Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut idealisme, bila seorang belajar pada tahap awal berarti ia telah
memahami “aku” nya sendiri, lantas bergerak keluar untuk memahami dunia
objektif dari mikro-kosmos menuju makro-kosmos. Sama halnya yang dijelaskan
oleh Kant (1942-1804), bahwa segala pengetahuan yang dicapai manusia lewat
indera memerlukan unsur apriori yang tidak diketahui oleh pengalaman terlebih
dahulu. Bila seseorang berhadapan dengan benda-benda, tidaklah berarti bahwa
mereka mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu, tetapi ruang dan waktu itu
sudah ada dalam ide atau budi manusia (innate ideas) sebelum ada pengalaman
dan pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi pada benda,
melainkan benda-benda itulah yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan berpikir di atas,
belajar dapat didifinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri
sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan dirinya sendiri
(Pudjawijatno, 1964: 120-121).
1
Seorang filsuf dan sosiolog, L. Finney menjelaskan, bahwa mental adalah kondisi
rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
yang ditentukan oleh peraturan alam (determinsm). Ini berarti bahwa pendidikan
adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Dengan
demikian, belajar adalah menerima dengan sesungguhnya nilai-nilai sosial oleh
angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan oleh
angkatan berikutnya. Pandangan realisme ini menceriminkan adanya dua jenis
determinisme, yaitu determinisme mutlak dan determinisme terbatas. Yang
mutlak menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tak dapat
dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Sedangkan dengan determinisme terbatas
adalah memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
2
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik).
Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini
menerima sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan
lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat perubahan perilaku, dan pada
proses mental internal. Jadi dalam teori belajar sosial kita akan menggunakan
penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan penjelasan kognitif internal
untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar
sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja, tetapi juga
dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan teori belajar social menurut Albert Bandura?
2. Apa yang dimaksud dengan teori belajar menurut Ivan Pavlov?
3. Apa yang dimaksud dengan teori belajar menurut David A. Kolb?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari teori belajar social Albert Bandura.
2. Untuk mengetahui maksud dari teori belajar menurut Ivan Pavlov.
3. Untuk mengetahui maksud dari teori belajar menurut David A. Kolb
D. Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Sistematika Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
I. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
a. Latar Belakang Tokoh
b. Teori Pembelajaran Sosial
c.
3
Teori Peniruan
d. Ciri-ciri Teori Peniruan Albert Bandura
e. Eksperimen Albert Bandura
f. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial
g. Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial dalam Kehidupan
h. Aplikasi Teori Belajar Sosial Terhadap Pembelajaran
II. Teori Belajar Menurut Ivan Pavlov
a. Makna Belajar Ivan Pavlov
b. Eksperimen Ivan Pavlov
c. Prinsip Utama dalam Eksperimen
d. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Ivan Pavlov
e. Aplikasi Teori Belajar Ivan Pavlov dalam Pembelajaran
III. Teori Belajar Menurut David A. Kolb
a. Gaya Belajar Menurut David A. Kolb
b. Aplikasi Teori Belajar Humanistik Menurut David A. Kolb
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
B.
5
Teori Pembelajaran Sosial
Teori Pembelajaran Sosial atau disebut juga Teori Observasional atau
Teori belajar dari model. Teori belajar ini relatif masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya dan merupakan perluasan dari teori belajar perilaku
(behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura
(1986). Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang
Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond),
melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini,
bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini
juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan
punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana
yang perlu dilakukan.
3. Model simbolik, yang melibatkan karakter nyata atau fiksi menampilkan perilaku
dalam buku-buku, film, program televisi, atau media online.
Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas
menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor
perilaku (Behavior), dan faktor lingkungan (Environment). Sepasang anak panah
yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut menunjukkan bahwa setiap
faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat sebagai penentu terhadap
faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.
