Вы находитесь на странице: 1из 17

Alam Semesta Paralel

Oleh: Max Tegmark

(Sumber: Exclusive Online Issue Scientific American – Extreme Physics, hal. 26-37)

Bukan sekadar sains fiksi, [eksistensi] alam semesta lain merupakan implikasi langsung
obesrvasi kosmologis

Apakah ada salinan diri Anda yang sedang membaca artikel ini? Seseorang yang bukan Anda
tapi tinggal di planet bernama Bumi, dengan pegunungan berkabut, ladang subur, dan kota-kota
terbentang, di sebuah tata surya bersama delapan planet lain? Kehidupan orang ini identik
dengan Anda dalam segala hal. Tapi barangkali dia sekarang memutuskan untuk menaruh artikel
ini tanpa menyelesaikannya, sedangkan Anda membaca terus.

Ide alter ego (diri kedua/tersembunyi) semacam itu terasa aneh dan tak masuk akal, tapi
sepertinya kita harus menerimanya, sebab didukung oleh observasi astronomis. Model
kosmologis paling sederhana dan populer hari ini memprediksi bahwa Anda mempunyai
kembaran di sebuah galaksi yang berjarak sekitar 10 sampai 1028 meter dari sini. Jarak ini begitu
besar sehingga tak terjangkau secara astronomis, tapi itu tidak membuat doppelgänger (bayangan
kembar orang hidup—penj) Anda kurang riil. Estimasi ini diperoleh dari probabilitas dasar dan
bahkan tidak mengambil fisika modern yang spekulatif, bahwa ruang berukuran tak terhingga
(atau setidaknya cukup besar) dan dipenuhi materi secara hampir seragam, sebagaimana
diindikasikan oleh observasi. Di ruang tak terhingga, peristiwa-peristiwa paling tak mungkin pun
pasti terjadi di suatu tempat. Ada planet berpenghuni lain dalam jumlah tak terhingga, bukan
cuma satu melainkan tak terhingga yang memiliki orang-orang dengan rupa, nama, dan ingatan
yang sama dengan Anda, yang memainkan setiap kemungkinan permutasi pilihan hidup Anda.

Anda barangkali takkan pernah melihat diri lain Anda itu. Jarak terjauh yang bisa Anda amati
adalah jarak yang mampu ditempuh cahaya selama 14 miliar tahun sejak perluasan big bang
dimulai. Objek tampak (visible object) terjauh kini sekitar 4 x 1026 jauhnya—sebuah jarak yang
menetapkan alam semesta teramati (observable universe) kita, juga disebut volume Hubble,
volume horizon kita, atau sederhananya alam semesta kita. Demikian pula, alam semesta-alam
semesta diri lain Anda adalah bola berukuran sama yang berpusat pada planet mereka. Alam
semesta-alam semesta tersebut adalah contoh alam semesta paralel yang paling langsung. Tiap
alam semesta merupakan bagian kecil saja dari “multiverse” besar.
Berdasarkan definisi “alam semesta” ini, seseorang mungkin menduga gagasan multiverse
berada dalam domain metafisika. Tapi garis batas antara fisika dan metafisika ditetapkan oleh
apakah sebuah teori dapat diuji secara eksperimen, bukan oleh apakah ia ganjil atau melibatkan
entitas tak teramati. Batas fisika perlahan-lahan telah meluas hingga memasukkan konsep-
konsep yang lebih abstrak lagi (dan dulu metafisikal) seperti Bumi bundar, medan elektromagnet
tak tampak, perlambatan waktu pada kecepatan tinggi, superposisi quantum, ruang melengkung,
dan black hole. Pada beberapa tahun belakangan, konsep multiverse telah bergabung ke dalam
daftar ini. Ia memiliki landasan dalam teori-teori yang teruji dengan baik seperti relativitas dan
mekanika quantum, dan ia memenuhi dua kriteria dasar sains empiris: membuat prediksi dan bisa
disalahgambarkan. Ilmuwan telah membahas sebanyak empat tipe alam semesta paralel yang
berbeda. Pertanyaan kuncinya bukan apakah multiverse eksis melainkan berapa banyak level
yang dimilikinya.

Level I: Di Luar Horizon Kosmik Kita

Alam semesta paralel diri tersembunyi Anda menyusun multiverse Level I. Ini merupakan tipe
yang paling kurang kontroversial. Kita semua mengakui eksistensi sesuatu yang tidak dapat kita
lihat tapi terlihat jika kita pindah ke titik menguntungkan lain atau cukup menunggu, seperti
orang-orang yang menunggu datangnya kapal di atas horizon. Objek-objek di luar horizon
kosmik memiliki status serupa. Alam semesta teramati tumbuh sebesar satu tahun-cahaya setiap
tahun saat cahaya dari jauh sempat menjangkau kita.

Ketakterhingaan terbentang di luar sana, menanti untuk dilihat. Anda barangkali akan mati jauh
sebelum diri tersembunyi Anda muncul dalam pandangan, tapi pada prinsipnya, dan jika
perluasan kosmik bekerjasama, keturunan Anda dapat mengamati mereka lewat teleskop yang
cukup powerful.

Multiverse Level I terdengar nyata. Bagaimana ruang bisa tidak tak terhingga? Adakah tanda di
suatu tempat yang menyatakan “Ruang Berakhir Di Sini—Awas Jurang”? Jika demikian, apa
yang terdapat di belakangnya? Nyatanya, teori gravitasi Einstein menyangsikan intuisi ini.
Ruang bisa terhingga jika memliki lengkungan cembung atau topologi tak biasa (yakni, kesaling-
terhubungan). Alam semesta spheris berbentuk donat atau kue kering akan memiliki volume
terbatas dan tak bertepi. Radiasi gelombang mikro kosmik latar memungkinkan uji sensitif
terhadap skenario demikian. [lihat “Apakah Ruang Terhingga?”, tulisan Jean-Pierre Luminet,
Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks]. Namun, sejauh ini bukti menentangnya. Model-
model [ruang] tak terhingga cocok dengan data, dan batas keras telah dikenakan pada alternatif-
alternatif.

