Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi/Pengertian
a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis utamanya
diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan
oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal 448.
b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan penyebab paling
umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.
c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran kecil yang
mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan,
dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding abdomen dibawah titik Mc burney.
B. Klasifikasi
1. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
1. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
2. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi.
Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis
fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam
lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah
kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar
96% dan aerob<10%
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu
panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga
dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat
memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang
dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka
ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke
pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
v Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :
a. Nyeri perut.
Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri perut
yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk
apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks
yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. Namun
terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi.
Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya
muntah satu atau dua kali.
e. Demam
juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1oC (37,8oC –
38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi
peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis).
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum),
ü Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal.
ü Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
ü Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
ü Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan
sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).
ü Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan
frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya
apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
E. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hyperplasia folikel limfoid,
fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan sebelumnya atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan mengakibatkan obstruksi
vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding. Karena obstruksi vena dapat terbentuk
thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya
pus. Peradangan ini dapat meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah raouh ini pecah maka
akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat appendikularis. Peradangan appendiks
tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
F. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini
biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan
terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
f. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka
kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
b. Radiologi
· Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi
pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis (71 – 97 %)
· CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks
yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat keakuratannya 93 – 98 %.
9. Penatalaksanaan
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera
dilakukan apendiktomi.
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang
pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.
ü Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan.
ü Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase
dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi.
ü Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta
pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses
apendiks
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal
BAB II
1. Pengkajian
a) Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam
hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50 tahun.
b) Keluhan utama
Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri dirasakan pada luka bekas
operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul memberat ketika bergerak.
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga meningkatkan
tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan
pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.
3) Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower chateter karena masih
dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan dilatih untuk berkemih.
Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat.
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan.
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan post operasi appendiks.
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan
peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat.
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada hubungannya dengan alat
reproduksi.
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan post operasi. Gali adanya
stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
Adanya dower chateter dan nyeri post operasi memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan
ibadahnya .
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa pre-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi
gastrointestinal.
Diagnosa post-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan
3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi mengenai perawatan luka post operasi.
3. Rencana Tindakan
Diagnosa pre-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat infeksi
gastrointestinal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan
manajemen nyeri dengan kriteria hasil :
ü Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi :
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri
sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami pasien sudah tidak dapat
ditoleransi lagi.
2. Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
Intervensi :
1. Observasi TTV.
4. Ukur TTV.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan kebutuhan cairan pasien
dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :
ü Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa bibir tidak kering)
Intervensi :
R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat mengetahui tindakan
yang harus dilakukan.
R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral karena pasien yang
akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.
4. Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan cemas pasien
berkurang, dengan kriteria hasil :
ü Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis yang akan dilakukan..
Intervensi :
R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan tindakan dan waktu
yang tepat untuk melakukan tindakan keperawatan.
R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan pendekatan agar tindakan
keperawatan yang dilakukan lebih mudah.
R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.
Diagnosa post-tindakan
1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien
berkurang dengan kriteria hasil :
ü Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi :
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi.
R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak terfokus pada nyeri
sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4. Beri analgetik
2. Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat
pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan luka pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
Intervensi :
R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan perubahan fungsi),
pus, jaringan nekrotik.
4. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga luka agar tetap
kering.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan tingkat pengetahuan
orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
Intervensi :
2. Lakukan BHSP.
R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap kesulitan yang dihadapi.
Implementasi
Evaluasi
Diagnosa pre-tindakan
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
Diagnosa post-tindakan
2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, perubahan fungsi)
3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2008. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC
Mansjoer A,. dkk. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Berbagi
Beranda
Mengenai Saya
Foto saya