Вы находитесь на странице: 1из 27

BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian BLS


Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan

fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung

(cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar,

bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih

difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.

Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan

penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan

proses yang menuju kematian.

Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik

ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan,

dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS

diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk

melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan

berhenti selama 3-4 menit.

2.2 Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB)


1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara

visual tanpa teknik Look Listen and Feel.

2. Melakukan panggilan darurat.

3. Circulation :
 Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan

memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan

dengan melakukan kompresi dada.

 Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban.

 Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.

 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi

ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum,

kemudian tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.

Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar

tidak menekan dada.

Gambar 1 Posisi tangan

 Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban

berada di tempat tidur

Gambar 2 Chest compression


 Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
 Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi

untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter

anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).

4. Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan

nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban,

lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka

(Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika

korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu

dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada

deretan gigi Rahang Atas.

Gambar 3 Head Tilt & Chin Lift

Gambar 4 Jaw Thrust


5. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara

ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk

adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :

 Pastikan hidung korban terpencet rapat


 Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)

 Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin

 Berikan satu ventilasi tiap satu detik

 Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik.

Gambar 5 Pernafasan mulut ke mulut


 Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat

dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.

 Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume

1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.

 Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8

detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa

interupsi.

 Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi

dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa

denyut nadi kembali setiap 2 menit.

 Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance

airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap

6-8 detik/kali.
6. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli

datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10

detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.

7. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat

tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali

apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1

kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat

diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah

tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai

bergerak.

2.3 Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB


No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat dan Melakukan panggilan darurat
mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada dilakukan
sebanyak satu siklus 30 kompresi,
sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x ventilasi
dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing ( memberikan ventilasi
nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung +
nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :


 Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup

tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular

Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP

yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera

(early defibrillation).

 Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses

pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil

alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka

kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus

kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).

 Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang

sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan

adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam

Airway adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai

dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak

korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke

mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.

2.4 Penggunaan Sistem ABC Saat ini :


1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP

konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon

darurat.

2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP

sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.

2.5 Emergency Medical Service


Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu

system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya
komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran

(output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur

dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya

pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di

bawah ini :

Pre Hospital Hospital Stage Rehabilitation


Injury & Stage
 First Responder  Emergency Room  Fisical
Dissaster
 
Ambulance Service 24 Operating Room  Psycological
jam  Intensif Care Unit  Social
 Ward Care
Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung

pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada

bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita

mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan

dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan

tidak dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam

kondisi gagal ginjal.

Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden

periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden

Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang

waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup

korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup

penderita nantinya yaitu :

 Siapa penolong pertamanya

 Berapa lama ditemukannya penderita,

 kecepatan meminta bantuan pertolongan


Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan

ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat

tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang

kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit

kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport

dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat

kejadian dapat kita modifikasi.

Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan

masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan

dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah

tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah

satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita

dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal

perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan

pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa

dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya.

Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi

dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu

(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat

harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam bencana

(SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya

penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu.

Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :

1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan

memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan

segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat

kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan

sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis

kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah

meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan),

bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana

berlangsung.

2. Pendidikan

Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong

yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat

kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan

karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang

dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena

kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat

dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu

orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :

 Menguasai cara meminta bantuan pertolongan

 Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)

 Menguasai teknik mengontrol perdarahan

 Menguasai teknik memasang balut-bidai

 Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi

Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai

pelayan masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki
kemampuan tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat

darurat dalam kondisi :

 Penyakit anak

 Penyakit dalam

 Penyakit saraf

 Penyakit Jiwa

 Penyakit Mata dan telinga

 Dan lainya sesuai kebutuhan sistem

Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada

masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal

secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan

dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda

lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan

dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.

3. Tranportasi

Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya.

Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi penderita

ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan

tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun

dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk

suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.

4. Pendanaan

Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di

Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat

miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa


5. Quality Control

Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk

menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.