Overview

 Salah satu dari banyak implikasi observasi kosmologis mutakhir adalah bahwa konsep
alam semesta paralel bukan metafora belaka. Ruang kelihatannya berukuran tak
terhingga. Jika demikian, maka di suatu tempat di luar sana, segala kemungkinan menjadi
riil, tak peduli seberapa improbabel pun itu. Di luar jangkauan teleskop kita terdapat
kawasan-kawasan ruang lain yang identik dengan punya kita. Kawasan-kawasan itu
merupakan tipe alam semesta paralel. Ilmuwan bahkan dapat mengkalkulasi seberapa
jauh alam semesta-alam semesta ini, secara rata-rata.
 Dan itu fisika yang lumayan solid. Saat kosmolog mempertimbangkan teori-teori yang
kurang kuat, mereka menyimpulkan bahwa alam semesta lain bisa memiliki atribut dan
hukum fisika yang sama sekali berbeda. Kehadiran alam semesta-alam semesta itu akan
menjelaskan berbagai aspek aneh alam semesta kita. Bahkan dapat menjawab pertanyaan
fundamental mengenai sifat waktu dan komprehensibilitas dunia fisik.

Kemungkinan lain adalah bahwa ruang itu tak terhingga tapi materi terkurung di kawasan
terhingga di sekeliling kita—secara historis, populer sebagai model “pulau alam semesta”.
Dalam sebuah varian model ini, materi menipis pada skala besar dalam pola fraktal. Dalam
kedua kasus, hampir semua alam semesta di multiverse Level I akan hampa dan mati. Tapi
observasi mutakhir terhadap distribusi tiga-dimensi galaksi dan gelombang mikro latar telah
menunjukkan bahwa susunan materi menghasilkan keseragaman pada skala besar, tanpa
struktur-struktur koheren [pada jarak] lebih dari sekitar 1024 meter. Dengan asumsi bahwa pola
ini membentang terus, ruang di luar alam semesta teramati kita dipenuhi dengan galaksi, bintang,
dan planet.

Pengamat yang tinggal di alam semesta paralel Level I mengalami hukum fisika yang sama
dengan kita tapi kondisi awalnya berbeda. Menurut teori-teori mutakhir, proses di awal big bang
menyebarkan materi ke sekeliling dengan derajat keacakan, menghasilkan semua kemungkinan
susunan dengan probabilitas non-nol.

Kosmolog berasumsi bahwa alam semesta kita, dengan distribusi materi yang hampir seragam
dan fluktuasi densitas awal sebesar satu bagian dalam 100.000, adalah alam semesta yang
lumayan tipikal (setidaknya di antara alam semesta-alam semesta yang mengandung pengamat).
Asumsi tersebut mendasari estimasi bahwa salinan identik terdekat Anda berjarak 10 sampai 1028
meter. Sekitar jarak 10 sampai 1092 meter semestinya terdapat bola beradius 100 tahun-cahaya
yang identik dengan bola yang berpusat di sini, sehingga semua persepsi yang kita punya selama
seabad ke depan akan identik dengan persepsi rekan tandingan kita di sana. Sekitar jarak 10
sampai 10118 meter semestinya terdapat volume Hubble yang identik dengan volume Hubble
kita.

Estimasi-estimasi ini sangat konservatif, diperoleh dengan cukup menghitung semua


kemungkinan status quantum yang bisa dimiliki volume Hubble jika ia tidak lebih panas dari 108
kelvin. Satu cara untuk melakukan kalkulasi tersebut adalah mencaritahu seberapa banyak proton
yang dapat dimasukkan ke dalam volume Hubble pada temperatur tersebut. Jawabannya adalah
10118 proton. Nyatanya, masing-masing partikel tersebut mungkin ya atau mungkin tidak hadir,
yang menyusun 2 sampai 10118 kemungkinan susunan proton. Sebuah kotak yang mengandung
volume Hubble sebanyak itu menggunakan segala kemungkinan. Jika Anda membulatkan
bilangan, kotak semacam itu berdiameter sekitar 10 sampai 10118 meter. Di luar kotak tersebut,
alam semesta-alam semesta—termasuk alam semesta kita—harus mengulangi diri. Bilangan
yang kurang-lebih sama dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi termodinamika atau
gravitasi quantum terhadap total kandungan informasi alam semesta.
Doppelgänger terdekat Anda kemungkinan besar jauh lebih dekat daripada yang diindikasikan
oleh bilangan ini, berdasarkan proses pembentukan planet dan evolusi biologis yang berpihak
kepada Anda. Astronom menduga bahwa volume Hubble kita memiliki sekurangnya 1020 planet
layak huni; beberapa mungkin mirip dengan Bumi.

Kerangka multiverse Level I rutin digunakan untuk mengevaluasi teori-teori dalam kosmologi
modern, walaupun prosedur ini jarang diuraikan secara eksplisit. Contoh, pertimbangkan
bagaimana kosmolog menggunakan gelombang mikro latar untuk mengesampingkan geometri
spheris terhingga. Titik-titik dingin dan panas di peta gelombang mikro latar mempunyai ukuran
khas yang tergantung pada lengkungan ruang, dan titik-titik teramati tersebut terlihat terlalu kecil
untuk konsisten dengan bentuk spheris. Tapi penting sekali bersikap teliti secara statistik. Ukuran
rata-rata titik bervariasi secara acak mulai dari satu volume Hubble sampai lainnya, jadi mungkin
alam semesta kita sedang mengelabui kita—boleh jadi ia spheris tapi kebetulan memiliki titik-
titik kecil secara abnormal. Saat kosmolog mengatakan telah mengesampingkan model spheris
dengan keyakinan 99,9 persen, mereka sebetulnya bermaksud bahwa seandainya model ini
benar, kurang dari satu dalam 1.000 volume Hubble akan memperlihatkan titik-titik sekecil yang
kita amati.
Pelajarannya adalah bahwa teori multiverse dapat diuji dan disalahgambarkan sekalipun kita
tidak bisa melihat alam semesta-alam semesta lain itu. Kuncinya adalah memprediksi bagaimana
ansambel alam semesta paralel itu dan merinci distribusi probabilitas, atau yang matematikawan
sebut “ukuran”, pada ansambel tersebut.

Alam semesta kita semestinya muncul sebagai salah satu yang paling probabel. Jika tidak—jika,
menurut teori multiverse, kita tinggal di alam semesta improbabel—maka teori tersebut dalam
masalah. Sebagaimana akan saya bahas nanti, persoalan ukuran ini bisa sungguh menantang.

Level II: Gelembung Lain Pascainflasi

Jika multiverse Level I sulit dicerna, coba bayangkan set multiverse-multiverse Level I berlainan
yang tak terhingga, beberapa barangkali memiliki dimensionalitas ruangwaktu dan konstanta
fisik berbeda. Multiverse-multiverse lain itu—yang menyusun multiverse Level II—
diprediksikan oleh teori yang saat ini populer, chaotic eternal inflation (inflasi chaos abadi).

