Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Pembuktian


a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam
proses peradilan. Pembuktian merupakan proses untuk
membuktikan benar tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan yang
telah didakwakan. Yang dimaksud dengan membuktikan berarti
memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa
atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Andi Sofyan dan
Abd. Asis, 2014: 231).
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang membuktikan kesalahan terdakwa dan ketentuan
yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang
yang dipergunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa (M.
Yahya Harahap, 2000: 252). Apabila dalam pembuktiannya telah
memenuhi sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti seperti yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP dan sah menurut Pasal 184
KUHAP. Maka, Terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman pidana. Namun sebaliknya, apabila tidak dapat
dibuktikan dengan alat bukti yang cukup dan sah, maka terdakwa
dapat dinyatakan tidak bersalah dan terbebas dari pemidanaan.
Andi Sofyan dan Abd. Asis (2014: 232) menjelaskan tugas
hakim dalam proses pembuktian guna membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa adalah:
“Hakim didalam memeriksa suatu perkara pidana dalam
sidang pengadilan senantiasa berusaha membuktikan
Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi?; Apakah

13
14

betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana?;


Apakah sebab-sebab peristiwa itu terjadi?; Siapakah
orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu?”.
Pembuktian merupakan proses penting dalam mencari
kebenaran materiil dalam proses persidangan guna menentukan
kesalahan pelaku. Dalam pembuktian di persidangan peran Hakim
sangat penting dalam mencari fakta-fakta hukum atas suatu
peristiwa tindak pidana yang terjadi. Hakim dalam meletakkan
kebenaran yang ditemukan pada pemeriksaan sidang di pengadilan,
maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti sesuai Pasal 184
KUHAP (Ronaldo Ipakit, 2015: 90). Sehingga Hakim harus
berhati-hati dan cermat dalam menjatuhkan putusannya dengan
memperhatikan hasil pembuktian itu sendiri.
b. Asas-asas Pembuktian
Adapun asas-asas pembuktian menurut KUHAP:
1) Asas Pembuktian Harus Dilaksanakan dalam Persidangan
Asas yang menjelaskan bahwa pembuktian adalah
proses membuktikan kesalahan terdakwa yang dilakukan di
persidangan, dan pembuktian sendiri hadir karena persidangan.
Hal ini juga didasari oleh tujuan pembuktiaan yang ditujukan
untuk meyakinkan majelis Hakim guna membuktikan
kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar-benarnya.
2) Asas Minimum Pembuktian
Asas yang menentukan bahwa dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku harus memenuhi jumlah minimal alat
bukti yang sah. KUHAP telah menyatakan secara tegas dalam
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
15

3) Asas Notoire Feiten


Asas yang menyatakan bahwa hal yang diketahui oleh
publik tidak perlu dibuktikan lagi. Diatur pada Pasal 184 ayat
(2) KUHAP yang berbunyi, “Hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan”. Inilah yang kemudian
disebut dengan istilah notoire feiten.
4) Asas Keterangan Saksi adalah Keterangan yang Diucapkan
Dalam Persidangan
Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP jelas mengatur
bahwa, “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang
saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Jadi keterangan saksi
adalah keterangan yang ia berikan di persidangan.
5) Asas Saksi dan Saksi Ahi Harus Disumpah Terlebih Dahulu
Sebelum Memberikan Keterangan
Pasal 160 ayat (3) KUHAP mengatur bahwa “Sebelum
memberi keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan
memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari
apa yang sebenarnya”. Selanjutnya ketentuan Pasal 161 ayat
(2) KUHAP juga mengatur bahwa, “Keterangan saksi atau ahli
yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat
dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan
Hakim”.
6) Asas Unus Testis Nullus Testis
Asas ini menyatakan bahwa keterangan seorang saksi
saja tak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Bunyi Pasal
185 ayat (2) KUHAP menunjukkan bahwa persyaratan yang
dikehendaki oleh Pasal tersebut adalah:
16

a) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling


sedikit harus didukung oleh dua orang saksi;
b) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja,
maka kesaksian tunggal tersebut harus didukung dengan
alat bukti lain (dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 185 ayat
(3) KUHAP).
7) Asas Testimonium de Auditu
Testimonium de auditu adalah sebuah keterangan saksi
yang diperoleh dari hasil pendengaran keterangan orang lain.
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, saksi dalam memberi suatu
kesaksian harus berdasarkan kepada suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Hal ini
sekaligus menegaskan bahwa keterangan ulangan dari apa yang
didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat
bukti.
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula
didengar oleh Hakim, walaupun tidak memiliki nilai sebagai
bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan Hakim
yang bersumber pada dua alat bukti yang lain (Andi Hamzah,
2012: 265).
8) Asas Kesesuaian Antar Keterangan Saksi yang Berdiri Sendiri-
sendiri atas Suatu Peristiwa Tertentu
Diatur dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang
berbunyi, “Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-
sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu”. Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri-
sendiri dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila keterangan
17

tersebut saling berhubungan, sehingga dapat membuat terang


suatu kejadian atau peristiwa tersebut. Namun keterangan saksi
yang berdiri sendiri-sendiri diperlukan kebijaksanaan hakim
dalam menilai setiap kesaksian yang berdiri sendiri tersebut.
9) Asas Pengakuan Terdakwa Tidak Menghapuskan Kewajiban
Penuntut Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa
Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa,
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
Meskipun terdakwa telah mengakui perbuatannya, hal tersebut
tidak menghapuskan kewajiban untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Tujuan hukum acara pidana di Indonesia adalah
untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang
sebenar-benarnya.
(10) Asas Keterangan Terdakwa Hanya Mengikat Dirinya Saja
Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Hal
ini menyatakan bahwa keterangan seorang terdakwa hanya
berlaku untuk dirinya sendiri.
(11) Asas Keyakinan Hakim terhadap Alat Bukti
Sebelum menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim
harus memiliki keyakinan bahwa terdakwalah yang
melakukannya. Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus
dengan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Selain itu asas minimum pembuktian dalam Pasal 183
KUHAP, menentukan bahwa dalam jumlah minimum
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Selain itu, harus pula
didasari pada keyakinan Hakim terhadap alat bukti tersebut
untuk memutuskan bahwa tindak pidana yang didakwakan
18

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah


melakukannya.
c. Teori-teori Pembuktian
Dikenal adanya 4 teori. Teori-teori pembuktian tersebut
adalah:
1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang
Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)
Teori ini hanya mendasarkan kepada peraturan
perundang-undangan saja. Artinya jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh
Undang-Undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan
sama sekali (Andi Hamzah, 2012: 251).
Teori ini mengabaikan keyakinan Hakim dan tidak
mempertimbangkan keyakinan Hakim. Suatu keyakinan akan
kesalahan terdakwa terhadap suatu perkara tindak pidana dalam
teori ini akan sia-sia apabila tidak didukung dengan alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang.
Sistem ini benar-benar menuntut Hakim untuk wajib
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya sesuai
dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah
ditentukan Undang-Undang (M. Yahya Harahap, 2001: 257).
Kebaikan teori ini adalah menuntut hakim untuk berusaha
membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh
nuraninya sehingga Hakim dapat obyektif dalam membuat
keputusan berdasar ketentuan Undang-Undang.
2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim
Semata (Conviction In Time)
Bersalah tidaknya seorang terdakwa menurut teori ini
sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim semata.
Meskipun dengan alat-alat bukti yang sah dapat membuktikan
kesalahan terdakwa, namun apabila Hakim tidak memiliki
19

keyakinan, Hakim tidak bisa menjatuhkan pidana kepada


terdakwa. Sebaliknya meskipun tanpa adanya alat bukti apabila
Hakim yakin bahwa terdakwa yang melakukannya maka
terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
Teori ini dalam menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
Hakim. Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini (M.
Yahya Harahap, 2001: 256). Sistem ini memberi kebebasan
pada Hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping
itu, terdakwa atau penasehat hukum sulit untuk melakukan
pembelaan (Andi Hamzah, 2012: 252).
3) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas
Alasan yang Logis (Conviction Raisonee)
Teori ini tetap mendasarkan pada keyakinan Hakim.
Namun, keyakinan dalam teori ini dibatasi oleh sebuah alasan-
alasan yang logis dan nyata. Keyakinan Hakim tidak perlu
didukung oleh alat bukti yang sah asalkan keyakinan tersebut
dapat dijelaskan dengan akal yang logis. Disini Hakim tidak
lagi diberikan kebebasan secara penuh dalam menjatuhkan
pidana.
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-
alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan
terdakwa. Tegasnya, keyakinan Hakim dalam sistem harus
dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan reasoning tersebut
harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima
(M. Yahya Harahap, 2001: 256).
Setiap pertimbangan Hakim sebelum akhirnya Hakim
menjatuhkan pidana kepada terdakwa alasan-alasannya harus
nyata dan logis serta dapat diterima oleh akal pikiran yang
sehat. Oleh karenanya, teori ini sering juga disebut dengan teori
20

pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebut alasan-


alasan keyakinannya (Andi Hamzah, 2012: 253).
4) Sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang
Secara Negatif (Negative Wettelijk Stelsel)
Teori ini merupakan teori antara teori pembuktian
menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time (M.
Yahya Harahap, 2000: 257). Hal ini berarti bahwa terdakwa
dapat dinyatakan bersalah apabila Hakim memperoleh
keyakinan bahwa terdakwa yang melakukannya yang
didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut Undang-
Undang. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan
kesalahan terdakwa yakni dengan: Pertama, alat-alat bukti yang
sah yang ditetapkan Undang-Undang. Kedua, adanya
keyakinan dari Hakim berdasarkan bukti-bukti tersebut.
Apabila dalam suatu pembuktian alat bukti yang
diajukan sah menurut Undang-Undang, tetapi Hakim tidak
mendapat keyakinan terhadapnya. Maka terhadap terdakwa
tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya terdakwa baru
dapat dikatakan bersalah ketika terjadi keseimbangan antara
alat bukti yang diatur menurut Undang-Undang dengan
keyakinan Hakim atas kesalahan terdakwa berdasarkan alat
bukti tersebut. Jadi harus ada hubungan sebab akibat antara
alat-alat bukti dengan keyakinan Hakim.
2. Tinjauan tentang Alat Bukti
a. Jenis-jenis Alat Bukti
Alat bukti diatur secara jelas dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP, alat bukti yang dimaksud adalah:
1) Keterangan Saksi
Pasal 1 butir 27 KUHAP memberikan pengertian
keterangan saksi bahwa, “Keterangan saksi adalah salah satu
21

alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari


saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan
dari pengetahuannya itu”. Jelas bahwa seorang saksi dalam
memberikan kesaksian terhadap suatu peristiwa disyaratkan
harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
Perkembangan keterangan Saksi kemudian diperluas
oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menganggap
arti penting Saksi bukan terletak pada apakah dia melihat,
mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana,
melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana
yang sedang diproses. Mahkamah Konstitusi melalui
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/ 2010
berpendapat bahwa Saksi termasuk pula “Orang yang dapat
memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan,
dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”.
Selain itu, keterangan saksi harus memenuhi beberapa
ketentuan agar keterangannya dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sah, adapun ketentuan tersebut adalah:
a) Harus mengucap sumpah atau janji, bahwa keterangan saksi
hanya dianggap sah apabila diberikan dibawah sumpah
(Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
b) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, bahwa
kesaksian tunggal dari seorang saksi tidak dapat dinilai
sebagai kesaksian guna membuktikan suatu peristiwa “unus
testis nullus testis” (Pasal 185 ayat (2) KUHAP);
c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan,
keterangan saksi sebagai alat bukti adalah kesaksian yang
dinyatakan di sidang pengadilan, keterangan yang
diyatakan diluar sidang pengadilan bukan merupakan alat
22

