Вы находитесь на странице: 1из 6

MAHKUM ALAIHI

Pengertian mahkum alaih adalah seperti berikut Mahkum ‘alaih adalah seseorang/individu yang
digantungkan khithab Allah atas perbuatannya. Disebut juga dengan mukallaf.

Mahkum alaih ialah orang yang berkait khitab Allah Taala dengan perbuatan, dan dinamakannya
mukallaf mengikut istilah ulama usul fiqh.1

Mahkum Alahi adalah oranf mukallaf, kerana dialah orang yang perbuatannya dihukumi ntuk diterima
atau ditolak, dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.2

Dasar Pembebanan Taklif

Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak
hukum. Untuk itu para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar timbulnya pembebanan hukum
tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila berakal
dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak
atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’.
Termasuk ke dalam hal ini orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang yang sedang
tidur, mabuk, dan lupa tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.:

‫ عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق‬:‫رفع اللم عن ثالث‬

Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai dia bangun, anak kecil
sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu
Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib).

Dalam hadits lain dikatakan:

‫رفع عن أمتى الخطاء والنسيان وما استكرهوا عليه‬

Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, bersalah, dan dalam keadaan terpaksa” (H.R.
Ibnu Majah dan al-Thabrani)

1
Al-Wasit Fil Usul Fiqh Al-Islami, Doktor Wahbah Zuhaili, MS 165
2
Ushul Fiqih, Prof Muhammad Abu Zahrah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak sah taklif apabila, Pertama: Orang gila dan kanak-
kanak karena golongan ini tidak berakal dan tidak mampu memahami sama sekali dalil taklif dan bagi
kanak-kanak pula mereka tidak cukup umur dan juga tidak mampu memahami dan melaksanakan
perintah dengan sempurna. Kedua: Orang tidur ketika tidurnya, orang lupa ketika lupanya, dan orang
mabuk ketika mabuknya, karena mereka tidak mampu memahami dalil taklif dalam keadaan tersebut.

Berangkat dari hal itu maka mukallaf (orang yang dibebani hukum syar’i haruslah orang yang baligh (laki-
laki ataupun wanita) dan berakal dengan matang (sempurna). Karena akal adalah sesuatu yang
tersembunyi maka fuqoha menetapkan bahwa yang dimaksud dengan matang di sini adalah bila telah
bermimpi.

Dalam hukum tertentu, orang yang tidak mukallaf memang tidak terkena taklif, terutama hukum yang
bersifat pribadi. Misalnya salat dan puasa. Dalam hal ini anak kecil ataupun orang yang hilang akalnya
tidak wajib melaksanakannya. Tetapi dalam hukum tertentu, keadaan orang yang tidak mukallaf tidak
berpengaruh terhadap pelaksanaan hukum, terutama hukum yang berhubungan dengan orang lain.
Contohnya, anak kecil yang mempunyai harta sampai satu nisab, maka ia wajib zakat meskipun
pelaksanaannya diwakilkan kepada walinya.

Sedangkan mengenai hal orang gila dan anak-anak, dalam hal tertentu dikenai taklif dikarenakan
terbukti sebagai manusia, kemanusiaan inilah yang memberi hak disamping tanggung jawab karena
mereka mempunyai hak memiliki harta dan selama ada hak untuk memiliki harta maka ada pula beban
atas kepemilikan tersebut.

Mahkum alaih berarti orang mukallaf (orang yamg layak dibebani hukum taklif), ada beberapa syarat
seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklif (syarat taklif atas subjek hukum), menurut Amir
Syrifuddin (1997) adalah sebagai berikut :

1. Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan
dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal; karena akal itu adalah alat untuk
mengetahui dan memahami.

Akal itu berkembang secara bertahap. Kesempurnaan akal itu tumbuh sejak kecil dan akan sampai batas
kesempurnaannya pada masa tertentu. Pertumbuhan akal merupakan hal yang abstrak dan berproses
sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaannya. Sebagai tanda atau batas yang
konkrit adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat
sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.
Pada dasarnya orang yang telah dewasa dan berakal akan mampu memahami titah Allah yang
menyebabkan ia telah dapat memenuhi syarat sebagai subjek hukum. Paham itu dapat dicapainya
secara langsung dengan memahami ayat-ayat hukum dalam Al-Quran atau Hadits Nabi yang berkaitan
dengan tuntutan taklif itu, baik yang tersurat maupun tersirat. Disamping itu ia pun dapat dianggap
telah memahami taklif itu bila khitab Allah sudah disampaikan kepadanya dengan cara apapun. Dengan
demikian umat Islam di seluruh muka bumi ini yang telah memenuhi persyaratan baligh dan brakal telah
dianggap mengetahui hukum Allah. Karena itu kepadanya telah berlaku taklif.

2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh disebut
ahlun li al-taklif atau disebut ahliyah. Kecakapan menerima taklif adalah kepantasan untuk menerima
taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum (ahliyah al wujub)dan
kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyah al ada’).