Teori inflasi adalah ekstensi teori big bang dan menangani keberantakan dalam teori tersebut,
seperti mengapa alam semesta begitu besar, begitu seragam, dan begitu flat. Peregangan pesat
ruang di masa lalu dapat menjelaskan semua atribut ini dan lainnya dalam satu pukulan [lihat
“The Inflationary Universe”, tulisan Alan H. Guth dan Paul J. Steinhardt, Scientific American,
Mei 1984; dan “Alam Semesta Berinflasi yang Mereproduksi Diri”, tulisan Andrei Linde].
Peregangan demikian diprediksikan oleh banyak teori partikel unsur, dan semua bukti yang
tersedia menguatkannya. Frase “chaotic eternal” merujuk pada apa yang terjadi pada skala
terbesar. Ruang secara keseluruhan meregang dan akan terus demikian selamanya, tapi beberapa
kawasan ruang berhenti meregang dan membentuk gelembung-gelembung berbeda, seperti
kantong-kantong gas dalam sehelai roti yang mengembang. Tak terhingga gelembung demikian
muncul. Masing-masing adalah embrio multiverse Level I: berukuran tak terhingga dan dipenuhi
dengan materi yang disimpan oleh medan energi yang mendorong inflasi.

Gelembung-gelembung ini lebih tak terhingga jauhnya dari Bumi, dalam arti bahwa Anda takkan
pernah sampai ke sana sekalipun Anda berjalan dengan kecepatan cahaya selamanya. Alasannya
adalah bahwa ruang di antara gelembung kita dan tetangganya mengembang lebih cepat daripada
kecepatan Anda melintasinya. Keturunan Anda takkan pernah melihat doppelgänger mereka di
tempat lain di Level II. Atas alasan yang sama, jika perluasan kosmik mencepat, sebagaimana
diindikasikan sekarang oleh observasi, mereka bahkan mungkin takkan melihat diri tersembunyi
mereka di Level I.

Multiverse Level II jauh lebih beragam daripada multiverse Level I. Gelembung-gelembung


bervariasi bukan hanya pada kondisi awal mereka tapi juga pada aspek alam yang tetap.
Pandangan yang berlaku dalam fisika hari ini adalah bahwa dimensionalitas ruangwaktu, kualitas
partikel unsur, dan banyak konstanta fisik bukan dibangun menjadi hukum fisika melainkan
merupakan hasil proses yang dikenal sebagai kerusakan kesimetrian. Contoh, teoris berpikir
bahwa ruang di alam semesta kita pernah memiliki sembilan dimensi, semuanya berada pada
pijakan yang sama. Di awal sejarah kosmik, tiga dari mereka ambil bagian dalam perluasan
kosmik dan menjadi tiga dimensi yang kita amati sekarang. Enam lainnya kini tak dapat diamati,
karena mereka tetap mikroskopis dengan topologi mirip donat atau karena semua materi
terkurung di permukaan tiga-dimensi (membran, atau sederhananya “bran”) di ruang sembilan-
dimensi.

Dengan demikian, kesimetrian awal di antara dimensi-dimensi itu rusak. Fluktuasi quantum yang
mendorong inflasi chaos dapat menyebabkan kerusakan kesimetrian berbeda pada gelembung
berlainan. Beberapa mungkin menjadi empat-dimensi, yang lainnya bisa hanya mengandung dua
(bukan tiga) generasi quark, dan yang lain lagi mungkin memiliki konstanta kosmologis lebih
kuat daripada alam semesta kita.

Cara lain untuk menghasilkan multiverse Level II mungkin melalui siklus kelahiran dan
kehancuran alam semesta-alam semesta. Dalam konteks ilmiah, ide ini diperkenalkan oleh
fisikawan Richard C. Tolman pada 1930-an dan baru-baru ini diuraikan panjang lebar oleh
fsikawan Paul J. Steinhardt dari Universitas Princeton dan Neil Turok dari Universitas
Cambridge. Proposal dan model Steinhardt dan Turok melibatkan bran tiga-dimensi kedua yang
sungguh-sungguh paralel dengan bran kita, hanya pengganti di dimensi lebih tinggi [lihat “Been
There, Done That”, tulisan George Muser, Scientific American, Maret 2002]. Alam semesta
paralel ini bukan alam semesta yang betul-betul terpisah, sebab ia berinteraksi dengan alam
semesta kita. Tapi ansambel alam semesta—masa lalu, masa kini, dan masa depan—yang
diciptakan bran-bran ini akan membentuk multiverse, dengan keragaman yang mirip dengan
yang dihasilkan oleh inflasi chaos. Sebuah ide yang diajukan oleh fisikawan Lee Smolin dari
Perimeter Institute di Waterloo, Ontario, melibatkan multiverse lain lagi yang keragamannya
sebanding dengan Level II tapi bermutasi dan menunaskan alam semesta-alam semesta baru
lewat black hole ketimbang lewat fisika bran.
Walaupun kita tak bisa berinteraksi dengan alam semesta paralel Level II lain, kosmolog dapat
menyimpulkan kehadiran mereka secara tak langsung, sebab eksistensi mereka dapat
menerangkan kebetulan tak terjelaskan di alam semesta kita. Sebagai analogi, asumsikan Anda
mendaftar masuk hotel, kamar yang diberikan adalah nomor 1967 dan ini merupakan tahun
kelahiran Anda. Betapa kebetulan, Anda bilang. Namun, setelah sejenak merenung, Anda
menyimpulkan bahwa bagaimanapun ini tidak begitu mengejutkan. Hotel tersebut punya ratusan
kamar, dan Anda tidak akan memiliki pemikiran seperti ini jika Anda diberi kamar dengan
nomor yang tak berarti bagi Anda. Pelajarannya adalah bahwa sekalipun Anda tak tahu apa-apa
tentang hotel, Anda dapat menyimpulkan eksistensi kamar hotel lain untuk mejelaskan kebetulan
tersebut.

Sebagai contoh yang lebih relevan, pikirkan massa matahari. Massa sebuah bintang menentukan
keberkilauannya, dan dengan menggunakan fisika dasar, seseorang dapat memperhitungkan
bahwa kehidupan yang kita kenal di Bumi hanya dimungkinkan jika massa matahari berada di
kisaran antara 1,6 x 1030 sampai 2,4 x 1030 kilogram. Kalau tidak, iklim Bumi akan lebih dingin
dari Mars sekarang atau lebih panas dari Venus sekarang. Massa surya yang terukur adalah 2,0 x
1030 kilogram. Sekilas, kebetulan nyata dalam hal harga massa teramati dan layak huni ini
terlihat seperti kemujuran liar belaka. Massa bintang berkisar dari 1029 sampai 1032 kilogram,
jadi jika matahari memperoleh massanya secara sembarang, ia hanya punya peluang kecil untuk
jatuh ke dalam kisaran layak huni. Tapi sebagaimana dalam contoh hotel, seseorang dapat
menjelaskan kebetulan nyata ini dengan mempostulatkan ansambel (dalam kasus ini, sejumlah
sistem planet) dan efek seleksi (fakta bahwa kita harus mendapati diri kita tinggal di planet layak
huni). Efek seleksi yang terkait dengan pengamat ini disebut sebagai “antropik”, dan walaupun
“kata A” terkenal memicu kontroversi, fisikawan umumnya sependapat bahwa efek seleksi ini
tidak dapat diabaikan saat menguji teori-teori fundamental.

