Вы находитесь на странице: 1из 15

MINI PROPOSAL

PENGARUH DETERMINAN SOSIAL TERHADAP KUALITAS HIDUP


PASIEN HEMODIALISIS USIA DEWASA MUDA DI RSUP PROF. DR. R.D
KANDOU MANADO.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit ginjal kronis GGK atau Chronic kidney disease (CKD) timbul dari
banyak jalur penyakit heterogen yang mengubah fungsi dan struktur ginjal secara
ireversibel, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Diagnosis CKD
bergantung pada pembentukan pengurangan kronis fungsi ginjal dan kerusakan
ginjal struktural. Indikator terbaik dari keseluruhan fungsi ginjal adalah
glomerular filtration rate (GFR), yang sama dengan jumlah total cairan yang
disaring melalui semua fungsi nefron per unit waktu (Romagnani et al., 2017; Said
et al., 2015; Webster et al., 2017).
Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit disembuhkan. Di
dunia prevalensi gagal ginjal kronis menurut ESRD Patients (End-Stage Renal
Disease) pada tahun 2011 sebanyak 2,786,000 orang, tahun 2012 sebanyak
3.018.860 orang dan tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Dari data tersebut
disimpulkan adanya peningkatan angka kesakitan pasien gagal ginjal kronis tiap
tahunnya sebesar sebesar 6 %. Seiring dengan perkembagan waktu, CKD tidak
hanya diderita oleh kelompok umur tua atau lanjut usia, tapi kecenderungan tiap
tahun penederita usia muda semakin meningkat (Hill et al., 2016; Obrador et al.,
2014).
Di Indonesia angka kejadian gagal ginjal kronis berdasarkan data dari
Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis 0,2% dari penduduk
Indonesia. Hanya 60% dari pasien gagal ginjal kronis tersebut yang menjalani
terapi dialisis). Di Provinsi Sulawesi Utara prevalensi penyakit gagal ginjal kronis
0,4% dari penduduk dari pasien gagal ginjal kronis di Indonesia, yang mencakup
pasien mengalami pengobatan, terapi penggantian ginjal, dialysis peritoneal dan
Hemodialisis pada tahun 2013 (Indonesia et al., 2014).
Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien
penyakit ginjal kronik di seluruh dunia (Jeon et al., 2015). Pasien yang menjalani
hemodialisis emiliki kualitas hidup yang buruk dan cenderung mengalami komplikasi
seperti depresi, kekurangan gizi, dan peradangan. Banyak dari mereka mengalami
gangguan kognitif, seperti kehilangan memori, konsentrasi rendah, gangguan fisik,
mental, dan sosial yang nantinya mengganggu aktifitas sehari – hari. Banyak peneliti
menekankan bahwa peningkatan kualitas hidup akan mengurangi komplikasi yang
terkait dengan penyakit ini. Kualitas hidup diukur berdasarkan rasa subjektif dari
kesejahteraan umum yang dirasakan oleh pasien yang juga akan digunakan sebagai
ukuran klinis dalam hal perawatan medis pasien yang menjalani hemodialisis(Heath
et al., 2017; Hill et al., 2016).
Penelitian mengenai kualitas hidup penderita CKD sudah banyak dilakukan,
dan hampir semua hasil menunjukkan adanya penguragan kualitas hidup, namun
hal-hal lainya yang turut mempengaruhi kualitas hidup penderita CKD trutama
dalam hal determinan sosial belum banyak diteliti apalagi untuk kelompok usia
muda antara 20 sampai 40 tahun (Heath et al., 2017). Berdasarkan uraian diatas
maka perlu dilakukan penelitian mengenai besar pengaruh determinan sosial
terhadap kualitas hidup penderita CKD Usia muda.

