Вы находитесь на странице: 1из 44

94

BAB III
IDENTIFIKASI PROBLEM PRODUKSI

Dalam proses memproduksikan fluida hidrokarbon dari reservoir, seringkali


muncul problem-problem yang berkaitan dengan sifat fluida yang diproduksikan
maupun problem yang disebabkan dari karakteristik reservoirnya itu sendiri. Jenis-
jenis problem produksi yang sering dijumpai adalah problem kerusakan formasi,
scale, kepasiran, emulsi, korosi, paraffin dan water/gas coning.

3.1. Problem Kerusakan Formasi


Kerusakan formasi atau formation damage adalah kondisi dimana terjadi
penurunan produktivitas lapisan reservoir yang disebabkan oleh penurunan harga
permeabilitas yang terjadi disekitar lubang bor sebagai akibat dari operasi
pemboran, komplesi, perforasi, atau selama operasi produksi. Sumur minyak dapat
mengalami kerusakan formasi, dimana tingkatannya bermacam-macam dari
turunnya produksi sampai tertutupnya zona produksi sehingga fluida sumur tidak
bisa mengalir sama sekali.
3.1.1. Faktor Penyebab Kerusakan formasi
Berdasarkan mekanismenya maka tipe kerusakan formasi dapat
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: kerusakan formasi akibat proses pemboran,
penyelesaian sumur, produksi dan workover.
3.1.1.1. Kerusakan Formasi Akibat Proses Pemboran
Selalu ditemukannya invasi filtrat lumpur saat pemboran adalah fenomena
alamiah. Filtrat yang terinvasi ini sangat mempengaruhi pori-pori dan permeabilitas
formasi, karena pada umumnya batuan formasi mengandung lempung (clay). Clay
sifatnya hiperaktif terhadap air tawar (fresh water).
Dari matrik seperti clay, kalsit dan fine sand, ditinjau dari lokasi clay di
dalam batuan sedimen diperoleh dengan cara pengisian rongga (pore filling)
dimana butir-butir lempung mengisi rongga pori (biasanya kaolinit) dan melapisi
butiran (pore lining) dimana lempung melekat atau menutupi butiran.
95

Chilingarian mengelompokkan clay menurut sifat fisik seperti pada (Tabel


III-1.) Dari keempat jenis clay, hanya montmorillonite yang memiliki kemampuan
untuk mengembang jika kontak dengan air khususnya fresh water. Sedangkan
montmorillonite clay atau disebut juga bentonit terbagi menjadi dua jenis, yaitu Na-
bentonit dan Ca-bentonit. Sodium (Na)-bentonit lebih mudah mengembang bila
dibandingkan dengan Ca-montmorillonite, karena mampu mengembang sampai 8
kali bila dicampur dengan air.
Tabel III-1.
Sifat Fisik Beberapa Jenis Clay 6)

Luas Permukaan Rentang


Jenis (Surface Area) Cation Exchange
(m2/gram) Capacity (CEC)
Montmorillonite 82 80 - 150
Illite 113 10 - 40
Kaolinite 22 3 - 15
Chlorite - 10 - 40

Pada lumpur water base mud invasi mud filtrate menyebabkan lempung
mengembang dalam pori batuan sehingga pori-pori batuan mengalami clay
blocking. Clay adalah material dari tanah dengan ukuran koloid yang mengembang
bila basah dan bersifat mengabsorbsi terhadap air. Oleh karena itu disebut
hydrophilic, berbeda dengan shale yang bersifat hydrophobic yang mempunyai
sifat dapat menghidrat.
Banyaknya air yang diserap oleh partikel clay tergantung pada sifat-sifat
ikatan ionnya. Na adalah kation monovalent, oleh karena itu ion-ion ini terikat
begitu lemah pada batas-batas permukaan memungkinkan masuknya air lebih
banyak yang menyebabkan clay lebih mudah mengembang.
Menurut Carl Gatlin ada dua faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya
kerusakan formasi yaitu :
a. Invasi Cairan
Formasi yang mengalami kontak dengan fluida asing seperti fluida
reservoir, fluida pemboran, atau fluida injeksi adalah dasar yang menyebabkan
terjadinya kerusakan formasi. Kerusakan formasi oleh fluida asing besarnya
96

tergantung pada kandungan material solid/padatan di dalamnya, terutama


kandungan clay-nya. Sebagai contoh formasi “dirty sand” yang mempunyai
kandungan clay tinggi pada umumnya bersifat sangat sensitif terhadap adanya
filtrat dari lumpur fresh water base yang digunakan pada saat operasi pemboran
sehingga timbul hidrasi dan swelling pada partikel-partikel clay.
Adanya invasi fluida asing juga akan mengendapkan aspalt, lilin (wax), atau
padatan seperti garam-garam yang tidak dapat larut. Beberapa efek lain dari adanya
invasi fluida asing adalah:
1. Terjadinya emulsi dengan fluida formasi akan menghasilkan blocking pada
kapilaritas oleh gelembung- gelembung.
2. Pengendapan partikel-partikel padat, seperti garam yang tidak mudah larut,
asphalt atau lilin.
3. Pengurangan permeabilitas relatif terhadap gas oleh adanya kehadiran
fluida yang tidak dapat bercampur. Sebagai contoh adanya suatu formasi
yang pada mulanya hanya berisi gas dan air, jika formasi ini dibor dengan
fluida pemboran oil base mud maka akan terjadi invasi filtrat lumpur
kedalam formasi. Ketika gas mulai diproduksikan, sejumlah filtrat tersebut
menyebabkan suatu saturasi yang tidak dapat bergerak dan akan
mengurangi produktivitas formasi.
4. Pengurangan permeabilitas relatif minyak karena adanya penambahan
saturasi air.
b. Invasi Padatan
Krueger & Vogel menyebutkan bahwa invasi partikel padatan lumpur
mencapai 12 inchi atau lebih dalam dari core, batuan yang mempunyai
permeabilitas 350-550 md dalam waktu 5 hari. Selain itu kerusakan formasi akan
turun pada jarak yang jauh dari lubang bor (Glenn dan Slusser, 1957).Invasi dari
partikel padatan dapat menjadi penyebab dari kerusakan formasi (formation
damage). Pada penyelidikan penurunan permeabilitas karena adanya invasi padatan
terdapat dua penyebab, yaitu :
1. Penyumbatan (plugging) dari pori-pori bagian dalam oleh partikel-partikel
padatan.
97

2. Pengurangan radius pori-pori efektif yang mengakibatkan naiknya kadar air


interstitial.
Penyumbatan oleh padatan dapat terjadi pada permukaan formasi, pada
lubang perforasi atau di dalam formasi sendiri. Penyumbatan oleh padatan tersebut
dapat berupa material pemberat atau material lost circulation.
3.1.1.2. Kerusakan Formasi Akibat Penyelesaian Sumur
3.1.1.2.1. Kerusakan Formasi pada Operasi Penyemenan
Semen sebagai bahan dan operasi penyemenan sebagai aktivitas ternyata
memiliki potensi untuk menimbulkan kerusakan formasi. Penyemenan yang tidak
sempurna dapat menyebabkan aliran dan invasi fluida antar zona. Hal ini dapat
dideteksi dengan teknologi akuisisi data (perbandingan antara interpretasi cased dan
open hole). Adapun faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya invasi filtrat
semen adalah:
 Rate sirkulasi yang tinggi
 Mud cake tidak ada karena sebelum dilakukan cementing, mud cake
terhilangkan
 Mutu dari semen yang dipakai
 Tekanan hidrostatik kolom semen
 Viskositas semen
Beberapa mekanisme penyebab kerusakan formasi selama aktivitas penyemenan
antara lain :
1. Filtrat semen, fluid spacer, preflush fluid yang masuk ke dalam formasi
akan meningkatkan saturasi fluida di sekitar lubang bor dan mempengaruhi
ikatan alami lempung.
2. Tambahan beban, seperti gerakan naik turun maupun putaran pipa,
pemakaian scratcher dan centralizer akan meningkatkan hilangnya filtrat ke
dalam formasi.
3. Semen yang kurang sempurna menyebabkan komunikasi fluida antar zona
(yang seharusnya terisolasi) selama produksi maupun pada waktu treatment
sumur.
4. Gas dalam semen dapat menyebabkan komunikasi antar zona.
98

5. Semen dengan berat berlebihan dapat menyebabkan rekahnya formasi


sehingga menyebabkan komunikasi antar zona.
6. Fluid loss (biasanya air) selama squezee cementing yang umumnya kotor,
dapat mengurangi permeabilitas formasi, baik secara fisika maupun
kimiawi.
Partikel-partikel semen yang berukuran 20 – 100 mikron terlalu besar untuk
dapat masuk ke dalam sebagian besar ukuran pori atau rekahan alami. Oleh
karenanya semen sendiri biasanya tidak menyebabkan kerusakan formasi, tetapi
filtrat yang masuk ke dalam formasi selama penyemenan yang merupakan sumber
kerusakan. Hal yang perlu diwaspadai adalah pengaruh filtrat semen (berupa air
tawar/fresh water) terhadap lempung dalam formasi. Hidrasi lempung merupakan
kemungkinan kerusakan utama dari formasi yang terinvasi oleh filtrat semen.
3.1.1.2.2. Kerusakan Formasi karena Perforasi
Tujuan pengerjaan perforasi adalah menghubungkan zona produktif dengan
lubang sumur agar fluida reservoir dapat diproduksikan. Hal ini baru efektif bila
perforasi dapat menembus zona terinvasi (zona dimana terdapat kerusakan
formasi).
Faktor-faktor utama yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya
kerusakan formasi dari sisi pandang perforasi dan fluida komplesi adalah sebagai
berikut:
a. Fluida Perforasi/Komplesi
Setiap fluida yang kontak dengan formasi mempunyai potensi untuk merusak.
Pengaruh ini akan semakin besar bila fluida terinvasi melalui perforasi sehingga
mencapai kedalaman tertentu. Lumpur bor dan semen mungkin mengandung
aditif yang dimaksudkan untuk mengurangi fluid loss ke dalam formasi, tetapi
fluid loss additive di dalam fluida perforasi dapat menyumbat lubang perforasi
dan sulit dihilangkan.
b. Pecahan Perforasi, Compacted dan Crushed Zone
Kerusakan formasi dapat terjadi pada saat perforasi menembus suatu formasi,
akibat injeksi material dari perforating gun. Tembaga, timbal (lead) dan karbon
merupakan komponen-komponen pecahan yang paling banyak dijumpai dari
99

pengujian Jet Perforating Gun. Bila peluru perforasi ditembakkan, maka peluru
perforasi akan menembus casing, semen, formasi dan membuat lubang.
Material pada alur peluru tidak hilang, sebagian logam dan semen mengalami
disintegrasi/hancur dan sebagian lainnya dalam bentuk pecahan.
3.1.1.3. Kerusakan Formasi Akibat Produksi
Yang dimaksudkan kerusakan formasi akibat produksi adalah kerusakan
yang diakibatkan oleh adanya pengecilan permeabilitas yang disebabkan oleh
adanya perpindahan butiran formasi dan pengembangan clay..
Kenampakan clay tidak berarti bahwa akan terjadi masalah selama produksi
berlangsung. Clay akan menjadi masalah apabila dalam reservoir terdapat dalam
jumlah yang besar dan bereaksi terhadap aliran fluida yang melalui pori-pori
batuan. (Tabel III-2.) menunjukkan komponen penyusun utama clay yang umum
terjadi pada sumur produksi. Luas permukaan clay per unit berat menggambarkan
pentingnya analisa clay terhadap sumbatan yang ditimbulkan pada sumur.
Tabel III-2.
Komposisi Penyusun Utama Clay pada Masing-masing Tipe Clay 6)

