Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
2016
Salam sejawat,
Salam sejawat,
Angka kematian neonatus di Indonesia menetap dalam beberapa
tahun terakhir. Asfiksia merupakan penyebab kematian kedua setelah
komplikasi prematuritas, dimana kontribusinya adalah sebesar 21%. Hasil
audit kematian neonatus menunjukkan bahwa sebagian besar kematian
karena asfiksia dapat dicegah/dihindari. Persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan mencapai 80% (Data Riskesdas, 2010) namun kejadian
asfiksia masih banyak. Sampai sekarang tidak diketahui pasti kejadian
asfiksia di Indonesia. Upaya perbaikan pelayanan persalinan dan neonatus
oleh tenaga kesehatan yang terampil, sistem rujukan neonatus diharapkan
dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas asfiksia.
Dokter spesialis anak (DSA) berperan penting dalam pelayanan
neonatus, utamanya dalam penanganan neonatus dengan asfiksia.
Intervensi berupa tindakan resusitasi, stabilisasi, manajemen pasca
resusitasi dan komplikasi asfiksia lainnya akan memperbaiki luaran
neonatus dengan asfiksia dan mencegah kematian. Pemantauan tumbuh
kembang dan intervensi perkembangan memperbaiki luaran jangka
panjang neonatus dengan asfiksia. Untuk itu perlu peningkatan
pengetahuan dan keterampilan DSA agar kematian dan kecacatan karena
asfiksia dapat diturunkan, sehingga tumbuh menjadi generasi yang
berkualitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka merupakan suatu
kehormatan bagi kami untuk dapat mengundang teman sejawat pada acara
2nd ANNUAL NEONATOLOGY UPDATE dengan tema“Update on
Managementof Neonatal Asphyxia” yang Insha Allah akan
diselenggarakan oleh UKK Neonatologi IDAI dan IDAI Cabang Jawa
Timur, acara ini terdiri dari pelatihan/workshop dan symposium pada
tanggal 30 November - 4 Desember 2016 di The Singhasari Hotel &
Convention Batu-Malang.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Salam sejawat,
Wassalamualaikum. Wr. Wb
Pelindung:
Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ketua UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Penasehat:
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Ketua IDAI Cabang Jawa Timur
Kepala Lab. IKA RSSA/FKUB
Ketua IDAI Komisariat V Cabang Jawa Timur
Ketua UK Neonatologi IDAI Cabang Jawa Timur
Panitia Pelaksana:
Ketua: Eko Sulistijono, dr., SpA(K)
Wakil Ketua: Satrio Wibowo, dr., SpA(K),MSi.Med
Sekretaris: Brigitta Ida RVC, dr., SpA,M.Kes
Mahendra, dr., SpA
Sekretaris Perinatologi
Bendahara: Ray. Lintang Kawuryan, dr., SpA(K)
Setya Mithra H., dr., SpA,MSi.Med
Seksi-seksi
Sie Dana:
dr. Agus Harianto, Sp.A (K)
Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A (K)
dr. Setya Wandita, Sp.A (K), M.Kes
Dr. dr. Risa Etika, Sp.A (K)
dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A (K)
dr. RAy. Lintang Kawuryan, Sp.A(K)
dr. Nur Ramadhan, Sp.A
dr. RM. Efendi Rekso, Sp.A
dr. Tunjung Wibowo, M.Kes, MPH, Sp.A(K)
Prof. Dr. dr. HMS. Chandra Kusuma, SpA (K)
dr. Masdar Muid, SpA (K)
dr. Harjoedi Adji Tjahjono, SpA (K)
Dr. dr. Krisni Subandiyah, SpA (K)
dr. Anik Puryatni, SpA (K)
dr. Renny Suwarniaty, SpA (K)
Sie Naskah Ilmiah, Penerbitan Buku & Seminar Kit:
dr. Setya Wandita, Sp.A (K), M.Kes
dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A (K)
Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A (K)
Dr. dr. Risa Etika, Sp.A (K)
Dr. dr. Toto Wisnu Hendrarto, Sp.A (K)
Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA (K)
dr. RAy. Siti Lintang Kawuryan, Sp.A (K)
dr. Eko Sulistijono, Sp.A (K)
dr. Tunjung Wibowo, M.Kes, MPH, Sp.A(K)
dr. Saptadi Yuliarto, SpA (K), Mkes
dr. Prasetyo Ismail, SpA, Mkes
dr. M. Fahrul Udin SpA, MKes
dr. Agung Prasetyo Wibowo, Sp.A, Mbiomed
dr. Desy Wulandari, SpA, MBiomed
Sie Ilmiah:
dr. Saptadi Yuliarto, SpA (K)
dr. Kartika Darma Handayani, Sp.A
dr. Nur Ramadhan, Sp.A
Sie Acara:
dr. Dyahris Koentartiwi, SpA (K)
dr. Astrid Kristina Kardani, SpA, MBiomed
dr. Ni Luh, SpA, MBiomed
Sie Pendaftaran:
dr. Setya Mithra H, Sp.A, MSi.Med
dr. Melany Farahdilla, Sp.A, M.Kes
dr. Hapsari Kusumawardani, Sp.A
dr. Dina Angelica, Sp.A
dr. Dewi Nurindah, Sp.A, MBiomed
dr. Sinta Restu, SpA, MBiomed
Tim Prodia Lab.
Sie Perlengkapan & Pameran
dr. Satrio Wibowo, SpA (K), MSi.Med
dr. Nugroho Danu Tri Subroto, SpA
dr. Zaiduddin H., Sp.A
Sie Konsumsi:
dr. Savitri Laksmi Winaputri,
dr. Ditya Arisanti, SpA, MBiomed
Dr. dr. Dina Djojohusodo, Sp.A (K)
dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K)
dr. Husnul Asariati, Sp.A, MBiomed
dr. Laurentia Ima Monica, Sp.A, MBiomed
Daftar Penulis
Kata Sambutan ii
Susunan panitia iv
Daftar penulis vi
Setya Wandita
Divisi Neonatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Abstract
Neonatal asphyxia (NA) is still one of the main problems of the newborn
health Indonesia. It is the second leading cause of death after
complications of prematurity. The mortality of NA may directly after birth
or indirectly by its complications. Severe complication which often occurs
is hypoxic ischemic encephalopathy. Other complications may occur in all
organs of the human body. NA and the complications may cause growth
and development disorder, disability, and as risk factor of a non-
communicable diseases. Newborns who suffered NA require longer
duration of hospitalization. To date, there is no NA data incidence on a
national scale in Indonesia and it is likewise the impact of NA on the
length of treatment, hospital costs, growth and development, disability,
and economic.
PENDAHULUAN
PENUTUP
11. Oza S, Lawn JE, Hogan DR, Mathers C, Cousens SN. Neonatal cause-
of-death estimates for the early and late neonatal periods for 194
countries: 2000–2013. Bull World Health Organ. 2015 Jan
1;93(1):19–28.
12. Wang H, Liddell CA, Coates MM, Mooney MD, Levitz CE,
Schumacher AE, et al. Global, regional, and national levels of
neonatal, infant, and under-5 mortality during 1990–2013: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013.
Lancet. 2014 Sep 13;384(9947):957–79.
26. Clark SM, Basraon SK, Hankins GD. Intrapartum Asphyxia, Neonatal
Encephalopathy, Cerebral Palsy, and Obstetric Interventions in the
Term and Near-Term Infant. NeoReviews. 2013;14(1):e13–e21.
27. Gunarwati S, Patria SY, Julia M. Risk factors of cerebral palsy in the
perinatal period. Paediatr Indones. 2016 Sep 26;48(3):175–9.
29. Carlo WA, Goudar SS, Pasha O, Chomba E, Wallander JL, Biasini FJ,
et al. Randomized Trial of Early Developmental Intervention on
Outcomes in Children after Birth Asphyxia in Developing Countries.
J Pediatr. 2013 Apr 1;162(4):705–712.e3.
Bambang Rahardjo
Abstrak
Istilah asfiksia berasal dari Yunani yang berarti “stopping of the
pulse”. Asfiksia perinatal merupakan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan gas pernafasan (O2 dan CO2) yang menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnea sehingga terjadi metabolik asidosis. Angka kejadian asfiksia
sekitar 1-6 per 1000 kelahiran hidup. Asfiksia menempati urutan ketiga
penyebab kematian neonatal (23%) setelah kelahiran preterm (28%) dan
infeksi (26%).