Yang berlaku pada kamar hotel dan sistem planet berlaku pula pada alam semesta paralel.
Sebagian besar, jika tidak semua, atribut yang diset oleh kerusakan kesimetrian terlihat disetel
halus (fine-tuning).

Pengubahan harga mereka sebesar sedang akan menghasilkan alam semesta yang berbeda secara
kualitatif—alam semesta di mana kita mungkin takkan eksis. Seandainya proton 0,2 persen lebih
berat, ia tak dapat membusuk menjadi neutron, mendestabilkan atom. Seandainya gaya
elektromagnet 4 persen lebih lemah, tak akan ada hidrogen dan bintang normal. Seandainya
interaksi lemah jauh lebih lemah, hidrogen takkan eksis, seandainya jauh lebih kuat, supernova
akan gagal menyemai ruang antarbintang dengan unsur-unsur berat. Seandainya konstanta
kosmologis jauh lebih besar, alam semesta akan meniup dirinya hingga berpisahan sebelum
galaksi-galaksi dapat terbentuk.

Walaupun derajat fine-tuning masih diperdebatkan, contoh-contoh ini mengindikasikan


eksistensi alam semesta paralel dengan harga konstanta fisik yang lain [lihat “Mengeksplorasi
Alam Semesta Kita dan Alam Semesta Lain”, tulisan Martin Rees, Scientific American,
Desember 1999]. Teori multiverse Level II memprediksi bahwa fisikawan takkan pernah mampu
menetapkan harga konstanta-konstanta ini dari prinsip pertama. Mereka hanya akan
mengkomputasi distribusi probabilitas atas apa yang mereka harap temukan, memperhitungkan
efek seleksi. Hasilnya semestinya generik dan konsisten dengan eksistensi kita.

Level III: Many Worlds Quantum

Multiverse Level I dan Level II melibatkan dunia-dunia paralel yang jauh sekali, bahkan di luar
domain astronom. Tapi level multiverse berikutnya persis di sekitar Anda. Ia timbul dari
interpretasi many worlds mekanika quantum yang terkenal dan kontroversial—ide bahwa proses
quantum acak menyebabkan alam semesta mencabang menjadi berkali-lipat salinan, satu untuk
setiap kemungkinan hasil.

Pada awal abad 20, teori mekanika quantum merevolusi fisika dengan menjelaskan alam atom,
yang tidak mematuhi aturan klasik mekanika Newtonian. Meski teori tersebut mendapat
keberhasilan nyata, berkecamuk debat panas mengenai makna sebenarnya. Teori itu merinci
status alam semesta bukan dari segi klasik, seperti posisi dan kecepatan semua partikel,
melainkan dari segi objek matematis yang disebut fungsi gelombang.

Menurut persamaan Schrödinger, status ini berevolusi seiring waktu dengan cara yang
matematikawan istilahkan sebagai “uniter”, artinya fungsi gelombang berotasi di ruang abstrak
berdimensi tak terhingga yang disebut ruang Hilbert. Walaupun mekanika quantum sering
digambarkan sebagai acak dan tak pasti, fungsi gelombang berevolusi secara deterministis. Tak
ada yang acak atau tak pasti tentangnya.

Bagian sulitnya adalah bagaimana menghubungkan fungsi gelombang ini dengan apa yang kita
amati. Banyak fungsi gelombang logis dapat disamakan dengan situasi kontraintuitif, misalnya
kucing yang mati dan hidup pada waktu bersamaan dalam superposisi. Pada 1920-an, fisikawan
menghilangkan keganjilan ini dengan mempostulatkan bahwa fungsi gelombang “kolaps”
menjadi suatu hasil klasik definitif setiap kali seseorang melakukan pengamatan. [Postulat]
tambahan ini mengandung kebaikan yaitu menjelaskan pengamatan, tapi mengubah teori uniter
elegan menjadi teori nonuniter janggal. Keacakan intrinsik yang biasa diatributkan pada
mekainika quantum adalah hasil postulat ini.

Selama bertahun-tahun banyak fisikawan membuang pandangan ini karena lebih menyukai teori
yang dikembangkan pada 1957 oleh mahasiswa sarjana Princeton, Hugh Everett III. Dia
menunjukkan bahwa postulat kekolapsan tidaklah diperlukan. Teori quantum murni tidak,
nyatanya, menimbulkan kontradiksi apapun. Walaupun [teori Hugh] memprediksi bahwa satu
realitas klasik perlahan-lahan membelah menjadi superposisi banyak realitas demikian, pengamat
secara subjektif mengalami pembelahan ini sekadar sebagai keacakan tipis, dengan probabilitas
yang persis cocok dengan probabilitas dari postulat kekolapsan. Superposisi dunia-dunia klasik
ini merupakan multiverse Level III.

Interpretasi many worlds Everett telah mengejutkan pikiran di dalam dan di luar kalangan fisika
selama lebih dari empat dekade. Tapi teori tersebut menjadi lebih mudah dimengerti manakala
seseorang membedakan di antara dua cara memandang teori fisika: pandangan luar seorang
fisikawan yang mempelajari persamaan matematisnya, seperti burung yang mensurvey
pemandangan dari atas, dan pandangan dalam seorang pengamat yang hidup di dunia yang
digambarkan oleh persamaan itu, seperti katak yang tinggal di pemandangan yang disurvey oleh
burung tadi.

Dari perspektif burung, multiverse Level III adalah sederhana. Hanya ada satu fungsi
gelombang. Ia berevolusi secara halus dan deterministis seiring waktu tanpa pembelahan atau
paralelisme apapun. Dunia quantum abstrak yang digambarkan oleh fungsi gelombang
berevolusi ini mengandung garis-garis kisah klasik paralel yang banyak sekali, terus-menerus
membelah dan bergabung, serta sejumlah fenomena quantum yang tak memiliki deskripsi klasik.
Dari perspektif katak, pengamat hanya melihat sebagian kecil realitas utuh ini. Mereka dapat
memandang alam semesta Level I mereka, tapi sebuah proses yang disebut dekoherensi—yang
menyerupai kekolapsan fungsi gelombang sambil mempertahankan keuniteran—mencegah
mereka melihat salinan diri paralel Level III.