KEGAWAT DARURATAN INFARK MIOKARD AKUT(IMA)

1. KONSEP MEDIS

A. Pengertian
1. Menurut Brunner & Sudarth, 2002 infark miokardium mengacu pada proses rusaknya
jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner
berkurang.
2. Menurut Suyono, 1999 infark miokard akut atau sering juga disebut akut miokard infark
adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu.
3. Infark mioakard adalah suatu keadan ketidakseimbangan antara suplai & kebutuhan
oksigen miokard sehingga jaringan miokard mengalami kematian. Infark menyebabkan
kematian jaringan yang ireversibel. Sebesar 80-90% kasus MCI disertai adanya trombus, dan
berdasarkan penelitian lepasnya trombus terjadi pada jam 6-siang hari. Infark tidak statis dan
dapat berkembang secara progresif.
B. ETIOLOGI
Ada tiga penyebab terjadiya infark iokard akut yaitu :
1) Thrombus
2) Penimbunan lipid pada jaringan fibrosa
3) Syok / perdarahan

C. Patofisiologi
Dua jenis kelainan yang terjadi pada IMA adalah komplikasi hemodinamik dan aritmia.
Segera setelah terjadi IMA daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan
sistolik (diskinesia) dengan akibat penurunan ejection fraction, isi sekuncup (stroke volume)
dan peningkatan volume akhir distolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri di atas 25
mmHg yang lama akan menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisium paru (gagal
jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebakan karena daerah infark, tetapi
juga daerah iskemik di sekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengadakan
kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsangan adrenergeik, untuk mempertahankan
curah jantung, tetapi dengan akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini
jelas tidak akan memadai bila daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau
bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang harus berkompensasi masih
normal, pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya bila infark luas dan miokard
yang harus berkompensasi sudah buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir
diastolik ventrikel kiri akan naik dan gagal jantung terjadi. Sebagai akibat IMA sering terjadi
perubahan bentuk serta ukuran ventrikel kiri dan tebal jantung ventrikel baik yang terkena
infark maupun yang non infark. Perubahan tersebut menyebabkan remodeling ventrikel yang
nantinya akan mempengaruhi fungsi ventrikel dan timbulnya aritmia. Perubahan-perubahan
hemodinamik IMA ini tidak statis. Bila IMA makin tenang fungsi jantung akan membaik
walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah yang tadinya iskemik
mengalami perbaikan. Daerah-daerah diskinetik akibat IMA akan menjadi akinetik, karena
terbentuk jaringan parut yang kaku. Miokard sehat dapat pula mengalami hipertropi.
Sebaliknya perburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark
meluas. Terjadinya penyulit mekanis seperti ruptur septum ventrikel, regurgitasi mitral akut
dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.
Aritmia merupakan penyulit IMA tersering dan terjadi terutama pada menit-menit atau jam-
jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa refrakter,
daya hantar rangsangan dan kepekaaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga
berperan besar terhadap terjadinya aritmia. Pasien IMA inferior umumnya mengalami
peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat,
sedangkan peningkatan tonus simpatis pada IMA inferior akan mempertinggi kecenderungan
fibrilasi ventrikel dan perluasan infark.
D. Manifestasi Klinik
Pada infark miokard dikenal istilah TRIAS, yaitu:
1. Nyeri :
a. Gejala utama adalah nyeri dada yang terjadi secara mendadak dan terus-menerus tidak
mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan abdomen bagian atas.
b. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak tertahankan lagi.
c. Nyeri tersebut sangat sakit, seperti tertusuk-tusuk yang dapat menjalar ke bahu dan terus ke
bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri).
d. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan emosional),
menetap selama beberapa jam atau hari, dan tidak hilang dengan bantuan istirahat atau
nitrogliserin.
e. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang dan leher.
f. Nyeri sering disertai dengan sesak nafas, pucat, dingin, diaforesis berat, pening atau kepala
terasa melayang dan mual muntah.
g. Pasien dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat karena neuropati
yang menyertai diabetes dapat mengganggu neuroreseptor
.
2. Laboratorium (Pemeriksaan enzim jantung) :
a. CPK-MB/CPK
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-
24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam.
b. LDH/HBDH
Meningkat dalam 12-24 jam dam memakan waktu lama untuk kembali normal
c. AST/SGOT
Meningkat ( kurang nyata / khusus ) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam,
kembali normal dalam 3 atau 4 hari
3. EKG
Perubahan EKG yang terjadi pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan simetris. Setelah
ini terdapat elevasi segmen ST. Perubahan yang terjadi kemudian adalah adanya gelombang
Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.

E. Pemeriksaan Penunjang

no Pemeriksaan penunjang penjelasan


1 EKG Untuk mengetahui fungsi jantung. Akan ditemukan
gelombang T inverted, ST depresi, Q patologis.

CPKMB, LDH, AST

2 Enzim Jantung.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, misalnya hipokalemi, hiperkalemi.

3 . Elektrolit

Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari


ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi.

