Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
Nilai moral merupakan nilai tertinggi, yang memiliki empat cirri utama, yaitu berkaitan dengan
pribadi yang bertanggung jawab, berkaitan dengan hati nurani, mewajibkan manusia secara absulut
dan tidak bisa ditawar-tawar, dan bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang
seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan.
Pendidikan menjadi bagian penting untuk membentuk nilai-nilai moral. Menurut Winecoff
(1988: 3) “Values education-pertains to questions of both moral and nonmoral judgement toward
object; includes both aesthetics (ascribing value 10 objects of beauty and personal taste) and
ethics (ascribing avlues of right and wrong in the interpersonal realm). Pendidikan nilai adalah
pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut nonmoral, yang meliputi
estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi dan etika yaitu
menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Adapun Milton (1988:46) menyatakan
bahwa esensi pendidikan nilai adalah membina, mengembangkan kepercayaan dan sistem nilai
yang menjadi potensi manusia, sehingga menjadi nilai-nilai yang terorganisir pada dasar budaya
masyarakat, instansi dan personal. Pemahaman tentang pendidikan nilai sangat urgen untuk
dimiliki oleh semua guru, apapun mata pelajaran yang diampunya, sehingga ia tidak berhenti
hanya sampai pada tugas transformation of knowledge, melainkan transformation of values, ia
tidak terjebak oleh arah pendidikan dewasa ini yang hanya mengagungkan ranah kognitif dan
mengabaikan ranah afeksi.
Sesungguhnya manusia itu walaupun sangat berbeda-beda satu sama lain, umpamanya ingin
kepada kemuliaan, kebenaran, kejujuran dan lain-lain keutamaan, walaupun keinginan itu berbeda-
beda diantara mereka tentang kuat dan lemahnya, sedangkan pendidikan yang benar ialah yang
menguatkan keinginan tersebut dan menyampaikan manusia ke arah yang dapat ia kejar,
sebaliknya pendidikan yang buruk melemahkan keinginan itu dan terkadang mematikannya
(Ahmad Amin, 1991 : 13).
Penyimpangan di bidang pendidikan tentu saja tidak hanya terjadi pada aspek pengelolaan
keuangan, tetapi juga terjadi pada aspek recruitment, penempatan, mutasi, proses pendidikan,
evaluasi pendidikan, laporan hasil pendidikan dan pada aspek-aspek lainnya. Semua
kesemrawutan ini tertumpu pada satu titik, yakni kepemimpinan pendidikan. Oleh sebab itu pada
makalah ini disajikan pembahasan tentang moralitas kepemimpinan pendidikan. Moralitas
menjadi kompas atau atlas yang memberikan petunjuk baik dan buruknya melakukan sesuatu.
Moralitas pada dasarnya dipandang sebagai keadaan yang harus diselesaikan antara kepentingan
pribadi pemimpin dengan orang-orang yang dipimpinnya, serta hak dan kewajiban. Moralitas
merupakan hasil timbang menimbang (harmonisasi). Moralitas mengandung makna integritas
pribadi manusia yaitu harkat dan martabat manusia. Bagaimana manusia mensikapi nilai-nilai
moralitas yang hidup dalam masyarakat. Derajat kepemimpinan seseorang seseorang ditentukan
nilai moral yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur kita. Maka di sinilah makna penting dari
pendidikan. Pendidikan menjadi media utama untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
(SDM). Pendidikan menjadi modal dasar manusia dalam membentuk kepribadian yang lebih baik
dan memudahkan manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebahagian dunia dan akhirat.
B. Perumusan Masalah
Masalah moralitas kepemimpinan pendidikan memang bukanlah persoalan baru. Persoalan
ini ada sejak manusia ada. Penerapan nilai moral dalam kepemimpian pendidikan menjadi masalah
dari masa ke masa dan memiliki ciri khas atau karaktaeristik yang dapat diamati. Permasalahannya,
bagaimanakah moral kepemimpinan itu diimplementasikan sehingga menghasilkan generasi yang
baik? Bagaimana internalisasi moralitas kepemimpinan pendidikan yang efektif? Berdasarkan
identifikasi masalahan tersebut, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa moralitas kepemimpinan pendidikan penting?
2. Bagaimana implementasi moral kepemimpinan pendidikan?
3. Bagaimana internalisasi moralitas dalam kepemimpinan pendidikan?
4. Faktor apa yang mempengaruhi moralitas kepemimpinan pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalahnya, pembahasan pada makalah ini bertujuan untuk
mengetahui tentang:
D. Manfaat Pembahasan
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dikelompokan pada dua bagian, yaitu manfaat
teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, dengan dibahasnya masalah moral kepemimpinan
pendidikan dapat menambah kajian mengenai pentingnya moral kepemimpinan pendidikan,
implementasi moral kepemimpinan pendidikan, internalisasi moral kepemimpinan pendidikan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi moral kepemimpinan pendidikan. Adapun secara praktis
manfaat dari pembahasan ini adalah:
1. Bagi penulis dapat menambah pengetahuan mengenai moral kepemimpinan pendidikan yang
dapat diterapkan dalam aktivitas sebagai bagian dari kepemimpin pendidikan.
2. Bagi lembaga pendidikan, isi bahasan ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk
memperbaiki moralitas pemimpin pendidikan.
3. Bagi para pimpinan lembaga pendidikan, hasil pembahasan ini diharapkan menjadi salah satu
inspirasi untuk memperbaiki moral kepemimpinan pendidikan.
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Moral
1. Pengertian Moral
Arti moral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pimred: Hasan Alwi, 2002: 754) adalah
“ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, berarti
juga akhlak, budi pekerti dan susila.” Namun demikian, Zakiah Daradjat (1980: 17) berpendapat
bahwa moral, etika dan akhlak berbeda dari segi sumbernya. Menurutnya, moral menilai baik-
buruk berdasarkan adat istiadat. Etika menetapkan baik-buruk berdasarkan pertimbangan akal
pikiran, dan akhlak menetapkan baik-buruk dengan sumber Al-Quran-Hadits.
http://layanangananet.blogspot.com/2011/01/pengertian.moral.html memberikan
penjelasan tentang moral sebagai berikut: Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal
kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai
arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka
secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama
mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata
‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang
membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa
Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka
kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku
dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang
tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut
keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak.