Asfiksia intrapartum didefinisikan sebagai metabolik asidosis yang
diukur pada saat kelahiran dengan pH kurang dari 7,00 dan defisit basa
lebih atau sama dengan 12 mmol/L. Ada beberapa konsensus dalam dalam
menentukan kriteria asfiksia intra partum diantaranya yang dikeluarkan
oleh American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) tahun 2002,
dimana ada 4 kriteria utama dan 5 kriteria tambahan. Kriteria tersebut
adalah Asidosis metabolik (PH < 7,0 dan defisit basa > 12 mmol/L) pada
sampel darah umbilikus, encephalopathy sedang atau berat, cerebral palsy
tipe spastic quadriplegia atau dyskinetic, disingkirkan penyebab lain;
kriteria tambahan meliputi kejadian sentinel, perubahan denyut janin yang
mencolok, Apgar skor < 3 lebih dari 5 menit, kegagalan sistem multi organ
pada 72 jam pertama kehidupan, dan adanya temuan pada pencitraan
awal.
Asfiksia intra partum dapat berkembang dari kondisi kehamilan
dengan faktor resiko tambahan seperti gangguan trombosis, diabetel
mellitus, preeklampsia, IUGR dll. Demikian pula asfiksia intra partum
dapat diakibatkan oleh kejadian-kejadian yang dapat terjadi selama
persalinan berlangsung, antara lain solusio plasenta, ruptura uteri, prolaps
tali pusat, partus lama, partus dengan tindakan maupun chorioamnionitis.
Pencegahan terjadinya asfiksia intra uterin sangat penting untuk
menghasilkan bayi yang berkualitas. Hal ini dikarenakan asfiksia intra
uterin dapat menyebabkan kematian janin dan bayi, tetap dilain pihak jika
dapat menyebabkan efek jangka panjang berupa Hypoxic Ischemia
Encephalopathy (HIE), gangguan multi sistem organ , hipertensi pulmonal
maupun Necrotizing Entero Colitis (NEC). Oleh karena itu diperlukan
strategi pengelolaan kehamilan resiko tinggi mulai dari pelayanan
kesehatan primer sampai tingkat rujukan. Penggunaan metode intermiten
auscultation dan pemantauan persalinan dengan menggunakan Partograf
terbukti dapat menurunkan kejadian keterlambatan rujukan dan angka
asfiksia intra uterin. Pada tingkat rujukan penggunaan metode electronic
fetal monitoring maupun penilaian kesejahteraan janin dengan
menggunakan Biophysical Profile sangat bermanfaat dalam deteksi dini
terjadinya asifiksia intra uterin maupun intra partum. Hal ini tentunya
harus didukung juga oleh tim PONEK yang diantara beranggotan dokter
spesialis kebidanan, anastesi dan perinatologi/neonataologi.
Penapisan dan pengelolaan kehamilan resiko tinggi, deteksi dini
asfiksia intra uteri dan pengambilan keputusan yang tepat serta didukung
oleh tim PONEK yang solid menjadi kunci strategi dalam pencegahan dan
penanggulangan asfiksia intra uterin. Hal ini akan sangat bermakna dalam
ikut membantu menurunkan angka kematian bayi serta membantu
menghasilkan generasi unggul dimasa yang akan datang.
Kata kunci: asfiksia intra partum, kehamilan resiko tinggi, fetal monitoring
DIAGNOSIS ASFIKSIA NEONATORUM
Tunjung Wibowo
Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Dr. Sardjito
/ Fakultas Kedokteran UGM/ KSM Kesehatan Anak
Yogyakarta
Abstrak
Asfiksia masih merupakan penyebab utama kematian neonatus dini.
Menurut WHO asfiksia menyumbangkan 23% penyebab kematian
neonatus di seluruh dunia . Salah satu masalah dalam penanganan asfiksia
adalah kesepakatan dalam diagnosis. Task Force yang dibentuk oleh World
Federation of Neurology Group for the prevention of cerebral palsy and related
neurologic mendifinisikan asfiksia sebagai suatu kondisi gangguan
pertukaran udara yang kalau berlanjut akan menyebabkan hipoksemia
yang progresif dan hiperkapnea dengan asidosis metabolik yang signifikan.
American College of Obstetricians and Gynecologists’ Task Force on Neonatal
Encephalopathy mengajukan syarat diagnosis asfiksia adalah 1) Skor apgar <
5 pada menit ke-5 dan 10; 2) acidemia patologis dengan pH arteri
umbilikus <7,0 dan/atau Base deficit ≥ 12 mmol/L; 3) Bukti dari
neuroimaging terdapat Acute Brain Injury pada Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau Magnetic Resonance Spectroscopy yang sesuai dengan gambaran
Hypoxia–Ischemia; 4) Terdapat kegagalan sistem multiorgan yang sesuai
dengan kondisi Hypoxic–Ischemic Encephalopathy. WHO mengklasifikasikan
asfiksia menjadi asfiksia ringan, sedang, dan asfiksia berat sesuai dengan
ICD-10 versi 2016. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa
pemeriksaan laktat dari arteri umbilikus > 8 mmol/L bisa menjadi
indikator adanya asfiksia pada saat lahir.
Pendahuluan
Diagnosis asfiksia
Daftar Pustaka
Ahmad Suryawan
Abstract
Perinatal asphyxia can cause a severe lack of oxygen to the infant’s brain,
which can injure brain cells and cause hypoxic ischemic encephalopathy
(HIE). Evidence shows adverse sequelae do not follow perinatal
asphyxia unless encephalopathy is part of the neonatal clinical
presentation. Not all infants with HIE end upwith permanent brain
damage. Some infants will not experience any long-term effects of birth
asphyxia or any latent problems from HIE. Infants who have brain damage
caused by birth asphyxia or HIE may develop several problems of growth
and development. The majority survivors of perinatal asphyxia infants
recover quickly and have no signs of encephalopathy, and in general do
not have adverse sequelae and may develop in line with their peers.
Nevertheless, several large population basedstudies now suggest that
outcome in children with perinatal asphyxia without clinical
encephalopathy is not completely normal and demonstrated an increased
risk of low intelligence quotient. For this reason, at present, longitudinal
monitoring of growth and development is required for all children with a
history of perinatal asphyxia. Long-term monitoring of growth and
development of infants with perinatal asphyxia has been recommended.
Recommendations include the optimal ages of assessment of specific
functions such as general cognitive and adaptive behavioral functioning at
preschool age, and, in some cases, school achievement tests screening at
school age.
ABSTRAK
Asfiksia perinatal dapat menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke
otak, sehingga menimbulkan kerusakan sel otak, dan memicu terjadinya
kondisi hypoxic ischemic encephalopathy (HIE). Berbagai bukti menunjukkan
bahwa asfiksia perinatal tidak akan menimbulkan gejala sisa atau sequelae
kecuali disertai ensefalopati. Tidak semua bayi dengan HIE akan berakhir
dengan kerusakan otak yang permanen. Beberapa bayi pasca asfiksia
perinatal tidak mengalami dampak negatif jangka panjang atau berbagai
masalah laten akibat dari HIE. Bayi asfiksia yang mengalami kerusakan
otak atau HIE dapat mengalami berbagai permasalahan tumbuh kembang
jangka panjang. Sebagian besar bayi pasca asfiksia perinatal yang mampu
bertahan hidup memang dapat segera membaik dan tidak menunjukkan
gejala klinis adanya HIE, dan secara umum tidak menunjukkan adanya
gejala sisa. Namun demikian, beberapa studi dengan populasi yang cukup
besar menunjukkan bahwa anak pasca asfiksia perinatal tanpa gejala klinis
HIE ternyata mempunyai perkembangan yang tidak sepenuhnya normal
dan menunjukkan adanya peningkatan risiko akan mempunyai level
intelegensia rendah. Atas dasar beberapa bukti tersebut, maka saat ini
dianjurkan untuk melakukan kegiatan pemantauan tumbuh kembang
secara longitudinal untuk semua bayi dengan riwayat asfiksia perinatal.
Para ahli memberikan rekomendasi untuk melakukan monitoring tumbuh
kembang jangka panjang untuk semua bayi pasca asfiksia perinatal.
Rekomendasi tersebut meliputi usia optimal dilakukan monitoring,
instrumen dan penilaian berbagai kemampuan spesifik seperti kecerdasan
dan perilaku adaptif di usia pra-sekolah, dan pada beberapa kasus juga
diperlukan penilaian uji prestasi pada saat anak mencapai usia sekolah.
PENDAHULUAN
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Cipto Mangunkusumo/ FK Universitas Indonesia
Jakarta
Abstrak
Tidak semua bayi baru lahir dapat melewati fase transisi pulmonal dan
sirkulasi dengan baik. Ada sekitar 10% bayi baru lahir membutuhkan
resusitasi untuk memulai pernapasan dan bayi yang memerlukan resusitasi
lebih lanjut sebanyak 1%. Semua tenaga kesehatan yang membantu proses
kelahiran harus memiliki kompetensi melakukan resusitasi neonatus.