Sel darah putih


Meningkat pada hari ke-2 dan ke-3 setelah IMA ,
4 menunjukkan inflamasi.

Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau


perfusi organ akut atau kronis
Kecepatan sedimentasi

5
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses

Penyakit paru akut atau kronis


Kimia

6
Meningkat, menunjukkan arteriosklerosis sebagai
penyebab IMA.

GDA

7 Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran

jantung diduga GJK atau aneurisma ventrikuler.

Kolesterol atau Trigliserida


serum
8 Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan
Foto dada katup atau dinding ventrikuler dan konfigurasi atau
fungsi katup.
a. Talium : mengevaluasi aliran darah miokard dan
status sel miokard misal lokasi atau luasnya AMI.
b. Technetium : terkumpul dalam sel iskemi di sekitar
area nekrotik

9 . Ekokardiogram

10

Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum,


gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran
Pemeriksaan pencitraan darah).
nuklir

Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri


Pencitraan darah jantung koroner.
11

Biasanya dilakukan Memungkinkan visualisasi aliran


darah,
Angiografi koroner
12 serambi jantung atau katup ventrikel, lesivaskuler,
pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan
darah.
Nuklear Magnetic
Resonance (NMR) Menentukan respon kardiovaskuler terhadap aktifitas
atau sering dilakukan sehubungan dengan pencitraan
13 talium pada fase penyembuhan.

14 Tes stress olah raga

15
FF.pena
. Pe

F. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan medis adalah memperkecil kerusakan jantung sehingga memperkecil
kemungkinan terjadinya komplikasi.
Adapun penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien yang menderita infark miokard akut
adalah sebagai berikut :
1. Rawat ICCU, puasa 8 jam
2. Tirah baring, posisi semi fowler.
3. Monitor EKG
4. Infus D5% 10 – 12 tetes / menit
5. Oksigen 2 – 4 liter / menit
6. Analgesik : morphin 5 mg atau petidin 25 – 50 mg
7. Obat sedatif : diazepam 2 – 5 mg
8. Bowel care : laksadin
9. Antikoagulan : heparin tiap 4 – 6 jam / infus
10. Diet rendah kalori dan mudah dicerna
11. Psikoterapi untuk mengurangi cemas.

G. Penatalaksanaan Gawat Darurat


Gangguan hemodinamika dapat disebabkan gangguan pada irama jantung, gangguan pada
pompa jantung dan gangguan pada volume darah / cairan yang mengisi pembuluh darah.
Gangguan hemodinamika dapat bermanifestasi klinis berupa hipotensi, sianosis, kesadaran
menurun dan lain-lain. Pada topik ini akan kita bahas mengenai gangguan irama jantung dan
gangguan pompa jantung yang dapat kita ketahui dari gambaran elektrokardiografi (EKG).
Dari Advance Cardiac Life Supports (ACLS), kegawatan irama jantung (aritmia / disritmia)
dibagi menjadi tiga yaitu henti jantung, bradikardi dan takikardi.
1. Henti Jantung,
Henti jantung adalah idak ada nadi atau heart rate. Yang termasuk henti jantung adalah
sebagai berikut :
a. Asistol
Kriteria : tidak ada aktivitas listrik, paling sering ditemukan pada kasus henti jantung. Sering
timbul setelah Ventrikel Fibrilasi (VF) dan Pulseless Electrical Actifity (PEA) Pulseless
Electrical Actifity (PEA).
b. Pulseless Electrical Actifity (PEA).
Kriteria : ada aktvitas listrik jantung tetapi tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan arteri (nadi
tidak teraba)

c. Ventrikel takikardi (VT) tanpa nadi


Kriteria :
1) Irama : Ventrike Takikardi
2) Heart Rate : > 100 kali/menit (250-300 kali/menit)
3) Gelombang P : tidak terlihat
4) Interval PR : tidak terukur
5) Gelombang QRS : lebar > 0,12 detik

d. Ventrikel Fibrilasi (VF)