C. AHLIYAH

Kemampuan (ahliyyah) ialah kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan menerima hak.
Artinya seseorang itu berupaya untuk menanggung hak-hak orang lain, menerima hak-hak atas orang
lain dan mampu untuk mlaksanakannya. Ulama ushul fiqh membagi ahliyah ini menjadi dua macam,
(Amir Syarifudin:1997) yaitu:

1. Ahliyyat al-Wujub, yaitu kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak. Hal ini terjadi
sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang dasar kelayakkannya ialah karena ia seorang manusia. Ahliyah
al-Wujub dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu:

a. Ahliyah al wujub naqish atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang
manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai
kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.

Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya di
antara dua kecakapan yang harus selalu ada padanya. Contoh kecakapan untuk menerima hak tetapi
tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan. Bayi atau janin telah berhak menerima
hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak berlaku setelah
lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan tidak dibebani kewajiban apa-apa karena ia belum
bernama namusia. Terdapat empat macam hak seorang janin yang masih di dalam kandungan, yaitu:
- Hak keturunan ayahnya.

- Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.

- Wasiat yang ditujukan kepadanya.

- Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.

Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap untuk menerima hak adalah orang mati
tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan kematiannya ia tidak menerima hak apa-apa lagi, karena hak
hanyalah untuk manusia hidup. Tetapi ia dikenakan kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya
selama masih hidup.

b. Ahliyah al wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan
seseorang untuk dikenai kewajiban dan untuk menerima hak. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir
sampai sekarat selama ia masih bernafas.

Contoh ahliyah al wujub kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak untuk menerima
warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta lainnya yang
pelaksanaannya bisa dilakukan oleh orang tua atau walinya.

Demikian pula orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak menerima harta warisan, ia juga
dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi nishab.

2. Ahliyyat al-Ada’, yaitu kemampuan untuk menjalankan hukum atas dirinya dan hak untuk orang
lain. Kemampuan ini tidak hanya kerana ia sebagai manusia, tetapi kerana ia mumayyiz.

Ahliyah al ada’ atau kecakapan untuk menjalankan hukum yaitu kepantasan seseorang manusia untuk
diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum. Hal ini berarti bahwa segala tindakannya dalam
ucapan maupun perbuatan telah mempunyai akibat hukum. Dalam bentuk ucapan misalnya, ia
melakukan akad atau transaksi, maka telah dianggap sah. Demikian pula bila ia melakukan tindakan
pidana akan dikenai sanksi hukum atas pelanggaran yang dilakukannya.

Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al ada’ terdiri dari tiga tingkat, dimana setiap tingkat dikaitkan
kepada bats usia seorang manusia. Ketiga tingkat tersebut adalah :

a. “adim al ahliyah atau tidak cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai
tamyiz sekitar 7 tahun.
Dalam batas ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu
dikaitkan dengan sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum dituntut untuk melakukan hukum. Ia
tidak wajib mengerjakan salat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Disamping itu ucapan anak-anak
dalam umur ini juga tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukan dianggap tidak
sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Ucapan-ucapan pembebasan dan ucapan lain tidak mempunyai
akibat hukum dan tidak sah. Semua pelanggaran atau kejahatan tidak dapat dituntut.

b. Ahliyah al ada’ naqishah, atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah
mencapai umur tamyiz sampai batas dewasa, karena dianggap akalnya masih lemah dan belum
sempurna. Sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal
ini ucapan dan perbuatannya terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu:

- Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, misalnya menerima pemberian dan


wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan
terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.

- Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi haknya, misalnya pemberian yang
dilakukannya dalam bentuk hibah, sadaqah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak
pantas. Semua perkataan dan perbuatan dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum atau
batal.

- Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian, misalnya jualbeli, sewa-menyewa, upah
mengupah. Tindakan dalam hal ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesalahannya tergantung
kepada persetujuan yang diebrikan oleh walinya.

Perbuatan orang yang dalam batas usia ini (mumayiz) dalam hal ibadah adalah sah karena ia memiliki
kecakapan dalam melakukannya, tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa.
Sedangkan tindak pidana kejahatan yang dilakukannya dituntut dan dikenai sanksi hukuman berupa
ganti rugi dalam bentuk harta yang dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya. Tindak pidana
kejahatan yang dilakukannya tidak dikenai hukuman badan (fisik). Tidak berlaku padanya qishash dalam
pembunuhan, rajam pada perzinahan, atau potong tangan pada pencurian.

c. Ahliyah al ada’ kamilah, atau cakap berbuat hukum secara sempurna yaitu untuk manusia yang
telah mencapai dewasa (baligh). Usia dewasa ditandai dengan mimpi basah pada laki-laki dan haid pada
wanita. Keahlian itu dianggap berhubungan dengan sifat dewasa karena dewasa itu adalah dugaan
terdapatnya akal yang sempurna. Maka dari itu orang yang telah baligh baik karena lantaran usia atau
karena tanda-tanda maka dia bias dianggap berakal dan ahli dalam melaksanakannya dengan keahlian
yang sempurna, selama tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan atas cacat atau kurang akalnya.
Dalam kondisi seperti ini, ia sudah sah dalam bertindak hukum, dapat dibebani hukum dan kewajiban,
bertanggungjawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain, dan bertanggung jawab di hadapan
Allah.

Вам также может понравиться