Keberhasilan resusitasi sangat ditentukan oleh ketersediaan alat kesehatan
yang memadai dan kerjasama tim yang kompak dan tangguh. Kesiapan
melakukan resusitasi neonatus perlu diikuti dengan kemampuan
melakukan stabilisasi dan kemampuan transpor bayi baru lahir. Indonesia
adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang
banyak, persebaran penduduk tidak merata, dan tingkat ketersediaan
maupun kelengkapan fasilitasnya sangat beragam. Perlu dipikirkan
kelengkapan alat resusitasi yang tepat untuk masing-masing tempat
pelayanan agar memberi manfaat secara optimal.
Pendahuluan
Resusitasi neonatus merupakan sebuah kompetensi yang perlu
dimiliki oleh semua tenaga kesehatan yang membantu proses persalinan.
Detik-detik pertama setiap kelahiran adalah saat paling kritis bagi
kehidupan bayi. Pada saat itu terjadi perpindahan kehidupan dari
intrauterin ke ekstrauterin yang memerlukan adaptasi neonatal terutama
pada fungsi respirasi dan sirkulasi. Ancaman kegagalan beradaptasi
semakin tinggi apabila bayi yang dilahirkan adalah bayi risiko tinggi,
misalnya prematuritas, bayi dengan birth defect, dan bayi dari ibu risiko
tinggi.
Luaran bayi baru lahir sangat ditentukan oleh “the golden minute”
yaitu menit-menit pertama saat kelahiran. Kegagalan penanganan bayi di
menit awal kehidupan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak di kemudian hari.
Resusitasi bayi baru lahir tidak akan berhasil dengan baik apabila
dikerjakan seorang diri. Dengan demikian, kerja sama tim dan dukungan
peralatan yang memadai sangat diperlukan.
Transisi Kehidupan
Serangkaian perubahan fisiologis terjadi setelah lahir yang
berujung pada keberhasilan transisi dari sirkulasi janin ke bayi baru lahir.
Bayi baru lahir mulai menggunakan paru untuk pertukaran udara pada
saat bayi bernapas dan tali pusat dijepit. Cairan di dalam paru akan diserap
dengan cepat dan digantikan dengan udara. Pengosongan cairan paru
dimulai pada awal persalinan kala I. Pada periode ini, sekresi cairan paru
berhenti akibat stimulasi katekolamin di dalam sirkulasi darah janin.
Selain itu, peningkatan tekanan rongga dada janin yang disebabkan oleh
kontraksi uterus mengakibatkan cairan paru terdorong keluar. Sebagian
besar cairan paru telah diabsorpsi sebelum memasuki fase persalinan kala
II.1,2
Gambar 1. Transisi pengisian alveolus dengan udara pada bayi baru lahir1
Tangisan dan pernapasan pertama pada bayi baru lahir membantu
pembersihan cairan dari jalan napas. Stimulus yang merangsang tarikan
napas pertama pada bayi baru lahir adalah suara, perubahan suhu, dan
sentuhan selama proses persalinan. Penurunan pO2 dan peningkatan
pCO2 karena pemutusan sirkulasi umbilikal juga menstimulasi
kemoreseptor sentral yang selanjutnya meningkatkan dorongan
pernapasan. Ketika bayi melakukan tarikan napas pertama, tekanan negatif
inspiratorik terbentuk hingga mencapai 70-100 cmH2O untuk
memfasilitasi pengembangan alveolus. Pengembangan alveolus
menyebabkan peningkatan diameter alveolar dan penurunan tegangan
dinding alveolus. Pada saat paru mengembang dan kadar oksigen alveolus
meningkat, arteri pulmonalis mengalami dilatasi yang menyebabkan
tahanan pembuluh darah paru menurun sehingga sirkulasi pulmonal
meningkat. Peristiwa ini juga diikuti dengan penyerapan cairan paru ke
dalam sirkulasi.1,2,4,5
Alur Resusitasi
Data menunjukkan bayi baru lahir yang memerlukan bantuan
untuk memulai pernapasan adalah 10% dan bayi yang memerlukan
resusitasi lebih lanjut sebanyak 1%.2 American Academy of Pediatric (AAP)
telah membuat diagram alur neonatal resuscitation program (NRP) yang
kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Alur resusitasi ini
menjelaskan langkah evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir. Langkah ini
dibagi dalam lima blok yang dimulai dengan penilaian kelahiran dari awal.
Tenaga kesehatan yang melakukan resusitasi perlu memastikan bahwa
setiap blok telah dilakukan dengan adekuat sebelum berpindah ke blok
selanjutnya. Kelima blok tersebut terdiri atas1:
1. Penilaian awal (initial assessment):
Memastikan bayi baru lahir dapat tetap bersama ibunya atau perlu
dipindahkan untuk evaluasi lebih lanjut ke radiant warmer/meja
resusitasi. Ada beberapa hal perlu dilakukan pada langkah awal
yang dikenal dengan akronim JAIKA yaitu jaga kehangatan, atur
posisi, isap lendir kalau perlu, keringkan atau pakaikan plastik
untuk bayi dengan berat lahir <1500 gram, dan atur posisi lagi.
2. Airway (A)
Melakukan upaya untuk membuka jalan napas dan mendukung
respirasi spontan.
3. Breathing (B)
Diagram 1 menunjukkan alur resusitasi bayi baru lahir versi Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013 yang dimodifikasi dari diagram alur
NRP rekomendasi AAP. Ada beberapa perubahan yang dilakukan sesuai
dengan temuan dari NRP terbaru tahun 2016. Perubahan yang dianjurkan
yaitu1,2:
1. konseling antenatal, pengarahan tim, dan pemeriksaan alat
sebelum kelahiran bayi
Perencanaan tim perlu dipersiapkan dengan matang sebelum
memulai resusitasi bayi baru lahir. Perencanaan tersebut meliputi
pemilihan ketua, orang yang bertanggung jawab untuk
mendokumentasikan setiap kejadian, dan pendelegasian tugas
sehingga setiap anggota tim mengetahui peran dan tugasnya
masing-masing. Pengarahan tim yang dilakukan setiap sebelum
melakukan resusitasi bayi baru lahir juga membahas tentang
situasi klinis dan rencana tindakan resusitasi berdasarkan
penilaian faktor risiko perinatal yang berasal dari ibu, janin, dan
intrapartum. Selain itu perlu dipersiapkan peralatan yang
dibutuhkan dan cara memanggil bantuan tambahan apabila
dibutuhkan. Keseluruhan tindakan ini diperlukan untuk
membentuk tim yang baik.
Persiapan alat untuk melakukan resusitasi lengkap perlu tersedia
pada saat menolong persalinan. Seluruh perlengkapan secara rutin
perlu dicatat, diperiksa, dan dipastikan siap ketika dibutuhkan
terutama pada saat menolong bayi dengan risiko tinggi. Tabel 1
memperlihatkan checklist kelengkapan tim dan peralatan yang
perlu dipersiapkan.
2. Alokasi waktu mulai dari langkah awal sampai dengan pemberian
bantuan napas
Pengerjaan langkah awal tidak harus selalu dalam waktu 30 detik.
Pada kasus bayi tidak bugar, pemberian bantuan napas melalui
ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan secepatnya setelah
langkah awal dikerjakan. Alokasi waktu mulai dari penilaian bayi
baru lahir sampai dengan pemberian VTP secara keseluruhan
adalah 60 detik.
3. pertimbangan penggunaan EKG selain pemantauan SpO2 pada
saat pemberian VTP, CPAP, atau suplementasi oksigen
4. posisi penolong yang melakukan kompresi dada
Apabila diperlukan kompresi dada, ketua tim harus melakukan
intubasi terlebih dahulu. Setelah itu, posisi penolong yang
melakukan kompresi dada dapat berpindah tempat dengan ketua
tim. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemasangan kateter
umbilikal emergensi (apabila diperlukan).