bukti dan tidak bisa digunakan untuk membuktikan


kesalahan terdakwa (Pasal 185 ayat (1) KUHAP);
d) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri, meskipun
saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di
sidang pengadilan sudah memenuhi minimal saksi (asas
unus testis nullus testis), namun dari keterangan-keterangan
saksi tersebut haruslah saling berhubungan. Keterangan
saksi-saksi yang berdiri sendiri-sendiri dapat dijadikan
sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut saling
berhubungan, sehingga dapat membuat terang suatu
kejadian atau peristiwa tersebut (Pasal 185 ayat (4)
KUHAP).
Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP menjelaskan bahwa
saksi yang pertama didengar keterangannya adalah korban
yang menjadi saksi. Saksi korban adalah saksi yang menjadi
korban suatu tindak pidana, yang mana secara langsung
mengalami kejadian atau peristiwa tindak pidana tersebut.
Sehingga dapat mempermudah hakim dalam mengetahui
kronologis kejadian tindak pidana tersebut dengan sebenar-
benarnya. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang
berkekuatan pembuktian bebas, dapat dibantah oleh keterangan
terdakwa di persidangan serta dengan keterangan saksi a de
charge (saksi yang menguntungkan terdakwa) yang biasanya
keterangan tersebut tidak mendukung atau berbanding terbalik
dengan isi surat dakwaan atau alat bukti lain.
Setiap orang pada dasarnya dapat dipanggil untuk
menjadi saksi. Akan teteapi terdapat pengecualian terhadap
siapa saja yang dapat didengar kesaksiannya di persidangan.
Ketentuan pengecualian tersebut telah dijelaskan dalam
KUHAP, dimana seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam
suatu perkara atau bisa menjadi saksi namun tanpa disumpah
23

terlebih dahulu. Pasal 171 KUHAP menerangkan bahwa ada


pihak-pihak yang berwenang memberikan kesaksian tanpa
sumpah, yaitu:
(a) Anak yang berumur belum 15 tahun dan/atau belum
menikah;
(b) Orang sakit ingatan atau jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali;
Menurut Ignatius (2000: 175) berkenaan dengan alat
bukti keterangan saksi bahwa:
“Hakim pun boleh memeriksa untuk mendapatkan
keterangan tanpa sumpah dari anak dibawah umur yaitu
belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
dan orang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadang-
kadang ingatannya baik kembali karena keterangan
mereka tersebut dipakai tambahan hanya sebagai
petunjuk saja”.
Hanya keterangan dengan sumpahlah yang memiliki
kekuatan pembuktian. Keterangan tanpa sumpah tersebut hanya
dapat digunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan
kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yakni sebagai
petunjuk (Pasal 171 KUHAP) dan sebagai penguat keyakinan
hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP). Saksi tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, Hakim
mempunyai kebebasan untuk menilainya (M. Yahya Harahap:
2000: 274). Penilaian Hakim sangat mempengaruhi kekuatan
pembuktian saksi. Hakim bebas, menilai, menggunakan atau
mengenyampingkan namun tetap bertanggung jawab untuk
mewujudkan kebenaran yang sebenar-benarnya.
2) Keterangan Ahli
Pengertian keterangan ahli dijelaskan dalam Pasal 1
butir 28 KUHAP, “Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
24

hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara


pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
Ahli merupakan seseorang yang dihadirkan untuk
mempermudah dan memperjelas suatu proses mulai dari
pemeriksaan hingga proses pembuktian di dalam persidangan.
Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP, dinyatakan bahwa,
bahkan sejak tahapan penyidikan, seorang penyidik sudah
dapat mendatangkan seorang ahli dalam hal pemeriksaan
perkara. Adapun ahli yang dimaksud dalam Pasal ini, misalnya
ahli kedokteran kehakiman, ahli balistik, ahli kimia, ahli fisika,
ahli farmasi, ahli toxin dan lain-lain (Darwan Prinst, 1998:141).
Jadi, seorang ahli tidak hanya memberikan keterangan dalam
sidang saja. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai
ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli wajib
memberikan keterangan demi keadilan.
Kekuatan pembuktian untuk keterangan ahli itu sendiri
adalah bebas. Pada prinsipnya, kekuatan alat bukti keterangan
ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan
menentukan. Dengan demikian nilai pembuktian keterangan
ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang
melekat pada alat bukti keterangan saksi (M. Yahya Harahap,
2000:283).
3) Alat Bukti Surat
Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang
berbunyi, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, adalah:
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
25

sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang


keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Sebagai contoh dalam alat bukti surat ini antara lain,
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi, BAP
pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah
Penangkapan, Surat Perintah Penyitaan, Surat Perintah
Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan,
dan lain-lainnya (Darwan Prinst, 1998: 144). Surat dapat
dikatakan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Namun demikian, nilai kekuatan yang melekat pada
kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan pembuktian bebas.
Hakim bebas menilai kekuatan dan kebenarannya (M. Yahya
Harahap, 2000:291).
4) Alat Bukti Petunjuk
Alat bukti petunjuk terdapat dalam Pasal 188 ayat (1)
KUHAP yang berbunyi, “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya”.
26