Particle Major Components Common


Surface Area
m2/gm
Quartz Si,O 0.000015
Kaolinite Al,Si,O,H 22
Chlorite Mg,Fe,Al,Si,O,H 60
Illite K,Al,Si,O,H 113
(Smectile or Na,Mg,Ca,Al,Si,O,H 82
Montmorillonite)

Perbandingan antara massa dan luas permukaan dari clay membuat clay
menjadi sangat penting. Clay dapat dilibatkan dalam penyerapan dan reaksi kimia.
Perbedaan tipe-tipe clay digolongkan menurut penyusun utama dari clay tersebut.
3.1.1.3.1. Tipe Clay
Ada empat macam tipe clay yang umum, yaitu:
a. Kaolinite
Kaolonite mempunyai struktur kimia seperti clay yang stabil, karena tidak
dapat bereaksi dengan HCl tetapi dapat larut dalam HF + HCl. Kaolinite
100

dapat menjadi masalah utama dalam produksi jika membentuk struktur dan
menggumpal di dalam reservoir sehingga menutupi lubang pori.
b. Smectite (Montmorillonite)
Smectite mempunyai daya serap yang tinggi terhadap air sehingga smectite
mudah sekali melakukan swelling apabila terdapat air. Swelling clay
ditentukan oleh besarnya komposisi Na (sodium). Smectite menjadi
penghambat/masalah produksi dalam dua cara yaitu membeku terhadap air
sehingga mengakibatkan penyumbatan dan dapat menjadi butiran clay
dengan porositas yang sangat kecil.
c. Illite
Illite sering dijumpai dalam bentuk yang menyerupai smectite dalam
campuran clay. Masalah yang ditimbulkan adalah membentuk
mikroporosity (porositas kecil) yang tinggi. Illite terbentuk seperti jerami
atau serabut yang menyerupai rambut. Pembentukan serabut yang banyak
dan padat sehingga membentuk perangkap dan membentuk porositas yang
sangat kecil sehingga dapat menutupi laju aliran fluida.
d. Klorite
Klorit mempunyai hubungan yang sangat erat dengan butiran batuan dan
tidak ada hubungan dengan perpindahan clay. Klorite dapat larut dalam HCl
secara lambat. Klorite dapat menyebabkan masalah dengan cara bereaksi
seacara kimia pada reservoir yang mengandung unsur besi yang tinggi.
Seandainya asam klorit tidak dipisahkan maka besi dapat berikatan
membentuk hidroksida yang berupa padatan yang akan menutupi pori
batuan.
3.1.1.3.2. Klasifikasi Clay
Klasifikasi mineral clay didasarkan pada sifat menyerap air dibagi menjadi:
a. Expandable (swelling) Clay
Pada jenis ini clay dibedakan antara smectite dan vermiculte. Perbedaan
antara keduanya adalah bahwa smectite terus mengembang selama
menyerap air. Pada golongan ini mineralnya adalah montmorillonite
saponite, hetonite dan beidelite. Sedangkan vermiculite tingkat
101

pengembangannya terbatas dan contoh mineralnya adalah illite dan


kaolinite.
b. Nonexpandable Clay
Pada jenis ini pada dasarnya adalah dapat menyerap air tetapi karena dalam
jumlah yang sedikit sekali sehingga dianggap tidak menyebabkan swelling.
Mineral yang termasuk jenis ini adalah illite chlorite dan kaolinite chlorite.
3.1.1.4. Kerusakan Formasi Akibat Bakteri
Bakteri dapat menyebabkan problem yang serius dalam industri
perminyakan, karena bakteri bisa berkembang yang akibatnya akan bergerak dan
menutupi pori batuan. Bakteri dapat hidup pada temperatur 12 oF sampai 250 oF
bahkan kadang-kadang lebih.
Pada operasi di lapangan yang ada dalam formasi umumnya bakteri
anaerob. Bakteri yang sering dijumpai dan menimbulkan masalah dalam industri
perminyakan adalah Sulfat Reducing, Slime formes dan Iron bacteria. Sulfat
Reducing Bacteria (SRB) membutuhkan asam organik dan molekul hidrogen dari
pembusukan bahan organik alami. Sulfat Reducing Bacteria (SRB) akan
menghasilkan gas H2S. H2S bila akan bereaksi dengan minyak/endapan besi dan
menghasilkan ferrous sulfida dapat menutupi pori-pori batuan.
3.1.1.5. Kerusakan Formasi Akibat Workover
Meskipun kerja ulang (workover) secara umum adalah untuk memperbaiki
produktivitas, dalam prakteknya kerja ulang menggunakan fluida yang mungkin
dapat mengakibatkan kerusakan formasi. Fluida yang dimaksud adalah cairan-
cairan yang digunakan untuk keperluan pengasaman, pencucian dengan solvent,
sand control treatment, atau cairan untuk keperluan perubahan artificial lift yang
sederhana.
Fluida kerja ulang dapat menyebabkan kerusakan formasi oleh satu atau
lebih mekanisme berikut:
a. Invasi dari padatan yang terkandung dalam fluida ke dalam formasi dan
menyumbat ruang pori atau lubang perforasi.
b. Invasi dari fluida yang incompatible ke dalam formasi yang menyebabkan:
 Terjadinya swelling
102

Clay problem dapat terjadi oleh lautan air yang hilang ke dalam formasi
selama operasi kerja ulang. Fluida-fluida tersebut kemungkinan dapat
menyebabkan swelling atau migrasi. Masalah ini umumnya terjadi pada
batuan pasir lempungan (shaly-sandstone), tetapi ada beberapa formasi
karbonat mengandung lempung yang sensitif. Tingkat masalah lempung
erat berhubungan dengan jumlah dan jenis dari fluida air dan aditif yang
masuk formasi, jumlah dan tipe lempung serta kondisi dan keberadaan
lempung dalam keadaan alaminya.
 Terjadinya water blocking
Masuknya fluida kerja ulang ke dalam formasi akan menambah saturasi air
yang menyebabkan turunnya permeabilitas relatif terhadap hidrokarbon,
fenomena ini dikenal dengan sebutan water block. Perubahan saturasi ini
dapat bersifat sementara, permeabilitas tehadap hidrokarbon biasanya akan
kembali bila air invasi ini didesak oleh hidrokarbon yang terproduksi.
Meskipun demikian, oleh karena air mempunyai tegangan permukaan 72
dyne/cm, maka air cenderung menghambat pendesakan hidrokarbon.
Tegangan permukaan fluida air yang kontak dengan formasi harus turun
sampai 20-30 dyne/cm dengan surfaktan agar jumlah dan waktu yang
diperlukan untuk memproduksikan/menghilangkan air dari water block
keluar formasi menjadi lebih singkat.
 Terjadinya perubahan wettabilitas
Beberapa surfaktan yang digunakan untuk memperkecil tegangan
permukaan air dan minyak maksud dapat mengubah wettabilitas alami
formasi. Formasi alami water wet akan berubah menjadi oil wet, yang
berarti menambah permeabilitas relatif terhadap air dan menurunkan
permeabilitas relatif terhadap minyak. Hal ini akan memudahkan
menghilangkan air, tetapi akan mendapat kesulitan dalam memproduksikan
minyak atau sebaliknya.
3.1.2. Identifikasi Problem Kerusakan Formasi
Adanya formation damage dapat ditandai dengan adanya pressure drop
disekitar sumur, dimana keadaan ini disebabkan oleh adanya penurunan
103

permeabilitas (k). Gambaran yang menunjukkan adanya kerusakan formasi ini


dapat diperoleh dari hasil data PBU test dan PDD test.
Jika permeabilitas reservoir rendah untuk beberapa hari saja, maka
penanggulangannya cukup dengan menstabilkan reservoir dengan menutup sumur.
Dengan melakukan penutupan sumur ini pun tidak dapat mengidentifikasikan
dengan pasti adanya kerusakan formasi di zona tersebut. Tetapi jika keadaannya
tidak demikian, atau dengan kata lain permeabilitasnya rendah dalam waktu yang
lama, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi kerusakan formasi.
Dari studi mengenai kerusakan formasi, dapat dikatakan bahwa suatu zona
yang mengalami damage dianggap sebagai suatu lapisan tipis atau “skin”. Kata
“skin” adalah idealisasi dari suatu zona dimana lapisan di dalam formasi produktif
mengalami kerusakan dan dapat pula mengalami perbaikan, sehingga ”skin” dapat
berharga positif atau negatif. Identifikasi kerusakan formasi ditandai dengan :
 Skin > 0 menunjukan adanya kerusakan formasi disekitar lubang bor.
 Skin = 0 menunjukkan tidak ada kerusakan formasi disekitar lubang bor.
 Skin < 0 menunjukkan tidak ada kerusakan formasi disekitar lubang bor,
bahkan terjadi perbaikan sebagai hasil dari stimulasi.
Van Everdigen (1953) memperkenalkan konsep skin, yang diikuti oleh
Hurst dan Hawkins (1956), yang mendefinisikan skin sebagai hambatan terhadap
aliran fluida dari reservoir ke lubang sumur yang terinvasi.

 K  r
S    1 ln s ................................................................................(3-1)
 Ks  rw
Hawkins mengekivalensikan seluruh hambatan aliran sebagai skin total
yang dapat dinyatakan sebagai hambatan aliran dalam formasi pada zona terinvasi
yang mengalami perubahan sifat alir.
Para analisis menyadari bahwa baik skin total maupun komponen-
komponenya adalah merupakan jumlah aljabar. Michael C. Economides
menegaskan bahwa skin efek total dari suatu sumur terdiri dari beberapa komponen
atau dipengaruhi oleh banyak parameter, dalam hal ini perlu memepertimbangkan
efek perforasi, drilling damage, deviation, partial completion. Bila variabel diatas
dibuat suatu persamaan, akan menjadi :
104

S = Sd + Sc+θ + Sp + Σ S pseudo …………………………………………(3-2)

dimana :
Sd = skin damage
Sc+θ = skin akibat komplesi sebagian dan kemiringan
Sp = skin efek perforasi
ΣSpseudo = jumlah dari semua pseudo skin, termasuk efek terhadap laju aliran
dalam fasa fluida.