Kriteria :
1) Irama : ventrikel fibrilasi
2) Heart Rate : tidak dapat dihitung
3) Gelombang P : tidak terlihat
4) Interval PR : tidak terukur
5) Gelombang QRS : tidak teratur, tidak dapat dihitung
2. Takikardi,
Takikardi yaitu heart rate lebih dari 150 kali /menit. Gambaran EKG dapat dikelompokan
menjadi 2 yaitu QRS sempit dan QRS lebar
QRS sempit, gambaran EKG-nya bisa berupa :
a. Sinus takikardi
Kriteria :
1) Irama : sinus takikardi
2) Heart Rate : > 100 kali/menit
3) Gelombang P : 0,04
4) Interval PR : 0,12
5) Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik
b. Atrial takikardi
Kriteria :
1) Irama : atrial takikardia/supraventrikel takikardi
2) Heart Rate : > 150 kali/menit
3) Gelombang P : kecil atau tidak terlihat
4) Interval PR : tidak dapat dihitung
5) Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik.
c. Atrial Flutter (gelepar atrial)
Kriteria :
1) Irama : atrial flutter
2) Heart Rate : bervariasi
3) Gelombang P : banyak bentuk seperti gergaji,perbandingan dengan komplek QRS bisa 3
atau 4 atau 5 dan seterusnya
4) Interval PR : tidak dapat dihitung
5) Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik
d. Atrial Fibrilasi (AF)
Kriteria :
1) Irama : tidak teratur
2) Heart Rate : bervariasi, dapat dibagi respon ventrikel cepat (HR > 100),, respon ventrikel
normal (HR 60 –100), respon ventrikel lambat (< 60)

3) Gelombang P : tidak dapat diidentifikasikan

4) Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik

5) QRS lebar, gambaran EKG-nya bisa berupa : Ventrikel Takikardi atau Atrial Fibrilasi
dengan aberan. Kedua gambarannya sama dengan di atas (henti jantung), hanya saja secara
klinis pasien tampak sadar dan nadi atau heart rate masih dapat diperiksa. 3. Bradikardi
Bradikardi yaitu heart rate < 60 kali/ menit, dapat berupa :

a. sinus bradikardia Kriteria :


1) Irama : sinus

2) Heart Rate : < 60 kali/menit

3) Gelombang P : 0,04 detik

4) Interval PR : 0,12-0,20 detik

5) Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik

b. Atrio-Ventrikuler (AV) blok derajat 1 Kriteria :

1) Irama : sinus

2) Heart Rate : biasanya 60-100 kali/menit

3) Gelombang P : normal (0,04 detik)

4) Interval PR : memanjang > 0,20 detik


5) Gelombang QRS : normal (0,04-0,08 detik
c. AV blok derajat 2 tipe Mobitz 1 (Wenchenbach)
Kriteria :
1) Irama : sinus
2) Heart Rate : biasanya < 60 kali/menit 3) Gelombang P : normal, ada gelombang P yang
tidak diikuti QRS 4) Interval PR : semakin lama semakin panjang kemudian blok 5)
Gelombang QRS : normal

d. AV blok derajat 2 tipe Mobitz 2 Kriteria :

1) Irama : sinus

2) Heart Rate : biasanya < 60 kali/menit

3) Gelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRS 4) Interval PR : normal
atau memanjang secara konstan diikuti blok 5) Gelombang QRS : normal e. Total AV blok
Kriteria : 1) Irama : sinus 2) Heart Rate : biasanya < 60 kali/menit, dibedakan heart rate
gelombang P dan kompleks QRS 3) Gelombang P : normal, tapi gelombang P dan QRS
berdiri sendiri 4) Interval PR : berubah-ubah/tidak ada 5) Gelombang QRS : normal 6) dari
bradikardi, yang biasanya menimbulkan kegawatan adalah AV blok derajat 2 dan 3 Iskemik
Miokard ditandai dengan adanya depresi ST atau gelombang T terbalik, injuri ditandai
dengan adanya ST elevasi. Infark miokard ditandai adanya gelombang Q patologis. Pada fase
awal terjadinya infark ditandai gelombang T yang tinggi sekali (hiperakut T) kemudian pada
fase sub akut ditandai T terbalik lalu pada fase akut ditandai ST elevasi. Pada fase lanjut (old)
ditandai dengan terbentuknya gelombang Q patologis Lokasi infark : 1) Anterior : V2 – V4 2)
Anteroseptal : V1 – V3 3) Anterolateral : V5, V6, I dan aVL 4) Ekstensive anterior : V1 –
V6, I dan aVL 5) Inferior : II, III, aVF 6) Posterior : V1, V2 (resiprokal/seperti cermin)
Contoh infark miokard : Infark miokard (IM) akut inferior (ST elevasi di II, III, aVF) +
iskemik ekstensif anterior (ST depresi di I, aVL, V1 s/d V6) Ventrikel kanan : V1, V3R, V4R
H.

