Вы находитесь на странице: 1из 9

MORAL DAN AGAMA DALAM MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendahuluan
Secara faktual, Management Pendidikan Islam yang secara umum dapat diartikan sebagai
berikut; kata Management yang berasal dari bahasa inggris to manage yang berarti mengatur,
merencanakan dan mengelola. Dan Pendidikan adalah suatu bimbingan atau pertolongan yang
diberikan oleh orang dewasa secara sadar baik itu secara jasmani ataupun rohani. Sedangkan
Islam adalah agama yang paling diridhoi Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Management
Pendidikan Islam adalah suatu aturan atau perencanaan yang berkaitan dengan pendidikan yang
memiliki nilai-nilai agama islam.
Dan dalam Management Pendidikan Islam terdapat beberapa nilai yang terkandung di
dalamnya, yakni salah satunya adalah moral, nilai dan agama. Dimana moral sangat berperan
penting dalam Management Pendidikan Islam, karena moral merupakan pondasi awal dalam
Management Pendidikan Islam, dan nilai juga termasuk di dalamnya karena nilai merupakan
suatu acuan tingkah laku manusia.
Dimana dalam Management Pendidikan Islam pula terdapat beberapa fungsi yaitu
perencanaan, organisasi, koordinasi, komunikasi, pengawasan, pembiayaan dan evaluasi.

B. Pengertian Nilai dan Indikatornya


1. Pengertian Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.1[1]
Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.2[2] Nilai itu praktis
dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam
masyarakat.3[3]
“Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut: Nilai
adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya

1[1]. Poerwadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 677.

2[2]. Titus M.S, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 122.

3[3]. Muhaimin, Pemikiran pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 110.
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki.4[4]”

Sedangkan menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem
kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subyek yang memberi arti (manusia yang
meyakini).5[5] Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai
acuan tingkah lakunya.
2. Indikator Nilai
Dewasa ini semua lembaga pendidikan berorientasi pada mutu. Lembaga pendidikan
dikatakan ‘bermutu’ jika input, proses dan hasilnya dapat memenuhi persyaratan yang dituntut
oleh pengguna jasa pendidikan. Bila performance-nya dapat melebihi persyaratan yang dituntut
oleh stakeholder (user) maka dikatakan unggul. Lantaran tuntutan persayaratan yang dikehendaki
para pengguna jasa terus berubah dan berkembang kualitasnya, maka pengertian mutu juga
bersifat dinamis, terus berkembang dan terus berada dalam persaingan yang terus menerus.
Sehubungan dengan hal tersebut, keberhasilan dalam implementasi manajemen
peningkatan mutu dalam lembaga pendidikan Islam setidaknya bisa dilihat dari tiga indikator
yaitu efisiensi, efektifitas, dan produktivitas. Tiga indikator tersebut saling berkaitan satu dengan
lainnya, walaupun pada tataran praktik masing-masing bisa berdiri sendiri.
Untuk bisa dideteksi sejak dini sejauh mana keberhasilan pelaksanaan manajemen
peningkatan mutu pendidikan Islam, maka ketiga indikator (efisiensi, efektifitas, dan
produktivitas) dalam manajemen peningkatan mutu harus sejak awal ditetapkan. Sehingga
kekurangan atau kelemahan yang muncul dapat diperbaiki dan kelebihannya dapat
dipertahankan.

a) Efisiensi
Efisiensi menurut Dharma Mulyasa mengacu pada ukuran penggunaan daya yang langka
oleh organisasi . Efisiensi juga ditekankan pada perbandingan antara input/sumber daya dengan
out put. Sehingga suatu kegiatan dikatakan efisien bila tujuan dapat dicapai secara optimal

4[4]. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61.