3.2. Problem Scale


Scale adalah endapan mineral yang terbentuk pada bidang permukaan yang
bersentuhan dengan air formasi saat minyak diproduksikan dari reservoir ke
permukaan. Atau dengan kata lain, scale adalah endapan mineral sebagai hasil
kristalisasi dan presipitasi mineral-mineral yang berasal dari air formasi. Endapan
scale dapat terjadi di formasi, lubang perforasi, lubang sumur, rangkaian pompa
dalam sumur, tubing, casing, flow line, manifold, separator, tangki, dan peralatan
produksi lainnya.

3.2.1. Faktor Penyebab Terbentuknya Scale


Penyebab langsung pembentukan scale adalah penurunan tekanan,
perubahan temperatur, pencampuran dua macam air yang susunan mineralnya tidak
saling cocok, adanya supersaturasi, evaporasi (pengaruh konsentrasi), agitasi,
lamanya saat terbuka (crystal growth) dan perubahan pH.
Kelarutan didefinisikan sebagai batas zat yang dapat dilarutkan didalam zat
pelarut pada kondisi fisik tertentu. Zat kimia ada di dalam larutan sebagai ion-ion.
Beberapa kombinasi ion-ion berupa komponen-komponen dengan kelarutan dalam
air yang sangat kecil. Air mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjaga
komponen-komponen tersebut tetap dalam larutan, dan sekali kapasitas atau
kelarutan terlampui, maka komponen akan terpisah dari larutan sebagai padatan.
Sehingga scale dapat terbentuk jika :
 Air mengandung ion-ion yang memiliki kecenderungan untuk membentuk
senyawa-senyawa yang mempunyai angka kelarutan rendah.
105

 Adanya perubahan kondisi fisik atau komposisi air yang akan menurunkan
kelarutan lebih rendah dari konsentrasi yang ada.
 Kenaikan temperatur akan menyebabkan terjadinya proses penguapan,
sehingga akan terjadi perubahan kelarutan.
 Air formasi yang mempunyai derajat keasaman (pH) besar akan
mempercepat terbentuknya endapan scale.
Proses pembentukan endapan scale dapat dikategorikan dalam tiga tahapan
pokok, yaitu :
1. Tahap Pembentukan Inti (nukleasi)
Pada tahap ini ion-ion yang terkandung dalam air formasi akan mengalami
reaksi kimia untuk membentuk inti kristal. Inti kristal yang terbentuk sangat
halus sehingga tidak akan mengendap dalam proses aliran.
2. Tahap Pertumbuhan Inti
Pada tahap pertumbuhan inti kristal akan menarik molekul-molekul yang
lain, sehingga inti akan tumbuh menjadi butiran yang lebih besar, dengan
diameter 0,001 – 0,1  (ukuran koloid), kemudian tumbuh lagi sampai
diameter 0,1 – 10  (kristal halus). Kristal akan mulai mengendap saat
pertumbuhannya mencapai diameter > 10  (kristal kasar).
3. Tahap Pengendapan
Kecepatan pengendapan kristal dipengaruhi oleh ukuran dan berat jenis
kristal yang membesar pada tahap sebelumnya. Selain itu proses
pengendapan juga dipengaruhi oleh aliran fluida pembawa, dimana kristal
akan mengendap apabila kecepatan pengendapan lebih besar dari kecepatan
aliran fluida.
Mekanisme pembentukan endapan scale berkaitan erat dengan komposisi
air di dalam formasi. Secara umum, air mengandung ion-ion terlarut, baik itu berupa
kation (Na+, Ca2+, Mg2+, Ba2+, Sr2+ dan Fe3+), maupun anion (Cl-, HCO3-, SO42- dan
CO32-). Kation dan anion yang terlarut dalam air akan membentuk senyawa yang
mengakibatkan terjadinya proses kelarutan (solubility). Proses terlarutnya ion-ion
dalam air formasi merupakan fungsi dari tekanan, temperatur serta waktu kontak
(contact time) antara air dengan media pembentukan. Pengendapan scale akan
106

meningkat dengan lamanya waktu kontak dan ini akan mengarah pada
pembentukan scale yang lebih padat dan keras. Air mempunyai batas kemampuan
dalam menjaga senyawa ion-ion tersebut tetap dalam larutan, sehingga pada kondisi
tekanan dan temperatur tertentu dimana harga kelarutan terlampaui, maka senyawa
tersebut tidak akan terlarut lagi melainkan terpisah dari pelarutnya dalam bentuk
padatan.
3.2.1.1. Bercampurnya Dua Jenis Air yang Berbeda
Dua jenis air yang berbeda mempunyai kecenderungan untuk membentuk
scale atau membentuk suatu komponen yang tidak larut apabila bercampur. Contoh
yang umum adalah percampuran antara air injeksi dengan air formasi di bawah
sumur, dimana yang satu mempunyai kelarutan garam-garam barium yang tinggi,
sedangkan yang lainnya mengandung larutan sulfate. Percampuran ini akan
mengakibatkan pembentukan endapan barium sulfate (BaSO4) yang dapat
menyumbat dan sulit untuk dibersihkan. Endapan tersebut akan menjadi lebih keras
dan semakin bertambah apabila larutan mineralnya dalam keadaan bersentuhan
(kontak) dengan bidang permukaan alat dalam waktu yang lama (terendapkan secara
perlahan-lahan).
3.2.1.2. Penurunan Tekanan
Pada saat air formasi mengalir dari reservoir menuju lubang sumur, maka
akan terjadi penurunan tekanan. Penurunan tekanan ini dapat pula terjadi dari dasar
sumur ke permukaan dan dari well head ke tanki pengumpul. Penurunan tekanan
ini akan menyebabkan terlepasnya CO2 dan ion bikarbonat (HCO3) dari larutan.
Karbon dioksida sebenarnya berfungsi untuk menahan kalsium karbonat
dan kalsium bikarbonat untuk tetap dalam larutan. Dengan terbebaskannya CO2,
maka pembentukan suatu asam yang bernama asam karbonat (H2CO3) akan terjadi
lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Reaksi pembentukannya adalah:
CO2 + H2O  H2CO3
H2CO3  H+ + HCO3
HCO3  H+ + CO3=.
Bila ion HCO3 dan Ca++ yang ada dalam air berasosiasi, maka akan terjadi reaksi:
Ca++ + 2(HCO3)  CaCO3  + CO2  + H2O.
107

Persamaan reaksi diatas menunjukan endapan CaCO3 cenderung akan terbentuk


bila gas CO2 terlepas dari air (pH meningkat). Dengan demikian terlihat bahwa
apabila terjadi kehilangan tekanan (pressure drop) maka akan menyebabkan
terbebasnya gas, dan endapan CaCO3 akan terbentuk. Scale yang lain juga
dipengaruhi oleh tekanan ini, walaupun dalam tingkat yang lebih rendah.

3.2.1.3. Perubahan Temperatur


Pada saat terjadi kenaikan temperatur, maka akan terjadi penguapan, sehingga
terjadi perubahan kelarutan, dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya
pembentukan scale. Temperatur mempunyai pengaruh pada pembentukan semua
tipe scale, karena kelarutan suatu senyawa kimia sangat tergantung pada
temperatur.
Misalnya kelarutan CaCO3 akan berkurang dengan kenaikan temperatur,
sedangkan kelarutan CaSO4 berkurang dengan kenaikan temperatur di atas 80 oF.
Hal ini bisa menerangkan mengapa dalam pengamatan pengendapan CaCO3
kadang-kadang ditemukan di dekat ujung bawah tubing dan CaSO4 ditemukan di
bagian yang lebih atas dari tubing.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi semakin cepatnya
proses terbentuknya scale. Faktor-faktor tersebut antara lain :
a. Derajad keasamaan (pH)
Semakin besar pH cairan, maka akan mempercepat terbentuknya scale.
Scale biasanya terbentuk pada kondisi basa (pH > 7).

b. Terjadinya agitasi (pengadukan) dan turbulensi


Pengadukan atau goncangan akan mempercepat terbentuknya endapan
scale. Scale biasanya terbentuk pada tempat dimana faktor turbulensi besar,
seperti sambungan pipa, valve, dan daerah-daerah penyempitan aliran.

c. Kelarutan zat padat


Kelarutan zat padat yang dikandung oleh air sangat berperan dalam
pembentukan scale, sebab bila kelarutan zat padat rendah atau kecil, maka
kemungkinan untuk terbentuknya scale akan semakin besar.
108

3.2.2. Identifikasi Problem Scale


Untuk mengidentifikasi adanya problem scale dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu analisa kimia air formasi dan metode perhitungan kelarutan.
3.2.2.1 Analisis Kimia Air Formasi
Air formasi yang ikut terproduksikan mengandung sejumlah zat (impurities)
yang dihasilkan akibat kontak antara air dengan tanah dan batuan formasi tersebut.
Sebagai tambahan biasanya air juga mengandung padatan yang tersuspensi dan gas
yang terlarut. Adanya perubahan tekanan dan temperatur menyebabkan beberapa
zat yang semula terlarut kedalam air mungkin tidak terlarut lagi, memisahkan diri
dan membentuk endapan scale.

Tabel III-3.
Komponen Utama dan Sifat Fisik Air Formasi 13)

Ion-ion Sifat Yang Lain


Kation Keasaman (pH)
Kalsium (Ca) Padatan Tersuspensi
Magnesium (Mg) jumlah, ukuran, bentuk,
Sodium (Na) komposisi kimia
Besi (Fe)
Barium (Ba) Turbiditas
Stronsium (Sr) Temperatur
Specific Gravity
Anion Gas Terlarut
Khlorida (Cl) oksigen, karbon dioksida
Karbonat (CO3)
Bikarbonat (HCO3) Sulfida (pada H2S)
Silfat (SO4) Populasi Bakteri
Kandungan Minyak

Tabel III-4.
Sifat Fisik Air Murni 13)

Berat Molekul 18
Densitas @ 4 oC 1 mg/lt
o
Titik Beku 0 C
o
Titik Didih 100 C
109

