Вы находитесь на странице: 1из 15

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Sargassum polycystum


Sargassum adalah jenis alga cokelat yang mempunyai talus bercabang
seperti jari dan merupakan tanaman perairan yang berwarna cokelat, berukuran
relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas
tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta
dilengkapi dengan bagian-bagian untuk pertumbuhan (Atmadja et al. 1996).
Klasifikasi rumput laut S. polycystum menurut Anggadiredja et al. (2006)
adalah sebagai berikut:
Divisi : Phaeophyta
Kelas : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Famili : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Spesies : Sargassum polycystum
Morfologi S. polycystum tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri umum
Phaeophyta. Talus silindris berduri-duri kecil merapat, holdfast membentuk
cakram kecil dan di atasnya terdapat perakaran/stolon yang rimbun berekspansi
ke segala arah. Memiliki batang pendek dengan percabangan utama tumbuh
rimbun. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter,
panjangnya mencapai 7 meter, warna talus umumnya cokelat (Aslan 1991).
Bentuk morfologi rumput laut S. polycystum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rumput laut S. polycystum


(Sumber: Anonim 2012)
5

Komposisi kimia dan pigmen yang terdapat pada rumput laut cokelat
merupakan hasil dari fotosintesis yang jumlahnya sangat bervariasi, tergantung
pada jenis, masa perkembangan dan kondisi tempat tumbuh. Senyawa kimia
terbanyak yang terdapat pada rumput laut cokelat adalah alginat, dalam jumlah
sedikit terdapat pula laminaran, fukoidon, selulosa, manitol, dan senyawa bioaktif
lainnya (Yunizal 2004).
Pemanfaatan Sargassum selama ini adalah sebagai sumber alginat. Pada
jaringan talus, asam alginat mengisi ruangan antar sel sehingga memperkokoh
saluran jaringan tersebut. Alginat dapat diekstrak dari alga cokelat dengan larutan
alkali (Glicksman 1983). S. polycystum mengandung alginat, vitamin C, vitamin E
(α-tokoferol), mineral, karotenoid, klorofil, florotanin, polisakarida sulfat, asam
lemak, dan asam amino. Tumbuhan ini memiliki potensi dalam penyembuhan
penyakit kantung kemih, gondok, kolesterol, digunakan sebagai kosmetik, sumber
alginat, dan antioksidan (Matanjun 2008).

2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif


Ekstraksi merupakan metode pemisahan komponen-komponen tertentu
antara dua atau lebih fase cairan (Keulemans dan Walraven 1965). Ekstraksi
didefinisikan sebagai proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu
bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari bahan tersebut.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi,
suhu, dan jenis pelarut yang digunakan harus memperhatikan daya melarutkan,
titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap
peralatan ekstraksi (Khopkar 2003).
Prinsip ekstraksi adalah zat yang akan diekstrak hanya dapat larut dalam
pelarut yang digunakan, sedangkan zat lainnya tidak akan larut. Proses
perpindahan komponen bioakif dari dalam bahan ke pelarut terjadi secara difusi.
Proses difusi merupakan perubahan secara spontan dari fase yang memiliki
konsentrasi lebih tinggi menuju konsentrasi lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini
akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang dipisahkan menyebar
diantara kedua fase. Proses difusi akan berakhir jika kedua fase berada dalam
kesetimbangan, yaitu apabila seluruh zat sudah terlarut di dalam zat air dan
konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Pengelompokkan metode
6

ektraksi ada dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1987).
Ekstraksi sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diskolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam ekstraksi adalah kepolaran
senyawa dilihat dari gugus polarnya. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang
berbeda-beda pada pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah
larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Semakin besar konstanta
dielektrik, maka pelarut tersebut semakin polar. Beberapa pelarut organik dan
sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pelarut organik dan sifat fisiknya

Titik didih Titik beku Konstanta


Jenis Pelarut
(oC) (oC) dielektrik
Heksana 68 -94 1,8
Dietil eter 35 -116 4,3
Kloroform 61 -64 4,8
Etil asetat 77 -84 6,0
Aseton 56 -95 20,7
Etanol 78 -117 24,3
Metanol 65 -98 32,6
Air 100 0 80,2
Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)
7