Sebagai contoh, Seorang anak bernama Andi adalah pribadi yang memiliki
harapan-harapan dan nilai-nilai di samping gaya pribadi atau kepribadian tertentu,
suka tantangan-tantangan intelektual atau berinteraksi dengan orang
disekitarnya (P/Personal). Sebagai konsekuensinya Andi melanjutkan pendidikan
di sebuah universitas. Karena Andi suka dengan perkuliahan di universitas
tersebut, maka Andi menunjukkan prilaku (B/Behavior) yang positif dan penuh
semangat dalam mempelajari dan mempraktekkan berbagai mata kuliah yang ia
ambil. Rekan-rekan yang ada di tempat kerja Andi dan kelompok tutorial, juga
keluarga serta orang-orang di sekitar Andi yang mengetahui kepribadian Andi
(P/Personal) akan bereaksi dengan reaksi-reaksi tertentu (E/Environment),
misalnya keramahan serta kekaguman akan kemampuan Andi membagi waktu
antara kerja, rumah tangga, kuliah, dan bermasyarakat. Mereka juga bereaksi
(E/Environment) terhadap perilaku Andi (B/Behavior). Jika Andi melakukan
suatu perbuatan aneh atau yang tidak disangka-sangka (B/Behavior), maka
mereka akan bereaksi terhadap perbuatan Andi itu. Reaksi mereka itu
(E/Environment), secara timbal balik mempengaruhi prilaku Andi (B/Behavior),
disamping berdampak pada kepribadian Andi (P/Personal). Jika mereka berhenti
bersikap ramah terhadap andi (E/Environment), misalnya karena Andi terlalu
sibuk belajar dan bekerja sehingga ia melupakan keluarga atau teman-temannya,
Andi mungkin akan menjadi murung (P/Personal), karena keluarga atau
teman/tetangganya mulai acuh karena tidak diperhatikan. Jadi, diri Andi adalah
suatu sistem dan faktor-faktor di dalam atau di luar dirinya (pribadi, prilaku,
lingkungan), berdampak satu terhadap lainnya.
2.
9
Kemampuan untuk membuat atau memahami symbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui
gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif
dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki
kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka
hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan
datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang
mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji
cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus
mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang
merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan
itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3. Kemampuan berfikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami,
kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk
merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa
bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan
tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali
tindakan.
4. Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan
orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut.
Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
5. Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki
kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang
bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum,
apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh
prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk
memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan
diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun
tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
6.
10
Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan
refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi.
Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-
ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri
sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen
atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas
dengan sukses.
C. Teori Peniruan
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John
Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan
( imitation ) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain.
Proses belajar tersebut dinamakan “ social learning” atau “pembelajaran social”.
Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh
tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita
tidak menirunya. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia
dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ).
Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang
model atau tokoh bagi anak – anak untuk menirukan tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya ,” Albert Bandura dan Richard Walters ( 1959,
1963 ) telah melakukan eksperimen pada anak – anak yang juga berkenaan
dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat
berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru)
meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam
ini disebut "observationallearning" atau pembelajaran melalui pengamatan.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki
memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan
perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang.
11
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam
diri(kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah
mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah
menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-anak apabila
mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan
menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video anak-anak
ini diarah bermain di kamar permainan dan terdapat patung seperti yang
ditayangkan dalam video. Setelah anak-anak tersebut melihat patung
tersebut,mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton
dalam video.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara
langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang
kertas dan pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui
contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak
dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan.
Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru
mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkahlaku yang
dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut
menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya
ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang
lain. Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul
keinginan dalam diri anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu,
peniruan berlaku apabila anak-anak tersebut melihat temannya melukis bunga.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut pandangan pemikir islam yang
terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun perkembangan anak-anak hendaklah
diarahkan dari perkara yang mudah kepada perkara yang lebih susah yaitu
mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan dengan contoh-
contoh yang konkrit yang boleh difahami melalui pancaindera. Menurut Ibnu
Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau dibentuk dengan lemah lembut dan
bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa anak-anak
tidak boleh dibebankan dengan perkara-perkara
12
yang di luar kemampuan mereka. Hal ini akan menyebabkan anak-anak tidak mau
belajar dan memahami pengajaran yang disampaikan.
b. Belajar Vicarious
Sebagian besar belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru
model dengan baik akan menuju pada pada reinforcement. Akan tetapi, akan ada
orang yang belajar dengan melihat orang diberi reinforcement atau dihukum
waktu terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar
“vicarious”. Guru-guru dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious.
Bila seorang murid berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan anak-anak yang
bekerja dengan baik dan memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu.
Anak yang nakal itu melihat bahwa bekerja memperoleh reinforcement sehingga
ia pun kembali.
19
c. Perilaku Diatur Sendiri (Self Regulated Behavior)
Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan
perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri (self-regulated behavior). Manusia
belajar suatu standar performa (performance standards), yang menjadi dasar
evaluasi diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar
performa, maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu
berperilaku sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka
ia akan dinilai negatif.
Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,
mempertimbangkan perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian
memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.Kita semua
mengetahui bila kita berbuat kurang daripada yang sebenarnya.Untuk dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan ini, kita harus mempunyai harapan tentang
penampilan kita sendiri. Seorang siswa mungkin sudah merasa senang sekali
memperoleh 90% betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin masih
kecewa.
Hal yang menjadi pertanyaan ialah dimana kita memperoleh kriteria yang
kita gunakan untuk mempertimbangkan penampilan kita?Kadang-kadang
pertimbangan-pertimbangan ini kelihatannya timbul sendiri, seperti seorang
pelukis, seorang penulis, atau seorang guru, bekerja berulang kali untuk
memperoleh sebuah lukisan, suatu karangan, atau suatu pelajaran yang
baik.Namun, teori belajar sosial mengemukakan bahwa sebagian besar dari
kriteria yang kita miliki untuk penampilan kita, kita pelajari, seperti banyak hal-
hal yang lain, dari model-model dalam dunia sosial kita.
Kita belajar banyak dengan dihadapkan pada model-model. Bila kita
memperhatikan perilaku model, dan menciptakan kode-kode verbal atau kode-
kode khayalan bagi apa yang telah kita amati, kita akan belajar dari model itu.
Baik pengulangan terbuka maupun pengulangan tertutup menolong kita untuk
dapat memiliki perilaku baru yang kita pelajari.Pada suatu saat kita harus
mencoba mereproduksi perilaku model itu.Umpan balik untuk memperbaiki
diberikan jauh sebelum fase reproduksi belajar dari model-model, memunyai efek
yang kuat terhadap perilaku. Reinforcement dan hukuman yang ditimbulkan
20
sendiri secara lansung dan dialami secara vicarious, menentukan sejauh mana
perilaku yang baru ituakan ditampilkan.
Respon-respon kognitif kita terhadap perilaku kita sendiri mengizinkan kita
untuk mengatur perilaku kita sendiri.Dengan mengamati, kita mengumpulkan data
tentang respons-respons kita.Melalui standar-standar penampilan yang sudah
diinternalisasi, kerap kali dipelajari melalui observasi, kita pertimbangkan
perilaku kita.Dengan memberi hadiah atau menghukum kita sendiri, kita dapat
mengendalikan perilaku kita secara efektif.Kita tidak perlu dikendalikan oleh
kekuatan lingkungan atau keinginan yang dating dari dalam.Kita dapat belajar
menjadi manusia sosial yang berkepribadian.Dengan menerapkan gagasan-
gagasan teori belajar sosial pada diri kita sendiri, kita dapat menjadi guru dan
siswa yang lebih baik.
Selain itu, anggapan mengenai kecakapan diri (perceived self-efficacy)
juga berperan besar dalam perilaku yang diatur sendiri.Anggapan tentang
kecakapan diri ini adalah keyakinan seseorang bahwa dia mampu untuk
melakukan sesuatu.Dari anggapan ini, muncul motivasi orang untuk berprestasi
(apabila anggapannya positif) atau bahkan dimotivasi untuk melakukan suatu hal
(apabila anggapannya negatif). Terkadang, anggapan mengenai kecakapan diri
seseorang tidak sesuai dengan kecakapan diri sesungguhnya (real self-
efficacy).Seseorang terlalu yakin dia dapat melakukan sesuatu, tetapi pada
kenyataannya sebenarnya dia tidak mampu. Bila hal ini terjadi, maka orang akan
merasa frustasi dan rendah diri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori belajr sosial merupakan perluasan
teori belajar prilaku. Prinsip belajar Bandura adalah usaha menjelaskan belajar
dalam situasi alami. Teroi belajar social disebut juga teori pembelajaran
observasional yang mengandung pengertian bahwa pembelajaran social
merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru
prilaku orang lain.
21
F. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
a. Kelemahan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam
teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai
peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan
pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia
belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan
( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik
peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative , termasuk perlakuan
yang tidak diterima dalam masyarakat.
b. Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya ,
karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan
melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku
manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga
akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif
manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning
( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar
social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari
perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan
perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.