Komponen utama yang harus diketahui adalah ion-ion yang terkandung


dalam air, serta sifat fisik air yang berhubungan dengan proses pembentukan scale.
(Tabel III-3.) Tabel Komponen Utama dan Sifat Fisik Air Formasi. Dimana tabel
ini menunjukkan komponen utama serta sifat fisik dari air formasi yang diketaui
dari ion-ion yang terkandung seperti anion dan kation serta sifat fisik yang lain,
sedangkan (Tabel III-4.) Tabel Sifat Fisik Air Murni. Dimana tabel ini
menunjukkan sifat fisik air dalam keadaan murni seperti berat molekul, densitas,
titik didih dan titik beku.
Di dalam melakukan analisis contoh air formasi untuk memperkirakan
tingkat kecenderungan pembentukan scale, maka perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu :
a. Analisis terhadap contoh air formasi yang terproduksikan ke permukaan hanya
baik untuk memperkirakan kecenderungan pembentukan scale pada peralatan-
peralatan di permukaan. Sedangkan untuk memperkirakan pembentukan scale
di dasar sumur hasil analisis ini kurang representatif, karena sebelum air
terproduksikan ke permukaan sudah terjadi endapan scale di dasar sumur
sehingga komposisi masing-masing komponen sudah berubah.
b. Apabila besarnya tekanan di dasar sumur mendekati harga tekanan
reservoirnya, maka contoh air formasi dari dasar sumur yang dianalisis di
laboratorium pada kondisi tekanan dan temperatur dasar sumur akan memberikan
data yang representatif untuk memperkirakan pembentukan scale di dasar sumur
maupun di permukaan.
Analisa kimia air formasi dapat dilakukan dengan beberapa metode antara
lain yaitu:
a. Metode Titrasi
Analisa dengan menggunakan metode titrasi dilakukan dengan meneteskan
larutan indikator (titrant) pada sampel air yang dianalisa. Penambahan titrant
dilakukan sampai air sampel berubah warna, atau disebut juga ‘end-point’. Volume
larutan indikator yang ditambahkan dicatat dan digunakan untuk menentukan
volume zat yang terbentuk. (Tabel III-5) berikut ini menunjukkan jenis titrant
berdasarkan komponen yang dianalisa serta indikator perubahan warna.
110

Tabel III-5
Larutan Titrasi dan Indikator Perubahannya 13)
Ions Titrant Indikator
CO32- H2SO4 atau HCl Phenolphthalein
HCO3- H2SO4 atau HCl Methyl Purple
Ca2+ EDTA Cal-Red, Calcon, Murexide
2+
Mg EDTA Eriochrome Black T
Cl- AgNO3 (Silver Nitrate) Potassium Chromate

b. Metode Colorimetric
Metode analisa ini merupakan metode analisa yang sering digunakan karena
sederhana, yaitu dengan menambahkan indikator kedalam sampel air. Selanjutnya
diamati adanya perubahan warna pada indikator. Intensitas warna yang terdapat
dalam indikator menunjukkan besarnya parameter yang dianalisa. Besarnya
konsentrasi ditentukan dengan membandingkan warna sampel dengan warna
standar dari konsentrasi yang telah diketahui. Standar warna indikator dapat dilihat
pada (Gambar 3.1.).

= Red = Pink = Orange = Colorless


= Blue = Green = Yellow = Transition

Gambar 3.1.
Standar Warna Indikator Colorimetric 13)
111

Selain dengan indikator, metode colorimetric juga dilakukan dengan


menggunakan filter photometer. Filter photometer merupakan perlatan yang dapat
mengubah intensitas warna menjadi gelombang elektrik dengan menggunakan filter
warna dan photocell, selanjutnya gelombang elektrik akan diukur menggunakan
microammeter, dengan satuam ppm ataupun mg/lt untuk tiap ion yang dianalisa.
Skema sederhana dari filter photometer dapat dilihat pada (Gambar 3.2.).

Light Water Color Photo Micro


Source Sample Filter Cell Ammeter

Gambar 3.2.
Skema Filter Photometer 13)

c. Metode Turbidimetric
Untuk metode analisa jenis ini, pada sampel air ditambahkan zat reagent
yang akan bereaksi dengan ion yang dimaksud untuk membentuk endapan padatan.
Lapisan endapan tersebut akan membuat larutan menjadi keruh dan derajat
kekeruhan atau turbiditas (degree of cloudiness) menunjukkan besarnya konsentrasi
ion yang dianalisa.
Dari ketiga jenis metode analisa air formasi diatas, metode yang paling
akurat adalah metode titrasi, dan metode yang paling sensitif adalah metode
colorimetric. Sedangkan metode dengan tingkat akurasi paling rendah adalah
metode turbidimetric.
Hasil dari analisa yang berupa konsentrasi berbagai komponen obyek
analisadapat dinyatakan dengan beberapa satuan, sebagai berikut :
1. Hasil dari analisa titrasi dinyatakan dalam mg / lt dari komponen yang
dimaksud.
112

2. Sedangkan untuk analisa dengan metode colorimetric dan turbidimetric


biasanya dinyatakan dalam ppm.
3. Selain satuan-satuan diatas, hasil suatu analisa juga dapat dinyatakan secara
khusus dengan satuan sebagai berikut :
a. meq/lt
mg / lt
dimana meq/lt =
berat ekuivalen

b. Grains / US Gallon
mg / lt
dimana grn/US gal =
17,1

c. ppm CaCO3
Satuan ini dihitung dengan mengalikan konsentrasi ion dengan
perbandingan berat ekivalen CaCO3 dengan berat ekivalen ion tersebut.
Sebagai contoh adalah sebagai berikut :
berat ekivalen CaCO3
ppm Ca2+ - CaCO3 = ppm Ca2+ x
berat ekivalen Ca 2 
50
= ppm Ca2+ x
20
= 2,5 (ppm Ca2+).

Hasil analisis kimia air formasi biasanya disajikan dalam bentuk diagram,
yang disebut dengan Diagram Stiff. Diagram Stiff dibagi menjadi dua bagian,
sebelah kiri untuk memplot kadar atau konsentrasi kation-kation, dan sebelah kanan
untuk anion-anion.
Ada dua jenis pola, yaitu pola linear dan pola logaritma. Harga konsentrasi
yang diplot pada grafik tersebut antara lain adalah konsentrasi Na+, Ca2+, Mg2+,Fe
(total), Cl-, HCO3-, SO42- dan CO32-. (Gambar 3.3.) berikut meruakan contoh pola
dengan menggunakan data pada (Tabel III-6). Sedangkan (Gambar 3.4),
merupakan hasil analisa air formasi pada beberapa lapangan, yang menunjukkan
persamaan pola pada air yang sejenis.
113

Tabel III-6
Contoh Hasil Analisa Air Formasi 13)
Ions mg/lt meq/lt
Na+ 93.230 4.053
Ca2+ 5.173 258
Mg2+ 620 51
Fe (total) 12 0,6
Cl- 153.175 4.320
-
HCO3 195 3
2-
SO4 10910 40
2-
CO3 0 0

Na Cl

Ca HCO3

Mg SO4

Fe CO3
1
10000

1000

100

10

10

100

1000

10000

a. Logarithmic Pattern (meq/lt)

Na Cl
1000 1000

Ca HCO3
100 1,0

Mg SO4
10 10

Fe CO3
1,0 1,0
b. Linear Pattern (meq/lt)

Gambar 3.3.
Graphical Result of Water Analysis – Stiff Method 13)
114

Bloomer
Field
Staltenberg
Field
Drach
Field

scale
Na
(meq / lt)
Cl
100 100
Ca HCO3
10 10
Mg SO4
10 10
St. John Fe
10
CO3
10
Field

Gambar 3.4.
Hasil Analisa Air Formasi Beberapa Lapangan Minyak 5)

3.2.2.2. Metode Perhitungan Kelarutan


Identifikasi kecenderungan pembentukan scale juga dapat dilakukan dengan
menghitung besarnya harga kecenderungan pembentukan scale (scale tendency).
Metode yang digunakan berbeda-beda untuk tiap jenis scale. Metode-metode
tersebut diatas mempunyai keterbatasan-keterbatasan dan keakuratan hasilnya
tergantung pada data analisa air yang representatif untuk tiap kondisi yang
dianalisa.
1) Perhitungan Kelarutan Calcium Carbonate (CaCo3)
a. Metode Stiff – Davis
Metode yang dipakai adalah Metode Stiff dan Davis sebagai perluasan
metode Langelier. Indeks kelarutan dari Langelier dikembangkan untuk
memperkirakan pembentukan scale CaCo3 dari fresh water oleh Stiff dan Davis
untuk digunakan didalam analisa air formasi. Persamaan empirisnya adalah sebagai
berikut :
SI = pH - pHs ................................... (3-3)
pH sistem pH bila sistem
sebenarnya dijenuhi CaCO3
pHs = K - pCa - pAlk ...................................... (3-4)
115

SI = pH – K – pCa – p Alk ......................................(3-5)

keterangan :
SI = Scaling Index.
Jika SI berharga negatif (-), air di bawah kejenuhan CaCO3 dan
scale tidak terbentuk.
pH = pH air sebenarnya
K = Konstanta yang merupakan fungsi komposisi, salinitas, dan
temperatur air. Harga K didapat dari hubungan grafik dengan ionic
strength dan temperatur air.
Ionic strength adalah:

μ = 1/2 (C1Z12 + C2Z22 + C3Z32 + CnZn2) ........................................... (3-6)

keterangan:

C = konsentrasi ion dalam mole/1000 gr air


Z = valensi ion
1
pCa  log ……………………….......….………..…(3-7)
mol Ca   / liter
1
pCa  log …..………......…………..(3-8)
equivalent total alkalinity / liter
dimana total alkalinity = CO3= + HCO3-

Dalam menghitung kelarutan calcium carbonate dengan cara ini, perlu


untuk mengetahui besarnya pH, temperatur air, dan konsentrasi ion-ion, seperti ion
Na+, Ca++, Mg++, Cl- CO3=, HCO3-, dan SO. Sangat penting bahwa pH CO3= dan
HCO3- diukur di lapangan segera setelah contoh diambil, karena parameter ini
berubah sangat cepat setelah sampling. Perhitungan yang akurat tidak bisa
diperoleh dari analisa laboratorium. Hasil dari perhitungan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
 Harga SI negatif, maka air tidak jenuh dengan CaCO3 dan scale tidak
terbentuk.
 Harga SI positif, maka air di atas kejenuhan CaCO3 dan terdapat indikasi
terbentuknya scale.
116

 Harga SI nol, maka air pada titik kejenuhan.


b. Metode Oddo-Thompson
Metode Oddo-Thompson, memperhitungkan adanya gas CO2 sebagai
fungsi dari tekanan yang mana akan mempengaruhi kenaikan harga pH. Akan
tetapi perhitungan harga scaling index merupakan perhitungan yang pasti, selain
masih banyak faktor lain yang menyebabkannya. Menurut Thompson dan Oddo,
faktor-faktor penyebabnya adalah:
 Variasi persen mole CO2 terhadap perbandingan tekanan gas dari volume
total gas, air formasi, dan minyak yang terproduksi setiap harinya.
 Kompresibilitas gas tertentu pada volume gas total yang terproduksi (CO2
pada volume gas total).
 Parameter sistem di bawah permukaan, seperti aliran, komposisi mineral
reservoir, dan kondisi reservoir.
Dengan demikian, Metode Thompson dan Oddo lebih berkembang. Dengan
adanya kandungan gas yang terlarut di dalam air formasi dan minyak, serta
penurunan tekanan dan bertambahnya temperatur pada saat fluida mengalir dari
formasi menuju permukaan, akan mempengaruhi dalam perhitungan scaling index
CaCO3 tersebut. Persamaan-persamaan SI Thompson dan Oddo adalah:
 Ada fasa gas (Psistem < Pbubble point)