Memperoleh bukti petunjuk dijelaskan dalam Pasal 188


ayat (2) adalah dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa. Dari ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan,
kejadian, atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan (Andy
Hamzah, 2012: 277).
Pasal 188 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijakasana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa alat bukti
petunjuk penggunaanya dikembalikan lagi kepada Hakim
dimana Hakim dituntut untuk berlaku bijaksana dalam
penggunaan bukti petunjuk. Mengenai kekuatan pembuktian
alat bukti petunjuk, Hakim tidak terikat atas kebenaran
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu,
Hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai
upaya pembuktian (M. Yahya harahap, 2000: 296).
5) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa terdapat pada Pasal 189 ayat (1)
KUHAP yang berbunyi, “Keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”. Jadi keterangan
terdakwa merupakan keterangan yang harus dinyatakan di
depan muka persidangan. Keterangan terdakwa diluar sidang
hanya digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
dan harus didukung dengan alat bukti yang sah lainya (Pasal
189 ayat (2) KUHAP).
Keterangan seorang terdakwa juga hanya berlaku untuk
dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa,
“Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
27

sendiri”. Hal ini juga berarti bahwa keterangan terdakwa hanya


mengikat dirinya saja. Apapun yang diterangkan oleh
terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti untuk
dirinya sendiri tidak bisa digunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa yang lain.
Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa,
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain”. Keterangan terdakwa untuk menjadi bukti yang
sempurna apabila disertai dengan keterangan yang jelas tentang
kejadian peristiwa pidana yang diperbuat yang diperkuat
dengan bukti lain.
Menurut M. Yahya Harahap (2000: 311-312), kekuatan
pembuktian keterangan terdakwa adalah bebas. Namun
demikian, dalam kebebasan tersebut haruslah memenuhi asas
minimum pembuktian sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) dan
Pasal 183 KUHAP. Kebebasan tersebut juga harus tetap
mendasarkan keyakinan Hakim sesuai dengan Pasal 183
KUHAP.
3. Tinjauan tentang Dakwaan
a. Pengertian Dakwaan
Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat
rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang
disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan
merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan di
muka sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012 : 386-387).
Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena
berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, Hakim akan
memeriksa perkara itu (Andi Hamzah, 2012:167).
28

A. Karim Nasution mendefinisikan surat dakwaan sebagai


“Suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak
pidana yang dituduhkan (didakwakan), yang sementara dapat
disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan, yang
merupakan dasar bagi Hakim untuk melakukan pemriksaan, yang
bila ternyata cukup bukti terdakwa dapat dijatuhi hukuman” (Andi
Sofyan dan Abd. Asis, 2014:172).
Tujuan dan guna surat dakwaan adalah sebagai dasar atau
landasan pemeriksaan perkara di dalam sidang pengadilan. Hakim
didalam memeriksa suatu perkara tidak boleh menyimpang dari
apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan (Yahya Harahap, 2012
: 390).
Maka, surat dakwaan merupakan batasan bagi Hakim
dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana. Putusan
Hakim yang diambil atau dijatuhkan kepada terdakwa tersebut
haruslah didasarkan pada fakta-fakta peristiwa yang terjadi, yang
diperoleh dari pembuktian di persidangan sesuai dengan apa yang
didakwakan dalam surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut
Umum.
b. Syarat Dakwaan
Syarat surat dakwaan ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2)
KUHAP yang menentukan bahwa:
“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani serta berisi:
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”
29

Pasal 143 KUHAP menyebutkan mengenai syarat-syarat


surat dakwaan seperti tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah
dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang
didakwakan (Andi Hamzah, 2011: 168). Pasal 143 ayat (2) huruf a
KUHAP menyebutkan syarat formal meliputi:
1) Surat dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan dari
penuntut umum pembuat surat dakwaan.
2) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa
yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umumr/tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
pekerjaan.
Ketentuan syarat formal dalam suatu surat dakwaan
diperlukan untuk meneliti apakah benar Terdakwa yang sedang
diadili du depan persidangan pengadilan negeri adalah sesuai
dengan identitas Terdakwa dalam surat dakwaan Jaksa/Penuntut
Umum (Lilik Mulyadi, 2007: 73).
Syarat materiil sendiri tercantum pada Pasal 143 ayat (2)
huruf b KUHAP menyebutkan syarat materiil sebagai berikut:
1) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan.
2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tempus
delictie dan locus delictie dari tindak pidana yang dilakukan.
Mengenai uraian cermat, jelas, dan lengkap Bambang
Waluyo (2000: 66) memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Uraian secara cermat adalah ketelitian jaksa penuntut
umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang
didasarkan pada Undang-Undang yang berlaku bagi
terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan
yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau
dakwaan tidak dapat dibuktikan. Jelas yaitu penuntut umum
harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang
didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan
materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat
dakwaan. Lengkap diartikan bahwa surat dakwaan itu
30