5[5]. Ibid.
dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal . Efisiensi dengan demikian
merupakan perbandingan antara input dengan out put, tenaga dengan hasil, perbelanjaan dan
masukan, serta biaya dengan kesenangan yang dihasilkan.
Dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai kegairahan atau motivasi belajar yang
tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak, dan pembiayaan, waktu, dan
tenaga sekecil mungkin tetapi hasil yang didapatkan maksimal. Dengan demikian, efisiensi
merupakan faktor yang sangat urgen dalam rangka manajemen peningkatan mutu pendidikan
Islam. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam secara umum dihadapkan pada masalah
kelangkaan sumber dana, yang secara langsung berdampak terhadap kegiatan manajemen.
Di atas telah dikemukakan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara input dan
output. Dalam pendidikan, input adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Sumber daya tersebut terkait dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Nilai
menggariskan tujuan serta isi pendidikan, faktor manusia merupakan pelaksana pendidikan, dan
faktor ekonomi menyangkut biaya dan fasilitas penyelenggaraan. Secara operasional, masukan
tersebut adalah peserta didik, guru, ruang kelas, buku teks, peralatan, kurikulum serta sarana
pendidikan. Masukan ini bisa dinyatakan dalam bentuk biaya pendidikan per peserta didik setiap
tahun. Sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan, dapat
dihitung dari banyaknya tahun yang dihabiskan peserta didik dalam siklus tertentu untuk
menyelesaikan studinya. Efisiensi ini akan menurun jika ada peserta didik yang mengulang atau
DO (Drop Out).
Selain dianalisis dari perbandingan komponen input dan output, efisiensi juga bisa
ditinjau dari sisi proses pendidikan, dimana merupakan interaksi antara faktor manusiawi dan
non manusiawi dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan sesuai dengan rentang waktu
yang telah ditentukan. Sehingga pendidikan dikatakan efisien jika proses atau kegiatan
pengelolaan lembaga pendidikan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