 
 Ca 2 HCO  2 
SI  log  3 
  5.85  15.19 x10 3 T  
 P  g CO2  g CO2  ............. (3-9)
1.64 x10 6 T   5.27 x10 5 P   3.334   1.431 
2 0.5

 
HCO3  
  8.60  5.31x10 T  
3
pH  log 
 P  g CO2  g CO2  ......... (3-10)
2.253x10 6 T   2.33x10 5 P   0.99   0.658 
2 0.5

 Tidak ada fasa gas (Psistem > Pbubble point)

SI  log 
 
 Ca 2 HCO 
3 
2

  3.63  8.68 x10 3 T  
 CaqCO 2   ............. (3-11)
8.55 x10 6 T   6.56 x10 5 P   3.42   1.373 
2 0.5
117

pH  log 

 HCO  2 
3 
  6.39  1.19 x10 3 T  
 
 CaqCO2  ........... (3-12)
7.94 x10 6 T   3.53 x10 5 P   1.067   0.599 
2 0.5

 Ada atau tidak ada gas CO2 pada pH pengukuran

  
SI  log Ca 2 HCO3  pH  2.76  9.88 x10 3 T  
............ (3-13)
0.61x10 6 T   3.03x10 5 P   2.348   0.77 
2 0.5

keterangan:
Ca++ = total calcium, M = mg/lt/40,000
HCO3 = bicarbonate alkalinity, M = mg/lt/61,000
P = tekanan total absolut, psia
T = temperatur, oF
 = ionic strength, M = mg/lt TDS/58,500
gCO2 = fraksi mole CO2 dalam fasa gas terhadap P dan T

=
 tot CO2  ............... (3-14)
1
 CO 5 V
g 2 brine  10 Voil   10 5 P
ntot T  460

totCO2 = fraksi mole CO2 dalam air formasi, minyak dan gas
= fraksi mole CO2 dalam gas dipermukaan, %
gCO2 = koefisien fugacity CO2 terhadap kompresibilitas gas
  0.255  
= Exp  P 2.84  10 4   ............................ (3-15)
  T  460  
Vbrine = produksi air formasi per hari, BWPD
Voil = produksi minyak per hari, BOPD
ntot = produksi total gas per hari, MMCF.
Hasil analisa Langelier, StiffDavis dan ThompsonOddo menunjukkan bahwa:
 SI berharga negatif, maka air tidak jenuh dengan CaCO3 dan scale tidak
terbentuk.
 SI berharga positif, maka air di atas kejenuhan CaCO3 dan mengindikasikan
terbentuknya scale.
118

 SI berharga nol, maka air pada titik kejenuhan dan scale tidak terbentuk.
2) Perhitungan Kelarutan Calcium Sulfate (CaSO4)
a. Metode Case

Gambar 3.5. Kurva Kelarutan Gypsum 3)

(Gambar 3.5.) menunjukkan kurva kelarutan gypsum yang dikemukakan


oleh Case. Gambar tersebut menunjukkan pengaruh ion-ion Ca++ dan SO4= di dalam
air dengan berbagai variasi ion-ion chloride. Kurva ini terutama berguna untuk
memprediksi gypsum scale saat mencampur air untuk sistem water injection.
Sebelumnya gambar ini berupa chart dan oleh Case hanya digunakan untuk
menentukan harga-harga relatif SO4 sebagai Na2SO4, Ca sebagai CaCO3, dan Cl
sebagai NaCl.
Harga-harga ion yang diperoleh dari sumur atau water system ini harus
dikalikan dengan faktor konversi untuk memperoleh harga-harga NaSO4, CaCO3,
dan NaCl. Suatu harga dari komposisi-komposisi tersebut telah diperoleh,
selanjutnya diplotkan dalam (Gambar 3.5.).
119

Apabila harga-harga relatif Ca dan SO4 berpotongan di atas dan k earah


kanan dari harga-harga relatif untuk Cl, maka gypsum scale akan terbentuk.
Sedangkan jika harga-harga relatif untuk Ca dan SO4 berpotongan di bawah dan ke
arah kiri dari garis Cl, maka CaSO4 tidak akan terendapkan.
Sistem ini dapat diilustrasikan dengan menganggap calcium sebasar 2,000
ppm, sulfate sebesar 4,000 ppm, dan chloride sebesar 18,000 ppm. Setelah
dikonversikan, maka harga CaCO3 sebesar 5,000, NaSO4 sebesar 5,920 dan NaCl
sebesar 20,700. Harga-harga ini apabila diplotkan kedalam (Gambar 3.5.). akan
menunjukkan bahwa interaksi dari harga-harga NaSO4 dan CaCO3 benar-benar di
atas dan ke arah kanan dari garis NaCl, sehingga gypsum scale terbentuk.
b. Metode Skillman - McDonald - Stiff
Metode yang umum dipakai adalah metode Skillman, McDonald, dan Stiff.
Metode ini banyak digunakan untuk memperkirakan kelarutan gypsum di lapangan
minyak pada temperatur di atas 80 ºC. Metode ini didasarkan pada pengukuran
kelarutan thermodinamika dan mempunyai dasar teoritis sebagai berikut :

S = 1000 {(x2 + 4k) – x } ................................................................. (3–16)

keterangan:

S = Kelaruran gypsum hasil perhitungan (meq/1)


k = Konstanta yang merupakan fungsi komposisi air dan temperatur yang
disebut solubility product constant (konstanta hasil kelarutan). Harga k
didapat dari grafik korelasi dengan ionic strength seperti halnya pada
CaCO3.
x = Kelebihan konsentrasi ion (dalam gr.mol/liter). Ini adalah perbedaan
konsentrasi ion calcium dan sulfate.
Data yang sama diperlukan dalam perhitungan ini seperti halnya pada
perhitungan SI. Perhitungan kelarutan gypsum (meq/l) dibandingkan dengan
konsentrasi aktual Ca++ dan SO4= yang terdapat didalam air (meq/liter). Jika S lebih
kecil dari yang terkecil dari kedua konsentrasi (Ca++ dan SO4=) maka scale gypsum
mungkin terbentuk. Jika S lebih besar dari baik konsentrasi ion Ca++ maupun SO4=,
maka air tidak dienuhi oleh gypsum dan scaling tidak mungkin terbentuk.
120

3.3. Problem Kepasiran


Ikut terproduksinya pasir bersama fluida produksi merupakan problem yang
sering dihadapi di lapangan minyak. Hal ini disebabkan karena sumur-sumur
berproduksi dari lapisan yang unconsolidated (mudah lepas), sehingga dapat
mengganggu produktivitas sumur serta dapat merusak peralatan produksi. Problem
ini disebabkan karena adanya butiran berukuran pasir disekitar sumur terbawa oleh
aliran fluida dan akan tertimbun didasar sumur (untuk butiran yang besar) atau
terbawa ke permukaan (untuk butiran yang kecil).
Jumlah pasir yang terbawa tergantung pada kecepatan aliran dan pressure
drop disekitar lubang sumur. Untuk kecepatan aliran yang rendah atau pressure
drop kecil, pasir yang terlepas merupakan butiran-butiran, tetapi pada kecepatan
aliran yang tinggi, pasir yang terlepas sudah merupakan gumpalan-gumpalan kecil,
sehingga akan mempercepat terjadinya kerusakan formasi.
3.3.2. Faktor Penyebab Terjadinya Problem Kepasiran
Problem kepasiran terjadi akibat rusaknya kestabilan ikatan butir-butir pasir
yang disebabkan adanya gaya gesekan serta tumbukan yang ditimbulkan oleh
aliran fluida, dimana laju alir yang terjadi melampui batas maksimum dari laju alir
kritis yang diperbolehkan, sehingga butiran-butiran pasir akan ikut terproduksi
bersama-sama minyak ke permukaan.
Menurut Thomas Allen, et al. (1982), problem kepasiran yang terjadi dalam
proses produksi dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu antara lain:
a. Tenaga pengerukan (drag force),
Yaitu tenaga yang terjadi karena aliran fluida, dimana laju aliran fluida dan
viskositasnya meningkat menjadi lebih tinggi.
b. Pengurangan strength formasi
Hal ini sering dihubungkan dengan produksi air karena akan melarutkan
material penyemen atau pengurangan gaya kapiler dengan meningkatnya
saturasi air.
c. Penurunan tekanan reservoir
Dengan adanya penurunan tekann reservoir ini akan mengganggu sifat
sementasi antar butir batuan.
121

3.3.3. Identifikasi Problem Kepasiran


Butiran-butiran pasir yang terkumpul dalam suatu sistem akan membentuk
suatu ikatan antar butir-butiran itu sendiri dalam suatu ikatan sementasi, dimana
ikatan sementasi tersebut membuat butiran-butiran pasir bersatu secara kuat.
Semakin besar harga faktor sementasi, maka akan semakin kuat ikatan antar butiran
pasir yang ada dan semakin terkonsolidasi (consolidated). Demikian pula
sebaliknya, semakin rendah faktor sementasinya, maka tingkat konsolidasi antar
butiran pasir juga semakin rendah (unconsolidated) dan akhirnya butiran-butiran
pasir tersebut akan mudah lepas.
Harga faktor sementasi ini dapat diketahui dari analisis yang dilakukan pada
core yang didapatkan. Analisis tersebut merupakan special core analysis yang
merupakan rangkaian dari suatu penilaian formasi. Harga faktor sementasi yang
diperoleh dapat digunakan untuk mengidentifikasikan adanya kemungkinan
problem kepasiran yang akan timbul. Dengan semakin rendahnya faktor sementasi
yang diperoleh, maka semakin besar pula kemungkinan problem kepasiran
terbentuk. Secara umum, problem kepasiran sebenarnya dapat diindentifikasikan
dengan kriteria parameter sebagai berikut :
a. Faktor sementasi batuan yang relatif kecil (kurang dari 1.8).
b. Kekuatan formasi yang relatif kecil (kurang dari 0.8  1012 psi2).
c. Laju produksi yang lebih besar dari laju produksi kritis menyebabkan gaya
seret fluida menjadi besar. Hal ini mengakibatkan lengkungan kestabilan
pasir menjadi runtuh.
d. Pertambahan saturasi air akan menyebabkan clay yang ada dalam formasi
mengembang. Hal ini mengakibatkan lengkungan kestabilan menjadi
berkurang, sehingga lengkungan kestabilan pasir mudah runtuh.