Premedikasi:
Midazolam yang sudah dimasukkan dalam spuit
Morphin yang sudah dimasukkan dalam spuit
Sulfas atropin sudah dimasukan dalam spuit
Kondisi Indonesia
Tindakan resusitasi bayi baru lahir memerlukan pemahaman
terhadap serangkaian perubahan fisiologis selama periode transisi dan
berbagai hambatannya. Resusitasi yang optimal diharapkan mampu
membantu bayi baru lahir dengan segala kondisi agar dapat melewati
periode transisi secara sempurna sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian.1 Di Indonesia, angka kematian bayi baru lahir
masih tinggi yaitu 14 per 1000 kelahiran hidup.7 Salah satu penyebab
tersering kematian ini adalah asfiksia dan komplikasi intrapartum (10,5%)
yang sebenarnya dapat ditolong melalui tindakan resusitasi tetapi seringkali
terhambat oleh ketersediaan alat yang belum memadai.8,9
Keberagamanan kondisi geografi, kepadatan penduduk,
kesejahteraan individu, dan ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di
Indonesia juga seringkali menyebabkan persebaran sumber daya dan
fasilitas kesehatan antardaerah belum merata. Di beberapa daerah yang
masih memiliki keterbatasan diperlukan peralatan resusitasi sesuai dengan
standar pelayanan minimal dengan memanfaatkan peralatan yang tersedia
sebagai alternatif (Tabel 2).2
Pembiayaan kesehatan masih menjadi isu penyediaan layanan yang
optimal. Total pengeluaran kesehatan di Indonesia masih lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur dan Tenggara.
Besaran pengeluaran tersebut hanya 3% dari gross domestic product (GDP) di
bidang kesehatan pada tahun 2010. Kementerian Kesehatan RI pada
tahun yang sama menganggarkan biaya pelayanan pasien sebesar 71% dari
Rp 23,8 triliun dana yang tersedia. Anggaran ini dialokasikan untuk
asuransi kesehatan sosial (30,4%), layanan medis (29,4%), layanan
kesehatan masyarakat (6,7%), dan penyediaan farmasi dan medis (4,4%).
Alokasi dana ini juga mencakup pembiayaan kesehatan maternal dan
neonatal baik secara langsung maupun tidak langsung.10 Namun, pada
kenyatannya resusitasi bayi baru lahir membutuhkan biaya yang cukup
besar terutama dalam hal penyediaan alat karena umumnya peralatan ini
mahal dan bersifat sekali pakai. Fasilitas kesehatan pun memanfaatkan alat
dengan harga yang lebih terjangkau dan dapat dipakai ulang (reusable).
Selain itu digunakan metode sterilisasi untuk beberapa alat seperti balon
resusitasi, sungkup, sirkuit alat bantu napas, dan daun laringoskop dengan
memperhatikan keamanan dan kebersihannya.2
Peralatan resusitasi pada umumnya membutuhkan sumber daya
listrik yang kontinyu. Pembangkit listrik di Indonesia masih belum cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemadaman listrik masih rutin
dilakukan selama 4 jam. Rasio elektrifikasi pada tahun 2014 mencapai
84,35% yang berarti belum mencukupi kebutuhan listrik seluruh
penduduk.11,12
Tabel 2. Perlengkapan resusitasi yang dapat digunakan di fasilitas terbatas2
Komponen
Fasilitas Lengkap Fasilitas Terbatas
Resusitasi
Tabung oksigen/oksigen
konsentrator + mini
compressor
Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta
Abstract
Birth asphyxia accounts for about 23% of the approximately 4
million neonatal deaths each year worldwide. The majority of newborn
infants require little assistance to undergo physiologictransition at birth
and adapt to extrauterine life. Approximately 10% of infants require some
assistance to establish regular respirations at birth. Less than 1% need
extensive resuscitative measures such as chest compressions and
approximately 0.06% require epinephrine.
The key elements to a successful neonatal resuscitation include
ventilation of the lungs while minimizing injury, the judicious use of
oxygen to improve pulmonary blood flow, circulatory support with chest
compressions, and vasopressors and volume that would hasten return of
spontaneous circulation. Several exciting new avenues in neonatal
resuscitation such as delayed cord clamping, sustained inflation breaths,
and alternate vasopressor agents arebriefly discussed.
Revised resuscitation guidelines base on medical evidence are
conducted every five years, but implementation is still obtained
complications that affect the successful of neonatal resuscitation. The
difficulties of neonatal resuscitation practice are different in each country,
especially in countries with limited facilities. In this paper the neonatal
resuscitation difficulties are mainly found on the weakness of the data,
especially related to the medical records of pregnant women. An others are
implementing the neonatal resuscitation system that is related with health
facilities owned. The complications in every step of resuscitation are also
an obstacle to success in neonatal resuscitation.
Pendahuluan
Asfiksi neonatorum masih menjadi masalah di Negara dengan penghasilan
menengah-bawah baik di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika, Angka
kejadiannya sekitar 21-31 juta bayi dalam dua dekade terakhir,1 dimana
seperempatnya disebabkan oleh asfiksi neonatorum.2,3 Artinya terdapat
720.000-920.000 kematian neonatus per tahun yang disebabkan oleh
asfiksi neonatorum.4 Menurut WHO, asfiksi pada bayi baru lahir termasuk
dalam lima besar dan menjadi 23% dari empat juta kematian neonatus
setiap tahun secara global.5-7
Definisi asfiksi adalah kejadian yang menunjukkan adanya
kegagalan pertukaran gas secara progresif berdasarkan lama waktu
terjadinya sehingga menimbulkan keadaan hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis. Akibat kegagalan bernapas pada menit pertama pasca lahir
berisiko terjadinya kematian dan gejala sisa neurologis seumur hidup
(ensefalopati hipoksik-iskemik, EHI).8 Kriteria asfiksi menurut the American
Congress of Obstetricians and Gynecologists Task Force on Neonatal
Encephalopathy and Cerebral Palsy adalah: (1) Asidosis metabolik pada
sediaan darah arteri tali pusat saat lahir (pH < 7.00 dan deficit basa ≥ 12
mmol/L, (2) ensefalopati neonatus sedang-berat awitan dini pada neonatus
lahir pada usia kehamilan ≥ 34 minggu, (3) palsi serebral tipe spastik,
quadriplegi, dan diskinetik, (4) tidak didapatkannya sebab lain seperti
trauma, gangguan koagulasi, infeksi dan kelainan genetik.9 Klasifikasi
asfiksi menurut WHO dalam ICD-10 adalah asfiksi berat apabila nilai
APGAR pada menit pertama 0-3, sedang dan ringan apabila nilainya 4-7.10
Implikasi istilah resusitasi terkait dengan asfiksi neonatus adalah
suatu prosedur tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi kegagalan
nafas pada saat bayi baru lahir.11 Sebagian besar bayi akan melahirkan
secara normal dan tidak memerlukan resusitasi. Diperkirakan sekitar 10%
bayi baru lahir membutuhkan bantuan napas ringan, hanya sekitar 1%
yang membutuhkan resusitasi secara ekstensif dengan melakukan kompresi
dada dan 0,06% membutuhkan epinephrine dalam melakukan resusitasi.12
Resusitasi pada neonatus dibentuk pertama kali pada tahun 1985 atas
konsensus bersama antara American Academy of Pediatrics (AAP) dan
American Heart Association (AHA). Edisi pertama buku tentang resusitasi
neonatus dipublikasikan pada tahun 1987. Selanjutnya pengembangan
dan publikasi tentang resusitasi dilakukan setiap lima tahun oleh
International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR).13
Pada mulanya langkah-langkah resusitasi pada neonatus hanya
suatu rekomendasi yang didasari oleh pendapat ahli. Peningkatan
rekomendasi berbasis bukti terjadi dalam dua dekade terakhir, karena
panduan resusitasi neonatus saat ini dihasilkan dari penelitian, kajian
kepustakaan dan observasi klinis secara sistematik.14,15 Namun demikian,
implementasi panduan resusitasi pada neonatus belum sepenuhnya
berbasis bukti, kontroversi belum sepenuhnya terselesaikan karena
jarangnya tindakan resusitasi pada tahap lanjut sebagai dasar penelitian.
Kontroversi yang semakin dipahami adalah risiko hiperoksemia,
barotrauma terkait ventilasi tekanan positif, efek mekanis dari kompresi
dada dan obat-obatan resusitasi.16,17 Penyulit lain juga dialami di Negara
dengan fasilitas terbatas. Tidak sepenuhnya resusitasi dapat dilakukan
sesuai panduan yang telah ditetapkan.18,19 Makalah ini ditujukan untuk
mendapatkan penyelesaian masalah penyulit resusitasi pada neonatus
terutama dalam praktek sehari-hari.
Gatot Irawan S
Abstrak
Sindroma klinis akibat terhirupnya atau aspirasi mekonium ke dalam
saluran pernafasan bayi baru lahir disebut sebagai Sindrom aspirasi
mekoneum (SAM) ditandai dengan kumpulan gejala klinis dan radiologis.
Gambaran klinis dapat terjadi berupa takipnea, sianosis, merintih
(grunting), napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis, peningkatan
diameter anteroposterior dada (barrel chest) akibat adanya air trapping,
kadang disertai ronki basah dan kasar serta warna kekuningan pada kuku
jari, tali pusat. Pengeluaran mekonium bercampur ke dalam air ketuban
biasanya akibat hipoksia intrauteri dan atau gawat janin, kejadian aspirasi
dapat sebelum, selama, setelah proses persalinan atau kelahiran.
