,
evaluasi, dan problem solving, untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki
inteligensi di atas normal
 Menggunakan pendekatan student centerred, yang menenkankan perbedaan
individual setiap anak;
 Lebih terbuka (divergent);
 Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam
kelas heterogen, sehingga mungkin ada anak yang saling bergerak kesana-kemari,
dari satu kelompok ke kelompok lain. Menerapkan pendekatan pembelajaran
kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Melalui
pendekatan pembelajaran kompetitif anak dirangsang untuk berprestasi setinggi
mungkin dengan cara berkompetisi secara fair. Melalui kompetisi, anak akan
berusaha seoptimal mungkin untuk berprestasi yang terbaik, “aku-lah sang juara”!
Namun, dengan pendekatan pembelajaran kompetitif ini, ada dampak negatifnya,
yakni mungkin “ego”-nya akan berkembang kurang baik. Anak dapat menjadi
egois.
 Untuk menghindari hal ini, maka pendekatan pembelajaran kompetitif ini perlu
diimbangi dengan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Melalui pendekatan pembelajaran kooperatif, setiap anak dikembangkan jiwa

11
kerjasama dan kebersamaannya. Mereka diberi tugas dalam kelompok, secara
bersama mengerjakan tugas dan mendiskusikannya. Penekanannya adalah
kerjasama dalam kelompok, dan kerjasama dalam kelompok ini yang dinilai.
Dengan cara ini sosialisasi anak dan jiwa kerjasama serta saling tolong menolong
akan berkembang dengan baik.
Dengan demikian, jiwa kompetisi dan jiwa kerjasama anak akan berkembang
harmonis.Disesuaikan dengan berbagai tipe belajar siswa (ada yang bertipe visual; ada yang
bertipe auditoris; ada pula yang bertipe kinestetis). Tipe visual, yaitu lebih mudah menyerap
informasi melalui indera penglihatan.Tipe auditoris, yaitu lebih mudah menyerap informasi
melalui indera pendengaran.Tipe kinestetis, yaitu lebih mudah menyerap informasi melalui
indera perabaan/gerakan.Guru hendaknya tidak monoton dalam mengajar sehingga hanya akan
menguntungkan anak yang memiliki tipe belajar tertentu saja.
E. Hambatan Dan Tantangan Pendidikan Matematika Inklusif
Pelaksanaan pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus masih menghadapi
banyak kendala, baik dari sisi kebijakan maupun penerimaan masyarakat. Padahal, setiap
individu berhak memperoleh pendidikan sesuai dengan kebutuhannya.
Kurikulum pendidikan nasional yang diterapkan saat ini ternyata sangat menyulitkan anak-
anak yang berkebutuhan khusus (ABK), seperti yang terjadi di sekolah-sekolah inklusi.
Kebutuhan sekolah inklusi ini bukan kurikulum yang berfokus bagaimana mengarahkan siswa
agar sesuai harapan standar kurikulum yang berangkat dari sekedar bagaimana mengatasi
keterbatasan siswa, tetapi berangkat dari penghargaan, optimisme dan potensi positif anak
yang berkebutuhan khusus.
Tetapi kenyataan yang ada sekarang, kurikulum pendidikan nasional masih kaku, arogan
dan tidak mau mengalah. Bahkan terhadap siswa yang termasuk ABK, dimana siswanyalah
yang harus mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri
dengan potensi siswa. Kondisi tersebut sangat menyulitkan anak-anak berkebutuhan khusus
yang berada dalam kelas inklusi.
Selain kurikulum yang menjadi hambatan bagi pengembangan sekolah inklusi adalah,
banyak guru yang masih belum memahami program inklusi. Kalaupun ada yang paham,
keterampilan untuk menjalankan sekolah inklusi, itupun masih jauh dari harapan. Bahkan
ketersediaan guru pendamping khusus juga belum mencukupi. Salah satu program, mendesak

12
yang harus dikuasai guru dalam program sekolah inklusi tersebut adalah menambah
pengetahuan dan ketrampilan deteksi dini gangguan dan potensi pada anak. Pendidikan
inklusi berarti juga harus melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan,
karena keberhasilan pendidikan inklusi tersebut sangat bergantung pada partisipasi aktif orang
tua bagi pendidikan anaknya.
Seiring semakin berkembangnya implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, reformasi
menuju pendidikan matematika inklusif merupakan keniscayaan. Pembelajaran matematika
inklusif menjadi tantangan baru bagi pendidikan matematika ke depan. Pendidikan
matematika inklusif memerlukan perubahan filosofi, sistem, dan praktek pendidikan. Tanpa
perubahan tersebut, pendidikan matematika inklusif sampai kapan tidak akan dapat terwujud.
Tahap awal paling kritis keberhasilan pendidikan matematika inklusif adalah persepsi
terhadap pendidikan inklusif itu sendiri. Ketika awal diperkenalkan, ide inklusif menghadapi
skeptisme dan penolakan karena:
1. pendidikan inklusif dianggap hanya istilah lain pendidikan integrasi;
2. kebijakan tidak memungkinkan pemberlakuan pendidikan inklusif; serta
3. peralihan dari sekolah khusus terlalu sulit (Ichrom, 2008).
Skeptisme dan penolakan ini merupakan tantangan terbesar menuju pendidikan yang
menerima prinsip-prinsip inklusifitas, termasuk pada pendidikan matematika. Pergulatan dan
pertentangan pemikiran tentang pendidikan inklusif tersebut harus dilewati sebagai pintu awal
reformasi menuju pendidikan matematika inklusif. Tanpa kesadaran dan penerimaan bahwa
konsep inklusifitas sebagai sesuatu yang positif, pendidikan matematika inklusif sulit
diwujudkan.
Pendidikan matematika inklusif memerlukan perubahan paradigma kebijakan pendidikan.
Kebijakan yang lebih mengedepankan penyeragaman daripada penyesuaian dengan
kebutuhan dan kemampuan peserta didik berdampak pada sulitnya mewujudkan pendidikan
matematika inklusif. Prinsip dasar inklusif adalah menghargai perbedaan dalam diri setiap
anak, bukan penyeragaman. Dengan demikian, pendidikan matematika inklusif hanya akan
terwujud jika didukung kebijakan pendidikan yang berwawasan keberagaman. Inklusifitas
dalam pendidikan matematika bergantung sejauh mana kebijakan pendidikan memberi ruang
pada terakomodasinya perbedaan.