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah “Berapa
besar Pengaruh Determinan sosial terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis usia
dewasa muda di RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado?”.
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besar
pengaruh Determinan sosial terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis usia
dewasa muda di RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran kualitas hidup tentang kesehatan pasien gagal ginjal kronik usia
muda dengan hemodialisa di RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado.
b. Mengetahui gambaran kualitas hidup tentang penyakit ginjal pasien gagal ginjal kronik
usia muda dengan hemodialisa di Prof. dr. R.D Kandou Manado.
c. Mengetahui hubungan Determinan sosial terhadap kualitas hidup pasien hemodialisis
usia dewasa muda di Prof. dr. R.D Kandou Manado.
d. Mengetahui besarnya Pengaruh Determinan sosial terhadap kualitas hidup pasien
hemodialisis usia dewasa muda di RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian diharapkan menjadi informasi bagi
ilmu kesehatan masyarakat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
pendidikan kesehatan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai acuan di
perpustakaan sehingga berguna bagi mahasiswa untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Unit Hemodialisa Memberikan masukan bagi petugas kesehatan di unit
hemodialisa agar lebih memperhatikan pasien selama menjalani hemodialisa.
4. Bagi peneliti dan masyarakat ini dapat memberikan informasi dan publikasi
mengenai pengaruh Determinan sosial terhadap kualitas hidup pasien
hemodialisis usia dewasa muda di Prof. dr. R.D Kandou Manado dan untuk
pengembangan riset kesehatan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Determinan Sosial Kesehatan


1. Definisi
WHO (2008) mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah keadaan
dimana orang dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke dalam tempat
untuk menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya dibentuk oleh satu set yang
lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan sosial dan politik (Bradly, 2012).
Sebagian besar model yang sering digunakan dalam determinan sosial kesehatan
adalah model yang dibuat oleh Dahlgren dan Whitehead (1991), yang mana model
ini berusaha untuk menggambarkan cara dimana determinan sosial kesehatan
membangun hubungan satu sama lain atau secara berlapis-lapis. Detereminan
Kesehatan Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead (1991)
menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan lingkungan,
sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah
(modifiable factors). Individu yang kesehatannya ingin ditingkatkan terletak
dipusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem lingkungan mikro pada level
sel/molekul. Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) determinan kesehatan
meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun merugikan
kesehatan. Pada level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi dengan
paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih rentan atau
lebih kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku dan
karakteristik individu dipengaruhi oleh pola keluarga, pola pertemanan dan norma-
norma di komunitas. Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan
komunitas, yang meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas,
modal sosial, jejaring sosial, dan sebagainya. Faktor sosial pada level komunitas
dapat memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan yang
menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level komunitas
dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan dukungan
sosial yang diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas. Lapisan ketiga (level
ekso) meliputi faktor-faktor struktural: lingkungan pemukiman atau perumahan
papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan energi, kondisi di tempat
bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, akses
terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses terhadap pendidikan yang
berkualitas, lapangan kerja yang layak. Lapisan terluar (level makro,
hulu/upstream) meliputi kondisikondisi dan kebijakan makro sosial-ekonomi,
budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan fisik. Termasuk faktor-faktor makro
yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan
politik, hubungan internasional atau kemitraan global, investasi pembangunan
eknomi, peperangan atau perdamaian, perubahan iklim dan cuaca, ekosistem,
bencana alam (maupun bencana buatan manusia/ man made disaster seperti
kebakaran hutan). Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan
Dahlgren dan Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu,
kelompok dan komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari
individu, baik secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan
ekspektasi peran seorang dalam keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi
kebijakan makro yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan makro. 2. Tingkatan
Pengaruh Determinan Kesehatan Menurut Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam
The Determinants of Health ada tiga tingkatan pengaruh determinan kesehatan
yaitu : 10 a. Level I : Individu 1) Genetika Hal ini penting untuk menarik perbedaan
antara dampak genetika pada individu dan populasi. Pada tingkat individu,
poligenik mempengaruhi kemungkinan seseorang mengembangkan penyakit kronis
atau kanker. Tidak ada gangguan gen tunggal, ada tidak adanya hubungan antara
dikotomis kehadiran gen atau tidak adanya penyakit. Untuk penyakit kronis dan
kanker gen berinteraksi dengan faktor lingkungan dan perilaku untuk
mempengaruhi hasil. Studi migrasi menunjukkan bahwa hanya antara 10% dan
15% dari total kesehatan tingkat populasi dapat dikaitkan dengan genetik. Genetika
masih memberikan pengaruh, tetapi lingkungan dan perilaku memberikan pengaruh
lebih besar pada penyakit kronis, dan merupakan interaksi antara faktor-faktor yang
menentukan dari hasil. 2) Biologi Berbagi penanda biologis telah ditentukan
sebagai faktor risiko untuk penyakit. Baru-baru ini, penanda seperti inflamasi dan
stres kronis memiliki bukti sangat terkait dengan hasil kesehatan. Dalam beberapa
tahun terakhir telah menjadi jelas bahwa panjang telomer berhubungan dengan
penuaan biologis dan memungkinkan sebagai indikator risiko jenis kanker dan
penyakit kronis. Determinan biologi pada kanker serviks itu sendiri meliputi jenis
kelamin (wanita), faktor pria, faktor genetik atau herediter, usia, 11 paritas, dan
agen biologi yang lainnya. 3) Gender Jenis kelamin (sex) adalah fenomena biologis.
Hal ini didefinisikan seks dalam hal kromosom dan manifestasi fisik pada tubuh.
Gender konstruksi sosial yaitu dalam setiap orang memiliki budaya tertentu
disosialisasikan ke pemahaman dari apa yang membuat seseorang laki-laki dan
wanita berbeda. Istilah seks dan gender sering digunakan. Seks biologis
mempengaruhi kemungkinan mengembangkan banyak penyakit yang umum
misalnya menopause. Pengaruh jenis kelamin memberikan kerentanan penyakit dari
mekanisme, kombinasi genetik, perilaku budaya dan faktor struktural 4) Etnisitas
Etnisitas juga memiliki hubungan yang kompleks dengan kesehatan. Seperti
genetik, biologis, perilaku budaya dan faktorfaktor struktural yang terlibat. Kanker
serviks diyakini biasa dalam beberapa kelompok etnis seperti orang Afrika dan
Latin pada Yahudi. Ini mungkin merupakan cerminan dari akses ke kesehatan,
perilaku seksual dan kemiskinan . b. Level II : Komunitas Seperti lingkungan
rumah, lingkungan tempat kerja, sosial yang lebih luas, pengaruh sistem pendidikan
atau perawatan kesehatan. 12 c. Level III : Lingkungan Mencakup aspek yang lebih
luas seperti air bersih, udara dan aspek fisik lainnya yang baik dengan lingkungan
yang mendasar untuk kesehatan. Pada CKD determinan lingkungan untuk
terjadinya penyakit diantaranya adalah higine, nutrisi, obatobatan, lingkungan
sosial budaya, determinan sosial ekonomi, buta huruf dan agama (G. Dahlgren et
al., 1991; Göran Dahlgren et al., 2007).