b) Efektifitas
Efektifitas merupakan sebuah fenomena yang mengandung banyak segi, sehingga sedikit
sekali orang yang dapat memaksimalkan keefektivitasan sesuai dengan keefektifitasan itu sendiri
. Atau dapat dikatakan bahwa efektivitas masih merupakan sebuah konsepsi yang bersifat elusive
(sulit diraih) yang harus didefinisikan secara jelas. Sehingga efektivitas organisasi atau lembaga
pendidikan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, bergantung pada kerangka acuan yang
dipakai.
Bagi Etzioni, keefektifan merupakan derajat di mana sebuah organisasi mencapai
tujuannya . Sedangkan menurut Sergiovani, keefektifan merupakan kesesuaian antara hasil yang
dicapai oleh organisasi dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Kemudian Scheerens mengemukakan bahwa efektifitas sebagai konsep kausal secara
esensial, di mana hubungan maksud hingga tujuan (means-to-end relationship) serupa dengan
hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), terdapat tiga komponen utama yang harus
diperhatikan dalam studi tentang efektivitas organisasi pendidikan, yaitu: (1) cakupan pengaruh,
(2) kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu (ditandai sebagai mode
pendidikan), dan (3) fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan mengapa
tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh.
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa efektifitas organisasi merupakan
kemampuan organisasi untuk merealisasikan berbagai tujuan dan kemampuannya untuk
beradaptasi dengan lingkungan dan mampu bertahan agar tetap eksis/hidup. Sehingga organisasi
dikatakan efektif jika organisasi tersebut mampu menciptakan suasana kerja dimana para pekerja
tidak hanya melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya, tetapi juga membuat suasana
supaya pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi
dalam mencapai tujuan.
Konsep efektifitas pendidikan mengacu pada kinerja unit organisasi, oleh sebab itu
maksud dari efektifitas sesungguhnya pencapaian tujuan, maka asumsi kriteria yang digunakan
harus mencerminkan sasaran akhir dari organisasi itu sendiri. Efektifitas pendidikan dalam setiap
tahapannya berproses pada das sollen dan dessein dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Indikator input, meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi pendidikan serta
kapasitas manajemen.
b. Indikator proses, meliputi prilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu peserta
didik.
c. Indikator out put, berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik meliputi hasil
prestasi belajar, sikap, keadilan dan persamaan.
d. Indikator out come, meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar
di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa efektifitas merupakan satu dimensi tujuan
manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Lembaga pendidikan
yang efektif adalah lembaga pendidikan yang menetapkan keberhasilan pada input, proses,
output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya indikator-indikator tersebut. Sehingga
dengan demikian, efektifitas lembaga pendidikan bukan sekedar pencapaian sasaran dan
terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan erat dengan syaratnya
indikator tersebut dengan mutu, atau dengan kata lain ditetapkannya pengembangan mutu
lembaga pendidikan.
Mulyasa kemudian memberikan barometer terhadap efektifitas sebuah lembaga
pendidikan. Menurutnya barometer efektifitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan
penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan,
ketepatan waktu, serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana, dan sumber belajar dalam
meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa kajian tentang efektifitas pendidikan harus dilihat
secara sistemik mulai dari input sampai dengan outcome, dengan indikator yang tidak hanya
bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif. Karena sudah lama kita mendambakan sebuah
pendidikan yang berkualitas.
c) Produktivitas
Produktivitas merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (input) dengan
jumlah sumber yang dipergunakan (output). Produktivitas dapat dinyatakan dengan kuantitas
maupun kualitas. Kuantitas output merupakan jumlah lulusan, sedangkan input merupakan
jumlah tenaga kerja sekolah, dan sumber daya lainnya. Sedangkan produktivitas dalam ukuran
kualitas tidak dapat diukur dengan uang, ia digambarkan dari ketetapan penggunaan metode dan
alat yang tersedia sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
tersedia serta mendapatkan respon positif bahkan pujian dari orang lain atas hasil kerjanya.
Ada pula yang menekankan produktivitas pada sisi pemberian perhatian dan kepuasan
kepada pelanggan, sehingga semakin banyak dan semakin memuaskan pelayanan yang diberikan
sebuah corporate atau lembaga terhadap customer, maka semakin produktif lembaga tersebut.
Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan erat dengan keseluruhan proses penataan
dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan dipadukan dengan cara-
cara yang berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya memproduksi pakaian yang
menggunakan teknik-teknik yang berbeda dalam memadukan buruh, modal, dan pengetahuan.
Untuk mengusai teknik-teknik tersebut diperlukan proses belajar.
Seiring dengan bertambahnya waktu, semakin besar pula modal untuk pendidikan.
Sekolah pun semakin berkembang seiring dengan besarnya tuntutan pendidikan yang harus
dikembangkan. Perubahan dalam intensitas tenaga kependidikan pun kemudian harus dilakukan
dan disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga perlu diaplikasikan model keterampilan mengajar
yang bervariasi.
Secara sederhana produktivitas pendidikan dapat diukur dengan melihat indeks
pengeluaran riil pendidikan seperti dalam National Income Blue Book, dengan cara
menjumlahkan pengeluaran dari banyaknya peserta didik yang dididik. Namun cara ini
merupakan pengukuran cara kasar terhadap produk riil kependidikan. Cara ini pun tidak
menceritakan sama sekali tentang kualitas lulusan lembaga pendidikan, juga derajat efisiensi
berbagai sumber yang digunakan. Sehingga pengukuran output pendidikan dengan cara yang
rasional penting untuk dipertimbangkan, namun juga perlu disadari bahwa pengukuran ini tidak
dapat memberi indikasi langsung mengenai kuantitas pengajaran yang diterima setiap peserta
didik.
Thomas mengemukakan bahwa produktifitas pendidikan dapat ditinjau dari 3 dimensi
sebagai berikut :
1. Meninjau produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa besar dan
seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan, baik oleh guru kepala
sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
2. Meninjau produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang
diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran prestasi akademik yang telah dicapainya dalam
periode belajar tertentu disekolah.
3. Melihat produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan
layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan (pengorbanan
atau cost) dan “perolehan” yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai
baik“.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa pengukuran produktivitas pendidikan erat
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, yang sangat bergantung pada akurasi kerangka yang
digunakan dalam analisis dan kualitas data. Dalam konteks ini agaknya tidak perlu diperdebatkan
bagaimana pengukuran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, sebab umumnya riset
mengenai ini membuktikan bahwa peranan pendidikan tetap substansial dalam pertumbuhan
ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengetahui produktivitas pendidikan dalam
konteks peningkatan mutu pendidikan, antara lain dapat dilakukan dengan analisis efektifitas
biaya, analisis biaya minimal, dan analisis manfaat .6[6]