Kelainan ini masih merupakan masalah mortalitas dan morbiditas pada
bayi baru lahir terutama ditempat pelayanan perinatologi dengan fasilitas
yang terbatas. Angka kematian sekitar 1,2% Di Amerika Serikat,
sedangkan Di Pakistan 27,3% dari persalinan dengan riwayat air ketuban
bercampur mekoneum. Kejadian air ketuban keruh sekitar 12% dari
kelahiran hidup (Amerika Serikat) 35% diantaranya akan berkembang
menjadi SAM. Komplikasi yang sering terjadi berupa hypoxic ischemic
encephalopathy (HIE) (46%), hypotensive shock (22%), pneumothorax (11.4%),
myocardial dysfunction (22%) dan pulmonar hypertension (PHN) (17%). Sekitar
66% kasus hipertensi pulmonal persisten berkaitan dengan SAM.
Walaupun sebagian kasus SAM dapat mengalami pemulihan fungsi paru,
sekitar 50% memiliki risiko terkena penyakit saluran napas reaktif dalam 6
bulan pertama kehidupan. Kelainan jangka panjang yang dapat terjadi
berupa defisit neurologis termasuk kerusakan SSP, kejang, keterbelakangan
mental, dan Palsi serebral
Tatalaksana komprehensip SAM meliputi upaya pencegahan antepartum,
intrapartum ,dan postpartum, tunjangan respirasi yang optimal serta
tatalaksana komplikasi dan pemantauan tumbuh kembang jangka panjang.
PRESENTASI KASUS ASFIKSIA oleh SpA (RS Tipe B)
Retno Nurhayati
Aris Primadi
Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Padjajaran / RS Hasan Sadikin - Bandung
TERAPI HIPOTERMI
Lily Rundjan
Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Cipto Mangunkusumo / FK Universitas Indonesia
Jakarta
Abstrak
Asfiksia perinatal adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada neonatus. Kejadian hipoksik-iskemik pada asfiksia dapat
memulai kaskade neurotoksik dan menimbulkan cedera neuron otak yang
dikenal sebagai hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). Walaupun pendekatan
terhadap bayi asfiksia sudah terus berkembang, HIE masih merupakan
penyebab mortalitas utama dan morbiditas jangka panjang pada bayi
dengan asfiksia. Risiko morbiditas jangka panjang antara lain palsi
serebral, retardasi mental, epilepsi, dan neurodevelopmental delay. Terapi
hipotermi merupakan bentuk intervensi yang terbukti bermanfaat untuk
bayi dengan HIE derajat sedang dan berat. Penerapan whole body cooling
(WBC) atau selective head cooling (SHC) segera setelah cedera hipoksik-
iskemik menunjukan prognosis yang lebih baik. Namun penerapan terapi
hipotermi dilakukan hanya untuk bayi yang memenuhi kriteria dan
memerlukan pengawasan berkesinambungan oleh tenaga kesehatan.
Dengan demikian pemahaman mengenai patofisiologi HIE dan peran
terapi hipotermi dibutuhkan agar dapat mencapai manfaat optimal
A. Latar Belakang
Ensefalopati hipoksik-iskemik (hypoxic-ischemic encephalopathy /
HIE) merupakan bentuk cedera organ yang paling sering ditemukan pada
asfiksia perinatal. Asfiksia perinatal merupakan salah satu dari tiga
penyebab mortalitas tertinggi dan memengaruhi 1-6 per 1000 kelahiran
hidup.1 Sebesar 50-60% bayi dengan asfiksia perinatal memiliki risiko HIE.
Pada negara maju, HIE dengan derajat sedang-berat terjadi pada 0,5-1 per
1000 kelahiran hidup dan memiliki risiko mortalitas hingga 10-60%.
Sebesar 25% bayi yang bertahan hidup memiliki risiko sekuele
neurodevelopmental seperti retardasi mental, epilepsi, palsi serebral,
gangguan belajar dan kognitif.1,2 Negara berkembang memiliki angka yang
sangat bervariasi, namun insidens HIE diperkirakan mencapai hingga 10
kali lipat lebih tinggi dari negara maju.3
Penanganan HIE seringkali terbatas dengan terapi suportif di unit
intensif. Namun pada beberapa dekade terakhir, terapi hipotermia disebut
sebagai terapi menjanjikan dalam memperbaiki luaran bayi dengan HIE.4
Dengan demikian, perlu adanya pemahaman mengenai efek
neuroprotektif terapi hipotermia pada HIE sehingga penerapan terapi
hipotermia dapat dilaksanakan pada setiap bayi yang memenuhi indikasi
untuk memperbaiki luaran bayi dengan HIE.
B. Patofisiologi HIE
HIE adalah ensefalopati neonatorum yang disebabkan oleh cedera
hipoksik-iskemik pada saat masa intrapartum atau masa antepartum akhir.1
Proses cedera hipoksik-iskemik merupakan proses dinamik dan dibedakan
menjadi 2 fase, yaitu fase primer dan fase sekunder (Gambar 1)5.
Penurunan perfusi dan distribusi oksigen pada otak mengakibatkan
penurunan metabolisme yang menyebabkan penurunan energi,
peningkatan depolarisasi sel, edema sitotoksik, asidosis dan akumulasi
neurotransmiter eksitatorik.6 Fase primer diakhiri dengan apoptosis dan
nekrosis sel. Kerusakan dan kematian sel yang terjadi pada fase primer
akan diikuti dengan reperfusi serebral yang dinamakan fase laten. Fase ini
ditandai dengan perbaikan parsial dari edema, metabolisme dan pH sel.
Apabila cedera otak yang diakibatkan oleh fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali terjadi mengikuti fase laten. Fase ini
disebut fase sekunder.1,3,7-10
Gambar 1. Fase cedera hipoksik-iskemik pada HIE5
Luas kerusakan sel yang terjadi pada fase sekunder merupakan penanda
luaran dari bayi dengan HIE. Dengan demikian, periode laten merupakan
therapeutic window sebelum kerusakan sekunder dimulai yaitu 6-48 jam
setelah fase primer.7,11-12 Studi in vivo dan in vitro menunjukkan perbaikan
luaran neuron dan sel oligodendrisit yang signifikan setelah terapi
hipotermia 90 menit hingga 3 jam dibandingkan dengan kelompok terapi
di atas 6 jam dan 8,5 jam.12-13 Bayi cukup bulan dengan HIE derajat
sedang hingga berat mengalami kerusakan hingga 60% setelah 5,5 jam.
Sebagai simpulan, terapi hipotermi disarankan untuk dimulai sebelum 6
jam atau jika memungkinkan sedini mungkin (sebelum 3 jam).6,14
C. Terapi Hipotermi
Terapi hipotermia adalah upaya menurunkan suhu inti tubuh 32-
340C (fase cooling) yang dipertahankan selama 72 jam (fase maintenance)
diikuti dengan penghangatan tubuh bayi kembali ke suhu normal (36.5-
37.50C) secara perlahan (fase rewarming).14-16 Proses ini dapat dilakukan
melalui pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling/WBC) (Gambar
2)16-18 dan pendinginan kepala selektif (selective head cooling /SHC) (Gambar
3).16,19-20 Kedua metode bertujuan untuk menurunkan suhu otak sentral
yang sensitif terhadap cedera hipoksik-iskemik. Metode WBC mengalirkan
air dingin ke dalam matras atau selimut yang membungkus sebagian atau
hampir seluruh tubuh bayi. Sebaliknya pada metode SHC, air dingin
hanya dialirkan di dalam kepala penutup yang digunakan pada bayi.