Setiap kali pengamat diajukan pertanyaan, membuat keputusan tergesa-gesa, dan memberikan
jawaban, efek-efek quantum di otak mereka melahirkan superposisi hasil-hasil, seperti “Terus
membaca artikel” dan “Taruh artikel”. Dari perspektif burung, tindakan pengambilan keputusan
menyebabkan seseorang membelah menjadi berkali-lipat salinan: seseorang yang terus membaca
dan seseorang yang tidak melanjutkan membaca. Namun dari perspektif katak, tiap-tiap diri
tersembunyi ini tidak menyadari yang lainnya dan melihat pencabangan itu sekadar sebagai
keacakan tipis: probabilitas pasti untuk terus membaca atau tidak.
Meski ini terdengar aneh, situasi yang persis sama bahkan terdapat pada multivers Level I. Anda
jelas telah memutuskan untuk terus membaca artikel ini, tapi salah satu diri tersembunyi Anda di
sebuah galaksi jauh menaruh majalah ini setelah paragraf pertama. Satu-satunya perbedaan
antara Level I dan Level III adalah letak doppelgänger-doppelgänger Anda bertempat tinggal. Di
Level I, mereka tinggal di tempat lain di ruang tiga-dimensi lama. Di Level III, mereka tinggal di
cabang quantum lain di ruang Hilbert berdimensi tak terhingga.

Eksistensi Level III tergantung pada satu asumsi krusial: evolusi waktu panjang gelombang
adalah uniter. Sejauh ini para pelaksana eksperimen belum menjumpai penyimpangan dari
kenuiteran. Dalam beberapa dekade belakangan, mereka telah mengkonfirmasikan keuniteran
untuk sistem-sistem yang lebih besar lagi, meliputi molekul buckyball karbon 60 dan serat optik
sepanjang satu kilometer. Di sisi teoritis, kasus keuniteran telah didukung oleh penemuan
dekoherensi [lihat “100 Tahun Misteri Quantum”, tulisan Max Tegmark dan John Archibald
Wheeler]. Beberapa teoris yang mengerjakan gravitasi quantum menyangsikan keuniteran;
perhatiannya adalah bahwa black hole yang menguap mungkin menghancurkan informasi, yang
merupakan proses nonuniter. Tapi terobosan mutakhir dalam teori string yang dikenal sebagai
korespondensi Ads/CFT mengindikasikan bahwa gravitasi quantum pun uniter. Jika demikian,
black hole tidak menghancurkan informasi melainkan sekadar mentransmisikannya ke tempat
lain. [Catatan editor: artikel mendatang akan membahas korespondensi ini secara lebih detail].

Jika fisika adalah uniter, maka gambaran standar tentang bagaimana fluktuasi beroperasi di awal
big bang harus berubah. Fluktuasi-fluktuasi ini tidak menghasilkan kondisi awal secara acak.
Justru mereka menghasilkan superposisi quantum semua kemungkinan kondisi awal, yang
berkoeksis secara serentak. Dekoherensi kemudian menyebabkan kondisi-kondisi awal ini
berperilaku secara klasik di cabang-cabang quantum terpisah. Berikut adalah poin krusialnya:
distribusi hasil-hasil di cabang-cabang quantum berlainan di volume Hubble tertentu (Level III)
adalah identik dengan distribusi hasil-hasil di volume-volume Hubble berlainan di sebuah
cabang quantum (Level I). Atribut fluktuasi quantum ini dikenal dalam mekanika statistik
sebagai ergodisitas.
Argumentasi yang sama berlaku pada Level II. Proses kerusakan kesimetrian tidak menghasilkan
sebuah hasil unik melainkan superposisi semua hasil, yang secara cepat menempuh jalan mereka
masing-masing. Jadi jika konstanta fisik, dimensionalitas ruangwaktu, dan sebagainya dapat
bervariasi di antara cabang-cabang quantum paralel di Level III, maka mereka juga akan
bervariasi di antara alam semesta-alam semesta paralel di Level II.

Dengan kata lain, multiverse Level III tidak menambahkan yang baru di luar Level I dan Level
II, cuma salinan alam semesta yang sama yang lebih tak dapat dibedakan—garis kisah yang
sama yang bermain lagi dan lagi di cabang-cabang quantum lain. Karenanya, perdebatan sengit
mengenai teori Everett rasanya berakhir dalam antiklimaks besar, dengan penemuan multiverse
kurang kontroversial (Level I dan II) yang sama-sama besar.

Tak perlu dikatakan, implikasinya mendalam, dan fisikawan baru mulai mengeksplorasinya.
Contoh, pikirkan percabangan jawaban pada pertanyaan lama: Apakah jumlah alam semesta
bertambah secara eksponensial seiring waktu? Jawaban mengejutkannya adalah tidak. Dari
perspektif burung, tentu saja hanya ada satu alam semesta quantum. Dari perspektif katak, yang
menjadi soal adalah jumlah alam semesta yang dapat dibedakan pada jenak tertentu—yakni,
jumlah volume-volume Hubble yang berlainan. Bayangkan memindahkan planet-planet ke lokasi
sembarang yang baru, bayangkan menikahi seseorang yang lain, dan sebagainya. Pada level
quantum, terdapat 10 sampai 10118 alam semesta bertemperatur di bawah 108 kelvin. Itu jumlah
yang besar, tapi terhingga.

Dari perspektif katak, evolusi fungsi gelombang dapat disamakan dengan pergelinciran tanpa
akhir dari salah satu (dari 10 sampai 10118 status) status ini ke status lainnya. Kini Anda berada di
alam semesta A, alam semesta di mana Anda sedang membaca kalimat ini. Kini Anda berada di
alam semesta B, alam semesta di mana Anda sedang membaca salinan kalimat ini. Dengan kata
lain, alam semesta B memiliki pengamat yang identik dengan pengamat di alam semesta A,
kecuali dengan jenak ingatan tambahan. Semua kemungkinan status eksis di setiap jenak, jadi
aliran waktu mungkin berada dalam pandangan pelihat—sebuah ide yang digali dalam novel
sains-fiksi tahun 1994 karya Greg Egan berjudul Permutation City dan dikembangkan oleh
fisikawan David Deutsch dari Universitas Oxford, fisikawan independen Julian Barbour, dan
yang lainnya. Dengan demikian kerangka multiverse mungkin terbukti esensial untuk memahami
sifat waktu.

MISTERI PROBABILITAS: APA KEMUNGKINANNYA?