C. Gagal Ginjal Kronis


Pengertian Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana tubuh mengalami kegagalan
untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairandan elektrolit, sehimgga
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Collins et al.,
2015). Diagnosa gagal ginjal kronis secara tidak langsung menyatakan bahwa laju filtrasi
glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun selama minimal 3 sampai 6 bulan
(Kasper et al., 2015).
Etiologi Menurut Indonesian Renal Registry (2012) penyebab gagal ginjal pasien
hemodialisis di Indonesia dari data tahun 2010 adalah Glumerulopati Primer/GNC (12%),
nefropati diabetika (26%), nefropati lupus/SLE (1%), penyakit ginjal hipertensi (35%),
ginjal polikistik (1%), nefropati asam urat (2%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis
kronis/PNC (7%), lain-lain (6%) dan tidak diketahui (2%). Penyebab gagal ginjal kronis
tersering di bagi menjadi delapan klasifikasi yaitu penyakit infeksi tubulo intestinal,
penyakit 10 peradangan,penyakit vascular hipertensi,gangguan jaringan ikat, gangguan
kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif (Khoe
et al., 2017). Gagal ginjal kronis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
gangguan klirens ginjal, penurunan laju filtrasi glomelurus, retensi cairan dan natrium,
asidosis, anemia ketidak seimbangan kalsium dan fosfat dan penyakit tulang uremik
(Kasper et al., 2015).
Patofisiologi Menurunnya fungsi renal, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya di sekresikan melalui urin) tertimbun dalam darah.Terjadi uremia dalam darah.
Uremia mempengaruhi semua bagian tubuh.Semakin banyak timbunan produk sampah,
maka gejala akan semakin berat (Webster et al., 2017). 1) Gangguan klirens renal Banyak
masalah yang muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomelurus
yang berfungsi, penurunan laju filtrasi glomelurus/Glomerular Filtration Rate (GFR) dapat
didekteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan kreatinin. Penurunan GFR
mengakibatkan klirens kreatinin akan menurun dan kadar nitrogen urea/ Blood Urea
Nitrogen (BUN) akan meningkat. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh gangguan renal tetapi
dapat juga dipengaruhi oleh masukan 11 protein dalam diet, katabolisme dan medikasi
seperti steroid (Romagnani et al., 2017). 2) Retensi cairan dan natrium. Kerusakan ginjal
menyebabkan ginjal tidak mampu mengonsetrasikan atau mengencerkan urin. Pada
gangguan ginjal tahap akhir respon ginjal terhadap masukan cairan dan elektrolit tidak
terjadi. Pasien sering menahan natrium dan cairan sehingga menimbulkan risiko edema,
gagal jantung kongesif dan hipertensi. Hipertensi juga terjadi karena aktivitas aksi rennin
angiotensin kerjasama antara hormone rennin dan angiotensin meningkatkan aldosteron.
Pasien mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam. Episode mual dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik (Said
et al., 2015) Hipertensi pada pasien gagal ginjal adalah suatu penyakit penyerta yang
banyak dijumpai. Hipertensi adalah salah satu faktor penyebab gagal ginjal, penyempitan
arteri dalam pembuluh darah dapat disebabkan oleh faktor penumpukan lemak dalam sel-
sel pembuluh darah dikarenakan tingginya kadar natrium dan kurangnya cairan dalam
