Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Kerajaan Selaparang muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan
Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan
ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan
Islam.
Secara selintas, urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa dirunut sebagai berikut,
dengan catatan, ini bukan satu-satunya versi yang berkembang. Pada awalnya, kerajaan yang
berdiri adalah Laeq. Diperkirakan, posisinya berada di kecamatan Sambalia, Lombok Timur.
Dalam perkembangannya, kemudian terjadi migrasi, masyarakat Laeq berpindah dan
membangun sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang.
Lokasi desa ini berdekatan dengan Gunung Rinjani. Suatu ketika, Gunung Rinjani meletus,
menghancurkan desa dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para penduduk menyebar
menyelamatkan diri ke wilayah aman. Perpindahan tersebut menandai berakhirnya Kerajaan
Pamatan.
Raja Lombok
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan
Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati
dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan
Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau
Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini
menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.
Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau
Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan
Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Kemajuan Kerajaan
Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.
Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang
pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan. Sekalipun Selaparang unggul melawan
kekuatan Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat
telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya
para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di
kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini.
Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan
Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama
dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan
melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat
mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian
barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan
Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Para Prajurit Kerajaan Lombok
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan
Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran
yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab.
Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan
situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan
persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel
menempuh strategi baru dengan mengirim Danghiang Nirartha untuk memasukkan faham baru
berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa
pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel
untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga
mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1740 setelah
ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang
merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan
raja Selaparang.
Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar
Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan
Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari
desa Labulia yang berada di Kecamatan JonggatAtas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar
Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang
Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh,
maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.Namun dalam kenyataan
sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat
ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh
keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian,
pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem.
Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal
di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.
Demikianlah, Kerajaan Selaparang muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian,
sisa-sisa peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan budaya di negeri
ini cukup semarak dan berkembang.
Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara
Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-
habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang
penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.
Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19
November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar
di antara puing-puing reruntuhan itu.
Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca,
seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno
diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya
sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan
komentar-komentarnya
Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakretagama. Krom juga
melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul
kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.
Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan Kediri pada masa
kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai
pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem,
dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan
Pejanggik.
Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di
Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan
masuknya Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam. Raja Kediri dan Raja Jenggala
adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla Negantun, cucu Anak Agung
Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-
masing raja itu, diakui, menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua
kerajaan ini.
”Dari cerita yang pernah saya dengar dari orang-orang tua, naskah ini dibawa leluhur saya dari
Kediri waktu ekspedisi ke Lombok. Di dalamnya dijelaskan teknik peperangan dan teknik
mengatur pemerintahan. Nagarakretagama dibawa ke Lombok untuk mengatur wilayah Lombok,
dengan konsep pusat pertahanannya di Cakranegara,” tutur Agung Biarsah