Begitu teori-teori multiverse memperoleh kepercayaan, isu melekat tentang bagaimana caranya
mengkomputasi probabilitas dalam fisika tumbuh dari gangguan kecil menjadi hal besar yang
memalukan. Jika memang ada banyak salinan identik Anda, gagasan tradisional determinisme
menguap. Anda tidak bisa mengkomputasi masa depan Anda sendiri sekalipun Anda memiliki
pengetahuan lengkap mengenai keseluruhan status multiverse, sebab tidak ada cara bagi Anda
untuk menentukan mana dari salinan-salinan ini yang merupakan diri Anda (mereka semua
merasa sebagai diri). Karenanya yang bisa Anda prediksikan hanyalah probabilitas untuk apa
yang Anda amati. Jika sebuah hasil memiliki probabilitas, katakanlah, 50 persen, artinya
separuh dari pengamat-pengamat itu mengamati hasil tersebut.
Sayangnya, bukanlah tugas mudah untuk mengkomputasi seberapa sedikit dari pengamat
berjumlah tak terhingga itu melihat sesuatu. Jawabannya tergantung pada urutan Anda
menghitung mereka. Analoginya, sebagian kecil bilangan bulat yang genap adalah 50 persen
jika Anda mengurut mereka secara numeris (1,2,3,4,…) tapi mendekati 100 persen jika Anda
menyortir mereka digit per digit, mirip dengan word processor/software pengolah kata (1, 10,
100, 1000,…) Ketika pengamat-pengamat bertempat di alam semesta-alam semesta terputus,
jelas tak ada cara alami untuk mengurut mereka. Malah, seseorang harus mengambil sampel
dari alam semesta-alam semesta berbeda dengan suatu bobot statistik yang disebut oleh
matematikawan sebagai “ukuran”.
Persoalan ini muncul secara ringan dan dapat diatasi di Level I, menjadi parah di Level II, telah
menimbulkan banyak perdebatan di Level III, dan menghebohkan di Level IV. Di Level II,
misalnya, Alexander Vilenkin dari Universitas Tufts dan yang lainnya telah mempublikasikan
prediksi-prediksi untuk distribusi probabilitas berbagai parameter kosmologis. Mereka
berargumen bahwa alam semesta paralel berlainan yang telah berinflasi dengan besaran
berbeda mesti diberi bobot statistik yang proporsional dengan volumenya. Di sisi lain,
matematikawan manapun akan memberitahu Anda bahwa 2 x ∞ = ∞, jadi tak ada pengertian
objektif di mana sebuah alam semesta tak terhingga yang sudah mengembang sebesar faktor dua
telah membesar. Lagipula, sebuah alam semesta terhingga bertopologi torus adalah ekuivalen
dengan alam semesta periodik sempurna bervolume tak terhingga, yang pertama dari perspektif
matematis burung dan yang kedua dari perspektif pengamat ala katak yang berada di dalamnya.
Jadi mengapa volume kecil tak terhingga mesti memberinya bobot statistik nol? Bagaimanapun
juga, di multiverse Level I pun, volume-volume Hubble mulai mengulangi diri (walaupun dalam
urutan acak, bukan periodik) setelah sekitar 10 sampai 10118 meter.
Jika Anda pikir itu buruk, pertimbangkan persoalan pengatributan bobot statistik pada struktur-
struktur matematis berlainan di Level IV. Fakta bahwa alam semesta kita relatif sederhana telah
menuntun banyak orang untuk menyatakan bahwa ukuran tepat melibatkan kompleksitas.

Level IV: Struktur Matematis Lain

Kondisi awal dan konstanta fisik di multiverse-multiverse Level I, Level II, dan Level III bisa
bervariasi, tapi hukum fundamental yang mengatur alam tetap sama. Mengapa berhenti di situ?
Mengapa tidak mengizinkan hukum itu sendiri bervariasi? Bagaimana dengan alam semesta
yang mematuhi hukum fisika klasik, tanpa efek quantum? Bagaimana dengan waktu yang
tersusun dari langkah-langkah diskret, sebagaimana pada komputer, bukannya continuous?
Bagaimana dengan alam semesta yang berupa dodekahedron hampa? Di multiverse level IV,
semua realitas alternatif ini sungguh-sungguh eksis.

Petunjuk bahwa multiverse semacam itu bukan sekadar suatu spekulasi adalah korespondensi
ketat antara dunia argumentasi abstrak dan dunia realitas teramati. Persamaan-persamaan dan,
lebih umumnya, struktur-struktur matematis seperti bilangan, vektor, dan objek geometris
menggambarkan dunia dengan kemungkinan benar yang luar biasa. Dalam kulisah terkenal tahun
1959, fisikawan Eugene P. Wigner berargumen bahwa “manfaat hebat matematika dalam ilmu
alam adalah sesuatu yang berbatasan dengan misteri.” Sebaliknya, struktur-struktur matematis
memiliki rasa riil terhadap misteri. Mereka memenuhi kriteria sentral eksistensi objektif: mereka
tetap sama tak peduli siapa yang mempelajarinya. Sebuah teorema adalah benar tanpa
menghiraukan apakah ia dibuktikan oleh manusia, komputer, atau lumba-lumba cerdas.
Peradaban alien kontemplatif akan menemukan struktur matematis yang sama dengan punya
kita. Karena itu, para matematikawan umumnya mengatakan bahwa dirinya menemukan struktur
matematis bukan menciptakannya.

Ada dua paradigma yang dapat dipertahankan tapi bertentangan secara diametris untuk
memahami korespondensi antara matematika dan fisika, sebuah dikotomi yang berawal dari
Plato dan Aristoteles. Menurut paradigma Aristotelian, realitas fisik adalah fundamental dan
bahasa matematis adalah sekadar penaksiran bermanfaat. Menurut paradigma Platonis, struktur
matematis adalah realitas sejati dan pengamat melihatnya secara tak sempurna. Dengan kata lain,
kedua paradigma ini tak sependapat pada hal yang lebih dasar, perspektif pengamat ala katak
atau perspektif hukum fisika ala burung. Paradigma Aristotelian lebih menyukai perspektif
katak, sedangkan paradigma Platonis lebih menyukai perspektif burung.

Saat kanak-kanak, jauh sebelum kita mendengar matematika, kita semua diindoktrinasi dengan
paradigma Aristotelian. Pandangan Platonis adalah kebiasaan yang diperoleh kemudian.
Fisikawan teoritis modern cenderung Platonis, menduga bahwa matematika menggambarkan
alam semesta dengan begitu baik karena alam semesta bersifat matematis. Maka seluruh fisika
pada akhirnya merupakan persoalan matematika: seorang matematikawan berkecerdasan dan
bersumber daya tak terbatas pada prinsipnya dapat mengkomputasi perspektif katak—yakni,
mengkomputasi pengamat sadar-diri bagaimana yang dikandung alam semesta, apa yang mereka
lihat, dan bahasa apa yang mereka ciptakan untuk menggambarkan persepsi mereka kepada satu
sama lain.