Dengan demikian prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah
yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistim dari prinsip-
prinsip moral termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan
‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi
moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Moral berasal dari bahasa Latin kata mores, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan
kesusilaan". Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi
petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan
kesusilaan, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik.
(Sumaryono, 1995: 3).
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab.
Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak). Moralisasi,
berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakukan yang baik. Demoralisasi
berarti kerusakan moral. Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari
pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
b. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang
menguasai pemutaran manusia.
Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor penentu moralitas perbuatan manusia yaitu :
Motivasi, Tujuan akhir, Lingkungan perbuatan. Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi,
sehingga perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk, benar atau salah. Moralitas instrinsik
menentukan perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum
positif. Artinya penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan
hukum positif. Misalnya :
1) Gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal.
2) Jangan menyusahkan orang lain
3) Berikanlah yang terbaik.
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya
sebagai perintah atau larangan dalam hukum positif. Misalnya :
1) Larangan menggugurkan kandungan
2) Wajib melaporkan pemufakatan jahat
Moral dalam perspektif ajaran Islam adalah akhlak, oleh karena pembahasan moral di sini
lebih ditekankan pada pengertian akhlak, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Gazali (dalam A.
Rahman, 1984: 3), “Akhlak adalah keadan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan yang
muncul secara spontan tanpa memperhitungkan untung dan rugi.”
Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma yang
menenentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola prilaku hidup
manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok (Burhanuddin Salam, 1997:1).
Menurut Magnis Suseno yang diadaptasi Burhanuddin Salam (1997:1-2) bahwa etika
adalah sebuah ilmu dan bukan ajaran. Ajaran yang memberi kita norma tentang bagaimana kita
harus hidup adalah moralitas. Sedangkan etika justru hanya melakukan refleksi kritis atas norma
atau ajaran moral tersebut. Atau kita bisa juga menyatakan bahwa moralitas adalah petunjuk
konkret yang siap pakai tentang bagaimana kita harus hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan
dan penjewantahan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap pakai itu. Keduanya
mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi kita orientasi bagaimana dan ke mana kita harus
melangkah dalam hidup ini. Moralitas langsung menyatakan kepada kita : “Inilah caranya Anda
harus melangkah”, adapun etika mempersoalkan : “apakah saya harus melangkah dengan cara
itu?” dan “Mengapa harus dengan cara itu?”.
Etika dan moralitas memberikan arahan dan bimbingan untuk berbuat terbaik untuk masa
kini dan masa yang akan datang. Dengan etika dan moral itu mendorong pemimpin untuk
melakukan sesuatu yang terbaik menuju kemakmuran dan kesejahteraan orang-orang yang
dipimpinnya.
Perkataan akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jama’ dari khuluq atau khulq
yang secara lughah (bahasa) berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at (Muhammad
Daud Alim, 2002 : 346). Kalimat tersebut mengandung persesuaian dengan perkataan khulqun
yang artinya kejadian dan sangat erat hubungannya dengan kata khaaliqun yang berarti pencipta,
serta erat pula kaitannya dengan kata makhluuqun yang berarti diciptakan. (Bakri A. Rahman,
1993 : 3).
Apabila akhlak dihubungkan dengan kata khalqun, khaaliqun dan makhluuqun, akan
menghasilkan makna akhlak sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara
khaaliq dan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq. Dan itulah essensi dari khuluq
sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang
amat tinggi.” (Al-Qalam : 4) .
Demikian pula dalam hadits Nabi menyebutkan : “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak (budi pekerti) yang mulia.” (H.R. Ahmad, dalam Barmawie Umary :
1988 : 2).
Adapun pengertian akhlak menurut istilah, ada bermacam-macam pendapat, diantaranya
sebagai berikut :
a. Akhlak menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, yaitu “Akhlak adalah sesuatu
sifat yang tertahan dari jiwa yang dari padanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan
pertimbangan fikiran terlebih dahulu”.
b. Menurut Ahmad Amin (1991 : 63)
“Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia launnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat”.
c. A. Rahman (1993: 5) menjelaskan bahwa menurut Ibnu Maskawaih dalam kitab “Tahdibul Akhlak
wathahirul A’raq, akhlak adalah keadaan seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa melalui pertimbangan (terlebih dahulu).”
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian akhlak adalah
sebagai berikut :
a. Akhlak adalah suatu ilmu yang memberikan batasan antara yang baik dan yang buruk, antara yang
terpuji dan tercela, baik perbuatan maupun perbuatan manusia untuk mencapai keselamatan da
kebahagiaan lahir dan batin.
b. Akhlak adalah hal yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk dan mengatur pergaulan
umat manusia guna mencapai tujuan hidup mereka yang terakhir dan seluruh usaha serta pekerjaan
mereka.
Dalam pandangan Muhammad Daud Ali (2002 : 248), akhlak islami adalah keadaan yang
melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak,
jika memenuhi beberapa syarat, yaitu dilakukan berulang-ulang, dan timbul dengan sendirinya.
2. Instrumen Moral/Akhlak
b. Instrumen Moral/Akhlak yang ada dalam diri manusia
Instrumen akhlak yang terdapat dalam diri manusia dan menimbulkan perbedaan dari
masing-masing individu adalah naluri (insting) atau fitrah yang dibawa sejak lahir, akal, nafsu dan
hati.
1) Naluri
Setiap manusia yang lahir digerakkan oleh naluri. Naluri tersebut merupakan tabi’at yang
dibawa oleh manusia sejak lahir atau sering disebut dengan fitrah. Pada diri manusia ada empat
macam fitrah tabi’at, yaitu bahamiyah, sabu’iyah, syaithaniyah dan rububiyah (Barmawie Umari,
1988 : 28).
2) Akal
Termasuk dalam aspek yang bersumber pada diri manusia adalah akal, dengan akalnya
manusia dapat melaksanakan agama dengan benar, sebagaimana dijelaskan dalam Hadits yang
artinya : “Agama manusia itu berdasarkan akal, dan barang siapa yang tidak berakal maka baginya
tidak beragama.”