Komplikasi

1. Aritmia

2. Bradikardia sinus

3. Irama nodal

4. Gangguan hantaran atrioventrikular

5. Gangguan hantaran intraventrikel

6. Asistolik

7. Takikardia sinus

8. Kontraksi atrium prematur

9. Takikardia supraventrikel

10. Flutter atrium

11. Fibrilasi atrium

12. Takikardia atrium multifokal

13. Kontraksi prematur ventrikel

14. Takikardia ventrikel

15. Takikardia idioventrikel

16. Flutter dan Fibrilasi ventrikel

17. Renjatan kardiogenik

18. Tromboembolisme

19. Perikarditis

20. Aneurisme ventrikel

21. Regurgitasi mitral akut


22. Ruptur jantung dan septum H. Prognosis Beberapa indeks prognosis telah diajukan,
secara praktis dapat diambil pegangan 3 faktor penting yaitu:

1. Potensial terjadinya aritmia yang gawat (aritmia ventrikel

2. Potensial serangan iskemia lebih lanjut.

3. Potensial pemburukan gangguan hemodinamik lebih lanjut (bergantung terutama pada


luas daerah infark).

1. KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Pengkajian primer

a. Airways

1). Sumbatan atau penumpukan sekret

2). Wheezing atau krekles

b. Breathing

1). Sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat

2). RR lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal

3). Ronchi, krekles

4). Ekspansi dada tidak penuh

5). Penggunaan otot bantu nafas

c. Circulation

1). Nadi lemah , tidak teratur

2). Takikardi

3). TD meningkat / menurun

4). Edema

5). Gelisah
6). Akral dingin

7). Kulit pucat, sianosis

8). Output urine menurun

2. Pengkajian Sekunder

a. Aktifitas Gejala :

1). Kelemahan

2). Kelelahan

3). Tidak dapat tidur

4). Pola hidup menetap

5). Jadwal olah raga tidak teratur

Tanda : 1). Takikardi

2). Dispnea pada istirahat atau aaktifitas.

b. Sirkulasi

Gejala : Riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan darah, diabetes
mellitus.

Tanda :

1). Tekanan darah Dapat normal / naik / turun Perubahan postural dicatat dari tidur sampai
duduk atau berdiri.

2). Nadi Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).

3). Bunyi jantung Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung
atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel.

4). Murmur Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung

5). Friksi ; dicurigai Perikarditis

6). Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur

7). Edema Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema umum, krekles mungkin
ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
8). Warna Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir.

c. Integritas ego

Gejala :

Menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal sudah dekat, marah
pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.

Tanda :

Menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang,
fokus pada diri sendiri, koma nyeri. d. Eliminasi Tanda : Normal, bunyi usus menurun.

e. Makanan atau cairan

Gejala : Mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar

Tanda : Penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah, perubahan berat badan.

f. Higiene

Gejala atau tanda :

Kesulitan melakukan tugas perawatan

g. Neurosensori

Gejala : Pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat )

Tanda : Perubahan mental, kelemahan

h. Nyeri atau ketidaknyamanan

Gejala : Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan
aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam
dan viseral)
. i. Pernafasan

Gejala :

1) Dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat

2) Dispnea nocturnal

3) Batuk dengan atau tanpa produksi sputum

4) Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.

Tanda :

1) Peningkatan frekuensi pernafasan

2) Nafas sesak / kuat

3) Pucat, sianosis

4) Bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum

j. Interaksi sosial

Gejala :

1) Stress

2) Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal : penyakit, perawatan di RS

Tanda

: 1) Kesulitan istirahat dengan tenang

2) Respon terlalu emosi ( marah terus-menerus, takut )