C. Pengertian Moral Islam


Manusia adalah makhluk yang harus bermoral, sebabnya ialah karena moral merupakan
tuntutan kodrat manusia. Prof. Dr. N. Dyarkara SJ mengatakan: “Kesusilaan adalah tuntutan
kodrat manusia. Tiap-tiap perbuatan yang tidak susila merupakan perkosaan terhadap
kodrat.”7[7]
Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian (QS. At-
Tiin: 4);

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. At-
Tiin : 4)
Kemudian di ayat lain dinyatakan-Nya pula bahwa Ia telah memuliakan manusia;

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’ :
70)

6[6]. http://abulraihan.wordpress.com/2009/05/25/efektifitas-efisiensi-dan-produktivitas-manajemen-peningkatan-mutu-
pendidikan-islam/, terakhir di akses 29 September 2012.

7[7]. Syahminan Zaini, Mengapa Manusia Harus Beragama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h.56.
Dari kedua ayat tersebut di atas, hal ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk
yang bermoral.

Kemudian adapun pengertian moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores
yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.8[8] Di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.9[9]
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.10[10] Selanjutnya pengertian moral
dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku ini
dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut;
1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik
atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut
bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.

D. Hubungan Antara Nilai dan Moral dalam Management Pendidikan Islam


Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri
dari akses negative globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang
telah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan kebodohan
dan keterbelakangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia/pribadi
muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusai baik yang berbentuk jasmani
maupun rohani. Menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia

8[8]. Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 8

9[9]. Poerwadarminta, op.cit., h. 654.

10[10]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 92.
dan alam semesta. Dengan demikian pendidikan Islam itu berupaya mengembangkan individu
sepenuhnya, Maka sudah sewajarnya untuk dapat memahami hakikat pendidikan islam itu
bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam, yaitu manusia itu merupakan
makhluk yang bermoral. Sehingga moral itu pun harus dibenahi dalam diri manusia muslim
secara utuh.
Untuk terciptanya fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka
diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim
kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai, diantaranya yaitu pendidikan moral yang
tertanam dalam diri seorang muslim. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir pendidikan
Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pada
tujuan tersebut.

E. Kesimpulan
Pendidikan Islam sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai moral dan
ajaran keagamaan. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi muslim sepenuhnya,
yang mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah, rohaniah, dan menumbuh
suburkan hubungan setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam dengan acara
mengembangkan aspek structural, cultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia
guna mencapai taraf hidup yang layak.
Dari uraian diatas nampak jelas bahwa efektifitas, efisiensi, serta produktivitas
manajemen pendidikan harus ditetapkan sejak awal agar dampaknya dapat dideteksi sejak dini
terhadap pencapaian tujuan pendidikan islam tersebut. Selain itu, efektifitas, efisiensi, dan
produkktivitas menjadi prasarat utama untuk memperjelas orientasi dalam pengelolaan suatu
lembaga pendidikan Islam. Sehingga lembaga pendidikan islam tampil sebagai lembaga yang
memiliki daya tarik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat pada era globalisasi ini.

Вам также может понравиться