tubuh. Selanjutnya dinding pembuluh darah akan menebal karena lemak yang
mempersempit pembuluh darah. Jika ini terjadi pada ginjal, akan terjadi kerusakan ginjal
yang berakibat gagal ginjal. Selain itu ginjal meproduksi enzim 12 angiotension yang di
ubah menjadi angiotension II yang menyebabkan pembuluh darah mengkerut dan keras.
Sedangkan gagal ginjal dapat menyebabkan hipertensi, hal ini disebabkan karena
mekanisme rennin angiotension yang membuat kekakuan pembuluh darah (Asriani dkk,
2012). 3) Asidosis Ketidakmamapuan ginjal dalam melakukan fungsinya dalam
mengeksresikan muatan asam (H+ ) yang berlebihan membuat asidosis metabolik.
Penurunan asam akibat ketidak mampuan tubulus ginjal untuk menyekresikan ammonia
(NH3 - ) dan mengabsorsi natrium bikarbonat (HCO3 - ), penurunan eksresi fosfat dan
asam organik lain juga terjadi. Gejala anoreksia, mual dan lelah yang sering ditemukan
pada pasien uremia, sebagian disebabkan oleh asidosis. Gejala yang sudah jelas akibat
asidosis adalah pernafasan kusmaul yaitu pernafasan yang berat dan dalam yang timbul
karena kebutuhan untuk meningkatkan ekskresi karbondioksida, sehingga mengurangi
keparahan asidosis. 4) Anemia Anemia terjadi akibat dari produksi eritroprotein yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, devisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami pendarahan akibat status uremik, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada
pasien gagal ginjal, 13 produksi eritroprotein menurun karena adanya peningkatan hormon
paratiroid yang merangsang jaringan fibrosa dan anemia menjadi berat, disertai keletihan,
angina dan napas sesak. 5) Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat Kadar serum kalsium
dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik, jika salah satu meningkat, maka yang
lain menurun dan demikian sebaliknya. Filtrasi glomelurus yang menurun sampai sekitar
25% dari normal, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
kalsium serum. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi hormon paratiroid
dari kelenjar paratiroid dan akibatnya kalsium di tulang menurun dan menyebabkan
penyakit dan perubahan pada tulang. Selain itu metabolit aktif vitamin D (1,25-
dihidrokolekalsiferol) yang dibuat di ginjal menurun seiring dengan berkembangnya gagal
ginjal. Produki kompleks kalsium meningkat sehingga terbentuk endapan garam kalsium
fosfat dalam jaringan tubuh. Tempat lazim perkembangan kalsium adalah di dalam dan di
sekitar sendi mengakibatkan artritis, dalam ginjal menyebabkan obstruksi, pada jantung
menyebabkan distritmia, kardiomiopati dan fibrosis paru. Endapan kalsium pada mata dan
menyebabkan band keratopati. 14 6) Penyakit tulang uremik Penyakit tulang uremik sering
disebuat osteodistrofi renal yang terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan hormon paratiroid.Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit gagal
ginjal kronis yang sering terjadi (Isroin, 2013). d. Stadium Gagal Ginjal Tabel 2. Stadium
Gagal Ginjal Derajat Deskripsi GFR (ml/min/1.73 m2) 1 Kerusakan ginjal disertai LGF
normal atau meninggi ≥ 90 2 Kerusakan ginjal disertai kerusakan ringan LFG 60-89 3
Penurunan moderat LFG 30-59 4 Penurunan berat LFG 15-29 5 Gagal ginjal (Kasper et al.,
2015).