Jadi antara naluri dan akal manusia ada kesatuan yang mendorong dan mempengaruhi
manusia agar selalu memilih jalan yang baik, yakni berdasarkan hidup dengan tuntunan agama.
3) Nafsu
a) Nafsu amarah adalah jiwa yang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk/jelek, belum mwndapatkan tuntunan, kebanyakan mendorong kepada hal-hal tidak baik.
b) Nafsu lawwamah adalah jiwa yang telah memiliki rasa insaf dan menyesal sesudah melakukan
pelanggaran.
c) Nafsu musawwalah adalah nafsu yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, walaupun baginya mengerjakan yang baik dan yang buruk sama saja.
d) Nafsu mutmainah adalah nafsu yang mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik, ia
mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi untuk
berbuat jahat.
e) Nafsu mulhamah ialah jiwa yang mendapat ilham dari nAllh, dikarunia ilmu pengetahuan, dihiasi
oleh ahlakul mahmudah.
f) Nafsu raadiyah adalah nafsu yang mendapat ridha dari Allah, mempunyai kedudukan baik dalam
kesejahteraan, mensyukuri nikmat dan merasa cukup dengan apa yang ada.
g) Nafsu mardhiyah adalah nafsu yang diridhai Allah di mana dapat dilihat dari anugrah yang
diberikan-Nya berupa senantiasa zikir, ikhlas, mempunyai karamah, memperoleh kemuliaan.
h) Nafsu kaamilah adalah nafsu yang sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dikatakan cakap untuk
melakukan irsyad dan ikmal terhadap hamba Allah, ia digelari Mursyid dan Mukammil (Disarikan
dari Barmawi Umary : 1988 : 22-23 dan dari A. Rahman, 1983 : 14-15).
4) Qalbu
Qalbu disebut juga hati nurani atau jantung sanubari. Karena keadaan dan sifatnya, maka
qalbu itu mempunyai bermacam-macam nama, yaitu Dlomirun, dari segi tersembunyinya;
Fu’adun, dari segi banyak gunanya; Kabidun, dari segi bendanya; Luthfun, dari segi sumbernya
sifat kehalusan; Qalbun, dari segi suka berubah-ubah; Sirrun, dari segi tempat menyimpan rahasia.
Menurut A. Rahman (1983 : 16) qalbu atau hati tidak dapat diketahui bentuknya, hakikat
dan zatnya, hanya kesan dan sifatnya sajalah yang diketahui orang. Tuntunan hati adalah ilmu,
hidayah, inayah, irsyad, taufik dan ma’rifah. Kesemuanya itu sebagai santapan hati. Adapun cara
memeliharanya adalah dengan membersihkan diri dari sifat-sifat isti’jal, hasad, kikir, tulus amal.
Dengan melihat penjelasan di atas maka dapat dipahami kalau hati banyak memegang
peranan penting dalam sikap tingkah lakku atau akhlak, sebab itu dari hatilah timbul kebaikan dan
keburukan. Sebagaimana dalam hadits Nabi yang artinya : “Ingatlah! Sesungguhnya di dalam
tubuh manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik, baiklah anggota tubuh dan apabila
binasa, binasalah anggota tubuh itu ijngat, itulah hati (H.R. Buchori Muslim).
c. Aspek-Aspek Moral/Akhlaq yang Disebabkan oleh Keadaan di Luar Diri Manusia
(Lingkungan)
Salah satu faktor yang ikut menentukan akhlak seseorang adalah lingkungan (milieu), yaitu
segala sesuatu yang terdapat di luar diri manusia, misalnya tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah,
udara dan lingkungan pergaulan sesama manusia.
“…tubuh yang hidup tumbuhnya bahkan hidupnya tergantung kepada lingkungan yang ia hidup
di dalamnya kalau milieu itu tidak mencocoki kepadanya, maka tubuh tersebut akan lemah dan
mati. Udara, cahaya, logam di dalam tanah letaknya nnegeri, dan apa yang ada pada lautan, sungai
dan pelabuhan adalah mempengaruhi dalam kesehatan penduduk dan keadaan mereka yang
mengenai akal dan akhlak. Milieu pergaulan meliputi manusia, seperti rumah, sekolah pekerjaan,
pemerintahan, syi’ar agama, keyakinan pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, ide, bahasa,
kesenian, pengetahuan dan akhlak (Ahmad Amin, 1975 : 41).
Dengan berpedoman pada pendapat di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa
lingkungan dapat mematahkan dan mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa manusia sejak
lahir. Kondisi alam yang buruk akan mengakibatkan perintang bagi perkembangan kematangan
minat seseorang, yang pada akhirnya mempengaruhi terhadap sikap dan perilakunya.
3. Nilai-Nilai Moral
Nilai adalah sesuatu yang kita iakan atau kita aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi
positif (Bertens, 2004:139). Nilai setidaknya memiliki tiga ciri, yaitu (1) nilai berkaitan dengan
subjek. Kalau tidak ada subjek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Entah manusia hadir atau
tidak, gunung tetap meletus. Untuk dapat dinilai sebagai indah atau merugikan, letusan gunung itu
memerlukan subjek yang menlai; (2) nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subjek ingin
membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoretis, tidak akan ada nilai; dan (3) nilai-
nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subjek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek.
Nilai tidak dimiliki oleh objek pada dirinya. Objek yang sama bagi pelbagai subjek dapat
menimbulkan nilai yang berbeda-beda. Pembicaraan nilai tidak bisa dilepaskan dari nilai moral
atau etis. Nilai moral merupakan nilai tertinggi. Nilai moral memiliki ciri-ciri (1) berkaitan dengan
pribadi manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan
manusia secara absulut yang tidak bisa ditawar-tawar, dan (4) bersifat formal (Bertens, 2004: 143-
147). Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena berkaitan
dengan prinsip moralitas yang ditegakkan (Wiramihardja, 2007:158). Hal itu mengacu juga pada
Suyadi (1999:21) yang mengartikan nilai dalam arti baik atau benar berkaitan dengan masalah etis
atau moral. Menurut Suseno (1990:14) etika memberikan pemahaman tentang kesusilaan,
sedangkan moral memberikan ajaran tentang kesusilaan ataupun kebaikan.