3.4. Problem Emulsi


Emulsi adalah campuran atau kombinasi dari dua macam cairan yang dalam
keadaan normal tidak dapat bercampur, dimana cairan yang satu berpencar di segala
arah dalam cairan lainnya dalam bentuk butiran yang sangat kecil. Problem emulsi
umumnya timbul pada saat air mulai terproduksi bersama minyak. Air yang tidak
122

dapat bercampur dengan minyak dinamakan air bebas dan dengan mudah
dipisahkan dengan cara pengendapan. Namun segi lain dari emulsi yaitu adanya
air yang tidak dapat berpisah, sehingga perlu dilakukan suatu usaha untuk
pemecahannya.
Dengan demikian problem emulsi harus dipecahkan dan untuk itu telah
dilakukan beberapa cara, seperti: pemanasan, secara arus listrik, pemberian additive
kimia ataupun sacara kombinasi.
3.4.1. Faktor Penyebab Problem Emulsi
Terbentuknya emulsi bilamana salah satu cairan yang tidak dapat bercampur
tersebut dihamburkan pada cairan lainnya. Cairan yang dihamburkan selanjutnya
berbentuk butiran kecil. Terdapat beberapa kondisi yang memungkinkan
terbentuknya emulsi, yaitu:
1. Adanya dua macam zat cair yang tak dapat bercampur pada kondisi tertentu,
misalnya air dan minyak.
2. Adanya suatu koloid yang dapat membentuk terjadinya emulsi (emulsifying
agent).
3. Adanya pengadukan (agitasi) yang cukup kuat untuk menghamburkan atau
menyebarkan salah satu cairan yang satu kedalam cairan yang lainnya.
Emulsi terdiri dari air dan minyak, dan terjadi karena adanya agitasi dalam
pengaliran sewaktu minyak diproduksikan. Bahan-bahan pembentuk emulsi yang
sangat menentukan dalam kestabilan emulsi antara lain:
a. Partikel-partikel clay atau butiran-butiran lainnya.
b. Asphalt
c. Asam organik
d. Resin
3.4.2. Jenis-jenis Emulsi
a. Berdasarkan tingkat kestabilannya :
- Emulsi stabil, yaitu emulsi yang tidak dapat dipisahkan tanpa menggunakan
emulsifying agent.
- Emulsi tidak stabil, yaitu emulsi yang dengan mudah dapat dipisahkan atau
pecah meskipun tanpa menggunakan emulsifying agent.
123

b. Berdasarkan viskositasnya :
- Emulsi kental, yaitu emulsi dimana jumlah droplet yang dihamburkan dalam
cairan lebih banyak.
- Emulsi encer, yaitu emulsi dimana jumlah droplet yang dihamburkan lebih
sedikit.
c. Berdasarkan fasa-fasanya :
- Water in oil emulsion, yaitu emulsi dimana minyak menjadi fasa external,
sedangkan air menjadi fasa internal.
- Oil in water emulsion, yaitu emulsi dimana air menjadi fasa external, dan
minyak menjadi fasa internal.
Fasa external atau fasa kontinyu adalah fluida atau cairan yang mengelilingi
droplet, sedangkan fasa internal atau fasa dispersi adalah fluida atau cairan yang
dikelilingi oleh fasa external ( sebagai droplet ).

3.4.3. Stabilisasi Emulsi


Stabilisasi emulsi adalah suatu ketahanan emulsi untuk menahan tenaga
yang akan memecahkan emulsi tersebut. Kestabilisasi emulsi tergantung kepada
beberapa faktor, yaitu:
1. Emulsifying Agent
Emulsifying agent merupakan faktor yang turut menentukan kestabilan
emulsi. Tanpa adanya emulsifying agent tidaklah mungkin terjadi kestabilan
emulsi.
2. Viskositas
Butir–butir air dalam minyak kental (viskositas tinggi) memerlukan waktu
bergabung dan mengendap yang lebih lama daripada didalam minyak yang
encer (viskositas rendah). Hal ini disebabkan karena butir-butir air didalam
minyak kental tidak dapat bergerak secepat pada minyak encer.
3. Spesific Gravity
Perbedaan gravity yang besar akan menyebabkan waktu pemisahan yang
lebih cepat, demikian pula berlaku sebaliknya.
4. Persentase Air
124

Jika persentase air bertambah besar, maka diperlukan agitasi yang lebih kuat
untuk mencapai kestabilan emulsi. Emulsi dengan persentase air yang besar
akan mempunyai droplet yang besar pula, yang mana masing-masing droplet
per satuan volume lebih besar pula, yang mana masing-masing droplet akan
bergabung satu sama lain membentuk tetesan air yang lebih besar lagi sehingga
akan terjadi pemisahan antara minyak dengan air yang disebabkan karena gaya
beratnya sendiri. Sehingga dapat dikatakan pada umumnya persentase air yang
besar akan membentuk emulsi yang stabil.
5. Umur Emulsi
Bila emulsi dimasukkan ke dalam tangki tanpa melalui proses pemecahan
emulsi terlebih dahulu, maka sebagian air akan mengendap dan sebagian lagi
akan tetap tinggal sebagai emulsi. Selanjutnya walaupun dilakukan proses
pemecahan emulsi dan diperpanjang waktu pengendapannya, namun akan tetap
tertinggal sebagian kecil di dalam emulsi. Persentase air yang kecil cenderung
membentuk emulsi yang stabil dan amat sulit untuk dipecahkan, karena itu
sebaiknya emulsi hendaknya langsung dipecahkan, begitu diproduksikan,
karena pada saat itu kondisi butiran air dalam keadaan masih besar. Pada saat
butiran air masih besar proses pemisahan akan relatif lebih mudah bila
dibandingkan dengan butiran kecil.
3.4.4 Identifikasi Problem Emulsi
Jenis water in oil emultion jika dibandingkan dengan oil in water emultion
lebih sering terjadi dan ditemui di lapangan. Karena sering ditemukan, maka untuk
mengidentifikasikan ada tidaknya emulsi tersebut dapat digunakan salah satu cara
yaitu berupa analisa fluida hidrokarbon yang dilakukan di laboratorium. Adapun
metode yang digunakan adalah “Dean and Stark Methode”, ini merupakan
pengidentifikasian problem emulsi secara tidak langsung
Sedangkan identifikasi secara langsung dapat dilihat dari hasil production
test yang berupa yang berupa water oil ratio (WOR). Dari WOR tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar harga WOR maka makin besar pula kandungan air
dalam minyak, maka tendensi untuk timbulnya emulsi menjadi makin besar.
Disamping itu dari tipe tenaga pendorong air (water drive mechanism) juga dapat
125

menimbulkan emulsi karena semakin banyak air yang ikut terproduksi sejalan
dengan produksi jika dibandingkan dengan minyak yang ada.
Pada analisa fluida formasi tadi harga standar yang diijinkan untuk
perbandingan antara air dengan minyak berkisar antara 2 – 3%. Diatas ataupun
dibawah harga standart tersebut dapat menyebabkan kemungkinan timbulnya
emulsi, baik itu water in oil emultion maupun oil in water emultion.
3.5. Problem Korosi
Korosi adalah kerusakan dari metal akibat reaksi kimia atau elektrokimia
dari metal tersebut dengan kondisi sekelilingnya atau lingkungannya. Problem
korosi ini sering timbul dalam produksi suatu susmur minnyak yang disebabkan
oleh air formasi. Air yang bersifat asam atau garam, atau keduanya dan
kecenderungan mengkorosi peralatan-peralatan yang terbentuk dari logam yang
disentuhnya.
3.5.1. Faktor Penyebab Problem Korosi
Korosi pada logam dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Pengaruh komposisi logam, dimana setiap logam yang berbeda komposisinya
mempunyai kecenderungan yang berbeda pula terhadap korosi.
2. Pengaruh komposisi air, dimana pengkaratan oleh air akan meningkat dengan
naiknya konduktivitas. Di samping itu pengkaratan oleh air juga akan
meningkat dengan menurunnya pH air.
3. Kelarutan gas, dimana oksigen, karbondioksida atau hidrogen sulfida yang
terlarut dalam air akan menaikkan korosivitas secara drastis. Gas yang terlarut
adalah sebab utama problem korosi. Jika gas-gas tersebut dapat dibuat tidak
memasuki sistem air dan air dipertahankan pada pH yang netral atau pH yang
lebih tinggi, maka kebanyakan sistem air akan mempunyai problem korosi
sedikit.
Sedangkan syarat-syarat terjadinya korosi adalah sebagai berikut:
1. Anoda
Anoda merupakan bagian dari logam yang terkorosi. Pada waktu logam larut
maka atom melepaskan elektronnya sehingga logam menjadi positif. Reaksinya
adalah sebagai berikut:
126

Fe Fe++ + 2e

2. Katoda
Katoda merupakan logam yang tidak terlarut tetapi merupakan tempat yang
dituju oleh gerakan elektron yang dalam perjalanannya bereaksi dengan ion
yang ada dalam air. Proses ini disebut reduksi, adapaun reaksinya sebagai
berikut:
2 H+ + 2e H2

3. Elektrolit
Proses korosi akan berjalan secara simultan jika ada penghantar listrik yang
disebut elektrolit. Dalam hal ini air merupakan zat elektrolit yang mempunyai
sifat hantar listrik, ini akan naik jika kadar garam dalam air itu bertambah.
4. Elektrolit Konduktor
Untuk melengkapi agar aliran arus tertutup, maka besi sebagai konduktor yang
dapat melewatkan arus dari katoda ke anoda kembali. Kombinasi antara anoda,
katoda, elektrolit dan elektrolit konduktor disebut “Corrosion Cell”.
3.5.2. Mekanisme Pembentukan Korosi
Pada mekanisme pembentukan korosi akan dibahas mengenai jenis-jenis
dari korosi serta faktor yang mempengaruhi pembentukan korosi.
3.5.2.1.Jenis-jenis Korosi
Macam-macam korosi ini, penjelasannya dikorelasikan dengan terdapatnya
kandungan berbagai macam gas yang terlarut dan akibat yang ditimbulkannya.
Macam-macam korosi tersebut adalah :
1. Sweet Corrosion
Sweet Corrosion adalah korosi yang disebabkan oleh reasi-reaksi CO2 dan
asam organik. CO2 tidak akan menyebabkan korosi bila tidak ada uap air. Bila
uap air ada maka CO2 akan melarut atau bereaksi dan membentuk asam
karbonat. Jadi korosi ini akan segera timbul bila sumur mulai memproduksi air
asin. Dan korosi ini biasanya mulai timbul bila produksi air mencapai >40%.
Reaksi kimia dari sweet corrosion adalah:
CO2 + H2 H2CO3 (asam karbonat)
127

Fe++ + H2CO3 H2 + Fe2CO3 (besi karbonat)


Corrosion product
2. Sour Corrosion
Yaitu korosi yang disebabkan terdapatnya H2S dalam komposisi gas yang di
produksikan sama seperti CO2, yang tidak akan menimbulkan karat bila tidak
ada uap air, maka H2S juga akan menjadi penyebab korosi hanya bila terdapat
uap air. Reaksi kimianya adalah :
H2S + Fe + H2O FeS + H2 + H2O