C. Kualitas Hidup (Quality of Life) 1. Defenisi Kualitas Hidup Kualitas hidup menurut
World Health Organozation Quality of Life (WHOQOL) Group. didefinisikan sebagai
persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem
nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang
ditetapkan dan perhatian seseorang. Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu
dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks budaya dansistem nilai di mana mereka
tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan , standar dan
kekhawatiran, Kualitas hidup merupakan persepsi subjektif dari individu terhadap kondisi
fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari yang dialaminya
.Sedangkan menurut Chipper mengemukakan kualitas hidup sebagai kemampuan
fungsional akibat penyakit dan pengobatan yang diberikan menurut pandangan atau
perasaan pasien. Donald menyatakan kualitas hidup merupakn suatu terminology yang
menunjukkan tentang kesehatan fisik, sosial dan emosi seseorang serta kemsmpusnnys
untuk melaksanakan tugas sehari-hari (Frisch, 2014). Kualitas hidup adalah suatu cara
hidup, sesuatu yang yang esensial untuk menyemangati hidup, eksistensi berbagai
pengalaman fisik dan mental seorang individu yang dapat mengubah eksistensi selanjutnya
dari individu tersebut di kemudian hari, status sosial yang tinggi, dan gambaran
karakteristik tipikal dari kehidupan seseorang individu menggambarkan kualitas hidup
sebagai sebuah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks
budaya dan system nilai dimana mereka tinggal dan hidup dalam hubungannya dengan
tujuan hidup, harapan, standart dan fokus hidup mereka. Konsep ini meliputi beberapa
dimensi yang luas yaitu: kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial dan
lingkungan. Menurut Cohan & Lazarus kualitas hidup adalah tingkatan yang
menggambarkan keunggulan seseorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan
mereka.Keunggulan individu tersebut biasanya dilihat dari tujuan hidupnya, kontrol
pribadinya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi
materi.Sedangkan Ghozali juga mengungangkap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup diantaranya adalah mengenali diri sendiri, adaptasi, merasakan perhatian orang lain,
perasaan kasih dan sayang, bersikap optimis, mengembangkan sikap empati. Defenisi
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (health-related quality of life)
dikemukakan oleh Testa dan Nackley , bahwa kualitas hidup berarti suatu rentang anatara
kedaan objektif dan persepsi subjektif dari mereka.Testa dan Nackley menggambarkan
kualitas hidup merupakan seperangkat bagian-bagian yang berhubungan dengan fisik,
fungsional, psikologis, dan kesehatan sosial dari individu.Ketika digunakan dalam konteks
ini, hal tersebut sering kali mengarah pada kualitas hidup yang mengarah pada kesehatan.
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan mencakup lima dimensi yaitu
kesempatan, persepsi kesehatan, status fungsional, penyakit, dan kematian (Michalos,
2017). Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon
emosi dari pasien terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar
keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang
ada, adanya kepuasaan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta
kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain. Kualitas hidup menurut definisi
WHO adalah persepsi individu tentang keberadaannya di kehidupan dalam konteks budaya
dan system nilai tempat ia tinggal. Jadi dalam skala yang luas meliputi berbagai sisi
kehidupan seseorang baik dari segi fisik, psikologis, kepercayaan pribadi, dan hubungan
sosial untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Definisi ini merefleksikan pandangan
bahwa kualitas hidup merupakan evaluasi subjektif, yang tertanam dalam konteks cultural,
sosial dan lingkungan. Kualitas hidup tidak dapat disederhanakan dan disamakan dengan
status kesehatan, gaya hidup, kenyamanan hidup, status mental dan rasa aman
mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi seseorang dalam konteks budaya dan
norma yang sesuai dengan tempat hidup seseorang tersebut serta berkaitan dengan tujuan,
harapan, standard an kepedulian selama hidupnya. Kualitas hidup individu yang satu
dengan yang lainnya akan berbeda, hal itu tergantung pada definisi atau interpretasi
masing-masing individu tentang kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup akan sangat
rendah apabila aspek-aspek dari kualitas hidup itu sendiri masih kurang dipenuhi. Dari
beberapa uraian tentang kualitas hidup diatas maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan kualitas hidup dalam kontek penelitian ini adalah persepsi individu terhadap posisi
mereka dalam kehidupannya baik dilihat dari konteks budaya maupun system nilai dimana
mereka tinggal dan hidup yang ada hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standart
dan fokus hidup mereka yang mencakup beberapa aspek sekaligus, diantaranyaaspek
kondisi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari (Birren et al.,
2014).