2. Pembelajan IPA
Dalam materi pembiasan cahaya, guru dapat mendemonstrasikan
bahwa cahaya itu dapat dibiaskan. Guru mencotohkan dengan cara membiaskan
cahaya menyediakan gelas yang berisikan air dan didalamnya diberi batang pensil,
kemudian gelas tersebut disimpan di bawah sinar matahari. Setelah itu siswa
diajak untuk mengamati apa yang terjadi. Dari kegiatan tersebut, siswa bisa
mengetahui dan mengalami sendiri materi mengenai pembiasan cahaya.
3. Pembelajaran IPS
Dalam pelajaran sejarah misalnya dalam materi ”Manusia Purba”, guru
dapat mengajak siswa ke museum sejarah. Di museum guru dapat memberi tahu
dan mengajarkan kepada siswa tentang asal usul manusia purba dengan melihat
langsung peninggalan-peninggalan yang ada. Dari kegiatan tersebut, siswa dapat
mempelajari mengenai materi yang diajarkan dengan melihat langsung kejadian
asal-usulnya manusia purba, sehingga siswa dapat merasakan atau mengalami
secara langsung dan lebih bermakna.
4. Pembelajaran PKn
Dalam materi ”gemar menabung” guru atau orang tua bisa mengajarkan
atau membiasakan peserta didik untuk gemar menabung baik di rumah maupun di
sekolah. Dengan membiasakan gemar menabung, siswa akan terbiasa untuk hidup
hemat dalam kehidupan sehari-hari.
5. Pembelajaran
5. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Ketika membahas materi mengenai pidato, guru dapat meminta siswa
untuk membacakan pidato di depan teman-temannya. Disini guru meminta siswa
untuk memperhatikan temannya yang sedang membacakan pidato didepan,
kemudian guru mengajak siswa untuk menganalisis mengenai pidato yang di
bacakan temannya. Setelah itu guru meminta siswauntuk bergiliran membacakan
pidato.
II.
23
Teori Balajar Ivan Pavlov
A. Makna Teori Belajar Pavlov
Pada dasarnya teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori
belajar behaviourisme. Teori pembelajaran sosial juga di dasarkan pada
pengakuan penting pembelajaran pengamatan dan pembelajaran pengaturan diri.
Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan teori belajar behaviouristik (behavioral
learning theorities) yang terpusat pada cara yang dengan cara itu konsekuensi
prilaku yang menyenangkan atau tidak menyenangkan mengubah prilaku
seseorang lama-kelamaan dan cara ketika seseorang mencontohkan prilakunya
kepada orang lain. Teori behavioristic ini tentnya akan berpengaruh terhadap teori
pembelajaran social yang lebih menekankan kepada teori pengkondisian yang
pertama kali sangat terkenla yaitu teori pengkondisian klasik yang di perkenalkan
oleh ilmuan Rusia Ivan Pavlov pada akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an.
Saat itu Pavlov mengadakan riset mempelajari proses pencernaan anjing.
Pavlov memperhatikan perubahan waktu dan kadar pengeluaran air liru hewan ini.
Dia mengamati bahwa, jika tepung daging di letakan didalam atau dekat mulut
anjing yang lapar, hewan tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena tepung
daging membangkitkan tanggapan ini dengan otomatis, tanpa satupun pelatihan
atau pengkondisian sebelumnya, maka tepung daging tersebut disebut rangsangan
tanpa pengkondisian. Sama halnya, karena pengeluaran air liru terjadi otomatis
dengan kehadiran daging, yang juga tanpa memerlukan sedikitpun pelatihan atau
pengalaman, tanggapan pengeluaran air liur ini disebut tanggapan tanpa
pengkondisian.
Sementara daging tersebut akan menghasilkan air liur tanpa sedikitpun
pengalaman atau pelatihan sebelumnya, seperti lonceng, tidak akan menghasilkan
air liur. Karena tidak mempunyai dampak pada tanggapan tersebut, rangsangan ini
disebut rangsangan netral. Eksperimen Pavlov memperlihatkan bahwa apabila
rangsangan netral sebelumnya dipasangkan dengan rangsangan tanpa
pengkondisian, rangsangan netral tersebut menjadi rangsangan pengkondisian dan
memperoleh kekuatan untuk mendorong tanggapan yang mirip dengan apa yang
dihasilkan rangsangan tanpa pengkondisian tadi. Dengan kata lain setelah lonceng
dan anjing mengeluarkan air liur. Proses ini disebut pengkondisian klasik.