2.3 Fitokimia
Istilah fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman dan “chemical” = zat kimia)
berarti kimia tanaman. Fitokimia menguraikan aspek kimia suatu tanaman.
Kajian fitokimia meliputi uraian tentang isolasi dan konstitusi senyawa kimia
dalam tanaman, perbandingan struktur senyawa kimia tanaman dan perbandingan
komposisi senyawa kimia dari bermacam-macam jenis tanaman atau penelitian
untuk pengembangan senyawa kimia dalam tanaman (Sirait 2007).
2.3.1 Alkaloid dari rumput laut
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang
terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid
merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Umumnya, alkaloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya
tidak berwarna, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa
cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar (Harborne 1987).
Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang
farmakologi, diantaranya adalah nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin
(analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata),
skopolamin (sedatif/obat penenang menjelang operasi), kokain (analgesik),
piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin
(analgesik untuk migrain), reserpin (pengobatan simptomatis disfungsi ereksi),
mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat
kanker) (Sudarmadji et al. 2007). Kaewsritong et al. (2007) dalam Kantachumpoo
dan Chirapart (2010) melaporkan ekstrak dari Padina australis, S. polycystum dan
Turbinaria conoides yang menggunakan pelarut metanol, etanol, diklorometana
dan eter mengandung terpenoid, flavonoid dan alkaloid.
2.3.2 Triterpenoid/steroid dari rumput laut
Triterpenoid adalah senyawa senyawa alam yang terbentuk dengan proses
biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan.
Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene dengan kerangka terpenoid
terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan isoprene (C 5 ) (Sirait 2007).
Secara umum triterpenoid diekstrak dari jaringan tumbuhan memakai eter minyak
8

bumi, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika
gel atau alumina memakai pelarut tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa
macam senyawa yaitu komponen minyak atsiri, diterpenoid, giberalin,
triterpenoidem sterid dan karotenoid (Lenny 2006)
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana
perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat
pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol dan kampesterol.
Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah, contohnya
ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungi. Sterol lain terutama
terdapat dalam tumbuhan tingkat rendah tetapi kadang-kadang terdapat dalam
tumbuhan tingkat tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga
cokelat dan juga terdeteksi pada kelapa (Harborne 1987).
Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menyatakan bahwa senyawa
streroid dan ester ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Senyawa
steroid seperti 3β-bromo-kolest-5-ena kemungkinan bersifat antiradikal bebas
karena senyawa tersebut mengandung gugus bromo dan ikatan rangkap.
2.3.3 Flavonoid dari rumput laut
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan
gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat
pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari dan akar.
Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol,
isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin dan flavan-3,4-diol
(Sirait 2007).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid dapat
diekstraksi dengan etanol 70%. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu
warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia sehingga mudah dideteksi pada
kromatogram atau dalam larutan. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang
terkonjugasi dan karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum
Ultra Violet (UV) dan spektrum tampak. Terbentuknya warna merah, kuning atau
jingga di lapisan amil alkohol pada uji fitokimia menunjukkan adanya flavonoid
(Harborne 1987). Hasil uji Prajitno (2006) menunjukkan bahwa rumput laut
Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin,
9

epigallocathecin, cathecol, hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin


merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan.
2.3.4 Saponin dari rumput laut
Saponin merupakan glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna
akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau
genin. Gula-gula yang terdapat dalam saponin jumlah dan jenisnya bervariasi,
diantaranya glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa, serta asam galakturonat dan
glukoronat. Sapogenin sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin
triterpenik dan steroidik (Muchtadi 1989).
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun.
Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis sel darah. Dari segi ekonomi, saponin penting karena kadang-
kadang menimbulkan keracunan pada ternak (misalnya saponin alfalfa,
Medicago sativa) atau karena rasanya yang manis (misalnya glisirizin dari akar
manis, Glycyrrhiza glabra) (Harborne 1987). Sebagian besar saponin bereaksi
netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air).
Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat
toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang
menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang
beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007).
Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada
epitel hidung, bronkus, ginjal dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan
menimbulkan efek diuretika. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat
oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregangkan partikel tak larut dan
menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan
(Sirait 2007). Hasil penelitian Sahayaraj dan Kalidas (2011) menunjukkan bahwa
analisis fitokimia yang dilakukan pada rumput laut Padina pavonica (Phaeophyta)
dengan ekstrak kloroform dan benzena ditemukan senyawa steroid, saponin dan
komponen fenol.
2.3.5 Fenol hidrokuinon dari rumput laut
Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berikatan dengan
satu atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan dengan gugus metil
10