memuat semua unsur atau elemen dari tindak pidana yang


didakwakan. Unsur-unsur itu dilukiskan dan diuraikan di
dalam uraian fakta/kejadian yang dituangkan dalam surat
dakwaan (delik omschrijving).”
c. Jenis-jenis Dakwaan
Perumusan surat dakwaan berkaitan erat dengan jenis surat
dakwaan apa yang akan digunakan oleh jaksa penuntut umum
untuk mendakwa seseorang dengan ketentuan pidana, berikut ini
adalah jenis-jenis dakwaan:
1) Surat Dakwaan Biasa
Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang
disusun dalam rumusan ”tunggal” (M. Yahya Harahap, 2012 :
398). Dalam surat dakwaan ini, hanya berisi satu dakwaan yang
pada umumnya tidak mengandung unsur ”penyertaan”
(mededaderschap) atau unsur concursus maupun unsur
alternatif atau subsidair. Tindak pidana yang didakwakan pada
pelaku merupakan tindak pidana yang sederhana, sehingga
cukup dirumuskan dalam dakwaan tunggal yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
2) Surat Dakwaan Alternatif
Surat dakwaan alternatif merupakan surat dakwaan
yang didalamnya memuat dakwaan yang saling
”mengecualikan”. Ciri utama dari dakwaan alternatif adalah
adanya kata hubung ”atau” antara dakwaan satu dan yang
lainnya sehingga dakwaan jenis ini sifatnya adalah alternative
accusation atau alternative tenlastelegging (Lilik Mulyadi,
2007: 87).
M. Yahya Harahap (2012: 400-401) berpendapat bahwa
tujuan dari pembuatan surat dakwaan secara alternatif adalah:
“a) Untuk menghindari pelaku terlepas atau terbebas dari
pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability)
Hal ini didasari pertimbangan apabila
sekiranya dalam sidang pengadilan salah satu tindak
pidana yang didakwakan tidak mampu dibuktikan
31

atau tidak mampu membuktikan kesalahan terdakwa


atas suatu tindak pidana, masih ada kesempatan dan
pilihan untuk membuktikan kesalahan terdakwa
dengan tindak pidana lainnya yang ada dalam surat
dakwaan.
b) Memberi pilihan kepada Hakim menerapkan hukum
yang lebih tepat
Surat dakwaan alternatif tidak mengikat
Hakim secara mutlak pada satu dakwaan saja.
Hakim masih bisa beralih memeriksa dan
mempertimbangkan dakwaan berikutnya apabila
terdakwa terlepas dari dakwaan yang satunya. Pada
lazimnya surat dakwaan yang berbentuk alternatif,
baru dapat diterapkan apabila tindak pidana yang
dilakukan terdakwa berada dalam “persintuhan“ dua
atau beberapa pasal tindak pidana yang ”saling
berdekatan“ corak dan ciri kejahatannya. Akan
tetapi peristiwa pidana itu sendiri tidak sampai
menimbulkan titik sintuh “perbarengan“ atau
concursus idealis maupun concursus realis“.
3) Surat Dakwaan Subsidair
Surat dakwaan subsidair terdiri dari dua atau beberapa
dakwaan yang disusun secara berurutan, yakni dari dakwaan
yang terberat hingga dakwaan yang teringan (M. Yahya
Harahap, 2002: 402). Menurut M. Yahya Harahap (2002 : 403)
dalam surat dakwaan ini, dakwaan subsidair menggantikan
dakwaan primair apabila penuntut umum tidak mampu
membuktikan dakwaan primair dengan ketentuan:
”a) pemeriksaan dialihkan pada dakwaan berikutnya
berdasar prioritas mulai dari dakwaan subsidair,
b) apabila dakwaan subsidair telah terbukti,
pemeriksaan dapat dinyatakan ditutup tanpa
pemeriksaan dakwaan berikutnya, dan
c) hukuman yang dijatuhkan berdasar ancaman pada
dakwaan subsidair”.
Maksud dari surat dakwaan secara subsidair, yaitu
hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan primair, dan jika
dakwaan primair tidak terbukti, maka barulah diperiksa
dakwaan subsidair dan apabila masih tidak terbukti, maka
diperiksalah yang lebih subsidair (Andi Sofyan dan Abd. Asis,
32

2014: 177). Jadi dalam surat dakwaan ini tetap mengacu pada
dakwaan primer terlebih dahulu, apabila tidak terbukti barulah
masuk pada dakwaan subsidair.
4) Surat Dakwaan Kumulatif
Dakwaan kumulatif dibuat oleh jaksa/penuntut umum
apabila seorang atau lebih Terdakwa melakukan lebih dari satu
perbuatan pidana, yakni perbuatan tersebut harus dianggap
berdiri sendiri atau juga dapat dikatakan tidak ada kaitan satu
dengan lainnya (Lilik Mulyadi, 2007: 89).
Dapat diartikan juga sebagai gabungan dari beberapa
dakwaan sekaligus. Disusun berupa rangkaian beberapa
dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Pengajuan surat
dakwaan kumulasi dimungkinkan berdasar ketentuan Pasal 141
KUHAP, yang disebut ”penggabungan perkara” dalam ”satu
surat dakwaan” (M. Yahya Harahap, 2012 : 404).
4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Sengaja Membujuk Anak
Melakukan Persetubuhan
Tindak pidana bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan
kepada siapa saja. Hal ini menuntut kita untuk bersikap waspada
terhadap setiap jenis tindak pidana. Hal tersebut berlaku bagi setiap
orang tak terkecuali bagi anak-anak. Pelaku tindak pidana
persetubuhan terhadap anak biasanya merupakan orang-orang terdekat
korban.
On the other hand, child sexual abuse by an adult often takes a
more subtle form. More often than not the perpetrator is
someone the child knows: a friend of the family, an uncle, an
older brother, even a father or stepfather (Robert Osadan dan
Elizabeth Reid, 2015: 33) (Di sisi lain, pelecehan seksual anak
oleh orang dewasa sering dilakukan secara lebih halus. Lebih
sering pelakunya adalah seseorang yang anak itu tahu: seorang
teman keluarga, paman, kakak, bahkan ayah atau ayah tiri).
Menurut Moeljatno yang dikutip oleh Adami Chazawi dalam
bukunya (2011:71), Tindak Pidana atau yang disebut sebagai
perbuatan pidana adalah, “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
33

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana


tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
Pengertian tindak pidana menurut Faried (1983:33)
mengatakan bahwa: “Delik sebagai suatu perbuatan atau pengabaian
yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Dari penjelasan tindak
pidana menurut pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak
pidana merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum dimana atas
perbuatannya tersebut dikenakan sanksi.
Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) yang
memberikan pengertian “Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Anak-anak yang masih lugu membuat dirinya rentan
terhadap kejahatan atau tindak pidana. Salah satunya terhadap tindak
pidana persetubuhan terhadap anak yang merupakan perbuatan yang
melanggar hukum.
Engaging a child in any unlawful sexual activitymay includes,
but not limited to, (1) the exploitative use of a child in
prostitution or other unlawful sexual practices, (2) involving
the child in pornographic performances and materials, and (3)
employing different strategies such as deception, rewared (or
economic circumstances), cultural expectations, coercion ––
acts of forcing another individual through violence, threats,
and weapons, to influence the child to comply with the abuse
(Berhanu Nigussie, 2014: 89) (Melibatkan anak dalam aktifitas
seksual yang melanggar hukum termasuk, namun tidak terbatas
pada, (1) eksploitatif anak dalam pelacuran atau praktek-
praktek seksual yang melanggar hukum lainnya, (2) melibatkan
anak dalam pertunjukan-pertunjukan porno dan pornografi, dan
(3) menggunakan strategi berbeda seperti penipuan, hadiah,
harapan budaya, pemaksaan - tindakan memaksa individu lain
melalui kekerasan, ancaman, dan senjata, untuk mempengaruhi
anak untuk mematuhinya).
Rumusan persetubuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 287
ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa “Barangsiapa bersetubuh
dengan seorang perempuan di luar perkawinan, yang diketahui atau
34

sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun


atau jika umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk kawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Dari
rumusan Pasal tersebut adapun unsur-unsurnya:
1) Bersetubuh dengan perempuan diluar perkawinan.
2) Dilakukan kepada yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau jika umurnya tidak
jelas, belum waktunya untuk kawin.
Secara lebih khusus tindak pidana persetubuhan terhadap anak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungn Anak. Dalam Undang-Undang tersebut, pengaturan
tentang persetubuhan terhadap anak diatur pada Pasal 81, yang
menyatakan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Unsur-unsur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak antara lain:
1) Setiap orang
Setiap orang dalam hal ini adalah orang atau manusia
sebagai pelaku tindak pidana.
2) Dengan sengaja
Unsur dengan sengaja disini dimaksudkan bahwa pelaku
mengetahui dan sadar atas apa yang telah diperbuatnya, sehingga ia
dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, oleh
karena itu pengertian sengaja yaitu dalam hal seseorang melakukan
suatu tindakan tertentu cukuplah jika ia menghendaki tindakannya
35

itu, artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaanya (batin)


dengan tindakannya.
3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Adanya perbuatan untuk mempengaruhi oranglain dengan
kebohongan yang menyesatkan agar sesuai dengan kehendaknya.
Menurut Adami Chazawi (2007: 86) membujuk adalah perbuatan
mempengaruhi kehandak orang lain agar kehendak orang itu sama
dengan kehendaknya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa adanya pengaruh dari orang lain terhadap seorang anak
untuk mengikuti keinginannya.
Menurut R. Soesilo (1993: 167) persetubuhan diartikan
sebagai “Perpaduan antara kelamin laki-laki dan perempuan yang
biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan
perempuan, sehingga mengeluarkan air mani”.
Pengertian persetubuhan menurut rumusan KUHP adalah
sesuai arrest hoge read sebagaimana dikutip Andi Zainal Abidin
Farid (2007:339) dalam bukunya disebutkan bahwa:
“Tindakan memasukan kemaluan laki-laki ke dalam
kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan
kehamilan, dengan kata lain bilamana kemaluan itu
mengeluarkan air mani didalam kemaluan perempuan. Oleh
karena itu, apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun
kemaluan laki-laki telah agak lama masuknya kedalam
kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal
itu belum merupakan perkosaan, akan tetapi percobaan
pemerkosaan”.
36

B. Kerangka Pemikiran

Perkara Persetubuhan Terhadap Anak


Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Unh

Penuntutan oleh Penuntut


Umum

Pembuktian di
Persidangan

Dakwaan alternatif Pasal 81 atau Pasal 82 Undang-Undang


No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Alat Bukti Pasal 184


KUHAP

Tidak Terbukti Terbukti

Putusan Hakim
37

Penjelasan Kerangka Pikir:


Kerangka pemikiran tersebut di atas menjelaskan alur
pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan
serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian
hukum ini mengenai, alat bukti yang digunakan dalam pembuktian
dakwaan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya berimplikasi tuntutan pidana dipenuhi (studi
putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor: 78/Pid.B/2013/PN.Unh).
Penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa dilakukan oleh Penuntut Umum, malalui surat dakwaan
yand telah dibuat berdasarkan hasil penyidikan. Dalam pembuktian di
persidangan Penuntut Umum harus membuktian dakwaannya dengan
alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Sehingga membantu
Hakim dalam pemeriksaan di persidangan guna mencari kebenaran
materiil dari suatu peristiwa tindak pidana dengan mengacu pada surat
dakwaan, serta membantu Hakim memperoleh keyakinan mengenai
kesalahan terdakwa yang berujung pada putusan Hakim.
Keyakinan Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
didasarkan pada fakta-fakta dan alat bukti yang cukup dan sah menurut
Undang-Undang. Muara dari kerangka pemikiran ini adalah
penggunaan alat bukti yang sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
dalam pembuktian perkara tindak pidana dengan sengaja membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya di persidangan kaitannya
dengan pertimbangan hakim sehingga terdakwa dijatuhi putusan
pemidanaan yang akan ditelaah lebih mendalam lagi dalam penulisan
hukum ini.

Вам также может понравиться