Lebih lanjut Scheler (dalam Susena, 2008;16-18) menyatakan bahwa nilai bersifat apriori.
Maksudnya, apa arti sebuah nilai, misalnya enak, jujur atau kudus, kita ketahui bukan karena suatu
pengalaman, secara aposteriori, melainkan kita ketahui begitu kita sadar akan nilai itu. Manusia
tidak menciptakan nilai-nilai, melainkan menemukan mereka. Menurut Scheler nilai dapat
diungkap bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu perasaan intensional. Perasaan di sini
tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi, melainkan mirip dengan paham rasa dalam budaya
Jawa, sebagai keterbukaan hati dan budi dalam semua dimensi. Perasaan itu intensional karena
setiap nilai ditangkap melalui perasaan yang terarah tepat padanya. Menurut Scheler ada empat
gugus nilai, yaitu (1) nilai-nilai sekitar yang enak dan yang tidak enak, (2) nilai-nilai vital di mana
paling utama adalah nilai yang luhur dan yang hina dan di mana saja termasuk keberanian dan sifat
takut, perasaan sehat dan tidak enak badan, dan sebagainya, (3) nilai-nilai rohani yang indah dan
yang jelek atau nilai estetis, nilai-nilai yang benar dan tidak benar atau nilai keadilan, dan nilai
kebenaran murni yaitu kebernilaian pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri dan bukan karena
ada manfaatnya, dan (4) nilai-nilai sekitar yang kudus dan yang profane yang dihayati manusia
dalam pengalaman religius. Di luar empat gugus nilai tersebut, ada dua gugus nilai yang tidak
mempunyai isi sendiri (nilainya ditentukan oleh nilai yang menjadi tujuan akhir), yaitu nilai
kegunaan dan nilai moral. Nilai kegunaan menunjuk pada sesuatu itu bernilai jika berguna dan
nilai moral seperti yang baik dan yang jahat.
Dalam sumber yang lain, Sutan Tidakdir Alisyabana (Suseno, 2005:135) menyebutkan ada
enam gugus nilai, yaitu (1) nilai-nilai teoretis atau gugus ilmu pengetahuan yang dinilai melalui
tolok ukur benar-salah, (2) nilai-nilai ekonomis atau gugus nilai-nilai ekonomi yang dapat dinilai
apakah sesuatu itu menguntungkan atau tidak atau kriteria untung-rugi, (3) nilai-nilai religius atau
gugus nilai agama yang merupakan nilai tertinggi, (4) nilai-nilai estetik atau nilai gugus seni yang
dapat dilihat dari indah tidak indahnya sesuatu, (5) nilai-nilai politis atau gugus nilai kuasa di mana
yang bernilai positif adalah kekuasaan dan yang negatif ketertundukan, dan (6) nilai-nilai sosial
atau gugus nilai solidaritas, yang merupakan nilai yang menentukan positif apa negatif dalam
hubungan dengan orang lain. Enam gugus nilai itu melalui pelbagai konsfigurasi dapat
menentukan sistem nilai atau sistem moral khas setiap kepribadian, setiap kelompok sosial, dan
setiap kebudayaan.
Dalam makalah ini yang dimaksud nilai moral menunjuk pengertian sebagaimana
dikatakan oleh Bertens bahwa nilai memiliki tiga ciri, yaitu nilai berkaitan dengan subjek, nilai
tampil dalam suatu konteks praktis, dan nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek
pada sifat-sifat yang dimiliki oleh objek. Nilai moral merupakan nilai tertinggi. Nilai moral
memilik cirri-ciri (1) berkaitan dengan pribai manusia yang bertanggung jawab, (2) berkaitan
dengan hati nurani, (3) mewajibkan manusia secara absulut dan tidak bisa ditawar-tawar, dan (4)
bersifat formal. Nilai moral berkaitan juga dengan apa yang seyogianya tidak dilakukan karena
berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakkan. Jadi, inti dari nilai moral adalah nilai dalam
arti “baik”.
Konsep kata “baik” dapat dilihat dari berbagai pandangan. George Rdward Moore (dalam
Suseno, 2008:1-3) mengatakan, kata “baik” adalah kata kunci moralitas. Kata “baik” merupakan
kata dasar yang tidak dapat direduksikan kepada sesuatu yang lebih mendalam lagi. “Baik”
merupakan sifat primer yang tidak terdiri atas bagian-bagian lagi, dan karena itu tidak dapat
dianalisis. Kata “baik” merupakan etika yang paling mendasar. Kata “baik” kebalikannya adalah
“buruk”.
Dalam buku berujudul Ethics yang ditulis oleh Harry J. Gensler (1998) dibahas sepuluh
aliran yang memaknai kata “baik” sepertti dideskripsikan berikut ini. Aliran pertama adalah
Cultural Relativism (Gensler, 1998: 11-20). Menurut aliran ini, baik dan buruk adalah relatif. Kata
baik dimaknai sebagai sesuatu yang secara sosial telah disetujui oleh mayoritas dalam suatu
budaya. Prinsip-prinsip moral didasarkan atas norma-norma masyarakat. Di sini tidak ada standar
yang paling baik, setiap putusan yang benar atau salah adalah murni sebuah produk dari
masyarakatnya. Aliran kedua adalah subjectivism (Gensler, 1998: 21-32). Menurut subjectivism,
keputusan moral adalah penjelasan dari apa yang kita rasakan. Jika kita mengatakan sesuatu itu
baik karena kita memang merasa bahwa sesuatu itu bagus. Di sini, moralitas sangat berkaitan
dengan perasaan pribadi seseorang dan emosi yang dirasakan. Aliran ketiga adalah
Supernaturalism (Gensler, 1998: 33-45). Supernaturalism mengatakan bahwa moral hukum
menjelaskan kehendak Tuhan. Supernaturalism berpendapat bahawa Hukum moral Tuhan akan
menjelaskan: "X adalah baik" berarti "Allah menghendaki X." Supernaturalism merupakan etika
berdasarkan agama. Aliran keempat adalah Intuitionism (Gensler, 1998: 46-57). Intuitionism
adalah aliran yang mengangkat persoalan moral berdasarkan intuisi. Menurut Intuitionism,
kebenaran tidak dapat didefinisikan. Intuitionism mengakui adanya kebenaran objektif, akan tetapi
kebenaran itu tidak dapat dijelaskan dan hanya diketahui secara langsung oleh orang yang peka
atau dewasa moral berkat kemampuan intuitif mereka. Aliran kelima adalah Emotivism (Gensler,
1998: 58-70). Emotivism menyatidakan bahwa masalah moral itu hanyalah perkara perasaan
(emotion) saja. Emotivism melihat sebuah keputusan moral sebagai ekspresi perasaan, bukan
pernyataan benar-benar “benar” atau “tidak benar”. Baik menurut emotivism merupakan ekspresi
perasaan.