13
Pendidikan matematika inklusif mensyaratkan reorientasi pendidikan. Orientasi
pembelajaran harus lebih diperluas sesuai dengan keberagaman siswa. Pendidikan yang
dominan berorientasi akademik berakibat pada anggapan bahwa nilai yang rendah berarti
siswa telah gagal belajar. Keterjebakan pada orientasi sempit ini berdampak pada pelaksanaan
pembelajaran matematika yang sempit, miskin, dan tidak bermakna. Prinsip-prinsip
inklusifitas tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dalam pendidikan matematika yang
demikian. Setiap siswa berkembang secara utuh dalam seluruh dimensi dirinya, bukan
semata-mata aspek akademik. Nilai hanya menunjukkan sebagian dari capaian, tidak
seharusnya menjadi kriteria utama dalam menafsirkan dinamika tumbuh kembang anak.

14
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan
semua anak, termasuk ABK, belajar bersama di sekolah umum dengan memperhatikan
keragaman dan kebutuhan individual. Pendidikan inklusif merupakan inovasi sistem
pendidikan yang sedang berkembang dan menuntut adaptasi pendidikan matematika.
Pendidikan matematika inklusif memerlukan perubahan filosofi, sistem, dan praktek
di sekolah. Pendidikan matematika yang selama ini belum dilaksanakan sesuai prinsip-
prinsip inklusifitas harus diubah lebih terbuka (inklusif) sehingga mampu memberikan
layanan sesuai dengan keberagaman kebutuhan belajar setiap siswa.
Pendidikan matematika inklusif adalah tantangan baru pendidikan matematika untuk
semua. Reformasi menuju pendidikan matematika inklusif memerlukan dukungan seluruh
stakeholders pendidikan matematika. Tanpa hal tesebut, setiap upaya untuk mewujudkan
pendidikan matematika inklusif akan sia-sia.
B. SARAN
Pendidikan matematika inklusif penting diupayakan untuk mendukung terwujudnya
pendidikan inklusif di Indonesia. Banyak hal telah terjadi sejak kebijakan inklusi
diluncurkan, tapi baru sedikit bagian kupu-kupu tampak indahnya, kecemerlangan
sesungguhnya masih harus ditunggu kemunculannya. Sudah saatnya kupu-kupu keluar
kepompong, memunculkan lebih banyak kupu-kupu dan terbang ke seluruh negeri.

15
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2007. Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif.
Dirjen Mandikdasmen Dirbin SLB. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan
Terpadu/Inklusi. Jakarta: DitPLB
Ichrom, M. 2006. Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif. EENET Asia Newsletters: Edisi
Simposium April 2006.
Sumber:http://www.idp-europe.org/eenet/ newsletter2_ Indonesia/page14.php, diakses Selasa, 24
Oktober 2017
Mulyadi, AWEM dan Sumaryanta. 2008. Inclusive Education: A New Hope for Diversity
Educational Development Approach. Paper di presentasikan pada the EWC/EWCA.
International Conference, Bali Indonesia, 13-15 November 2008.
Napitupulu, E.L. 2008.Arah Baru Pendidikan. Sumber: http://cetak.kompas.com/read/
xml/2008/06/09/01145917/arah.baru.pendidikan
Reynolds dan Birch. 1988. Mengenal pendidikan inklusif. http://www.ditplb.or.id/
2006/index.php?menu=profile&pro=42
Smith, D.J. 2006. Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung:Penerbit Nuansa
Supranata, dkk. 2004. Penilaian portofolio, Implementasi Kurikulum 2004. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya
Susetyawati, E., Pratini, H.S., & Sumaryanta. 2008. Inovasi Pembelajaran Matematika di SD
Inklusi dengan Siswa Slow Learner Melalui Pengembangan Model Pembelajaran Matematika
Realistik-Inklusif (MATRIKS). Laporan penelitian Universitas PGRI Yogyakarta

16

Вам также может понравиться