atau glikosil. Komponen fenolat bersifat larut air selama komponen tersebut
berikatan dengan gula membentuk glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola
sel. Flavonoid merupakan kelompok yang terbesar di antara komponen fenolat
alami yang strukturnya telah diketahui, tetapi fenol monosiklik sederhana,
fenilpropanoid dan fenolat kuinon terdapat dalam jumlah sedikit. Kuinon dapat
dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftakuinon, antrakuinon,
dan isoprenoid kuinon. Tiga kelompok pertama umumnya terhidrolisis dan
memiliki sifat fenol, sedangkan isoprenoid kuinon terdapat pada respirasi seluler
(ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon) (Harborne 1987).
Menurut Lincoln et al. (1991) dalam Smit (2004), banyak ditemukan
respon kimia berupa aktivitas antioksidan dari makroalga. Beberapa zat yang
penting pada reaksi ini adalah komponen halogen seperti alkali dan alkena,
alkohol, aldehida, hidrokuinon, dan keton.
2.3.6 Tanin dari rumput laut
Tanin adalah polifenol alami yang banyak digunakan sebagai bahan
perekat tipe eksterior, yang terutama terdapat pada bagian kulit kayu. Tanin dapat
dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik
tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang
berbeda-beda. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau
alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat
mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin
yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat
kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memiliki sifat antiseptik
(Carter et al. 1978 dalam Shut 2002). Menurut Cox (2010), florotanin merupakan
komponen tanin yang hanya dapat ditemukan pada alga laut. Florotanin diekstrak
dari alga cokelat yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi yang mungkin
berhubungan dengan molekul skeletonnya.

2.4 Senyawa Antioksidan


Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
atau suatu zat yang dapat menetralkan radikal bebas. Ada dua macam antioksidan,
yaitu antioaksidan internal dan eksternal. Antioksidan internal yaitu antioksidan
11

yang diproduksi oleh tubuh sendiri disebut sebagai antioksidan primer, secara
alami tubuh mampu menghasilkan antioksidan sendiri, tetapi kemampuan inipun
ada batasnya. Selain bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi
antioksidan alami pun akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan
stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi
kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan (Rosalina 2009).
Antioksidan eksternal tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari
makanan seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, selenium,
flavonoid, dan lain-lain. Antioksidan yang berasal dari makanan atau dari luar
tubuh disebut juga antioksidan sekunder. Antioksidan internal bekerja dengan cara
menangkal terbentuknya radikal bebas, sedangkan antioksidan eksternal bekerja
dengan cara meredam atau menetralisir antioksidan yang sudah terbentuk
(Rosalina 2009).
Tamat et al. (2007) menjelaskan antioksidan dapat berbentuk gizi seperti
vitamin E dan C, non gizi (pigmen karoten, likopen, flavonoid dan klorofil), dan
enzim (glutation peroksidase, koenzim Q10 atau ubiquinon). Antioksidan dapat
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu antioksidan preventif (enzim
superoksidadismutase, katalase dan glutation peroksidase), antioksidan primer
(vitamin A, fenolat, favonoid, katekin, kuersetin) dan antioksidan komplementer
(vitamin C, β-karoten dan retinoid).
Nugroho et al. (2006) menyatakan rumput laut mengandung komponen
unik yang kuat berupa fukoidan, alginat dan polifenol. Antioksidan klorofil pada
ganggang laut hijau dapat berfungsi sebagai antioksidan. Zat ini membantu
membersihkan tubuh dari reaksi radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh.
Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menunjukkan adanya aktivitas
antioksidan yang ditemukan pada ekstrak dua spesies rumput laut yaitu
Exophylum wentii dan Gracillaria coronopifolia. Penelitian Kuda et al. (2005)
menunjukkan ekstrak tiga alga cokelat yaitu Scytosiphon lomentoria,
Papenfussilla kumoro dan Nemacystus decipiens serta satu spesies ganggang
merah yaitu Porphyra sp. menghasilkan adanya senyawa fenol 2,2-9,4 mg untuk
1000 gram sampel kering yang menunjukkan sifat antioksidan yang kuat.
12

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH


Metode uji 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH) merupakan salah satu
metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari
substansi yang berperan sebagai antioksidan. Metode ini merupakan salah satu
metode yang sederhana dengan menggunakan DPPH sebagai senyawa pendeteksi.
Struktur kimia DPPH dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non
radikal (2) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH
(Sumber: Molyneux 2004)