Struktur matematis adalah entitas abstrak tetap yang eksis di luar ruang dan waktu. Seandainya
sejarah adalah sebuah film, struktur tersebut dapat disamakan dengan keseluruhan rekaman,
bukan dengan satu frame saja.
Pikirkan, contohnya, sebuah dunia yang tersusun dari partikel mirip titik yang bergerak-gerak di
ruang tiga-dimensi. Di ruangwaktu empat-dimensi—perspektif burung—trayektori partikel ini
menyerupai kekusutan spageti. Jika katak melihat partikel bergerak dengan kecepatan konstan,
burung melihat seuntai lurus spageti mentah. Jika katak melihat sepasang partikel yang
mengorbit, burung melihat dua untai spageti yang berjalin seperti heliks ganda. Bagi katak, dunia
digambarkan oleh hukum gerak dan gravitasi Newton—sebuah struktur matematis. Katak itu
sendiri adalah segumpal pasta kental belaka, yang perjalinan kompleksnya dapat disamakan
dengan segugus partikel yang menyimpan dan memproses informasi. Alam semesta kita jauh
lebih rumit daripada contoh ini, dan ilmuwan belum tahu ia dapat disamakan dengan struktur
matematis apa, jika ada.

Paradigma Platonis menimbulkan pertanyaan tentang mengapa alam semesta begini adanya.
Bagi seorang Aristotelian, ini merupakan pertanyaan tak berarti: alam semesta beginilah adanya.
Tapi seorang Platonis mau tak mau harus bertanya-tanya mengapa alam semesta tidak
[berkondisi] lain. Jika alam semesta bersifat matematis, maka mengapa hanya satu yang terpilih
dari sekian banyak struktur matematis untuk menggambarkan alam semesta? Keasimetrian
fundamental kelihatannya terpasang di dalam jantung realitas.

Sebagai jalan keluar dari teka-teki ini, saya telah menyatakan bahwa kesimetrian matematis
lengkap berpandangan bahwa: semua struktur matematis eksis secara fisik juga. Setap strktur
matematis dapat disamakan dengan alam semesta paralel. Elemen-elemen multiverse ini tidak
bertempat di ruang yang sama tapi eksis di luar ruang dan waktu. Sebagian besar mereka
barangkali sama sekali tanpa pengamat. Hipotesis ini bisa dipandang sebagai sebentuk
Platonisme radikal, menegaskan bahwa struktur-struktur matematis dalam alam ide Plato atau
“mindscape” matematikawan Rudy Rucker dari San Jose State University eksis dalam pergertian
fisik. Ini sama dengan apa yang disebut oleh kosmolog John D. Barrow (Universitas Cambridge)
sebagai “π di langit”, apa yang disebut oleh filsuf Robert Nozick (Universitas Harvard) sebagai
principle of fecundity (prinsip kesuburan), dan apa yang disebut oleh filsuf David K. Lewis
(Princeton) sebagai modal realism. Level IV menutup hirarki multiverse, sebab teori fisika
fundamental yang konsisten manapun dapat diutarakan sebagai suatu jenis struktur matematis.

Hipotesis multiverse Level IV membuat prediksi yang dapat diuji. Sebagaimana dengan Level II,
ia melibatkan sebuah ansambel (dalam kasus ini, barisan lengkap struktur matematis) dan efek
seleksi. Begitu matematikawan melanjutkan untuk mengkategorikan struktur-struktur matematis,
mereka semestinya menemukan bahwa struktur yang menggambarkan dunia kita adalah struktur
paling generik yang konsisten dengan observasi kita. Demikian pula, observasi kita di masa
depan semestinya merupakan observasi paling generik yang konsisten dengan observasi kita di
masa lalu, dan observasi kita di masa lalu semestinya merupakan observasi paling generik yang
konsisten dengan eksistensi kita.

Mengukur arti “generik” adalah persoalan berat, dan penyelidikan ini baru dimulai. Tapi satu
fitur struktur matematis yang mengejutkan dan membesarkan hati adalah bahwa atribut
kesimetrian dan invariansi yang bertanggung jawab atas kesederhanaan dan keteraturan alam
semesta kita cenderung generik, lebih banyak aturan daripada pengecualian. Struktur matematis
cenderung memilikinya secara default, dan aksioma rumit tambahan harus ditambahkan untuk
membuatnya hilang.

Mana yang Berbunyi Occam

(Occam’s razor: prinsip bahwa kita mesti condong kepada teori yang lebih sederhana sampai
kita memperoleh penjelasan berbobot bukti lebih baik.)
Teori-teori ilmiah alam semesta paralel, karenanya, membentuk hirarki empat level, di mana
alam semesta-alam semesta menjadi semakin berbeda dari alam semesta kita. Mereka mungkin
memiliki kondisi awal berbeda (Level I); konstanta fisik dan partikel berbeda (Level II); atau
hukum fisika berbeda (Level IV).

Ironisnya, Level III adalah level yang paling mendapat dukungan dalam dekade-dekade
belakangan, sebab merupakan satu-satunya yang tidak menambahkan tipe-tipe alam semesta
yang baru secara kualitatif.

Dalam dekade mendatang, pengukuran kosmologis yang meningkat drastis terhadap gelombang
mikro latar dan distribusi materi skala besar akan mendukung atau membantah Level I dengan
lebih jauh menekankan lengkungan dan topologi ruang. Pengukuran-pengukuran ini juga akan
menyelidiki Level II dengan menguji teori chaotic eternal inflation. Kemajuan dalam astrofisika
dan fisika high-energy semestinya juga mengklarifikasi tingkat fine-tuning konstanta fisik,
dengan demikian memperlemah atau memperkuat dukungan untuk Level II.

Jika upaya saat ini untuk membangun komputer quantum berhasil, perangkat tersebut akan
menyediakan bukti lebih jauh untuk Level II, sebab pada esensinya perangkat akan
mengeksploitasi paralelisme multiverse Level III untuk komputasi paralel. Para pelaksana
eksperimen juga sedang mencari bukti pelanggaran keuniteran, yang akan menyingkirkan Level
III. Terakhir, keberhasilan atau kegagalan dalam tantangan besar fisika modern—penyatuan
relativitas umum dan teori medan quantum—akan mengayun opini kepada Level IV. Kita akan
menemukan struktur matematis yang persis cocok dengan alam semesta kita, atau kita akan
menabrak batas keefektifan matematika yang keterlaluan dan harus membuang level tersebut.