3) Menarik diri

B. Penyimpangan KDM

Thrombus Penimbunan lipid di jaringan febrosa Syok/pendarahan Penyumbatan arteri


koroner Atherosklerosis Penyempitan lumen pembuluh darah iNFARK MIOKARD Aliran
darah kemiokard terganggu Tindakan kateterisasi Suplay O2 ke miokard terganggu Beban
kerja jantung me↑ Informasi tidak akurat Hipoksia otot jantung Kontraktilitas jantung me↓
ANSIETAS/CEMAS Metabolisme anaerob Pe ↓ SV Merangsang katekolamin Penimbunan
asam laktat Pe ↓ CO Infark meluas Pelepasan mediator kimia: histamine, Vol. residu
ventrikel me↑ bradikinin, serotonin , prost aglandin Tek.Hidrostatik kapiler paru me
Merangsang nosiseptor Perembesan cairan ke paru me↑ Proses transmisi, transduksi,
modulasi Udema Paru Persepsi nyeri di hipotalamus Dispnea Nyeri GANGGUAN
PERTUKARAN GAS GANGGUAN RASA NYAMAN : NYERI DADA Ancaman
perubahan status kesehatan Krisis situasi ANSIETAS/ CEMAS

C. Diagnosa Keperawatan

1) Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri

2) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan karakteristik miokard

3) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli


atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler.

4) Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis.

D. Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai
dengan :

a. Nyeri dada dengan / tanpa penyebaran

b. Wajah meringis

c. Gelisah

d. Delirium

e. Perubahan nadi, tekanan darah.

Tujuan : Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan selama di RS

Kriteria Hasil:

1) Nyeri dada berkurang misalnya dari skala 3 ke 2, atau dari 2 ke 1

2) Ekspresi wajah rileks / tenang, tak tegang

3) Tidak gelisah
4) Nadi 60-100 x / menit,

5) TD 120/ 80 mmHg

Intervensi :

a. Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa nyeri dada.

b. Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada serangan dan istirahat.

c. Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, misalnya nafas dalam, perilaku distraksi,
visualisasi, atau bimbingan imajinasi.

d. Pertahankan oksigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/ menit )

e. Monitor tanda-tanda vital ( nadi & tekanan darah ) tiap dua jam.

f. Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.

2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan karakteristik miokard.


Tujuan : Curah jantung membaik / stabil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di
RS. Kriteria Hasil :

a. Tidak ada edema

b. Tidak ada disritmia

c. Haluaran urin normal

d. TTV dalam batas normal

Intervensi :

a. Pertahankan tirah baring selama fase akut

b. Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD

c. Monitor haluaran urin

d. Kaji dan pantau TTV tiap jam

e. Kaji dan pantau EKG tiap hari

f. Berikan oksigen sesuai kebutuhan g. Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai
indikasi h. Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan i. Berikan makanan sesuai diitnya
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke alveoli atau
kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler ditandai dengan :

a. Dispnea berat

b. Gelisah

c. Sianosis

d. Perubahan GDA

e. Hipoksemia Tujuan : Oksigenasi dengan GDA dalam rentang normal (Pa O2 < 80 mmHg,
Pa CO2 > 45 mmHg dan Saturasi < 80 mmHg ) setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama di RS. Kriteria hasil : a. Tidak sesak nafas b. Tidak gelisah c. GDA dalam batas
Normal ( Pa O2 < 80 mmHg, Pa CO2 > 45 mmHg dan Saturasi < 80 mmHg )
Intervensi :
a. Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot bantu pernafasan
b. Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi
tambahan misal krakles, ronki dll.
c. Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya batuk,
penghisapan lendir dll.
d. Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
e. Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan/ kelelahan selama kerja atau tanda
vital berubah.

4. Cemas berhubungan dengan ancaman aktual terhadap integritas biologis


Tujuan :
Cemas hilang / berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
Kriteria Hasil :
a. Klien tampak rileks
b. Klien dapat beristirahat
c. TTV dalam batas normal

Intervensi :
a. Kaji tanda dan respon verbal serta non verbal terhadap ansietas
b. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman
c. Ajarkan tehnik relaksasi
d. Minimalkan rangsang yang membuat stress
e. Diskusikan dan orientasikan klien dengan lingkungan dan peralatan
f. Berikan sentuhan pada klien dan ajak kllien berbincang-bincang dengan suasana tenang
g. Berikan support mental
h. Kolaborasi pemberian sedatif sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius ; 2000
http://blog.ilmukeperawatan.com/asuhan-keperawatan-akut-miocard-infark.html
http://tutorialkuliah.wordpress.com/2008/12/20/asuhan-keperawatan-pada-klien-akut-
miokard-infak-ami/
http://nursingbegin.com/asuhan-keperawatan-pada-klien-dengan-infark-miokard-akut/
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/infark-miokard/
http://teguhsubianto.blogspot.com/2009/05/asuhan-keperawatan-pada-klien-infark.html
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Jakarta:
EGC; 1994.
BAB 3

Вам также может понравиться