Umumnya hasil dari pada korosi ini berupa tepung berwarna hitam atau
endapan karat.
3. Oxygen Corrosion
Yaitu korosi yang di sebabakan oleh oksigen (O2). Oksigen yang terlarut
didalam air menyebabkan cepatnya proses korosi. Oleh karena itu korosi ini
terutama sekali terjadi pada hal-hal yang berhubungan dengan air asin, sistem
injeksi, instalasi offshore dan pada sumur-sumur produksi yang dangkal.
Reaksi kimianya adalah sebagai berikut :
2 Fe + 3/2 O2 + H2 2 FeO(OH)
2 FeO(OH) Fe2O3 + H2O
Oksigen tercampur secara pelan dengan logam tetap, pada temperatur di bawah
100 oF, pada permukaan yang basah dengan cepat mengoksidasi besi, baja atau
besi yang berlapis dengan seng. Korosi berat dapat di indikasikan dalam air
yang mengandung H2S dan O2 sekecil-kecilnya 0.09 ppm.
4. Electrochemical Corrosion
Terjadi bila adanya sumber arus searah di mana arus tersebut melalui jaringan
pipa-pipa dan terjadi pula bila pipa atau peralatan di letakkan di atas tanah yang
lembab atau basah. Jadi secara umum dapat dikatkan bahwa korosi
elektrokimia disebabkan terjadinya perubahan lapisan kimia yang disebabkan
terjadinya oleh arus listrik. Dalam hal ini kemungkinan dapat terjadi pada sumur
sumur minyak yaitu soil corrosion pada pipa dan peralatan permukaan lainnya.
Sebab-sebab yang lain adalah karakteristik dari pada tanah yang dapat
128

mempengaruhi korosi elektrokimia, seperti air tanah akan menjadi penghantar


dari arus listrik, demikian juga air garam adalah konduktor yang baik jika di
bandingkan dengan air biasa. Untuk mengatasi hal ini diusahakan agar lokasi
dari peralatan diletakkan pada tempat yang benar-benar kering untuk
menghindari adanya korosi elektrokimia tersebut.
5. Erosion Corrosion
Korosi ini adalah merupakan pengikisan di beberapa tempat pada permukaan
logam oleh lapisan film yang tipis. Lapisan film tersebut dapat berupa film-film
oksida, hasil korosi yang melekat, scale yang tipis atau inhibitor-inhibitor. Jika
lapisan-lapisan film tersebut sebagian dibersihkan atau dihancurkan, maka akan
mengakibatkan tempat tang dapat terkorosi. Kecepatan yang tinggi atau aliran
turbulen dari gas atau cairan akan menghilangkan lapisan film di permukaan
dan akan meninggalkan laju korosi.
6. Intergranular Corrosion
Adalah korosi yang terjadi pada bidang-bidang batas kapasitas kristal butir
logam. Misalnya adalah pemanasan pada stainless tidak sempurna maka logam
ini menjadi sensitif terhadap korosi jenis ini.

3.5.2.2.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korosi


1. Komposisi Logam
Di lapangan minyak hampir semua peralatan menggunakan baja yang
mengandung chromium dan nikel, untuk mengurangi korosi.
2. Sifat Fisik Air
a. Kadar garam, makin tinggi kadar garam dalam air semakin konduktif dan
makin korosif.
b. pH Air, pH air makin rendah, maka makin bersifat korosif.
c. Temperatur Air, kecepatan korosi naik dengan naiknya temperatur, tetapi
setelah gas yang terlarut keluar maka kenaikan suhu akan mengurangi
kecepatan korosi. Pada sistem tertutup, kenaikan temperatur secara
kontinyu menyebabkan kenaikan korosivitas, karena gas keluar tetapi tidak
bisa keluar dari sistem.
129

d. Tekanan Air, karena tekanan air mempengaruhi pada kelarutan gas dalam
air, maka secara tidak langsung kenaikan tekanan akan menaikkan
kecepatan korosi.
e. Kecepatan Aliran, makin besar kecepatan aliran air kecepatan korosi juga
akan meningkat. Kecepatan alir mula-mula akan menaikkan kecepatan
korosi, kemudian reaksi diperlambat karena pembentukan Fe(OH)3 pada
permukaan logam. Tetapi kenaikan kecepatan alir selanjutnya akan
menghilangkan film pelindung permukaan tersebut.
3.5.3. Identifikasi Problem Korosi
Berkebalikan dengan problem scale, identifikasi problem korosi ini
mempunyai harga Stability Index (SI) negatif. Ini dipengaruhi oleh kandungan gas-
gas korosif sehingga pH fluida menjadi rendah. Ada beberapa cara yang digunakan
untuk mengidentifikasi adanya problem korosi, yaitu :
a. Pemeriksaan Secara Langsung
Pada metode ini peralatan yang digunakan diperiksa secara langsung
kerusakan yang terjadi akibat adanya korosi.
1. Caliper Survey
Caliper survey dilakukan untuk memeriksa bagian dalam dari tubing atau
casing. Cara ini sangat berguna untuk mengetahui area kerusakan akibat korosi.
2. Casing Thickness Log
Di sini digunakan suatu alat untuk mengukur ketebalan casing. Jika logam yang
hilang dari bagian dalam casing diukur dengan caliper log, maka kehilangan
logam pada bagian luar casing dapat diperkirakan dari data thickness log.
3. Mengukur Kehilangan dengan Coupons
Di sini sepotong logam (coupon) disisikan ke dalam sistem untuk suatu waktu
tertentu. Sebelumnya logam tersebut ditimbang dahulu. Dengan demikian
dapat ditentukan jumlah logam yang hilang, massa jenis logam dan waktu yang
diperlukan. Laju korosi biasa dinyatakan dalam mils per year (MPY).
berat yang hilang x konstanta
Besar Laju Produksi 
luas coupon x waktu
berat yang hilang x konstanta
Laju Penetrasi 
luas coupon x waktu x massajenis logam
130

Adapun laju yang biasa digunakan untuk menyatakan derajat korosi adalah:
Laju korosi < 5 MPY ; korosi ringan
Laju korosi = 5 MPY ; korosi sedang
Laju korosi > 5 MPY ; korosi berat
b. Pemeriksaan secara tidak Langsung
Mengetahui korosi secara tidak langsung ini dengan mengadakan analisa air
formasi, hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memperkirakan adanya korosi dengan cara menentukan kadar O2, H2 dan
CO2 dalam air yang diproduksikan.
2. Mengetahui efektivitas inhibitor dengan jalan menentukan kadar besi dalam
fluida yang diproduksikan sebelum dan setelah pemakaian inhibitor. Kadar
besi dalam fluida formasi kemudian dibandingkan dengan kadar besi yang
ditunjukkan di permukaan. Dengan demikian akan diketahui kadar besi
yang terkena korosi.
c. Pengukuran Ketebalan Metal dari satu sisi
Dengan menggunakan audio gauge dan penentron dapat mengukur
ketebalan pipa dan dinding tanki hanya dari satu sisi saja. Audio gauge mengukur
kecepatan suara dalam metal sedangkan penentron mengitensitaskan sinar gamma
yang dihambur oleh metal.

3.6 Problem Paraffin


Paraffin atau asphaltin adalah unsur-unsur pokok yang banyak terkandung
dalam minyak mentah. Endapan pada umumnya sebagian besar terdiri dari endapan
paraffin sendiri dan endapan lain, seperti pasir, lempung, silt, resin dan garam-
garam mineral serta material hasil korosi. Secara umum rumus paraffin adalah
CnH2n+2.
Endapan paraffin yang terbentuk merupakan suatu persenyawaan
hidrokarbon dengan rantai karbon dan hidrogen antara C18H38 sampai C38H78, yang
bercampur dengan sejumlah rantai kecil serta benda padat yang terbawa oleh aliran
fluida reservoir kedalam lubang sumur. Sifat endapan paraffin sebagian besar
dipengaruhi oleh besar kecilnya kadar minyak yang dikandungnya. Kadar minyak
131

yang besarnya dikandung oleh paraffin menyebabkan endapan tersebut bersifat


lunak, setengah cair dan mudah dicairkan jika dipanaskan. Apabila kadar minyak
yang dikandung paraffin kecil, maka endapan paraffin bersifat keras, kurang plastis
dan penambahan suhu tidak berpengaruh terhadap sifat plastisnya.
Resin dan gum biasanya berwarna coklat, yang merupakan campuran yang
bersifat tidak jenuh dalam minyak. Adanya resin dan gum kemungkinan karena
penyerapan daya larut minyak yang disebabkan oleh perubahan suhu dan hilangnya
fraksi-fraksi ringan. Titik leleh dari endapan paraffin berkisar antara 150 – 200 oF.
Titik leleh dari endapan paraffin yang dijumpai pada sumur-sumur tidak akan sama,
ini karena perbedaan kondisi serta karakteristiknya.
3.6.1. Faktor Penyebab Problem Paraffin
Endapan paraffin yang terbentuk pada peralatan produksi terdiri dari
sebagian besar kristal-kristal paraffin yang memisahkan diri dari larutan minyak
dan mengendap. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pengendapan antara
lain :
1. Penurunan temperatur.
2. Hilangnya fraksi ringan dari minyak.
3. Pemindahan panas dari minyak ke dinding pipa kemudian diteruskan ke
tempat-tempat sekitarnya.
4. Aliran cairan yang tidak tetap dan tidak merata.
5. Adanya partikel lain yang menjadi inti dari pengendapan paraffin.
6. Kecepatan aliran dan kekerasan dinding pipa.
7. Terhentinya aliran fluida.