Jadi haruskah Anda mempercayai alam semesta paralel? Argumen prinsipil yang menentangnya
adalah bahwa [eksistensi alam semesta paralel] itu pemborosan dan ganjil. Argumen pertama
adalah bahwa teori-teori multiverse rentan terhadap Occams razor sebab mempostulatkan
eksistensi dunia-dunia lain yang takkan pernah bisa kita amati. Mengapa alam mesti begitu boros
dan menuruti kemewahan semisal ketakterhinggaan dunia berlainan? Tapi argumen ini bisa
dibalikkan untuk mendukung multiverse. Apa persisnya yang diboroskan oleh alam? Tentu
bukan ruang, massa, atau atom—multiverse Level I yang tak kontroversial telah mengandung
ketiganya dalam jumlah tak terhingga, jadi siapa peduli bila alam memboroskan lebih banyak
lagi? Isu riil di sini adalah pengurangan nyata kesederhanaan. Seorang skeptis pasti memikirkan
semua informasi yang diperlukan untuk merinci semua dunia tak terlihat itu.

Tapi keseluruhan ansambel seringkali jauh lebih sederhana daripada salah satu anggotanya.
Prinsip ini dapat dinyatakan secara lebih formal memakai gagasan kandungan informasi
algoritmik. Kandungan informasi algoritmik dalam sebuah bilangan adalah, kurang lebih,
panjang program komputer terpendek yang akan menghasilkan bilangan tersebut sebagai output.
Contoh, pikirkan set semua bilangan bulat. Mana yang lebih sederhana, keseluruhan set atau satu
bilangan saja? Secara naif, Anda mungkin berpikir bahwa satu bilangan adalah lebih sederhana,
padahal keseluruhan set dapat dihasilkan oleh program komputer sepele, sedangkan satu
bilangan bisa amat panjang. Karenanya, keseluruhan set sesungguhnya lebih sederhana.

Demikian pula, set semua solusi persamaan medan Einstein adalah lebih sederhana daripada satu
solusi spesifik. Set semua solusi digambarkan oleh beberapa persamaan, sedangkan satu solusi
spesifik membutuhkan spesifikasi data awal yang banyak sekali mengenai suatu permukaan
hiper. Pelajarannya adalah bahwa kompleksitas meningkat saat kita membatasi perhatian kita
kepada satu elemen khusus sebuah ansambel, dengan demikian kehilangan kesimetrian dan
kesederhanaan yang inheren dalam keseluruhan semua elemen jika disatukan.

Dalam pengertian ini, multiverse level tinggi adalah lebih sederhana. Beranjak dari alam semesta
kita menuju multiverse Level I akan menyingkirkan keharusan untuk merinci kondisi awal, naik
ke Level II akan menyingkirkan keharusan untuk merinci konstanta fisik, dan naik ke multiverse
Level IV akan menyingkirkan keharusan untuk merinci segala sesuatu sama sekali. Kemewahan
kompleksitas hanya ada pada persepsi subjektif pengamat—perspektif katak. Dari perspektif
burung, multiverse selalu sederhana.

Keluhan soal keganjilan lebih bersifat estetis daripada ilmiah, dan itu sebetulnya hanya masuk
akal dalam pandangan keduniaan Aristotelian. Tapi apa yang kita harapkan? Saat kita
mengajukan pertanyaan tentang sifat realitas, bukankah kita mengharapkan jawaban yang
terdengar aneh? Evolusi menyediakan kita intuisi untuk fisika keseharian yang memiliki nilai
kelangsungan hidup bagi leluhur jauh kita, jadi kapanpun kita mengarungi melampaui dunia
keseharian kita, kita pasti mengharapnya aneh.

Fitur umum keempat level multiverse di atas adalah bahwa teori paling sederhana dan elegan
melibatkan alam semesta paralel secara default. Untuk menyangkal eksistensi alam semesta-alam
semesta itu, seseorang harus memperumit teori tersebut dengan menambahkan proses tak
berlandaskan eksperimen dan postulat khusus: ruang terhingga, kekolapsan fungsi gelombang,
dan keasimetrian ontologis. Karenanya penilaian kami jatuh pada apa yang kami dapati lebih
boros dan tak elegan: many worlds atau many words. Barangkali lambat-laun kita akan terbiasa
dengan cara ganjil kosmos kita dan mendapati keanehannya sebagai bagian pesonanya.

Penulis
Max Tegmark menulis game komputer Tetris versi empat-dimensi saat kuliah. Di alam semesta
lain, dia berlanjut menjadi pengembang software berbayaran tinggi. Namun di alam semesta kita,
dia berakhir sebagai profesor fisika dan astronomi di Universitas Pennsylvania. Tegmark adalah
pakar dalam menganalisa gelombang mikro kosmik latar dan penggugusan galaksi. Banyak
karyanya menyinggung konsep alam semesta paralel: mengevaluasi bukti ruang tak terhingga
dan inflasi kosmologis; mengembangkan pemahaman tentang dekoherensi quantum; dan
mempelajari kemungkinan bahwa amplitudo fluktuasi gelombang mikro latar, dimensionalitas
ruangwaktu, dan hukum fisika fundamental bisa bervariasi dari tempat ke tempat.

Untuk Digali Lebih Jauh


 Why Is the CMB Fluctuation Level 10–5? Max Tegmark dan Martin Rees dalam
Astrophysical Journal, Vol. 499, No. 2, hal. 526–532; 1 Juni 1998. Tersedia online di
www.arxiv.org/abs/astro-ph/9709058.
 Is “The Theory of Everything” Merely the Ultimate Ensemble Theory? Max Tegmark
dalam Annals of Physics, Vol. 270, No.1, hal. 1–51; 20 November 1998. Tersedia online
di www.arxiv.org/abs/gr-qc/9704009.
 Many Worlds in One. Jaume Garriga dan Alexander Vilenkin dalam Physical Review,
Vol. D64, No. 043511; 26 Juli 2001. Tersedia online di www.arxiv.org/abs/gr-
qc/0102010.
 Our Cosmic Habitat. Martin Rees. Princeton University Press, 2001.
 Inflation, Quantum Cosmology and the Anthropic Principle. Andrei Linde dalam Science
and Ultimate Reality: From Quantum to Cosmos. Disunting oleh J. D. Barrow, P.C.W.
Davies, dan C. L. Harper. Cambridge University Press, 2003. Tersedia online di
www.arxiv.org/abs/hep-th/0211048.
 Website penulis memuat lebih banyak informasi,
www.hep.upenn.edu/~max/multiverse.html.

Sumber: Sainstory - Sains Social History

Вам также может понравиться