Selanjutnya, aliran keenam adalah prescriptivism (Gensler, 1998: 71-83). Prescriptivism
menyatakan bahwa ungkapan moral itu adalah keinginan yang diuniversalkan, misalnya penilaian
“aborsi itu tidak bermoral”, merupakan ungkapan bahwa saya tidak akan melakukan aborsi
sekaligus ajakan agar orang lain tidak melakukan aborsi. Aliran ketujuh adalah golden rule
(Gensler, 1998: 103-121). Aliran ini memperlakukan orang lain atau kita karena kita diperlakukan
dalam situasi yang sama. Jadi, menurut golden rule tindakan moral diterapkan dengan cara kita
memperlakukan orang lain seperti kita diperlakukan oleh orang lain. Aliran kedelapan adalah
moral rationality (Gensler, 1998: 122-137). Moral rationality memerlukan konsistensi, termasuk
mengikuti kaidah. Moral rationality juga memerlukan unsur-unsur lainnya, seperti pengetahuan
dan imajinasi. Pengajaran moral rationality akan membantu anak-anak untuk lebih rasional dalam
berpikir moral mereka yang merupakan bagian penting dari pendidikan moral. Ini terutama penting
untuk mengajar lima perintah moral berpikir rasional, yaitu (1) membuat keputusan yang tepat, (2)
hidup harmonis dengan moral kepercayaan, yang membuat mirip dengan tindakan serupa, (4)
menempatkan diri di tempat orang lain, dan (5) memperlakukan orang lain seperti kita ingin
diperlakukan. Aliran kesembilan adalah consequentialism (Gensler, 1998: 138:156).
Consequentialism adalah aliran yang mengajarkan kepada kita untuk melakukan tindakan apa pun
yang mempunyai konsekuensi atau dampak terbaik. Ada kalanya seorang consequentialism dapat
melakukan kebohongan jika lebih dapat mendatangkan kebaikan. Aliran yang terkenal dari
consequentialism adalah utilitarism, yang menyatakan bahwa kita harus melakukan sesuatu yang
bisa memberikan dampak lebih baik dan menyingkirkan dampak yang tidak baik bagi tindakan
kita. Aliran kesepuluh adalah nonconsequentialism (Gensler, 1998: 157-174).
Nonconsequentialism mengatidakan bahwa beberapa jenis tindakan (seperti membunuh atau
melanggar janji
yang bersalah) yang salah dalam diri mereka sendiri, dan bukan hanya karena mereka telah salah
konsekuensi buruk. Hal-hal seperti itu mungkin exceptionlessly salah, atau mungkin saja ada
beberapa independen moral berat terhadap mereka.
B. Kepemimpinan Pendidikan
1. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan adalah perilaku seorang individu ketika ia mengarehkan aktifitas sebuah
keleompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & Coons,1957:7). Ada pula yang menyatakan
bahwa “kepemimpinan adalah suatu jenis hubungan kekuasaan yang ditandai oleh persepsi
anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk merumuskan pola
perilaku dari anggota yang pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya sebagai anggota
kelompok” (Janda,1960: 358).
Kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi yang mengarah yang dilakasanakan melelui
proses komunikasi,kearah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu (Tanenbaum,
Weschler&Massarik, 1961: 24). Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas sebuah
kelompok yang terorganisasi menuju pencapaian suatu tujuan (Roach & Behling 1984:46).
Sifat-sifat Pemimpin 1) Energi jasmaniah dan mental 2) Kesadaran akan tujuan dan arah 3)
Antusiasme 4) Keramahan dan kecintaan 5) Integritas 6) Pengasaan teknis 7) Ketegasan dalam
mengambil keputusan 8) Kecerdasan 9) Keterampilan mengajar 10) Kepercayaan.
Asas-asas kepemimpinan 1) Kemanusiaan; 2) Efisien; 3) Kesejahteraan dan kebahagiaan
yang lebih merata menuju pada taraf hidup yang lebih tinggi. Metode kepemimpinan ialah cara
bekerja dan bertingkah laku pemimpin dalam membimbing para pengikutnya untuk berbuat
sesuatu maka metode kepemimpinan ini diharapkan bisa membantu keberhasilan pemimpin dalam
melakukan tugas-tugasnya sekaligus juga dapat memperbaiki tingkah laku serta kualitas
kepemimpinan Ordway Tead (1991) dalam bukunya “The Art of
Administration” mengemukakan metode kepemimpinan dibawah ini 1) Memberi perintah
2) Memberikan celaan dan pujian 3) Memupuk tingkah laku pribadi pemimpin yang
benar 4) Peka terhadap saran-saran 5) Memperkuat rasa kesatuan kelompok 6) Menciptakan
disiplin diri dan disiplin kelompok 7) Meredam kabar angin dan isu-isu yang tidak benar.
Berdasarkan pernyataan tersebut dipahami bahwa kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan
penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar
bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dalam menjalankan
kepemimpinannya, seorang pemimpin memiliki gaya-gaya tersendiri. Gaya (style) adalah suatu
cara berperilaku yang khas dari seorang pemimpin terhadap para anggota kelompoknya.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
(leader) tentang bagaimana menjalankan kepemimpinannya (to lead) sehingga bawahan dapat
bergerak sesuai dengan yang diinginkan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Bergeraknya orang-orang harus mengikuti jalur tujuan organisasi yang hendak dicapai dan bukan
merupakan kamuplase (kepura-puraan/keinginan pemimpin) dari kepemimpinannya itu sendiri,
karena bagaimanapun pemimpin itu adalah bagian dari anggota organisasi itu sendiri. Adapun
pergerakan dalam pencapaian tujuan adalah legitimasi dari sebuah kekuasan yang dimiliki oleh
pemimpin, karena bagaimanapun bukan hanya sebuah simbol atau kedudukan semata.
