Вы находитесь на странице: 1из 3

Belajar Sebagai Kewajiban Mahasiswa

Seorang mahasiswa harus melaksanakan kewajibannya. Mahasiswa sebagai kelompok


terpenting dalam sebuah masyarakat memiliki kewajiban yaitu menuntut ilmu, menguasai ilmu
dengan sungguh-sungguh agar menjadi seorang yang berguna yang mengaplikasikan atau
mengembangkan disiplin ilmunya bagi lingkungan tempat dimana ia tinggal, mematuhi
peraturan yang berlaku, sebuah perturan yang tidak menyimpang dari ketetapan hukum-
hukum dan nilai-nilai, norma-norma yang ada, selain itu mahasiswa juga harus memainkan
peranan penting sebagai pencetus perubahan dan revolusi.

Kata-kata di atas memberikan semangat bahwa seorang mahasiswa seharusnya memiliki


prinsip yang kuat, mampu melakukan perubahan dan berani menegakkan kata kebenaran di
atas sebuah kemungkaran, selain itu mahasiswa juga wajib melaksanakn Tridarma Mahasiswa
yaitu melakukan penelitian, pengabdian, dan pengajaran yang diawali dengan proses belajar
yang sungguh-sungguh. (sumber : http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/03/pengertian-etika-
peranan-dan.html )

Paham Titip Absen Yang Menyesatkan

Kecurangan akademik di lingkup mahasiswa sudah ada aturannya, bahwa pelaku akan
mendapat sanksi. Tapi pada kenyataannya sampai sekarang masih banyak mahasiswa yang
melakukan kecurangan akademik tanpa mendapat sanksi. Sebagai contoh, dalam banyak
kegiatan perkuliahan banyak mahasiswa yang “TA” (titip absen). Ini untuk memenuhi jumlah
minimal kehadiran sehingga pada waktu ujian mahasiswa yang sering tidak masuk tetap
diperbolehkan ikut ujian (karena dosen tidak tahu bahwa dia jarang masuk). Bagian akademik
yang menghitung jumlah kehadiran juga tidak tahu karena mereka tidak menelitia keaslian
tanda tangan mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa yang jarang masuk tidak dapat menguasai
bahan yang dikuliahkan, dan ujian tak dapat menjawab. Sehingga saat ujian mahasiswa
cenderung melakukan kecurangan lain, yaitu mencontek atau bekerja sama dengan mahasiswa
lain pada waktu ujian. ( sumber : http://dr-mita--fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-63955-journal-
Kecurangan%20Akademik%20di%20Kalangan%20Mahasiswa.html )

Semester Pendek dan Pemahaman Mahasiswa yang Salah

Pelaksanaan semester pendek, yaitu waktu di antara dua semester reguler, dimaksudkan untuk
membantu mahasiswa agar merampungkan studinya tepat waktu. Tetapi para mahasiswa juga
sering menggunakannya sebagai ajang untuk mengejar dan memperbaiki nilai. Perlukah
semester pendek diteruskan?

SEMESTER pendek (SP) biasanya memanfaatkan waktu luang mahasiswa untuk proses belajar
mengajar di antara dua semester alias di masa libur. Apakah mahasiswa tak jenuh jika masa
liburannya tetap diisi dengan kesibukan perkuliahan? Memang tak semua mahasiswa itu study
oriented. Ada yang perlu cari uang untuk biaya hidup, sibuk berorganisasi, ada juga yang kena
''masalah mental'' sehingga malas kuliah saat semester reguler, dan sebagainya.

Akhirnya, semester pendek menjadi saat yang tepat untuk mengejar ketertinggalan demi me-
ningkatkan indeks prestasi (IP). Mereka tidak berkeberatan kalau masa liburan kembali
bertemu dengan dosen-dosennya. Seperti diketahui, SP adalah kuliah yang dilangsungkan pada
masa liburan panjang, yaitu setelah berakhirnya tahun akademik semester genap.

SP dapat membuat mahasiswa kurang serius saat perkuliahan semester reguler. ''Mereka
menggampangkan kuliah reguler, karena berpikiran jika nilainya jelek dapat di SP dengan waktu
relatif singkat pula, yakni hanya sebulan. Padahal sebenarnya nilai yang mereka dapat belum
tentu lebih bagus jika mereka tidak serius mengikuti SP,'' ungkapnya.

Masih menurut Kindy, yang perlu diperbaiki fakultas dalam melasanakan SP adalah
pengajarnya. Sebisa mungkin fakultas sedikit memaksa dosen untuk bisa hadir dalam setiap
perkuliahan. Pasalnya jika dosen tidak hadir, banyak mahasiswa yang kecewa. Padahal mereka
benar-benar serius ingin memperbaiki nilai, dan mengeluarkan biaya tidak sedikit pula

Aditya Widi S, mahasiswa Akuntansi Undip, juga pernah mengikuti SP. Dalam semester-
semester lalu, ia sibuk dengan beberapa kegiatan, yang membuatnya sering meninggalkan
kuliah. Meski demikian, hal itu tak membuatnya menyesal, karena nilai yang kurang bisa
diperbaiki. Adit menanggapi kritik terhadap SP sebagai sesuatu yang wajar.

''Ya, wajar saja kalau nilai yang didapat saat SP jadi lebih bagus atau mudah. Sebab kita
memang sudah pernah mempelajarinya. Lagi pula, saat SP kita menjadi lebih konsentrasi
karena mata kuliah yang diberikan lebih padat dalam waktu singkat,'' katanya.

Tentang besarnya biaya yang dinilai sebagian mahasiswa mahal, sehingga harus mengeluarkan
biaya cukup besar, Adit menganggap sudah menjadi risiko. "Kalau mahasiswa tidak mau
mengeluarkan uang, ya tidak usah mengikuti SP. Saya kira masih wajar kalau biaya SP 40 ribu /
SKS. Sebab keuntungan yang diterima mahasiswa pun setimpal dengan waktu dan biaya yang
telah dikeluarkan,'' ungkapnya.

Dia juga menginginkan agar kualitas SP seharusnya sama dengan semester reguler, baik materi,
tugas, dan nilai. SP harusnya tak jadi lebih mudah dibandingkan reguler. Standarnya harus
sama, karena semester reguler adalah bentuk kegiatan perkuliahan yang ideal. Sehingga
komentar-komentar miring dari mahasiswa yang menganggap nilai SP sekadar bantuan para
dosen akan hilang.

Ya, cukup banyak pekerjaan rumah dan tantangan bagi setiap kampus dalam
menyelenggarakan SP. Selain berharap kepada pihak kampus untuk meracik formula yang
tepat, mahasiswa juga harus lebih dewasa dalam menimba ilmu. Ambil contoh, jika dosen tidak
hadir mengajar, baik saat SP maupun reguler, mahasiswa berhak menuntut haknya untuk
mendapat pengajaran.

Selanjutnya, kalau mekanismenya baik, SP memang memiliki manfaat yang tidak sedikit bagi
mahasiswa. ( sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/12/opi05.htm )

Вам также может понравиться