Systematic review yang membandingkan kedua metode menunjukan WBC
memiliki kecenderungan luaran yang lebih baik, namun belum dapat
disimpulkan karena penelitian yang ada bersifat retrospektif.20-22
1 2
Keterangan:
Gambar 2.1 WBC dengan pembungkus ‘cure wrap’ (Criticool; Meditherm)
Gambar 2.2 WBC dengan matras pendingin (Tecotherm; Tec-Com, Halle, Germany)
Gambar 2.3 WBC dengan selimut pendingin (Blanketrol Cincinnati Sub-Zero Products, Inc,
Cincinnati, OH, USA)
Pengaturan suhu pada alat dapat menggunakan sistem servo dan sistem
manual. Pada sistem manual, tenaga kesehatan akan mengatur suhu alat
secara manual berdasarkan bacaaan suhu di monitor. Sebaliknya sistem
servo pada alat akan secara otomatis mengatur suhu alat pendingin dan
menyesuaikan dengan suhu target apabila suhu bayi berada di bawah atau
di atas dari suhu target. Pengaturan suhu dengan sistem manual dapat
menyebabkan fluktuasi suhu yang lebih besar karena diatur secara
manual.16 Oleh karena itu, sistem servo lebih dipilih dibandingkan sistem
manual. Selama proses pendinginan probe suhu dapat diletakkan di rektal
atau esofagus. Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena memiliki
variasi suhu yang besar dan tidak mewakili suhu inti.13,23
Terapi hipotermia tidak dapat dilakukan untuk semua bayi
dengan ensefalopati neonatorum. HIE adalah ensefalopati dengan bukti
cedera hipoksik-iskemik. Kriteria terapi hipotermia telah dirangkum
berdasarkan konsensus yang diterbitkan oleh American Academy of Pediatrics
(AAP), American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG) dan
International Cerebral Palsy Task Force (Tabel 1)1,2,24
2 3
Keterangan:
Gambar 4.1 Penggunanan botol air, cool packs dan sarung tangan berisi air untuk
cooling
Gambar 4.2 Phase changing material (PCM) yang terbuat dari salt hydride, asam lemak,
ester atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan yang berdekatan. Matras dengan
material PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di India untuk active cooling di
fasilitas terbatas
Gambar 4.3 Matras dengan penggunaan PCM (Miracradletm)
H. Simpulan
Terapi hipotermia telah menjadi standard of care bayi dengan HIE di negara
maju dan dibuktikan dapat menurunkan mortalitas serta memperbaiki
luaran morbiditas jangka pendek dan panjang. Dengan demikian, perlu
adanya pemahaman prinsip terapi agar dapat dilakukan implementasi dini
pada bayi yang memenuhi kriteria. Walaupun demikian, implementasi
prosedur ini harus mempertimbangkan manfaat dan dampak yang
mungkin terjadi pada setiap bayi dengan HIE. Pemantauan jangka pendek
serta jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai manfaat serta efek
samping yang mungkin terjadi setelah terapi hipotermi.
Daftar Pustaka
1. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the
term newborn. JPNIM. 2014; 3: e030269
2. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis
PG. Cooling for newborns with hypoxic ischemic encephalopathy
review. Cochrane Database of Systematic Review. 2013, Issue
1.Art.No.:CD003311.DOI: 10.1002/14651858.CD003311.pub3
3. Marks K, Shany E, Shelef I, Golan A, Zmora E. Hypothermia: a
neuroprotective therapy for neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy. Isr Med Assoc J. 2010; 12: 494-500
4. Rahman S. Neuroprotection in neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy: therapeutic hypothermia and beyond. JPMI.
2011; 25: 01-03
5. Cornette L. Therapeutic hypothermia in neonatal asphyxia. Facts
Views Vis Obgyn. 2010; 4:133-139
6. Pfister RH, Soll RF. Hypothermia for the treatment of infants with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Perinatol. 2010; 30:82-87
7. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J
Mol Sci. 2015; 16: 22368-22401
8. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ.
Therapeutic hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic
encephalopathy – where to from here. Front Neurol. 2015; 6: 198
9. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic
ischemic encephalopathy – pharmacology combination therapy.
In: Svraka E, editor. Cerebral palsy challenges for the future. 1st
ed. US: Intech; 2014. P. 123-192
10. Shankaran S. Therapeutic hypothermia for neonatal
encephalopathy. Curr Treat Options Neurol. 2012; 14: 608-619
11. Volpe JJ. Neurology of the newborn. 5th ed. Philadelphia:
Saunders/Elsevier, 2008.
12. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. 9th ed.
Philadelphia: Saunders/Elsevier, 2012.
13. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-
17
14. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in asphyxiated
infant. Perinatology. 2010; 3:20-29
15. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014 [accessed on
October 8th 2016]. Available at: http://www.kemh.health.wa.gov
16. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal
asphyxial encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med.
2010;15:276-86.
17. New Medical. Meditherm hyper-hypothermia system. 2008
[Accessed on October 7th 2016]. Available in:
http://www.newmedical.com.au
18. MTRE Advanced Technologies. Criticool thermoregulation
system. 2014 [Accessed on October 7th 2016]. Available in:
http://www.mtre.com
19. Buku Pedoman Pelayanan Nasional Kedokteran (PNPK) Asfiksia.
Edisi 1. Dalam tahap publikasi. 2016
20. Allen KA. Moderate hypothermia: is selective head cooling or
whole body cooling better. Adv Neonatal Care. 2014; 14: 113-118
21. Celik Y, Atici A, Gulasi S, Okuyaz C, Makharoblidze K, Sungur
MA. Comparison of selective head cooling versus whole body
cooling. Pediatrics International. 2016; 58:27-33
22. Atici A, Celik Y, Gulasi S, Turhan AH, Okuyaz C, Sungur MA.
Comparison of selective head cooling and whole body cooling
therapy in newborns with hypoxic ischemic encephalopathy: short
term results. Turk Pediatr Ars. 2015; 50:27-36.
23. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
24. Papile LA, Baley JE, Benitz W, Cummings J, Carlo WA,
Eichenwald E, et al. Hypothermia and neonatal encephalopathy.
Pediatrics. 2014; 133: 1146-1150
25. Royal Cornwall Hospital. Neonatal total body cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guideline. 2014 [accessed on
October 1th 2016]. Available at: http://www.rcht.nhs.uk
26. Mosalli R. Whole body cooling for infants with hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Clin Neonatol. 2012; 1:101-106
27. Mercy Hospital for Women. Cooling neonates - moderate systemic
hypothermia for the treatment of hypoxic ischemic
encephalopathy. 2014 Aug 21 [accessed on October 8th 2016].
Available at: http://www.mercyhealth.com.au
28. Victoria State Government. Therapeutic hypothermia for hypoxic-
ischemic encephalopathy: initiation in special care nurseries. 2015
[accessed on October 8th 2016]. Available at:
http://www2.health.vic.gov.au
29. Bharadwaj SK, Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs
for term neonates with hypoxic ischemic encephalopathy in
resource limited settings: a randomized controlled trial. J Trop
Pediatr. 2012; 58: 382-388
30. Pauliah SS, Shankaran S, Wade A, Cady EB, Thayyil S.
Therapeutic hypothermia for a neonatal encephalopathy in low
and middle income contries: a systematic review and meta analysis.
PLoS ONE. 2013; 8: e588
31. Kumar V, Shearer JC, Kumar A, Darmstadt. Neonatal
hypothermia in low resource settings: a review. J Perinatol. 2009;
29: 401-412
32. Thayyil S, Shankaran S, Wade A, Cowan FM, Ayer M, Satheesan
K, et al. Whole body cooling in neonatal encephalopathy using
phase changing material. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2013;
98: 280-281
33. Fairchild K, Sokora D, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on
neonatal transport: 4-year experience in a single NICU. J
Perinatol. 2010; 30: 324-329
34. Schulzke SM, Rao S, Patole SK. A systematic review of cooling for
neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy are we there yet. BMC Pediatrics. 2007; 7:30
35. Tagin MA, Woolcott CG, Vincer MJ, Whyte RK, Stinson DA.
Hypothermia for neonatal hypoxic ischemic encephalopathy an
updated systematic review and meta analysis. Arch Pediatr Adolesc
Med. 2012; 166: 558-566
36. Eicher DJ, Wagner CL, Katikaneni LP, Hulsey TC, Bass WT,
Kaufman DA, et al. Moderate hypothermia in neonatal
encephalopathy: safety outcomes. Pediatr Neurol. 2005; 32:18-24
37. Jacobs SE, Morley CJ, Inder TE, Stewart MJ, Smith KR,
McNamara PJ, et al. Whole body hypothermia for term and near
term newborns with hypoxic ischemic encephalopathy: a
randomized controlled trial. Arch Pediatr Adolesc Med. 2011;
165:692-700
38. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, Tyson JE, McDonald
SA, Donovan EF, et al. Whole body hypothermia for neonates
with hypoxic ischemic encephalopathy. N Engl J Med. 2005; 353:
1574-1584
39. Simbruner G, Mittal RA, Rohlmann F, Muche R. Systemic
hypothermia after neonatal encephalopathy: outcomes of
neo.nEURO network randomized controlled trial. Pediatrics.
2010;126:771-778.