A Leader adalah seorang yang dipandang memiliki kelebihan dari yang lainnya untuk
jangka panjang maupun jangka pendek dengan kewenangan dan kekuasan dalam situasi tertentu.
Leading adalah kegiatan dimana individu-individu atau kelompok dipandang oleh satu atau
lainnya untuk mengarahkan dalam pencapaian tujuan, walaupun tujuan itu merupakan tujuan
individu. Dalam konteks memimpin ini banyak diantaranya anggota dari luar organisasi menjadi
orang yang mengarahkan kegiatan orang yang ada dalam organisasi (bias). Leadership adalah
proses yang mengarahkan kemampuan dalam pencapaian tujuan dengan memanfaatkan orang-
orang atau kelompok dalam kondisi tertentu.
Pemimpin pendidikan bekerja di masyarakat yang semakin beragam dengan sejumlah nilai-
nilai bersaing. Kepemimpinan dipadukan dengan pengetian pendidikan adalah satu kemampuan
dan proses mempengaruhi, membimbing, mengkoodiasikan, dan mengerakkan orang-orang yang
ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan, pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran agar kegiatan yang dijalankan lebih efektif dan efisien.
Pemberdayaan lembaga pendidikan merupakan upaya mendasar dalam peningkatan mutu
pendidikan. Ada dua komponen kunci pemberdayaan lembaga pendidikan, pertama adalah kepala
sekolah dan yang kedua adalah guru. Peningkatan kualitas kepemimpinan pendidikan seorang
kepala sekolah dan guru merupakan modal dasar bagi upaya reorientasi pendidikan kearah mutu
standar internasional. Perubahan paradigma pendidikan akan lebih mudah apabila kepala sekolah
dan guru memiliki kepemimpinan pendidikan intrapreneur, khususnya dalam penyelenggaraan
kurikulum di sekolah. Keberhasilan pendidikan dasar merupakan prasyarat bagi keberhasilan
pendidikan menengah dan tinggi. Manajemen kurikulum pendidikan dasar yang baik akan
menjadi landasan keberhasilan pendidikan diatasnya, dan kepemimpinan pendidikan merupakan
tumpuan keberhasilan manajemen
b. Teori sifat, Pada dasarnya sama dengan teori kelebihan. Teori ini menyatakan bahwa seseorang
dapat menjadi pemimpin yang baik apabila memiliki sifat-sifat yang lebih daripada yang dipimpin.
Di samping memiliki kelebihan pada ratio, rohaniah dan badaniah, seorang pemimpin hendaknya
memiliki sifat-sifat yang positif, misalnya; adil, suka melindungi, penuh percaya diri, penuh
inisiatif, mempunyai daya tarik, energik, persuasif, komunikatif dan kreatif. (Wursanto, 2003:
198).
Menurut Miftah Thoha (2003:32-33) bahwa sesungguhnya tidak ada korelasi sebab akibat
antara sifat dan keberhasilan manajer, pendapatnya itu merujuk pada hasil penelitian Keith Davis
yang menyimpulkan ada empat sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi, yaitu;
1) Kecerdasan ( di atas disebutkan kelebihan ratio). Hasil penelitian pada umumnya membuktikan
bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
dipimpin. Namun demikian pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan
pengikutnya,
2) Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, para pemimpin cenderung menjadi matang dan
mempunyai emosi yang stabil, serta mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-akltivitas
sosial. Dia mempunyai keinginan menghargai dan dihargai,
3) Motivasi dan dorongan berprestasi, para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi
yang kuat untuk berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang instrinsik
dibandingkan dari yang ekstrinsik,
4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan, para pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan
kehormatan para pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya, dalam istilah penelitian
Universitas Ohio pemimpin itu mempunyai perhatian, dan kalau mengikuti istilah penemuan
Michigan, pemimpin itu berorientasi pada karyawan bukannya berorientasi pada produksi. Hal
serupa juga dinungkapkan oleh Adam Ibrahim Indrawijaya dalam bukunya prilaku organisasi (
1983: 132-133).
c. Teori keturunan, yang menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin karena keturunan
atau warisan. Karena orang tuanya seorang pemimpin maka anaknya otomatis akan menjadi
pemimpin menggantikan orang tuanya, seolah-olah seseorang menjadi pemimpin karena
ditakdirkan.
d. Teori kharismatik, yang menyatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena mempunyai
karisma (pengaruh) yang sangat besar. Karisma itu diperoleh dari Kekuatan Yang Maha Kuasa.
Dalam hal ini ada suatu kepercayaan bahwa orang itu adalah pancaran Zat Tunggal, sehingga
dianggap mempunyai kekuatan ghaib (supranatural power). Pemimpin yang bertipe karismatik
biasanya memiliki daya tarik, kewibawaan dan pengaruh yang sangat besar.
e. Teori bakat, yang disebut juga teori ekologis, menyatakan bahwa pemimpin itu lahir karena
bakatnya. Ia menjadi pemimpin karena mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin. Bakat
kepemimpinan itu harus dikembang kan, misalnya dengan memberi kesempatan orang tersebut
menduduki suatu jabatan.
f. Teori Sosial, beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin. Setiap
orang mempunyai bakat untuk menjadi pemimpin asal dia diberi kesempatan. Setiap orang dapat
dididik menjadi pemimpin karena masalah kepemimpinan dapat dipelajari, baik melalui
pendidikan formal maupun melalui pengalaman praktek.
g. Teori Kelompok, beranggapan bahwa, supaya kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, maka
harus terdapat suatu pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya. Teori
kelompok ini dasar perkembangan nya pada psikologi sosial.
h. Teori Situasional, menyatakan bahwa beberapa variabel-situasional mempunyai pengaruh
terhadap peranan kepemimpinan, kecakapan, dan perilakunya termasuk pelaksanaan kerja dan
kepuasan pengikutnya. Beberapa variabel sitasional di identifikasikan, tetapi tidak semua ditarik
oleh situasional ini.