3.6.2. Mekanisme Terjadinya Pengendapan Paraffin


Paraffin terbentuk karena adanya perubahan keseimbangan fluida reservoir,
yaitu menurunnya solubility wax dalam crude oil. Tempat dan saat pengendapan
paraffin sangat dipengaruhi oleh kejenuhan larutan crude oil dan banyaknya
kandungan wax-nya.Namun demikian terbentuknya endapan paraffin tidak
disebabkan oleh menurunnya solubility wax-nya saja. Kristal-kristal wax biasanya
132

terbentuk seperti jarum-jarum yang runcing dan apabila berbentuk kristal-kristal


tunggal akan cenderung manghambur ke dalam minyak.
Secara umum, penurunan temperatur adalah penyebab utama terbentuknya
endapan paraffin, karena wax (paraffin) solubility di dalam crude oil akan
berkurang jika temperatur mengalami penurunan. Pendinginan atau penurunan
temperatur dari crude oil akan terjadi pada banyak tempat di dalam sistem sumur
produksi. Adanya gerakan ekspansi dari minyak dan gas di reservoir, lubang
perforasi maupun pada dasar lubang sumur, dapat menyebabkan pendinginan atau
penurunan temperatur dari crude oil.
Penurunan temperatur lebih lanjut akan terjadi ketika crude oil bergerak ke
atas melalui tubing, surcafe choke, flow line maupun ketika masuk ke dalam
separator. Pada beberapa tempat didalam sistem tersebut, temperatur mengalami
penurunan sampai dibawah kondisi titik cair paraffin dan pada saat itu akan mulai
terjadi pengendapan paraffin pada peralatan produksi.
Hilangnya gas dan hidrokarbon-hidrokarbon ringan dari crude oil juga dapat
menyebabkan menurunnya paraffin solubility, dan hal ini juga mengakibatkan
terjadinya pengendapan. Gas oil ratio yang tinggi juga mempercepat terjadinya
problem pengendapan paraffin. Namun demikian tanda-tanda adanya endapan
paraffin akan segera dapat terlihat. Paraffin yang membeku dan memadat akan
terpisah dari minyak dengan adanya gerakan centrifuge di dalam paralatan
produksi. Di samping itu adanya perubahan kekabutan dari crude akan
menunjukkan pula bahwa telah terbentuk endapan paraffin.
Akumulasi paraffin di stock tank, biasanya ditandai dengan adanya endapan
pada flow line, tubing, atau juga di lubang sumur. Peningkatan endapan paraffin di
dalam tubing dapat menyebabkan kerusakan pada sumur-sumur pompa, hal ini
disebabkan karena beban yang terjadi berat. Dengan demikian penurunan produksi
pada sumur-sumur minyak yang paraffinis kemungkinan besar disebabkan oleh
endapan-endapan paraffin. Endapan paraffin juga dapat terjadi dengan adanya
133

perubahan water oil ratio. Akan tetapi penyebab utama adalah yang berhubungan
dengan perubahan laju produksi, sehingga water cut akan mengalami perubahan.
Meningkatnya laju fluida produksi akan berati temperatur well head menjadi tinggi
dan pengendapan paraffin akan berkurang.
Air dapat menyebabkan meningkatkan derajat kebasahan dari permukaan
metal, dan jika kebasahan ini mengalami penurunan, maka akan menyebabkan
terjadinya kontak antara paraffin dan minyak dengan permukaan air metal. Adanya
kebasahan dari permukaan air metal menandakan mulainya terjadinya korosi. Jika
dari peningkatan air tidak menyebabkan atau mengakibatkan permukaan metal
basah, maka pengendapan paraffin akan tetap berlangsung. Dengan demikian
mencegah timbulnya paraffin lebih mahal daripada mencegah timbulnya korosi.
3.6.3. Identifikasi Problem Paraffin
Masalah endapan paraffin pada prinsipnya terjadi karena sifat yang dimiliki
oleh minyak yang diproduksikan, yaitu berkaitan dengan komposisi minyak,
dimana komposisi minyak tersebut dapat mempengaruhi harga titik kabut (cloud
point) dan titik tuang (pour point) dari minyak yang bersangkutan. Pada umumnya
endapan paraffin terjadi bila minyak yang diproduksikan banyak mengandung
komponen berat (C18H38) atau biasa disebut dengan minyak berat, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa minyak berat sering menimbulkan endapan paraffin dapat
pula terbentuk jika temperatur minyak lebih rendah dari pour dan cloud point-nya.
Kemungkinan terbentuknya endapan paraffin dapat diidentifikasi dari
analisa tersebut, dapat diperkirakan jenis hidrokarbon yang ada, apakah termasuk
minyak berat atau minyak ringan. Endapan paraffin dapat diidentifikasi dari analisa
air formasi yang dilakukan di laboratorium yang berupa uji harga pour point dan
clout point dari minyak yang ada., dimana endapan paraffin yang bterbentuk pada
temperatur yang lebih rendah dari pour point dan cloud point-nya.

3.7.Problem Water/Gas Coning


Water/Gas coning didefinisikan sebagai gerakan vertikal dari air atau gas
yang memotong bidang perlapisan didalam formasi produktif. Terjadinya coning
134

air dan gas merupakan gejala yang sering dijumpai di lapangan. Gejala ini ditandai
oleh breaktrough air atau gas yang terlalu dini. Water coning bisa terjadi bersama-
sama dengan gas coning atau terjadi sendiri-sendiri, tergantung pada reservoirnya.
Jika reservoirnya memiliki lapisan gas diatas lapisan minyak dan atau lapisan air
dibawahnya, maka kemungkinan terjadi gejala coning ada.
Terproduksinya air atau gas yang berlebihan tidak hanya menurunkan
produksi minyak, tetapi juga dapat mengakibatkan sumur di tutup atau ditinggalkan
sebelum waktunya.
3.7.1. Faktor Penyebab Problem Water/Gas Coning
Penyebab timbulnya gejala coning pada sumur-sumur minyak pada
dasarnya disebabkan oleh laju produksi yang berlebihan atau melebihi laju alir
kritis.Terproduksinya air atau gas berlebihan dapat disebabkan karena:
a. Pergerakan air atau posisi batas air – minyak telah mencapai lubang
perforasi.
b. Pergerakan gas atau batas gas – minyak telah mencapai lubang perforasi.
c. Terjadinya water fingering atau gas fingering
Di dalam reservoir yang berlapis-lapis, aliran gas dari zona zona di atas atau
di bawahnya mungkin dapat terjadi karena:
a. Adanya casing yang pecah
b. Adanya ikatan semen yang pecah
c. Rekahan-rekahan yang berhubungan dengan zona gas, baik secara alamiah
atau buatan.
d. Akibat adanya aktifitas acidizing yang masuk ke zona gas.

Pada (Gambar 3.6.) dapat dilihat bentuk kerucut air dan kerucut gas yang
telah mencapai lubang perforasi. Water fingering didefinisikan sebagai gerakan air
menuju ke atas dalam zona yang lebih permeabel dari multi zona. Di dalam
reservoir yang berlapis lapis gas fingering mungkin dapat terjadi secara awal pada
lubang bor dengan perbedaan tekanan yang tinggi. Gas fingering lebih umum
terjadi didalam reservoir dimana permeabilitas antar zona cukup besar
perbedaanya.
135

Gambar 3.6. Water Coning 5)

Di dalam reservoir yang berlapis-lapis, aliran gas dari zona-zona di atas atau
di bawahnya mungkin dapat terjadi karena :
a.Adanya casing yang pecah
b.Adanya ikatan semen yang pecah
c.Rekahan-rekahan yang berhubungan dengan zona gas, baik secara alamiah
ataupun buatan.
d.Akibat adanya aktifitas acidizing yang masuk ke zona gas.
Sebagai batasan untuk laju produksi kritis agar tidak terjadi coning dapat
digunakan metode Chierici et. al., yaitu:
a. Untuk gas coning
ho 2  og K h
Qoc, g  0.003073 g (rDe ,  , g ) ……...................…..……….(3-17)
Bo  o
b. Untuk water coning
ho 2  wg K h
Qoc,w  0.003073 w(rDe ,  , w) ……..….....................…....(3-18)
Bo  o
keterangan:
Qoc,w = laju produksi maksimum tanpa terjadi water coning, STB/D
Qoc,g = laju produksi maksimum tanpa terjadi gas coning, STB/D
136

h = ketebalan formasi, ft
Bo = faktor volume formasi minyak, bbl/STB
o = viscositas minyak, cp
Kh = permeabilitas horizontal, mD
Kv = permeabilitas vertikal, mD
Re = jari-jari reservoir, ft
Parameter Geometrik

re Kv hp
rDe =  =
ho Kh ho
hpg hpw
g = w =
ho ho

Chierici et. al. mengusulkan tujuh grafik korelasi untuk menentukan


parameter fungsi geometrik (rDe, , ) dimana garfik tersebut dibedakan mulai dari
rDe = 5, 10, 20, 30, 40, 60, dan rDe = 80.
Water coning dapat terjadi karena produksi sumur berlebihan dan melewati
kondisi aliran kristis, sehigga sejumlah air yang berada di aquifer ikut terproduksi
dalam aliran fluida reservoir. Gas coning merupakan problem gas di dalam operasi
produksi, yang mana hal ini berhubungan dengan kelakuan gas oil ratio dari
reservoir minyak dan gas jenis mekanisme pendorongannya.
Di dalam reservoir dissolved gas drive, saturasi gas akan meningkat selama
pengambilan minyak terus menerus dan tekanan reservoir turun. Jika gas tersebut
di bebaskan dari minyak, gas mengalir menuju lubang bor, dan jika tekanan turun
terus-menerus, gas cenderung untuk menjadi fluida yang paling dominan dan mobil
sehingga gas di hamburkan.
Di dalam reservoir gas cap, penurunan tekanan reservoir dapat
menyebabkan untuk mengembang kedalam internal produktif. Dengan perbedaan
tekanan yang tinggi pada lubang sumur, gas coning mungkin dapat tejadi di dalam
sumur yang mempunyai permeabilitas vertikal secara menerus.
Apabila diinginkan peningkatan atau penambahan laju produksi, sebaiknya
di lakukan secara perlahan-lahan, karena jika tidak maka akan meningkatkan
137

perbandingan air-minyak sehingga karena viskositas air lebih kecil maka air akan
lebih banyak terproduksi.
3.7.2. Identifikasi Water/Gas Coning
Produksi air atau gas yang berlebihan sebelum waktunya merupakan
indikasi terjadinya water/gas coning. Oleh karena itu sejak awal produksi, sumur
sudah diperhitungkan penanggulangannya.
Untuk mengidentifikasikan bahwa suatu sumur akan mengalami water/gas
coning perlu diketahui antara lain:
a. Jenis Reservoir
Misalnya reservoir water drive untuk kasus water coning dan reservoir gas
cap untuk kasus gas coning.
b. Karakteristik Reservoir, yang meliputi :
 Ketebalan zona minyak dari arah vertikal dan horizontal, diperoleh dari
analisa inti batuan.
 Densitas minyak, air dan gas, diperoleh dari analisa fluida reservoir.
 Faktor volume formasi dan viskositas fluida, yang diperoleh dari analisa
PVT.
c. Water/Gas Breakthorugh
Water/gas breakthrough atau terproduksikan air atau gas dari sumur secara
tiba-tiba atau di luar perencanaan menjadi indikasi awal telah terjadi
problem produksi coning. Water/gas breakthrough yang muncul di awal
umur produksi sumur, dapat diperkirakan telah terjadi kesalahan atau
problem pada komplesi sumur. Water/gas breakthrogh yang muncul di
tengah-tengah umur produksi sumur, dapat diperkirakan telah terjadi
kerusakan mekanis. Kerusakan mekanis ini berupa casing yang bocor,
korosi, dan tekanan berlebih di sekitar lubang sumur.
Dari data tersebut diatas maka dapat dihitung kapasitas produksi kritis.
Sehingga dapat direncanakan berapa laju produksi yang diijinkan sehingga tidak
akan memproduksi water/gas yang berlebihan.
Untuk pencegahan dan penanggulangan masing-masing problem produksi
diatas, akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Вам также может понравиться