D. Kerangka konsep

Pasien CKD Usia


Muda

Pasien CKD Usia


Kualitas Hidup
Muda
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik. Pendekatan yang


digunakan yaitu cross sectional.
B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien gagal ginjal kronik usia muda yang
menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisis RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado,
selama kurun waktu maret 2018- juni 2018.
2. Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling dengan kriteria:
a. Kriteria inklusi

1) Semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis minimal atau lebih
dari 2 kali di unit HD.
2) Pasien sadar dan dapat berkomunikasi baik.
3) Pasien bersedia menjadi responden. b. Kriteria ekslusi
1) Pasien drop out karena meninggal dunia, tidak mampu.
2) Tenaga kesehatan.

C. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Prof. dr. R.D Kandou Manado


D. Definisi Operasional, Variabel Penelitian, dan Skala Penelitian
Variable
Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala Skala
Bebas Tindakan Diukur dengan Pasien dapat Ordinal Ordinal
Homodia yang kuesioner berkomunikasi :
lisis dilakukan C. 1
Di katakan Pasien tidak
untuk baik dapat
membantu jika pasien berkomunikasi :
beberapa menjalani 2
fungsi ginjal hemodialisis dan dapat
yang berkomunikasi dengan
terganggu atau baik, dikatakan tidak
rusak baik jika
pasien
menjalani hemodialisis
dan tidak
Pendidik dapat 1. Dasar Ordinal
an berkomunikasi dengan SD/ SMP
baik 2.
Pendidikan Menengah
terakhir yangSMA
sudah dilalui3. Tinggi
Lama pendidikan berdasarkan Perguruan
Pengetah formal terakhir kelulusan tinggi Ordinal
uan dihitung Ordinal
berdasarkan Ordinal
penggolongan Ordinal
dasar atau tingkat 1. Jawaban
Jenis yang di diakui benar nilai 1 Ordinal
kelamin oleh pemerintah. 2. JawabanOrdinal
salah Ordinal
Pemahaman nilai 0 Ordinal
Umur responden tentang
tindakan Diukur
hemodialisis berdasarkan
jenis kelamin
Terikat
Dimensi Dibedakan laki –
fisik laki dan Diukur
pasien perempuan sesuai berdasarkan
gagal dengan tanda tanda pengenal
Tabel 3.1ginjal
Devinisi pengenal
operasional, variabel dan skala penelitian
E. Metode Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data primer, data primer diperoleh dari
populasi secara langsung saat penelitian yaitu dengan cara penyebaran kuesioner.
Kuesioner ini berisi sejumlah pertanyaan untuk mendapatkan data mengenai kualitas hidup
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis atau dikumpulkan
peneliti memberikan penjelasan singkat tentang tujuan peneliti, bila responden sejutu
untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian selanjutnya diberikan lembar
persetujuan untuk menanda tangani. Peneliti membagi dan menjelaskan pengisian
kuesioner. Data sekunder diperoleh peneliti dari data dari rumah sakit Dr. Kariadi
Semarang yang diperlukan dalam menunjang penelitian ini pencatatan dan laporan para
pasien yang menderita gagal ginjal kronik di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang.
2. Alat Penelitian

Instrumenyang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yaitu sejumlah


pertanyaan tertulis sebanyak 26 pertanyaan yang digunakan untuk memperoleh
informasi dari responden dengan dilampiri data MR (medichal Record) dan hasil
penelitian diukur dengan menggunakan skala likert.
3. Uji Coba Instrumen Penelitian

Sebagai alat untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini sudah dilakukan uji validitas
dan reliabilitas sebagai berikut :
a) Uji validitas

Uji validitas pada kuisioner WHO QoL yang yang akan digunakan dalam penelitian
ini, telah dilakukan pada peneliti sebelumnya yaitu oleh Kusman Ibrahim dilakukan di
tiga rumah sakit di Jawa Barat dengan jenis pengujian C-Square test. Penguji berasal
dari anggota fakultas keperawatan Universitas Indonesia, anggota fakultas
kedokteran Universitas Padjajaran, di Bandung dan perawat senior neprolog dari
rumah sakit ibu Habibi untuk pasien ginjal di Bandung, dengan perhitungan akhir 93%
mstrumen WHO QoL mempunyai validitas yang baik dengan nilai p = 0.018 (p<0,05)
b) Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas juga telah dilakukan oleh Kusman lbrahim, MNS di tiga Rumah sakit di
Bandung, yang pada hakekatnya mempunyai etnik dan budaya yang sama di negara
Indonesia.
Hasii uji reliabilitas suatu koefisien alpha dari 0,90 didapatkan dari jumlah skala dari
instrumen WHO QoL, dengan koefisien alpha
0,76 untuk dimensi fisik. Koefisien alpha yang diperoleh WHO Qol- BREF diatas
koefisien alfa yang ditentukan yaitu 0,6 dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
instrumen menunjukkan konsisten internal yang baik.
F. Metode Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan Data a. Editing


Melakukan pemeriksaan ulang kuesioner ditempat pengumpulan data, memperbaiki
kesalahan penulisan identitas klien yang menjadi responden serta melengkapi
kekurangan dalam pengisian kuesioner.
b. Koding (pengkodean)

Dilakukan dengan pemberian tanda pada masing-masing jawaban dengan kode


maupun angka, sehingga memudahkan proses pemasukan data di komputer. Termasuk pada
halaman ini adalah pada :
1. Kuesioner A (identitas responden)

2. Kuesioner B (kualitas hidup), pada pertanyaan jika jawaban selalu nilai (4, sering nilai
(3), jarang nilai (2), tidak pernah nilai (1).
3. Kuesioner C (terapi hemodialisis), pernyataan pasien dapat berkomunikasi
dengan baik dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik.
c. Entri Data