i. Model kepemimpinan kontingensi, yang ditemukan Fiedler sebagai hasil pengujian hipotesa
yang telah dirumuskan dari penelitiannya terdahulu. Model ini berisi tentang hubungan antara gaya
kepemimpinan dengan situasi yang menyenangkan dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi
empiris berikut ini:
1) Hubungan pimpinan-anggota. Variabel ini sebagai hal yang paling menentu kan dalam
menciptakan situasi yang menyenangkan,
2) Derajat dari struktur tugas. Dimensi ini merupakan urutan kedua dalam menciptakan situasi yang
menyenangkan,
3) Posisi kekuasaan pemimimpin yang dicapai lewat otoritas formal. Dimensi ini merupakan urutan
ketiga dalam menciptakan situasi yang menyenangkan. (Miftah Thoha, 2003: 37-38).
j. Teori Jalan Tujuan (Path-Goal Theory) yang mula-mula dikembang kan oleh Geogepoulos dan
kawan-kawannya di Universitas Michigan. Pengembangan teori ini selanjutnya dilakukan oleh
Martin Evans dan Robert House. Secara pokok teori path-goal dipergunakan untuk menganalisa
dan menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan kerja
bawahan. Ada Dua faktor situsional yang telah diidentifikasikan, yaitu sifat personal para
bawahan, dan tekanan lingkungan dengan tuntutan-tuntutan yang dihadapi oleh para bawahan.
Untuk situasi pertama teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin
akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut merupakan sumber
yang segera bisa memberikan kepuasan, atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan masa depan.
Adapun faktor situasional kedua, path-goal, menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan bisa
menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika;
a. Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja,
b. Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang berupa memberikan
latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan kerja. (M.
Thoha, 2003: 49).
b. Kepemimpinan Demokrasi
Gaya atau tipe kepemimpinan ini dikenal pula dengan istilah kepemimpin an konsultatif atau
konsensus. Orang yang menganut pendekatan ini melibatkan para karyawan yang melaksanakan
keputusan dalam proses pembuatannya, walaupun yang membuat keputusan akhir adalah
pemimpin, setelah menerima masukan dan rekomendasi dari anggotan tim.
Menurut Adam Ibrahim Indrawijaya (1983: 82) "Gaya kepemimpinan demokratis pada
umumnya berasumsi bahwa pendapat orang banyak lebih baik dari pendapatnya sendiri dan
adanya partisipasi akan meninbulkan tanggung jawab bagi pelaksananya".Asumsi lain bahwa
partisipasi mem berikan kesempatan kepada para anggota untuk mengembangkan diri mereka.
c. Kepemimpinan Laisser Faire
Kepemimpinan laissez faire (gaya kepemimpinan yang bebas) adalah gaya kepemimpinan
yang lebih banyak menekankan pada keputusan kelompok. Dalam gaya ini, seorang pemimpin
akan menyerahkan keputusan kepada keinginan kelompok, apa yang baik menurut kelompok
itulah yang menjadi keputusan. Pelaksanaannya tergantung kepada kemauan kelompok.
(A.Ibrahim,1983: 136).
Pada umumnya tipe laissez faire dijalankan oleh pemimpin yang tidak mempunyai keahlian
teknis. Tipe laissez faire mempunyai ciri-ciri antara lain;
1) Memberikan kebebasan sepenuhnya kepada bawahan untuk melakukan tindakan yang dianggap
perlu sesuai dengan bidang tugas masing-masing,
2) Pimpinan tidak ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan kelompok,
3) Semua pekerjaan dan tanggungjawab dilimpahkan kepada bawahan,
4) Tidak mampu melakukan koordinasi dan pengawasan yang baik
5) Tidak mempunyai wibawa sehingga ia tidak ditakuti apalagi disegani bawahan,
6) Secara praktis pemimpin tidak menjalankan kepemimpinan, ia hanya merupakan simbol belaka.
(Wusanto, 2003).
Menurut hemat penulis tipe laissez faire ini bukanlah tipe pemimpin yang sebanarnya,
karena ia tidak bisa mempengaruhi dan menggerakkan bawahan, sehingga tujuan organisasi tidak
akan tercapai.
d. Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka, bebas atau
nondirective. Pemimpin yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam
proses pengambilan keputusan. Ia hanya sedikit menyaji kan informasi mengenai suatu
permasalahan dan memberikan kesempat an kepada anggota tim untuk mengembagkan strategi
dan pemecahannya, ia hanya mengarahkan tim kearah tercapainya konsensus.
e. Kepemimpinan Paternalistik
Tipe paternalistik adalah gaya kepemimpinan yang bersifat kebapakan. Pemimpin selalu
memberikan perlindungan kepada para bawahan dalam batas-batas kewajaran. Ciri-ciri pemimpin
paternalistik menurut Wursanto, 2003: 202):
1) Pemimpin bertindak sebagai seorang bapak,
2) Memperlakukan bawahan sebagai orang yang belum dewasa,
3) selalu memberikan perlindungan kepada para bawahan yang kadang-kadang berlebihan,
4) Keputusan ada ditangan pemimpin, bukan karena ingin bertindak secara otoriter, tetapi karena
keinginan memberikan kemudahan kepada bawahan. Karena itu bawahan jarang bahkan sama
sekali tidak memberikan saran kapada pimpinan, dan Pimpinan jarang bahkan tidak pernah
meminta saran dari bawahan,
5) Pimpinan menganggap dirinya yang paling mengetahui segala macam persoalan.
h. Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan ini dikenal juga sebagai kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau
kontingensi. Asumsi yang digunakan dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satu pun gaya
kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi. Oleh karena itu gaya
kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas
faktor-faktor seperti pemimpin, pengikut, dan situasi (dalam arti struktur tugas, peta kekuasaan,
dan dinamika kelompok.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bagian ini dijelaskan pembahasan mengenai faktor moral dalam kepemimpinan
pendidikan dengan harapan dapat menjawab permasalahan yang diajukan pada bab pendahuluan.
Dengan demikian ada empat persoalan pokok yang disajikan pada bab ini. Pertama, pentingnya
moral kepemimpinan pendidikan; Kedua, implementasi moral kepemimpinan pendidikan; Ketiga,
internalisasi moral dalam kepemimpinan pendidikan; Dan keempat, faktor-faktor yang
mempengaruhi moral kepemimpinan pendidikan.