24
Dengan kata lain proses yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menhubungkan rangsangan netral sebelumnya dengan rangsangan tanpa
pengkondisian guna membangkitkan tanggapan pengkondisian. Hal ini berkaitan
dengan proses belajar siswa, apabila siswa berasa dalam lingkungan yang
mendukung baik itu lingkungan sekolah, keluarga bahkan masyarakat yang
mendukung siswa itu untuk belajar salah satu halnya dengan pemberian motivasi
dan rangsangan yang positif dalam membantu atau memberikan yang positif pula
dalam dirinya, namun hal ini harus dilakukan secra berulang agar proses tersebut
tertanam dalam dirinya sehingga menjadi suatu kebiasaan pada siswa tersebut.
B. Eksperimen Pavlov
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:
Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka
secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau
mengeluarkan air liur.
25
Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah
makanan (UCS) setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing
akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian makanan.
Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka
ketika anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom
anjing akan memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing
agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur
walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak
merespon apapun ketika mendengar bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus
diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa
diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi
(bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini disebut
dengan extinction atau penghapusan.
Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses
akuisisi dan penghapusan sebagai berikut:
Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku
sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks
yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana
refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak
berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi. Dengan kata
lain,
26
gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat
latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu
refleks wajar (unconditioned refleks)-keluar air liur ketika melihat makanan yang
lezat dan refleks bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks)-keluar
air liur karena menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Menyimak berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita
tetap sensitif terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau sama
sekali berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan itu dapat
menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam interaksi,
komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami sebagai
kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus berusaha
membantu mereka memahami "Style of Learning"nya, dengan tujuan
meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi yang lemah dari
padanya.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu
sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang
hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama proses
belajar. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi
aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan
reflektif. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori”
tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah
mampu untuk membut aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh
kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan
yang sama. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu
mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia
matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus,
tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah
yang belum ia temui sebelumnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
34
Menurut David A. Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara
berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain,
meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu
dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap
lainnya itu seringkali begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. (Hamzah
B. Uno, 2008:15). Dari teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn bahwa
anak dapat melakukan proses pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada
dihadapannya dapat diserap dengan baik, bila teks dan konteks yang disodorkan
semakin konkrit.
A. Kesimpulan
1. Teori belajr sosial merupakan perluasan teori belajar prilaku. Prinsip belajar
Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Teroi belajar
social disebut juga teori pembelajaran observasional yang mengandung pengertian
bahwa pembelajaran social merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika
seseorang mengamati dan meniru prilaku orang lain. Menurut teori belajar social,
belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, factor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses
kognitif belajar.
2. Menurut teori belajar Pavlov (conditioning), belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (condition) yang kemudian menimbulkan
reaksi (respons). Dengan kata lain, untuk menjadikan seseorang itu belajar
haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting menurut teori ini
adalah adanya latihan-latihan yang continue (terus-menerus), dan belajar terjadi
secara otomatis.
3. Teori belajar David A. Kolb menekankan bahwa belajar itu terdiri dari empat
kutub yaitu: perasaan, pemikiran, pengamatan dan tindakan. Dalam belajar,
biasanya terjadi kombinasi dari dua kutub dan membentuk suatu kecenderungan
atau orientasi belajar. Empat kutub tersebut, kemudian membentuk empat
kombinasi gaya beajar.
B. Saran
35
Sebagai seorang pendidik tentunya kita harus bias mengenal karakteristik pesera
didik kita agar dapat dengan mudah kita mengetahui tipe pembelajaran yang
seperti apa yang sebaiknya digunakan oleh peserta didik kita. Selain itu
berdasarkan teori pembelajar social, tentunya seorang pendidik haus bias
mengkolaborasikan berbagai teori belajar yang ada. Karena pada hakikatnya teori
belajar social merupakan perluasan dari berbagai teori-teori belajar social lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Endriani, Ani S.Pdi, MA. 2011. Faktor-Mempengaruhi-Sikap-Sosial.
http://aniendriani.blogspot.com. Diakses pada tanggal 3 februari 2015.
Anonim. 2010. Teori Belajar Sosial.http://depe.blog.uns.ac.id.Diakses pada tanggal 3
Februari 2015.
Mutmainah, Latief. 2012. Teori Belajar Sosial.
https://mutmainnahlatief.wordpress.com/2012/01/17/teori-belajar-sosial/. Diakses
tanggal 3 Februari 2015.
Anonim. 2013. Teori Belajar Sosial Albert Bandura.
http://psycholocious.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-sosial-albert-
bandura.html. Diakses pada tanggal 3Februari 2015.