Memasukkan data ke dalam komputer d. Tabulasi


Membuat tabel distribusi frekuensi, tendensi sentral (mean, median, modus, sum) dan
disperse atau penyebaran data (standar deviasi, variansi, range, minimum, maksimum)
dengan menggunakan SPSS 11. for windows
e. Skoring (penilaian)

Pada tahap scoring ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor yang telah
ditentukan berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh responden.
f. Cleaning

Membuang data atau pembersihan data yang sudah tidak dipakai.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat
Untuk menggambarkan masing-masing variable bebas dan terikat dengan analisis
deskriptif menggunakan explore.
b. Analisis Bivariat
Untuk mengetahui hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat dengan
menggunakan uji chi square.
c. Analisis Multivariat
Untuk mengetahui variabel bebas mana yang paling besar pengaruhnya terhadap
variabel terikat menggunakan uji regresi logistic.

DAFTAR PUSTAKA
Birren, J. E., Lubben, J. E., Rowe, J. C., & Deutchman, D. E. (2014). The
concept and measurement of quality of life in the frail elderly : Academic
Press.
Collins, A. J., Foley, R. N., Gilbertson, D. T., & Chen, S.-C. (2015). United
States Renal Data System public health surveillance of chronic kidney
disease and end-stage renal disease. Kidney international supplements,
5(1), 2-7.
Dahlgren, G., & Whitehead, M. (1991). Policies and Strategies to Promote
Social Equity in Health. Institute for Future Studies: In. Stockholm.
Dahlgren, G., & Whitehead, M. (2007). A framework for assessing health
systems from the public's perspective: the ALPS approach. International
Journal of Health Services, 37(2), 363-378.
Frisch, M. B. (2014). Quality-of-life-inventory Encyclopedia of quality of life
and well-being research (pp. 5374-5377): Springer.
Heath, J., Norman, P., Christian, M., & Watson, A. (2017). Measurement of
quality of life and attitudes towards illness in children and young people
with chronic kidney disease. Quality of Life Research, 26(9), 2409-2419.
Hill, N. R., Fatoba, S. T., Oke, J. L., Hirst, J. A., O’Callaghan, C. A., Lasserson,
D. S., & Hobbs, F. R. (2016). Global prevalence of chronic kidney
disease–a systematic review and meta-analysis. PloS one, 11(7),
e0158765.
Indonesia, D. K. R., & RI, P. K. K. K. (2014). Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia (Riskesdas). 2013. Di akses di http://http://www . litbang.
depkes. go. id/sites/download/materi_pertemuan/launch_
riskesdas/Riskesdas, 20.
Jeon, K.-O., Son, S.-Y., Hahm, M.-I., & Kim, S.-I. (2015). Quality of Life among
End-stage Renal Disease Treatments and Economic Evaluation of Renal
Transplantation and Hemodialysis Treatments. The Journal of the Korean
Society for Transplantation, 29(4), 200-208.
Kasper, D., Fauci, A., Hauser, S., Longo, D., Jameson, J., & Loscalzo, J. (2015).
Harrison's principles of internal medicine, 19e.
Khoe, L. C., Kristin, E., Masytoh, L. S., Herlinawaty, E., Werayingyong, P.,
Nadjib, M., . . . Teerawattananon, Y. (2017). Economic evaluation of
policy options for dialysis in end-stage renal disease patients under the
universal health coverage in Indonesia. PloS one, 12(5), e0177436.
Michalos, A. C. (2017). Social indicators research and health-related quality of
life research Connecting the Quality of Life Theory to Health, Well-being
and Education (pp. 25-58): Springer.
Obrador, G. T., & Pereira, B. (2014). Epidemiology of chronic kidney disease
UpToDate.
Romagnani, P., Remuzzi, G., Glassock, R., Levin, A., Jager, K. J., Tonelli, M., . .
. Anders, H.-J. (2017). Chronic kidney disease. Nature Reviews Disease
Primers, 3, 17088.
Said, A., Desai, C., & Lerma, E. V. (2015). Chronic kidney disease. Disease-a-
Month, 61(9), 374-377.
Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017). Chronic
kidney disease. The Lancet, 389(10075), 1238-1252.

Вам также может понравиться