Setelah melakukan pembahasan tentang moral kepemimpinan pendidikan, pada bagian ini
disajikan simpulan sebagai berikut:
A. Simpulan
1. Pentingnya moral kepemimpinan pendidikan adalah untuk menjamin baiknya pelaksanaan
pendidikan di semua tingkat.
2. Implementasi moral kepemimpinan pendidikan dimulai dari diri sendiri, lingkungan terdekat dan
dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan dalamprilaku kehidupan sehari-hari.
3. Internalisasi moral dalam kepemimpinan pendidikan didukung oleh pengetahuan, konsep diri, dan
hati nurani.
4. Moral kepemimpinan pendidikan dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor
internal meliputi akal pikiran, motivasi instrinsik dan kecenderungan diri. Adapun faktor eksternya
adalah segala faktor yang datang dari luar diri individu.
B. Implikasi
1. Pemimpin penting memberi contoh dalam sikap dan perilaku yang baik terutama bagi pemimpin
pendidikan.
2. Setiap individu yang terlibat dalam pendidikan perlu mengimplementasikan moral, sehingga
tercipta suasana yang saling mendukung moral kepemimpinan pendidikan.
3. Pemimpin pendidikan tertuntut untuk menjadikan moral kepemimpinan pendidikan sebagai
bagian penting dalam proses memimpin.
4. Berbagai faktor yang mempengaruhi moral kepemimpinan pendidikan perlu diperhatikan,
dievaluasi dan diperbaiki sehingga seluruhnya menjadi optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M Yatimin, (2007) Studi Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an, Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Amril. ( 2002). Etika Islam; Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghin Al-Isfahani. Pekanbaru-
Yogyakarta: LSFK2P-Pustaka Pelajar.
Barcalow, Emmett. (1998). Moral Philosophy; Theories and Issues. Belmont CA: Wadsworth Publishing
Company.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bush, and Coleman. (2000). Leadership and Strategic Management in Education. Houston: Gulf
Publising.
Daldjoeni, N. (1997). “Hubungan Etika dengan Ilmu” dalam Jujun S. Sumantri, Ilmu dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Daradjat. Z. (1980). Islam untuk Disiplin Ilmu. Jakarta: Bulan Bintang.
Daroeso, Bambang. (1985). Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang: Aneka Ilmu.
Dawam Rahardjo, M. (1992). Pragmatisme dan Utopia; Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
De Vos, H. (1987). Pengantar Etika, alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Djuretna A. Imam Muhni. (1994). Moral & Religi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Downey, Merieal and A.V. Kelly. (1978). Moral Education, Theory and Practice. London: Harper and
Raw Publisher.
Fakhry, Majid, (1996). Etika Dalam Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fiedler, Fred R. (1997). A Theory of Leadership Effectiveness. New York: Mc Graw-Hill Book Co.
Frondizi, Risiere. (2001). Pengantar Filsafat Nilai, terjemahan Cuk Ananta Wijaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hasan Alwi, (pimred). 2002. Kamus Besar Bahasa Indnesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Held, Virginia. (1989). Etika Moral; Pembenaran Tindakan Sosial, terjemahan Y. Ardy Handoko.
Jakarta: Erlangga.
Henerson, Marlene E., et.al. (1978). How to Measure Attitudes. London: Sage Publications.
Holmes, Robert L. (1998). Basic Moral Philosophy. BelmontCA: Wadsworth Publishing Company.
Hughes, Richard C. (1988). Leadership: Enhancing The Lessons of Experience. Boston: McGraw-
Hill/Irwin.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Koentjaraningrat. (1980). Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Djambatan.
Kutines, William M. dan Jacob L. Gerwitz. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral,
alih bahasa M.I. Soelaeman. Jakarta: UI Press.
Law, and Glover. 2000. Educational Leadership & Learning. New York: Dryden Press.
Lickona, Thomas. (1976). Moral Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues. New
Yok: Holt, Rinehart and Winston.
Magnis Suseno, Franz. (1986). Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia.
Magnis Suseno, Franz. (1987). Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.
Mangunhardjana, A. (1997). Isme-Isme dalam Etika; Dari A samapai Z. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
May, Larry., et al., editors. (1998). Applied Ethics : A Multicultural Approach. New Jersey: Prentice Hall.
Mouly, George J. (1968). Psychology of Effective Teaching. New York: Halt Rinehat and Winston Inc.
Muchson AR. (2000). Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Diktat Perkuliahan). Yogyakarta: FIS-UNY
Nata, Abuddin, (1996) Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Nurcholish Madjid. (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Poespoprodjo, W. (1986). Filsafat Moral; Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja
Karya.
Rahman, B. (1993) Materia Akhlak. Jakarta: Ditbinrua.
Rakhmat, J. (1988). Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Reimer, Joseph., et al., ediors. (1983). Promoting Moral Growth; From Piaget to Kohlberg. New York
and London: Longman.
Ringness, Thomas A. (1975). The Affective Domain in Education. Toronto: copyright by Little, Brown
and Company.
Rustandi, A. 1985. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Said, H.M. (1980). Etik Masyarakat Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Sergiovanni, T. (1992). Moral Leadership . San Francisco, CA: Jossey-Bass Inc.
Sinaga, Hasanudin dan Zaharuddin, Pengatar Studi Akhlak, Jakarta : PT Raja Grafmdo Persada, 2004
Sinclair, John M., English Language Dictionary, Collins, London,1988. Lihat juga Hornby, AS., Oxford
Edvanee Leaner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 174.
Soedjatmoko. (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Soenarjati M. dan Cholisin. (1989). Dasar dan Konsep Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Lab. Jurusan
PPKn FPIPS IKIP YOGYAKARTA.
Sumitro, dkk. (1998). Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
YOGYAKARTA.
Syed Nawab Haidar Naqwi. (1998). Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, terjemahan Husin
Anis dan Asep Hikmat. Bandung: Mizan
Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden, penyunting. (1986). Durkheim dan Pengantar Sosiologoi
Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tim Penerjemah Al-Quran. (1984). Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI.
Tjahjadi, S.P. Lili. (1991). Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Winkel, W.S. (1987). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.
www.ascd.org/frameedlead.htmlwww.ascd.org / frameedlead.html