40. Azzopardi DV, Strohm B, Edwards AD, Dyet L, Halliday HL,
Juszczak E, et al. Moderate hypothermia to treat asphyxial
encephalopathy. N Eng J Med. 2009; 361: 1349-1358
41. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, Ballard R, Edwards AD,
Ferriero DM, et al. Selective head cooling with mild systemic
hypothermia after neonatal encephalopathy: multicentre
randomised trial. Lancet. 2005; 365: 663-670
42. Shankaran S, Pappas A, McDonald SA, Vohr BR, Hintz SR,
Yolton K, et al. Childhood outcomes after hypothermia for
neonatal encephalopathy. N Engl J Med. 2012; 366: 2085-2092
43. Guillet R, Edwards AD, Thoresen M, Ferriero DM, Gluckman
PD, et al. Seven to eight year follow up to coolcap trial of head
cooling for neonatal encephalopathy. Pediatr Res. 2012; 71: 205-
209.
MANAJEMEN KEJANG PADA NEONATUS
Eko Sulistijono
Divisi Neonatologi
SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya
Malang
Abstrak
Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi
pada neonatus karena dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi dan dapat mengakibatkan sekuel
di kemudian hari. Angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5 per
1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Diagnosis dengan
menggunakan continuous EEG monitoring, dimana ini merupakan gold
standard. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan kejang yang berat
pada neonatus, tidak berespon dengan baik dengan fenobarbital dan
diazepam, dan dapat efektif dengan lidokain. Fenobarbital merupakan
pilihan pertama pada kejang neonatus, cara kerja dengan menghambat
peningkatan inhibisi GABA. Lidokain saat ini sangat efektif sebagai terapi
lini kedua dan lini ketiga neonatal seizure, dengan angka respon yang
berkisar 60–92%. Untuk kedepan masih diperlukan penelitian control
randomized dalam rangka membuat protokol untuk diagnosis kejang pada
neonatus, efikasi, dan keamanan dari generasi obat-obatan kejang dan
untuk menetukan durasi pemberian obat yang optimal.
Pendahuluan
Epidemiologi
Etiologi
Pendarahan
Perdarahan intrakranial termasuk diantaranya
intraventrikular, subdural, sub arachnoid, trauma. Perdarahan
intrakranial lebih banyak terjadi pada prematur dari pada bayi
cukup bulan. Sulit dibedakan antara hipoksia-iskemik ensefalopati
dengan perdarahan intrakranial. Subarachnoid hemorrhage lebih
sering terjadi pada bayi cukup bulan. Jenis perdarahan sering
terjadi dan tidak signifikan secara klinis. Germinal matriks-
intraventricular perdarahan terlihat lebih sering pada prematur,
terutama pada bayi lahir sebelum usia kehamilan 34 minggu.
Gangguan metabolik
Gangguan metabolik paling sering adalah hipoglikemia,
hipokalsemia, hiponatremia, hypernatremia, hipomagnesemia.
kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin)
Gangguan metabolisme lebih jarang, seperti inborn eror metabolism.
Biasanya, dapat terlihat setelah bayi mulai intake.
Infeksi Intrakranial
Infeksi SSP terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab
kejang. Infeksi intrakranial yang harus disingkirkan adalah
penyebab penting dari kejang neonatal termasuk meningitis,
ensefalitis (termasuk ensefalitis herpes), toksoplasmosis, dan
(CMV) sitomegalovirus infeksi. Bakteri patogen umum termasuk
Escherichia coli dan Streptococcus pneumoniae.
Kelainan sindrom
Malformasi serebral sering disertai kejang pada usia lanjut,
sindrom malformasi utama adalah penting untuk
dipertimbangkan. Lissencephaly, pachygyria, polymicrogyria, dan
sindrom sebaceous nevus linier dapat terjadi dengan kejang pada
periode neonatal.
1. Fenobarbital
Fenobarbital merupakan pilihan pertama pada kejang neonatus.
Cara kerja dengan menghambat peningkatan inhibisi GABA. Neonatus
dengan kejang yang berat dapat menjadi kerusakan otak yang berat dan
perkembangan neurologis yang tidak baik.6 Fenobarbital sebagai lini
pertama sebagai terapi kejang neonatus, meskipun hanya memiliki efficacy
sekitar 50%. Fenobarbital merupakan pilihan yang aman, walaupun
didapatkan bukti bahwa fenobarbital dapat mempengaruhi perkembangan
neuro dan meningkatkan apoptosis neuron5 namun sangat terbatas
penelitian yang mengkaji efikasi dari fenobarbital. Kejang sangat berespon
setelah pemberian loading iv 15-20 mg/kg dengan angka keberhasilan 33-
40%. Dosis dapat dinaikkan sampai denga 40 mg/kg.5,6 Pada penelitian
randomized controlled boylan et al, 11 dari 22 neonatus berespon dengan
fenobarbital pada dosis 40 mg/kg sebagai terapi lini pertama.14
2. Lidokain
Di Eropa lidokain biasa digunakan sebagai lini ketiga sebagai AED
( antiepileptic drug), dimana di beberapa negara luar hanya digunakan 1-6%
oleh neurologist dan neonatologists.4 Lidokain saat ini sangat efektif sebagai
terapi lini kedua dan lini ketiga neonatal seizure, dengan angka respon yang
berkisar 60 – 92%. Meskipun pada beberapa penelitian angkanya sangat
kecil, namun terapi dengan lidokain dengan perbedaan regimen sangat
baik5.
Lidokain akan sangan efektif sebagai obat anti kejang saat obat
anti kejang yang lain gagal. Perhatian terhadap kardio toksik masih
terbatas pada penggunaan obat ini. Pada beberapa penelitian terdahulu
ditemukan kejadian sebesar 4,8% terjadi aritmia selama pemberian
continuous infusion lidokain.5,6 Pengenalan dosis regimen baru dan
rekomendasi pemberian lidokain hanya terbatas pada pasien NICU
dengan monitoring kardio secara continuous sehingga dapat mengurangi
risiko. Lidokain secepatnya dihentikan bila didapatkan tanda-tanda aritmia
dan tidak diberikan pada neonatus dengan kelainan jantung bawaan atau
pada neonatus yang sebelumnya sudah mendapat fenitoin.11
Dosis lidokain harus disesuaikan pada terapi hipotermia. Suhu
tubuh yang rendah dapat merubah farmakokinetik dan farmakodinamik
sehingga meingkatkan risiko kardio toksik oleh karena penurunan
clearance lidokain. Selain membahas tentang oabt anti kejang pada
neonatus, penting untuk mempertanyakan seberapa agresif kita harus
menterapi kejang neonatus, seperti bagaimana seharusnya kita mencoba
untuk menghilangkan gambaran elektrografi kejang atau justru kita
membiarkan kejang itu tetap ada. Meskipun belum ada penelitian yang
membuktikan dengan terapi yang agresif dapat memperbaiki outcome,
terdapat beberapa penelitian yang beranggapan bahwa kejang dapat
mengekserbasi kejadian brain injury, terutama HIE. 7-9
3.Midazolam
Midazolam dapat juga sebagai lini kedua dan lini ketiga sebagai
terapi kejang pada neonatal. Farmakodinamik sama dengan salah satu
kerja fenobarbital yaitu meningkatkan neurotransmiter inhibisi dengan
memodulasi kanal clorida reseptor GABA.5 Respon midazolam sangat
bervariasi antara 0-100% dengan melihat gambaran EEG. Midazolam
dapat menjadi sedikit efektif dibandingkan dengan lidocain, tergantung
derajat keparahan HIE.13,15 Midazolam juga digunakan pada kejang
refrakter, dengan efikasi dalam 2 penelitian sebsesar 67% dan 80%.16 Pada
penelitian Shany et al. 4 dari 8 neonatus dengan menggunakan midazolam
hanya berespon sebagian.13 sedangkan pada small randomized trial Boylan
et al, dari 6 neonatus menggunakan midazolam sebagai lini kedua
berespon baik.14 Penelitian Sirsi et al, 3 neonatus satus epileptikus dengan
penyebab yang berbeda, kejang pada 3 neonatus tidak tidak berespon baik
dengan fenobarbital dan fenitoin, namun berespon baik dengan continuous
midazolam.16
Dosis yang digunakan untuk midazolam yaitu dengan dosis awal
0,05 mg/kg dalam 10 menit diikuti dengan pemberian selanjutnya dosis
maintenance 0,15 – 0,5 mg/kg/jam ditingkatkan bertahap dengan
peningkatan 0,05 mg/kg/jam.
4. Levetiracetam
Levetiracetam merupakan obat baru, diharapkan obat ini
mengaktifkan glikoprotein 2A (SV2A) melalui vesicle sinap dimana protein
ini terlibat dalam pelapasan neurotransmitter. Levetiracetam memiliki
farmakokinetik yang bagus dan aman pada neonatus.17 Pada beberapa
kasus levetiracetam digunakan sebagai lini kedua atau ketiga.18 dibutuhkan
penelitian randomized- controlled trial untuk mengetahui efektifitas dan
aman obat ini.