Molyneux (2004) menyatakan bahwa senyawa DPPH merupakan senyawa


radikal bebas yang bersifat stabil sehingga dapat bereaksi dengan atom hidrogen
yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi. Ada tiga tahap
reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat dicontohkan dengan
reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat (antioksidan). Tahap pertama
meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubstitusi dari senyawa
tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen untuk mereduksi DPPH. Tahap
berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal fenoksil, yang akan mentransfer
radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali dengan radikal DPPH. Tahap terakhir
adalah pembentukan kompleks antara radikal hidroksil dengan radikal DPPH.
Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan dengan DPPH
tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya. Ketika
DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer
elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari
DPPH (Suratmo 2009 dalam Permatasari 2011).
13

2.6 Senyawa Antimikroba


Antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat
berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003).
Senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang
dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri.
Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang
bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) seperti pinisilin, basitrasin, neomisin dan
senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri) seperti
tetrasiklin dan kloramfenikol (Pelezar dan Chan 1986). Senyawa antibakteri
dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain: konsentrasi zat antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, sifat-sifat
mikroba seperti jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier dan
Westhoff 1978).
Senyawa antibakteri yang terkandung dalam berbagai ekstrak tanaman
diketahui dapat menghambat bakteri patogen maupun perusak pangan (Frazier
dan Westhoff 1978). Senyawa antibakteri yang berasal dari tanaman, sebagian
besar merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama golongan fenolik dan
terpen dalam minyak atsiri dan alkaloid. Beberapa senyawa antibakteri alami yang
berasal dari tanaman diantaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak
esensial (atsiri), fenolik, dan beberapa kelompok pigmen atau senyawa sejenis
(Herbert 1995).
Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan
mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu (1) mengubah permeabilitas
membran sehingga dengan rusaknya membran akan menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan sel atau matinya sel, (2) menyebabkan terjadinya denaturasi protein,
(3) menghambat kerja enzim di dalam sel sehingga mengakibatkan terganggunya
metabolisme/matinya sel (Davidson dan Branen 1993 dalam Madigan et al. 2004),
(4) merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis
(Madigan et al. 2004).
Antimikroba alami umumnya berasal dari tanaman, hewan, maupun
organisme dengan melakukan proses pengekstrakkan misalnya pada rumput laut.
14

Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria antara
lain tidak bersifat racun, ekonomis, tidak merubah rasa, dan aroma makanan jika
digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami penurunan aktivitas selama
proses dan penyimpanan, tidak menyebabkan galur resisten dan sebaiknya
membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan bakteri (Frazier dan
Westhoff 1988).
Choudhury et al. (2005) dalam Yunus et al. (2009) menyatakan bahwa
alga laut memiliki potensi sebagai sumber antibakteri. Salah satunya yang
dilaporkan yaitu ekstrak metanol dari 56 rumput laut yang berasal dari kelas
Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga cokelat) dan Rhodophyta
(alga merah). Dari ketiga kelas rumput laut tersebut, rumput laut cokelat memiliki
aktivitas antibakteri tertinggi.

2.7 Mikroorganisme Patogen


2.7.1 Escherichia coli
Organisme ini tersebar luas di alam biasanya lazim terdapat dalam
pencernaan manusia dan hewan. Spesies E. coli tidak dapat mengurangi asam
sitrat dan garam asam sitrat sebagai sumber karbon tunggal dan tidak
menghasilkan pigmen, tetapi kadang-kadang menghasilkan pigmen berwarna
kuning. E. coli ditularkan bersama air atau makanan yang terkontaminasi oleh
feses. E. coli berbentuk batang, tebal 0,5 µm, panjang antara 1,0-3,0 µm,
bervariasi dari bentuk koloid sampai berbentuk seperti filamen yang panjang,
tidak berbentuk spora, motil dan filamen perithin beberapa galur tidak memiliki
flagella, bersifat Gram-negatif (Merchant dan Parker 1961 dalam Wasitaningrum
2009).
E. coli bersifat aerob atau fakultatif anaerob, dapat tumbuh pada media
buatan. Beberapa sifat E. coli antara lain pertumbuhan optimum pada suhu 37oC,
dapat tumbuh pada suhu 15- 45oC, tumbuh baik pada pH 7,0 tapi tumbuh juga
pada pH yang lebih tinggi. E. coli menghasilkan katalase, tidak mencairkan
gelatin, membentuk indol, mereduksi nitrat, mengoksidasi dan mengasamkan air
susu tanpa peptonisasi, mengoksidasi kentang sehingga berwarna cokelat gelap,
tidak menghasilkan gas H 2 S (Merchant dan Parker 1961 dalam Wasitaningrum
2009). E. coli mengandung enterotoksin dan dapat menyebabkan penyakit diare.
15

Sebagian besar E. coli menyebabkan infeksi saluran kencing dan keracunan darah
(Fardiaz 1989).
2.7.2 Staphylococcus aureus
Staphylococcus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk bulat, biasanya
tersusun dalam bentuk bergerombol yang tidak teratur seperti anggur.
Staphylococcus bertambah dengan cepat pada beberapa tipe media dengan aktif
melakukan metabolisme, fermentasi karbohidrat dan menghasilkan
bermacam-macam pigmen dari warna putih higga kuning gelap. Staphylococcus
cepat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba (Jawetz et al. 1996).
S. aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan
kloramfenikol, tetapi resisten terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan 1986).
S. aureus menghasilkan koagulase, dijumpai pada selaput hidung, kulit,
kantung rambut, dapat menyebabkan keracunan makanan, serta komplikasi pada
influenza. Keracunan makanan yang umum terjadi karena termakannya toksin
yang dihasilkan oleh galur-galur toksigenik S. aureus yang tumbuh pada makanan
tercemar. Pada umumnya gejala-gejala mual, pusing, muntah, dan diare muncul
2 sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu. Tumbuh dengan cepat pada
temperatur 20-35 oC dengan berbagai media bakteriologi di bawah suasana
aerobik dan mikrofilik. Koloni pada media padat berbentuk bulat, lambat dan
mengkilat (Jawetz et al. 1996).
2.7.3 Bacillus subtilis
B. subtilis mempunyai ciri-ciri antara lain berbentuk batang, panjang
4-5 µm, lebar 1-1.25 µm, bersifat aerob dan memiliki flagel, termasuk golongan
bakteri Gram-positif dan memiliki endospora. Genus Bacillus merupakan bakteri
basil Gram-positif pembentuk spora, bersifat aerob dan merupakan
mikroorganisme saprofit yang lazim berada dalam tanah, air, udara dan
tumbuh-tumbuhan seperti B. cereus dan B. subtilis yang menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan (Greenwood et al. 1992).
B. subtilis memproduksi enzim dan antibiotik dalam respon untuk
pembatasan nutrisi. Enzim yang dihasilkan yaitu protease, amilase, selulase dan
lipase. Produksi enzim sangat maksimal saat sel berada pada fase stasioner pada
masa pertumbuhan. Produksi enzim tersebut diduga sebagai strategi pertahanan
16

hidup untuk mencari sumber energi makromolekuler saat nutrisi mulai berkurang.
Sebagian besar enzim digunakan secara luas dalam pembuatan makanan,
masakan, dan industri detergen biologis. Enzim yang memiliki manfaat bagi
manusia seperti “thermostability”, mengaktifkan jangkauan pH, aktivitas pada
detergen dan mengoksidasi lingkungan, dapat diidentifikasi oleh B. subtilis.
Peranan B. subtilis pada industri enzim adalah dapat merefraktor analisis genetik
dan itulah alasan B. subtilis dipilih untuk dipelajari mekanisme produksi
enzimnya. Selain itu, kode genetik yang heterogen dengan materi yang dapat
diklon-kan ke dalam B. subtilis yang dapat menghasilkan manipulasi untuk
gandum berkualitas tinggi (Greenwood et al. 1992).
2.7.4 Candida maltosa
Candida telah dikenal dan dipelajari sejak abad ke 18 dan penyakit yang
disebabkannya dihubungkan dengan higiene yang tidak baik. Di dalam
perkembangannya genus Candida telah dikenal lebih dari 32 spesies, tetapi hanya
7 diantaranya yang terdapat pada manusia. Spesies Candida dapat dibedakan
berdasarkan kemampuan fermentasi dan asimilasi terhadap larutan glukosa,
maltosa, sukrosa, galaktosa, dan laktosa. Candida dapat meragikan glukosa dan
maltosa, menghasilkan asam dan gas, asam dari sukrosa. Kadang peragian
karbohidrat ini bersama dengan sifat koloni dan morfologi (Dumilah 1982).
Candida merupakan suatu ragi lonjong, bertunas yang menghasilkan
pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan eksudat.
Candida dapat menyebabkan penyakit sistemik progresif pada penderita yang
sistem imunnya tertekan. Selain itu Candida juga dapat menimbulkan invasi
dalam aliran darah, tromboflebitis, endokarditis, infeksi mata, dan organ lain bila
masuk ke dalam tubuh secara intravena (Jawetz et al. 1992). Candida secara
mikroskopik berbentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong, Gram-positif, dengan
ukuran 2-5 µ x 5-28.5 µ koloni pada medium padat sedikit menimbul dari
permukaan media, dengan permukaan halus, licin atau berlipat-lipat, berwarna
putih kekuning-kuningan dan berbau ragi (Dumilah 1982).
Candida memperbanyak diri secara aseksual yaitu spora yang dibentuk
langsung dari hifa tanpa adanya peleburan inti dengan membentuk tunas, maka
spora Candida disebut dengan Blastospora atau sel ragi. Candida membentuk
17

pseudohifa yang sebenarnya adalah rangkaian Blastospora yang dapat


bercabang-cabang. Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan bahwa Candida
menyerupai ragi atau yeast like, untuk membedakan dengan jamur yang hanya
membentuk Blastospora (Jawetz et al 1992).

2.8 Uji Aktivitas Antimikroba


Uji antimikroba adalah uji kepekaan mikroba terhadap obat atau bahan.
Aktivitas antimikroba ditentukan dengan mengukur diameter hambatannya, yaitu
daerah bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Ketentuan kekuatan
senyawa antibakteri adalah sebagai berikut: bila memiliki daerah hambatan
20 mm atau lebih berarti memiliki kekuatan antibakteri sangat kuat; bila daerah
hambatan yang dimilikinya berkisar 10-20 mm berarti kuat; bila daerah hambatan
5-10 mm berarti sedang; bila daerah hambatannya 5 mm atau kurang dari 5 mm
maka di katakan lemah (Davis dan Stout 1971). Terdapat tiga macam metode uji
yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri menurut Zubaidan
(2005) dan Istri (1999) dalam Maretania (2006) yaitu:
1. Metode penyebaran
• Metode kertas cakram yaitu meletakkan cakram kertas yang telah
direndam larutan uji di atas media padat yang telah diinokulasi dengan
bakteri kemudian diinkubasi. Pertumbuhan bakteri diamati dengan melihat
ada tidaknya zona hambat di sekeliling cakram.
• Metode silinder yaitu meletakkan beberapa silinder yang terbuat dari gelas
atau besi tahan karat di atas media agar yang telah diinokulasi dengan
bakteri. Tiap silinder diisi dengan larutan yang akan diuji dan diinkubasi.
Pertumbuhan diamati dengan melihat ada tidaknya zona hambat di
sekeliling silinder.
• Metode sumur yaitu membuat sumur pada agar padat yang telah
diinokulasi pada bakteri dan diisi dengan larutan uji. Pertumbuhan bakteri
diamati dengan terbentuknya zona hambat di sekeliling sumur.
2. Metode pengenceran
• Metode pengenceran tabung yaitu pengenceran zat mikroba dimasukkan
ke dalam tabung-tabung reaksi steril. Pada interval waktu tertentu,
18

dilakukan pemindahan dari tabung reaksi ke dalam tabung-tabung berisi


media steril yang kemudian diinkubasi dan diamati penghambatan
pertumbuhan.
• Metode pengenceran agar yaitu pengenceran zat mikroba dan dimasukkan
ke dalam agar dengan konsentrasi bahan uji yang berbeda yang kemudian
diinkubasi dan diamati penghambatan pertumbuhannya.
3. Metode bioautografi
• Metode bioautografi yaitu metode untuk mengetahui senyawa baru atau
senyawa yang belum diketahui aktivitas mikrobanya dengan menggunakan
prinsip kerja difusi senyawa yang terpisah dengan Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) dan atau Kromatografi Kertas (KK).
• Metode bioautografi langsung yaitu zona hambatan diamati langsung pada
lempeng kromatografi yang sebelumnya disemprot dengan suatu suspensi
mikroba dalam media agar cair dan diinkubasi pada temperatur dan waktu
yang sesuai.
• Metode bioautografi kontak yaitu mencelupkan lempeng kromatografi
ke dalam media dan media dibiarkan mengeras. Lempeng kromatografi
kemudian diinkubasi dan daerah hambatannya diamati.
Middelbeek dan Drijver de Haas (1992) dalam Setyaningsih et al. (2005)
menjelaskan bahwa efektivitas senyawa antimikroba dapat dilihat pada pengujian
antimikroba dengan menentukan konsentrasi terkecil agar pertumbuhan
organisme uji dapat terhambat. Pengujian antimikroba dengan menentukan
konsentrasi terkecil dilakukan dengan metode Minimum Inhibitory Concentration
(MIC). Metode MIC terdiri dari dua teknik, yaitu teknik tabung pengenceran dan
teknik difusi agar.

Вам также может понравиться