KESIMPULAN
Agus Harianto
Ema Alasiry
Divisi Perinatologi
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Hasanuddin / RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
Makasar
Abstrak
Gangguan adaptasi sistem sirkulasi dan pulmonal bayi baru lahir
menyebabkan terjadinya asfiksia . Hipoksi dan asidosis karena asfiksia
mengakibatkan curah jantung menurun yang berdampak pada oksigenasi
dan penghantaran nutrisi di berbagai organ. Salah satu diantara
maladaptasi adalah Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN)
PPHN merupakan suatu sindroma dengan karakteristik
meningkatnya tahanan pembuluh darah paru yang menyebabkan
penurunan tahanan pembuluh darah sistemik. Hal ini mengakibatkan
pirau ekstrapulmonal dari kanan ke kiri melewati persistent fetal channels
Persistent Ductus Arteriosus (PDA), Permanent Foramen Ovale (PFO). PPHN
menjadi tantangan yang besar karena tingginya angka kematian dan
kecacatan.
Nitric oxide inhalasi (NOi) sebagai vasodilator pulmonal selektif
tanpa penurunan tonus pembuluh sistemik menjadi terapi utama PPHN.
NOi diberikan bersama dengan HFV, surfaktan disertai terapi penunjang
tekanan darah dan sedasi. ECMO merupakan pilihan ketika langkah-
langkah ini gagal. Sildenafil oral/IV, milrinone IV dan PGI2 inhalasi
memiliki efek sinergis dengan NOi dan sudah mulai sering digunakan,
tetapi masih membutuhkan uji klinis yang besar. Pengikat radikal bebas
seperti SOD, aktivator sGC dan antenatal steroid merupakan terapi yang
potensial yang masih dalam penelitian. Follow-up jangka panjang penting
untuk bayi dengan risiko tinggi ganguan tumbuh kembang dan
pendengaran.
Kata kunci : PPHN, tatalaksana
GANGGUAN GINJAL AKUT PASCA ASFIKSIA NEONATUS
Krisni Subandiyah
Divisi Nefrologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSU. dr.Saiful Anwar Malang
Abstrak
Asfiksia neonatus sering menyebabkan terjadinya gangguan ginjal
akut (GnGA), terjadi sampai dengan 56% bayi dengan asfiksia. Kesulitan
utama dalam mendiagnosis GnGA pada neonatus adalah definisi
konsensus GNGA neonatus, terutama karena sulitnya memeriksa
biomarker yang spesifik. Manifestasi klinis AKI tergantung pada derajat
keparahan dan lamanya hipoksia-iskemik. Asfiksia berat dapat
menyebabkan disfungsi tubular difus dengan gangguan reabsorpsi natrium
dan air dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Asfiksia ringan hanya
menyebabkan kerugian gangguan fungsi ginjal sesaat. AKI harus dicurigai
jika didapatkan peningkatan konsentrasi kreatinin serum dan / atau
produksi urin berkurang. Prinsip pengobatan GnGA pada neonatus pada
dasarnya sama dengan pada anak. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis
peritoneal merupakan pilihan pada neonatus dengan GnGA.
Abstract
Acute kidney injury (AKI) is a common consequence of perinatal
asphyxia, occurring in up to 56% of these infants. Amajor difficulty in
diagnosing this condition is the lack of a consensus definition of neonatal
AKI, largely because ofa dearth of specific biochemical markers. The
clinical manifestation of AKI depend upon the severity and duration of the
hypoxic-ischemic event. Severe asphyxia results in diffuse tubular
dysfunction with impaired reabsorption of sodium and water and
decreased glomerular filtration rate. A milder insult may cause only a
transient loss of renal concentrating ability. AKI should be suspected if the
serum creatinine concentration increases and/or the urine output is
reduced. The treatment in AKI neonate basically the same as in children.
Renal replacement therapy with peritoneal dialysis is an option in AKI
neonates treatment.
Keywords: asphyxia, acute kidney injury, neonates
Pendahuluan
regulasi air dan elektrolit, dan asam basa. Gangguan ginjal akut merupakan
pada bayi baru lahir. Terjadinya GnGA pada asfiksia perinatal disebabkan
menurunkan aliran balik vena dan curah jantung, yang akan menyebabkan
dan dipengaruhi oleh berat badan lahir dan usia kehamilan bayi (Mcguire,
jaringan dan organ tubuh (Bhatti & Kumar, 2014). Sehingga lebih dari
56% kasus distress napas dapat terjadi GnGA. Ginjal sangat sensitif
Alexander, 2011).
untuk disfungsi ginjal pada umumnya dan pada neonatus (Drukker &
perubahan besar dalam laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat terjadi tanpa
dibandingkan bayi normal. Oliguria adalah tanda klinis lain yang terkait
dengan AKI. Namun, pada neonatus lebih dari 50% kasus, gangguan
spesifik untuk diagnosis AKI pada neonatus (Agras et al.,2004; Durkan &
Alexander, 2011).
Epidemiologi
Loss of kidney function, and End-stage kidney disease (RIFLE) yang berdasarkan
pRIFLE dan disebut sebagai neonatal RIFLE atau nRIFLE (tabel 1) (Ricci
AKI: acute kidney injury; RIFLE : risk, failure, loss, end-stage kidney disease;
pRIFLE: pediatric RIFLE; nRIFLE: neonatal RIFLE; GFR: glomerular filtration
rate; UO: urine output
berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum pada bayi usia < 120 hari
(KDOQI, 2012)..
ginjal akut sebesar 30% sampai 56% dari neonatus pasca asfiksia (Jetton &
Askenazi, 2012).
kematian bayi yang tinggi, terutama pada pasien dengan oliguria. Pada
melaporkan bahwa 64% dari bayi baru lahir dengan GnGA (55% GnGA
derajat 1, 20% derajat 2, dan 25% derajat 3). Dimana pada bayi dengan
Patofisiologi
Gangguan ginjal akut pada neonatus dipengaruhi oleh lamanya
nefrogenesis, LFG dan aliran darah ginjal. Nefrogenesis dimulai sejak usia
secara lengkap pada neonatus cukup bulan. Namun, pada minggu pertama
setelah lahir terdapat perubahan LFG dan fungsi tubulus (Jose et al., 1994).
Pada neonatus cukup bulan LFG bervariasi secara signifikan dengan nilai
pada AKI, tapi dapat disebabkan oleh peningkatan produksi urea karena
ibunya (biasanya < 1 mg/dL [88 mikromol / L]). Kemudian menurun cepat
saat usia minggu pertama pada bayi cukup bulan (Saint-Faust et al., 2014).
Konsentrasi urin (BJ >1.018 dan osmolaritas >500 mOsm); 2). Konsentrasi
natrium serum dan kreatinin urin dengan konsentrasi natrium urin dan
masing dalam urin (U) dan plasma (P). Apabila lebih besar dari 3%
menunjukkan adanya kerusakan ginjal instriksik pada bayi umur lebih dari
al., 2015) and interleukin (IL)-18, cystatin-c (Li et al ., 2012) , kidney injury
Terapi
lanjut. Manajemen konservatif GnGA pada neonatus dan anak sama. Pada
looses harus diganti dengan cairan D10% dan rendah natrium. Sebaiknya
bawaan berisiko aliran darah ginjal berkurang. Belum ada penelitian yang
lebih rendah tetapi tidak ada hubungannya dengan gejala klinis akut dan
serum dan B2M dan meningkatkan clearance kreatinin. Peneliti lain, Bakr
dosis 5 mg/kg dan Bath et al. (2006) pada 70 neonatus diberikan theofilin
dengan dosis 8 mg/kg dalam jam pertama setelah lahir, dilaporkan bahwa
kadar kreatinin serum, eksresi B2M urin, dan disfungsi ginjal berat
(kreatinin serum >1,5 mg/dL) menurun dan LFG meningkat (Gupta et al.,
2016).
pengganti ginjal pada neonatus sama dengan yang untuk anak-anak dan
paru, dan / atau keperluan pemberian nutrisi yang lebih besar tetapi
Prognosis
panjang pada GnGA dengan oliguria lebih tinggi dibandingkan yang non
Ringkasan
gangguan ginjal akut pada neonatus masih cukup sulit. Terapi GnGA pada
Jose PA, Fildes RD, Gomez RA, Chevalier RL, Robillard JE. 1994.
Neonatal renal function and physiology. Curr Opin Pediatr; 6(2): 172–177.
Risa Etika
Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya
STABILISASI DAN RUJUKAN PASCA ASFIKSIA
Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta