Вы находитесь на странице: 1из 143

2nd ANNUAL NEONATOLOGY UPDATE

2016

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak


FKUB-RSU dr.Saiful Anwar - Malang
IDAI Cabang JawaTimur Komisariat JATIM V
KATA SAMBUTAN
Ketua IDAI JATIM

Salam Sejawat sekalian,


Mengawali sambutan ini, ijinkanlah saya mewakili segenap jajaran
IDAI Jatim menyampaikan selamat datang di Bumi Jawa Timur dalam
acara 2nd ANNUAL NEONATOLOGY UPDATE yang diselenggarakan
di The Singhasari Hotel & Convention Batu - Malang tanggal 30
November - 4 Desember 2016.
Seperti diketahui saat ini asfiksia masih menjadi satu dari tiga
penyebab kematian tertinggi bayi baru lahir di Indonesia selain gawat
napas dan infeksi. Pencegahan asfiksia perinatal adalah hal utama untuk
menurunkan angka kematian neonatus, selain terapi kuratif itu sendiri.
Asfiksia menjadi sesuatu beban yang harus dipecahkan untuk
negara yang sedang berkembang dan memiliki fasilitas terbatas seperti di
negara kita. Upaya untuk menurunkan kejadian asfiksia melalui deteksi
antenatal didukung dengan sistem rujukan antenatal yang baik sangat
penting dan menjadi kunci untuk mencegah perburukan bayi asfiksia yang
lahir di fasilitas terbatas yang belum mampu untuk melakukan manajemen
asfiksia.
Distribusi yang tidak merata antara petugas kesehatan, peralatan,
kompetensi, dan kemamputerapan menyelesaikan diagnosis, tatalaksana
asfiksia pada bayi baru lahir menjadi masalah tersendiri untuk
menurunkan angka kematian bayi akibat asfiksia. Untuk itu, melalui UKK
Neonatologi, IDAI Jatim mengundang segenap klinisi dan elemen yang
terkait dari tingkat bidan, perawat, dokter umum, dokter anak dan dokter
kebidanan dan kandungan untuk mengikuti acara yang diselenggarakan
oleh UKK Neonatologi dengan tema asfiksia yang akan mengusung materi
tatalaksana asfiksia mulai dari pencegahan, resusitasi, stabilisasi,
tatalaksana komplikasi asfiksia dan pemantauan tumbuh kembang bayi
dengan asfiksia.
Melalui acara yang terdiri dari pelatihan/workshop ini diharapkan
semua peserta sesuai kapasitasnya, mampu memaksimalkan penanganan
bayi asfiksia pada sarana kesehatan di tempat tugasnya masing-masing,
karena penyelesaian kasus asfiksia tidak dapat dilakukan hanya oleh klinisi
saja, namun dukungan lintas sektoral sangatlah penting untuk hasil yang
lebih baik. Selamat mengikuti acara 2ndANNUAL NEONATOLOGY
UPDATE.

Salam sejawat,

Dr. dr. IDG Ugrasena, Sp.A(K)


KATA SAMBUTAN
Ketua UKK Neonatologi

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Salam sejawat,
Angka kematian neonatus di Indonesia menetap dalam beberapa
tahun terakhir. Asfiksia merupakan penyebab kematian kedua setelah
komplikasi prematuritas, dimana kontribusinya adalah sebesar 21%. Hasil
audit kematian neonatus menunjukkan bahwa sebagian besar kematian
karena asfiksia dapat dicegah/dihindari. Persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan mencapai 80% (Data Riskesdas, 2010) namun kejadian
asfiksia masih banyak. Sampai sekarang tidak diketahui pasti kejadian
asfiksia di Indonesia. Upaya perbaikan pelayanan persalinan dan neonatus
oleh tenaga kesehatan yang terampil, sistem rujukan neonatus diharapkan
dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas asfiksia.
Dokter spesialis anak (DSA) berperan penting dalam pelayanan
neonatus, utamanya dalam penanganan neonatus dengan asfiksia.
Intervensi berupa tindakan resusitasi, stabilisasi, manajemen pasca
resusitasi dan komplikasi asfiksia lainnya akan memperbaiki luaran
neonatus dengan asfiksia dan mencegah kematian. Pemantauan tumbuh
kembang dan intervensi perkembangan memperbaiki luaran jangka
panjang neonatus dengan asfiksia. Untuk itu perlu peningkatan
pengetahuan dan keterampilan DSA agar kematian dan kecacatan karena
asfiksia dapat diturunkan, sehingga tumbuh menjadi generasi yang
berkualitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka merupakan suatu
kehormatan bagi kami untuk dapat mengundang teman sejawat pada acara
2nd ANNUAL NEONATOLOGY UPDATE dengan tema“Update on
Managementof Neonatal Asphyxia” yang Insha Allah akan
diselenggarakan oleh UKK Neonatologi IDAI dan IDAI Cabang Jawa
Timur, acara ini terdiri dari pelatihan/workshop dan symposium pada
tanggal 30 November - 4 Desember 2016 di The Singhasari Hotel &
Convention Batu-Malang.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Salam sejawat,

dr. Setya Wandita, Sp.A(K), M.Kes


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas rahmat dan karunia-Nya.
Sungguh merupakan suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagi kami
di Batu, Malang menjadi penyelenggara 2ndANNUAL NEONATOLOGY
UPDATE kerjasama UKK Neonatologi dengan IDAI Jatim, sekaligus
kehormatan bagi kami atas kehadiran Sejawat ke Batu, Malang mengikuti
Acara 2ndANNUAL NEONATOLOGY UPDATE tersebut.
Sesuai Sustainable Development Goals (SDGs) hingga tahun 2030,
setelah Millenium Development Goals (MDGs) ditetapkan berakhir pada
tahun 2015, terdapat target yang ditetapkan dalam SDGs adalah terkait
kesehatan anak, yang juga merupakan tanggung jawab Ikatan Dokter Anak
Indonesia untuk membantu pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut.
Dengan serangkaian acara Workshop dan Simposium, yang bertujuan
untuk meningkatkan kompetensi kita semua dalam upaya penanganan
masalah Neonatal, agar para peserta dapat lebih meningkatkan
professionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
kepada masyarakat khususnya tentang asfiksia sesuai tema acara ini yaitu
“Update on Management of Neonatal Asphyxia”.
Melalui 2ndANNUAL NEONATOLOGY UPDATE kali ini yang
mengusung tema “Update on Management of Neonatal Asphyxia”, kami
berharap kegiatan ini dapat berperan dalam upaya pencapaian target-target
SDGs hingga tercapai derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh anak
Indonesia.
Silakan datang ke 2ndANNUAL NEONATOLOGY UPDATE,
sekaligus menikmati suasana Kota Batu yang terkenal sebagai kota wisata.
Sampai jumpa di Batu, Malang.

Wassalamualaikum. Wr. Wb

dr.Eko Sulistijono, Sp.A(K)


Ketua Panitia 2ndANNUAL NEONATOLOGY UPDATE
SUSUNAN PANITIA

Pelindung:
Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ketua UKK Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Penasehat:
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Ketua IDAI Cabang Jawa Timur
Kepala Lab. IKA RSSA/FKUB
Ketua IDAI Komisariat V Cabang Jawa Timur
Ketua UK Neonatologi IDAI Cabang Jawa Timur

Panitia Pelaksana:
Ketua: Eko Sulistijono, dr., SpA(K)
Wakil Ketua: Satrio Wibowo, dr., SpA(K),MSi.Med
Sekretaris: Brigitta Ida RVC, dr., SpA,M.Kes
Mahendra, dr., SpA
Sekretaris Perinatologi
Bendahara: Ray. Lintang Kawuryan, dr., SpA(K)
Setya Mithra H., dr., SpA,MSi.Med

Seksi-seksi
Sie Dana:
dr. Agus Harianto, Sp.A (K)
Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A (K)
dr. Setya Wandita, Sp.A (K), M.Kes
Dr. dr. Risa Etika, Sp.A (K)
dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A (K)
dr. RAy. Lintang Kawuryan, Sp.A(K)
dr. Nur Ramadhan, Sp.A
dr. RM. Efendi Rekso, Sp.A
dr. Tunjung Wibowo, M.Kes, MPH, Sp.A(K)
Prof. Dr. dr. HMS. Chandra Kusuma, SpA (K)
dr. Masdar Muid, SpA (K)
dr. Harjoedi Adji Tjahjono, SpA (K)
Dr. dr. Krisni Subandiyah, SpA (K)
dr. Anik Puryatni, SpA (K)
dr. Renny Suwarniaty, SpA (K)
Sie Naskah Ilmiah, Penerbitan Buku & Seminar Kit:
dr. Setya Wandita, Sp.A (K), M.Kes
dr. Gatot Irawan Sarosa, Sp.A (K)
Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A (K)
Dr. dr. Risa Etika, Sp.A (K)
Dr. dr. Toto Wisnu Hendrarto, Sp.A (K)
Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA (K)
dr. RAy. Siti Lintang Kawuryan, Sp.A (K)
dr. Eko Sulistijono, Sp.A (K)
dr. Tunjung Wibowo, M.Kes, MPH, Sp.A(K)
dr. Saptadi Yuliarto, SpA (K), Mkes
dr. Prasetyo Ismail, SpA, Mkes
dr. M. Fahrul Udin SpA, MKes
dr. Agung Prasetyo Wibowo, Sp.A, Mbiomed
dr. Desy Wulandari, SpA, MBiomed

Sie Persidangan dan Multimedia:


dr. Satrio Wibowo, SpA (K), MSi.Med
dr. Nugroho Danu Tri Subroto, SpA
dr. Zaiduddin H., Sp.A

Sie Ilmiah:
dr. Saptadi Yuliarto, SpA (K)
dr. Kartika Darma Handayani, Sp.A
dr. Nur Ramadhan, Sp.A

Sie Acara:
dr. Dyahris Koentartiwi, SpA (K)
dr. Astrid Kristina Kardani, SpA, MBiomed
dr. Ni Luh, SpA, MBiomed

Sie Pendaftaran:
dr. Setya Mithra H, Sp.A, MSi.Med
dr. Melany Farahdilla, Sp.A, M.Kes
dr. Hapsari Kusumawardani, Sp.A
dr. Dina Angelica, Sp.A
dr. Dewi Nurindah, Sp.A, MBiomed
dr. Sinta Restu, SpA, MBiomed
Tim Prodia Lab.
Sie Perlengkapan & Pameran
dr. Satrio Wibowo, SpA (K), MSi.Med
dr. Nugroho Danu Tri Subroto, SpA
dr. Zaiduddin H., Sp.A

Sie Publikasi & Dokumentasi


dr. Agus Harianto, Sp.A (K)
dr. Martono Tri Utomo, Sp.A (K)
Ananta

Sie Akomodasi dan Transportasi:


dr. Sony Wicaksono, SpA. MKes
dr. Hartojo, Sp.A (K)
dr. Radix, Sp.A (K)
RJ Travel

Sie Perijinan dan Undangan:


dr. Nugroho Danu TS, SpA
dr. Mahendra, Sp.A
dr. Muchlis, Sp.A

Sie Konsumsi:
dr. Savitri Laksmi Winaputri,
dr. Ditya Arisanti, SpA, MBiomed
Dr. dr. Dina Djojohusodo, Sp.A (K)
dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K)
dr. Husnul Asariati, Sp.A, MBiomed
dr. Laurentia Ima Monica, Sp.A, MBiomed
Daftar Penulis

dr. Setya Wandita, SpA(K), MKes


Divisi Neonatologi
SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Gajah Mada – Jogjakarta

Dr. dr. Bambang Rahardjo SpOG-K


Divisi Maternal Fetal Medicine
SMF/Lab. Obstetri dan Ginekologi
FK Universitas Brawijaya / RSU Dr Saiful Anwar – Malang

dr. Tunjung Wibowo, MPH, SpA(K)


Divisi Neonatologi
SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Gajahmada / RSUP dr. Sardjito – Jogjakarta

dr. Ahmad Suryawan, SpA (K)


Divisi Tumbuh Kembang
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya

Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K)


Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Ciptomangunkusumo / FK Universitas Indonesia – Jakarta

Dr. dr. Toto Wisnu Hendrarto, SpA (K), DTM & H


Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta

dr. Gatot Irawan Sarosa, SpA(K)


Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Diponegoro / RS dr. Kariadi - Semarang

dr. Retno Nurhayati, SpA, M.Biomed


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Bojonegoro
dr. Aris Primadi, SpA(K)
Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Padjajaran / RS Hasan Sadikin - Bandung

dr. Lily Rundjan, SpA(K)


Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Ciptomangunkusumo / FK Universitas Indonesia – Jakarta

dr. Eko Sulistijono, SpA(K)


Divisi Perinatologi
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Brawijaya / RSU dr. Saiful Anwar - Malang

dr. Agus Harianto, SpA(K)


Dewan Etik IDAI Cabang Jawa Timur
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya

dr. Ema Alasiry, SpA(K)


Divisi Perinatologi
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Hasanuddin / RSUP dr Wahidin Sudirohusodo Makassar

Dr. dr. Krisni Subandiyah, SpA(K)


Divisi Nefrologi
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Brawijaya / RSU dr. Saiful Anwar - Malang

dr. Risa Etika, SpA(K)


Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya

Dr. dr. Setya Dewi Lusyati, SpA(K), PhD


Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta
Daftar Isi

Kata Sambutan ii

Kata pengantar iii

Susunan panitia iv

Daftar penulis vi

Daftar isi viii

Asfiksia Neonatorum: Dampak dan Besar Masalah


Setya Wandita

Pencegahan dan manajemen asfiksia intrapartum


Bambang Raharjo

Diagnosis asfiksia neonatorum


Tunjung Wibowo

Pemantauan tumbuh kembang pasca asfiksia


Ahmad Suryawan

Resusitasi Bayi Baru Lahir di Indonesia


Rinawati Rohsiswatmo

Penyulit Resusitasi Neonatus


Toto Wisnu Hendrarto

Sindrom Aspirasi Mekonium


Gatot Irawan Sarosa

Presentasi kasus asfiksia oleh SpA (RS Tipe B)


Retno Nurhayatii

Ensefalopati Hipoksik Iskemik


Aris Primadi
Terapi Hipotermi
Lily Rundjan

Manajemen Kejang Pada Bayi Baru Lahir


Eko Sulistijono

Etika dan perilaku profesi dokter spesialis anak Indonesia


Agus Harianto

Manajemen distress respirasi pasca asfiksia


Ema Alasiry

Gangguan ginjal akut pasca asfiksia


Krisni Subandiyah

Gangguan metabolism dan elektrolit pasca asfiskia


Risa Etika

Stabilisasi dan rujukan pasca asfiksia


Setyadewi Lusyati
ASFIKSIA NEONATORUM:
DAMPAK DAN BESAR MASALAH

Setya Wandita
Divisi Neonatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.

Abstract
Neonatal asphyxia (NA) is still one of the main problems of the newborn
health Indonesia. It is the second leading cause of death after
complications of prematurity. The mortality of NA may directly after birth
or indirectly by its complications. Severe complication which often occurs
is hypoxic ischemic encephalopathy. Other complications may occur in all
organs of the human body. NA and the complications may cause growth
and development disorder, disability, and as risk factor of a non-
communicable diseases. Newborns who suffered NA require longer
duration of hospitalization. To date, there is no NA data incidence on a
national scale in Indonesia and it is likewise the impact of NA on the
length of treatment, hospital costs, growth and development, disability,
and economic.

PENDAHULUAN

Asfiksia neonatorum masih merupakan masalah dibidang


kesehatan neonatus di Dunia, terutama di negara berkembang.(1) Sebagai
penyebab kematian, asfiksia neonatorum merupakan penyebab nomor dua
setelah komplikasi prematuritas. Di Indonesia, asfiksia neonatorum masih
merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatus. Selain itu,
asfiksia neonatorum dapat menyebabkan terjadinya komplikasi selama
perawatan di rumah sakit (RS), yang berdampak peningkatan lama rawat
dan biaya. Hipoksia dan injuri reperfusi dapat menyebabkan kerusakan
organ-organ, terutama adalah kerusakan otak yang dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan tumbuh kembang. Makalah ini membahas masalah
dampak dan besar masalah asfiksia neonatorum di Indonesia.

DEFINISI ASFIKSIA NEONATORUM

Banyak definisi asfiksia neonatorum yang digunakan pada


penelitian-penelitian yang dilakukan di Dunia. Asfiksia didefinisikan
sebagai skor Apgar rendah (<4 atau <7) pada 1 menit atau 5 menit.
Penelitian lain menggunakan pH, kadar laktat dan tingkat tindakan
resusitasi.(1,2,3,4,5) Pembahasan lebih lanjut mengenai definisi asfiksia
neonatorum ini akan disampaikan oleh pembicara lain pada simposium
ini.

EPIDEMIOLOGI ASFIKSIA NEONATORUM

Kejadian asfiksia neonatorum di Dunia bervariasi dari yang sangat


rendah di negara maju sampai yang sangat tinggi di negara berkembang. Di
negara berpenghasilan tinggi kejadian asfiksia berkisar antara 0,4-6,9/1000
LH.(2,6) Selain itu juga terjadi penurunan kejadian asfiksia, seperti yang
terjadi di California di mana kejadian asfiksia dalam 10 tahun menurun
91%, dari 14,8/1000 LH menjadi 1,3/1000 LH.(6)
Di negara berkembang, kejadian asfiksia berkisar antara 4,5/1000
LH di Mesir – 45,9/1000 LH di Tanzania. Kejadian pada neonatus laki-
laki lebih tinggi daripada perempuan.(4,7,8) Di Tanzania, prevalensi skor
Apgar <7 sebesar 82,1%.(3) Di Indonesia belum ada data nasional
mengenai kejadian asfiksia. Juga tidak ada data persentase kematian pada
bayi yang lahir dengan asfiksia neonatorum. Di RSUP Dr. Sardjito yang
merupakan RS Tipe A Pendidikan, kejadian neonatus lahir dalam yang
memerlukan ventilasi tekanan positif minimal 1 siklus sebanyak 13,5%.
Insidennya pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) 33,5%, pada bayi
berat lahir rendah (BBLR) 17%, pada bayi berat lahir cukup (BBLC) 6,1%,
dan pada bayi berat lahir besar (BBLB) 12,5%. Insidens keseluruhan bayi
yang memerlukan VTP minimal satu siklus adalah 13,5%.(9)

DAMPAK ASFIKSIA NEONATORUM

Model dampak asfiksia neonatorum yang diajukan oleh Lee dkk(10)


adalah bahwa hipoksia yang terjadi pada masa persalinan dapat
mengakibatkan lahir mati. Pada masa neonatus, bayi yang mengalami
hipoksia ini akan lahir tidak bernapas atau gagal bernapas spontan karena
depresi pernapasan. Pada neonatus ini, kemungkinannya dapat tidak
terjadi masalah/komplikasi, terjadi ensefalopati, atau meninggal. Pada
yang tidak berkomplikasi, perkembangannya dapat normal, atau timbul
morbiditas. Sedangkan yang mengalami ensefalopati dapat normal
perkembangannya atau timbul morbiditas. Morbiditas yang terjadi dapat
berupa gangguan neurologis dan neurodevelopmental yang dapat berakibat
kematian, morbiditas fisik (pernapasan, ginjal, saluran cerna, hematologi,
kardiovaskular, dan penyakit tidak menular; juga dapat terjadi gangguan
mental.(10)

ANGKA KEMATIAN NEONATUS

Kematian neonatus di Dunia pada waktu sekarang kecenderungannya


menurun dibandingkan dekade sebelumnya.(11) Estimasi jumlah kematian
neonatus absolut pada tahun 2013 sebesar 2,8 juta. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa estimasi kematian neonatus absolut menurun dari
5.885.800 pada tahun 1970 menjadi 2.612.100 pada tahun 2013.(11)
Estimasi lain menunjukkan penurunan angka kematian neonatus, yaitu
dari 48,2/1000 lahir hidup (LH) pada tahun 1970 menjadi 18,4/1000 LH
pada tahun 2013. Namun proporsi angka kematian neonatus dini (<7 hari)
meningkat dari 65,1% pada tahun 1970 menjadi 76,1% pada tahun
2013.(12)
Data di atas menunjukkan bahwa menurunkan angka kematian
neonatus dini lebih sulit daripada menurunkan angka kematian neonatus
lambat. Kemungkinan hal ini juga disebabkan penurunan angka kematian
neonatus karena asfiksia yang lebih lambat.
Di Indonesia, angka kematian neonatus menurun dari 32/1000
LH pada tahun 1991 menjadi 19/1000 LH pada tahun 2012. Sedangkan
angka kematian neonatus dini pada tahun 2007 adalah 14/1000 LH,
menurun menjadi 13/1000 LH pada tahun 2012.(13) Menurut estimasi
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) jumlah
kematian absolut di Indonesia pada tahun 2015 sekitar 74.000, hanya
menurun sedikit dari tahun 2011 (75.000). Sedangkan angka kematian
neonatus 13,5/1000 lahir hidup.(14)

Tabel 1. Kematian neonatus di Indonesia per 1000 LH. (13)


Kematian 1991 2002/3 2007 2012
Neonatus 32 20 19 19
Perinatal t.d t.d 25 t.d
Neonatus Dini t.d t.d 14 13
Lahir mati t.d t.d 10 t.d
t.d: tidak ada data
KEMATIAN NEONATUS KARENA ASFIKSIA NEONATORUM
DAN KOMPLIKASINYA

Kematian sebagai akibat asfiksia neonatorum pada masa neonatus


dapat terjadi langsung setelah lahir atau akibat komplikasi, terutama
ensefalopati.(10) Kematian neonatus yang disebabkan oleh asfiksia
neonatorum menurun dalam satu dekade lebih. Di Dunia, pada tahun
2000 diperkirakan neonatus yang meninggal karena asfiksia neonatorum
sebesar 884.000 dan menurun menjadi 774.000 pada tahun 2010.
Penurunan ini besarnya adalah 2,4% tiap tahun.(1) Penelitian Oza
dkk.,(11) menunjukkan bahwa di seluruh Dunia pada tahun 2013 ada 2,8
juta kematian neonatus. Kematian neonatus yang disebabkan oleh asfiksia
neonatorum sebesar 640.000 (22,9%), dan merupakan kedua terbesar
setelah komplikasi prematuritas (990.000, 35,4%). Penyebab kematian
terbesar selanjutnya adalah infeksi (430.000, 15,4%).(11)
Intervensi yang paling besar dampak penurunan kematian akibat
asfiksia neonatorum adalah pada perbaikan manajemen persalinan, di
mana diperkirakan sekitar 790.000 bayi dapat diselamatkan. Selain itu juga
dapat dicegah 550.000 bayi lahir mati.(1) Intervensi pada penanganan bayi
baru lahir segera diperkirakan dapat menurunkan kematian sebesar
190.000. Intervensi lain, yaitu manajemen bayi baru lahir sehat (perawatan
neonatal esensial dapat menyelamatkan 230.000, dan perawatan bayi kecil
dan bayi sakit menyelamatkan 580.000 bayi.(1).
Di negara maju, kematian karena asfiksia neonatorum sudah
sangat rendah. DI USA disebutkan bahwa angka kematian neonatus
karena asfiksia neonatorum ini sebesar 4%.(6) Kematian neonatus karena
asfiksia di negara berkembang berkisar antara 16-61%. Di Bangladesh,
kematian karena asfiksia neonatorum selama perawatan sebesar 16%,(8) di
India 48%,(7) dan di Tanzania 61%.(15) Di Indonesia, proporsi kematian
neonatus yang disebabkan oleh asfiksia masih tinggi, yaitu 21% dari
seluruh kematian neonatus.(16) Angka ini menurun dibandingkan dekade
sebelumnya yang besarnya 25%. Tidak ada data yang menunjukkan angka
kematian spesifik karena asfiksia neonatorum secara nasional di Indonesia.
Sedangkan di RSUP Dr. Sardjito mortalitas karena asfiksia neonatorum
sebesar 19,4%. Semakin tinggi berat lahir semakin rendah kematiannya.
Mortalitas pada bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) 35%, bayi berat
lahir randah (BBLR) 16,7%, bayi berat lahir cukup (BBLC) 5,9%, dan bayi
berat lahir besar (BBLB) 0%.(9)
Kematian juga dapat terjadi karena komplikasi asfiksia
neonatorum. Kematian yang disebabkan oleh komplikasi ini yang paling
tinggi adalah pada ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Di Bangladesh
kematian EHI sebesar 12%,(8) di Afrika Selatan 13,3%,(4) di Tanzania
27,2%.(3) Sedangkan reviu yang dilakukan oleh Pappas dan Korzeniewski
(2016) angka kematian sebesar 26%.(17) Kematian pada EHI ditentukan
oleh berat ringannya kondisi klinis dan umur kehamilan. Pada kasus EHI
ringan kematiannya 3,8%, EHI sedang 22,9%, dan EHI berat 51,6%.(3)
Pada neonatus kurang bulan kematiannya 16%, sedangkan pada bayi
cukup bulan 10,5%. Namun pada lebih bulan kematiannya paling tinggi
(66,6%).(8) Waktu meninggal pasien EHI sebagian besar (72%) terjadi
pada 1-3 har1 pertama setelah lahir, dan sisanya 28% pada 4-7 hari.(3)
Kematian juga dapat disebabkan oleh komplikasi yang terjadi pada asfiksia
neonatorum. Pada kasus apnea berulang kematiannya 8%, enterokolitis
nekrotikans 5%, distres respirasi 4%, kejang 4%, sepsis 2%, intoleransi
minum 1%, ikterus 1%, cardiac arrest 1%.(8)

ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

Komplikasi asfiksia neonatorum yang paling serius adalah EHI,


karena banyak menyebabkan kematian dan sering menyebabkan gangguan
tumbuh kembang.(1,18) Dari sekitar 125 juta bayi yang lahir di seluruh
Dunia, sekitar 10 juta mengalami depresi napas (tidak bernapas saat lahir).
Dari angka tersebut, 1,15 juta berkembang menjadi ensefalopati (0,92%
dari seluruh kelahiran, 11,5% dari seluruh bayi yang tidak bernapas pada
saat lahir). EHI yang terjadi paling banyak adalah EHI ringan (439.000,
38,2%), diikuti EHI sedang (438.000, 38,1%), dan EHI berat (273.000,
23,7%).(10) Sebagian besar EHI (96%) terjadi di negara berpenghasilan
menengah bawah (low middle income countries).(1)
Kejadian EHI di Asia tengara, Asia Timur dan Pasifik sebesar
373.000 pada tahun 1980, dan menurun menjadi 246.861 pada tahun
2000 dan 147.778 pada tahun 2010. Namun meskipun ada penurunan,
angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju, di mana
kejadian EHI di negara maju pada tahun 2010 sebesar 18.550.(10) Data
lain menunjukkan bahwa kejadian EHI di negara maju berkisar antara
1,8/1000 LH(2). Di negara berkembang, kejadian EHI berkisar anatar
3,6/1000 LH.(4). DI Bangladesh kejadian EHI 45% dari seluruh neonatus
yang mengalami asfiksia neonatorum.(8) Bahkan di Tanzania kejadiannya
lebih tinggi lagi, yaitu 82,1%.(3)
Kejadian EHI tidak berhubungan dengan umur kehamilan.
Kejadian EHI kebanyakan pada bayi cukup bulan (57%), diikuti kurang
bulan (37%), dan lebih bulan (6%).(8) Proporsi EHI di Tanzania, EHI
ringan 24-28,3%, EHI sedang 32-38%, EHI berat 33,7%-44%.(3,7)
Kejadian EHI umumnya pada hari pertama, yaitu 60%.(7)
Risiko kejadian EHI di negara berkembang meningkat pada
persalinan yang ditolong oleh tenaga tidak terlatih dan tidak adanya akses
pelayanan kegawatan neonatus.(1) Kondisi di Indonesia di beberapa
daerah hal ini masih terjadi, sehingga dikhawatirkan bahwa kejadian EHI
tinggi di daerah-daerah tersebut.(16) Kejadian EHI secara nasional di
Indonesia belum diketahui dengan pasti. Data yang ada hanya di tingkat
rumah sakit, yaitu di RSUP Kandau Manado, di mana kejadian HIE
selama 5 bulan pada bayi cukup bulan adalah 39 kasus. Pada hasil
penelitian ini tidak dijelaskan angka kejadian EHI.(19) Dari kasus EHI
tersebut terdiri dari 41% EHI ringan, 46,2% EHI sedang, dan 12,8% EHI
berat. DI RSUP Dr. Sardjito kejadian EHI adalah 13,3% atau 10,8/1000
LH dari neonatus yang memerlukan resusitasi minimal VTP.(9)

PENYULIT ASFIKSIA LAIN

Selain berkomplikasi berat EHI, asfiksia neonatorum juga dapat


menyebabkan terjadi komplikasi di organ-organ tubuh yang lain. Hal ini
karena hipoksia yang terjadi pada asfiksia neonatorum juga menyebabkan
hipoksia pada organ-organ tersebut sehingga dapat menyebabkan
kerusakan dan gangguan fungsi. (10)
Pada sistem kardiovaskular, hipoksia menyebabkan gangguan
fungsi miokard sehingga kemampuan pemompaannya berkurang. Kejadian
neonatus pascaasfikisa yang membutuhkan inotropik di India sebesar
54,6%.(7) sedangkan di RSUP Dr. Sardjito kejadian komplikasi ini sebesar
9,5%.(9) Asfiksia juga meningkatkan kejadian duktus arteriosus persisten,
defek septum atrium, regurgitasi tricuspid, dan hipertensi pulmonal
sebesar 2,1 kali (IK-95%: 1,33-3,33).(20). Kejadian gawat jantung (cardiac
arrest) sebesar 3%.(8)
Pada sistem respirasi, terjadi gangguan adaptasi pada paru.
Vasodilatasi pembuluh darah paru seharusnya terjadi begitu bayi lahir.
Pada neonatus yang mengalami asfiksia hal ini tidak terjadi, sehingga
pembuluh darah paru tetap dalam keadaan vasokonstriksi. Selain itu
pembersihan cairan dalam alveoli juga terganggu. Akibat dari semua ini
adalah terjadi distres respirasi.(21) Kejadian distres respirasi berkisar antara
10%(8) sampai 91,4%.(9) Selain distres respirasi juga bisa terjadi apnea,
sampai 16%.(8)
Pada sistem urogenital, gagal ginjal terjadi pada 9,3% kasus asfiksia
neonatorum.(7) Pada penelitian lain didapatkan abnormalitas nefrologik
(oliguria) pada asfiksia neonatorum yang berdasarkan skor Apgar rendah
insidensnya 65%-83%, di mana semakin lama skor Apgar rendah semakin
tinggi kejadian abnormalitas nefrologik.(22) Kejadian acute kidney injury
(AKI) 63% dari bayi yang mengalami asfiksia neonatorum. Semakin berat
asfiksianya, semakin berat AKI-nya.(23)
Hipoksia yang terjadi pada saluran cerna menyebabkan gangguan
fungsi dan kerusakan. Kejadian enterokolitis nekrotikans sebesar 7%,
intoleransi minum 6%.(8) Komplikasi lain asfiksia adalah sepsis
neonatorum (16%),(8), hiperkalemia (78,7%),(7) abnormalitas hematologi
(3.3%) dan ikterus (20%).(7)

DAMPAK TUMBUH KEMBANG ASFIKSIA NEONATORUM

Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan gangguan tumbuh


kembang pada masa bayi dan masa anak. Di seluruh dunia, dari 1,2 juta
neonatus yang mengalami asfiksia, 233.000 (19,4%) mengalami gangguan
perkembangan sedang sampai berat.(1) dan 181.000 (15,1%) gangguan
perkembangan ringan. Selain itu juga berdampak 50,2 juta disability
adjusted life years (DALY) dan 6,1 tahun hidup dengan kecacatan.(1) Sekitar
10% DALY terjadi karena gangguan yang terjadi pada 28 hari pertama
kehidupan. DALY adalah pengukuran keseluruhan gangguan penyakit,
yang diekspresikan sebagai jumlah tahun keseluruhan yang hilang karena
kecacatan dan years of life lost. DALY = YLD (years life with disability) + YLL
(years of life lost). Ensefalopati neonatorum bersama dengan trauma lahir,
DALY-nya sebesar 66.760.900 pada tahun 2005 dan menurun menjadi
58.012.700 pada tahun 2013.(12)
Kejadian gejala sisa neurologis di negara berkembang bervariasi,
dari 28%-43%.(7,8,24) Pada neonatus yang dilakukan terapi hipotermi,
gangguan perkembangan mayor pada umur 18-24 bulan mencapai
19%.(17)
Macam-macam kecacatan dan gangguan perkembangan sebagai
akibat asfiksia adalah palsi serebralis, gangguan spektrum autistik,
gangguan kognitif, bahasa, motorik halus dan kasar, intelijensi, diskinetik,
tetraplegi, diplegi spastik.(2) Di Afrika Selatan, kejadian palsi serebralis
terjadi pada pada kasus asfiksia neonatorum sebesar 11,5%, dan gangguan
keterlambatan perkembangan (developmental delay) 5,3%, mikrosefali 0,9%,
palsi serebralis dan mikrosefali 1,8%, keterlambatan perkembangan dan
mikrosefali 0,9%, dan kejang 0,9%.(4) Pada penelitian lain didapatkan
hasil gangguan komunikasi 26,3%, motorik kasar 31,6%, motorik halus
26,3%, memecahkan masalah (problem solving) 21,1%, personal sosial
26,3%.(25) Kecatatan perkembangan neurologis terjadi pada 0,2/1000 LH
yang berhubungan dengan asfiksia neonatorum.(2)
Kejadian palsi serebralis pada neonatus yang mengalami asfiksia
neonatorum di negara maju sebesar 2/1000 LH.(26) Dilaporkan juga
bahwa palsi serebralis terjadi pada neonatus yang dilakukan terapi
hipotermi sebesar 23%.(17) Penelitian di Yogyakarta didapatkan bahwa
asfiksia merupakan faktor risiko palsi serebralis sebesar 6,3 kali (IK-95%:
2,42-16,6)(27) Asfiksia neonatorum merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan spektrum autistik (autistic spectrum disorder) sebesar 8,7 (1,9-
38,6).(28) Gangguan perkembangan lain adalah retardasi mental, epilepsi,
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan psikotik
(schizophrenia, sindrom psikotik), diabetes mellitus tipe-2, dan kanker.(18)
Gangguan perkembangan mayor terjadi pada 26% kasus yang
dilakukan terapi hipotermi. Mental development index (MDI) <2 standard
deviasi (SD) sebesar 25%.(17) Gangguan perkembangan lain adalah
kognitif, bahasa, dan motorik.(17) MDI dan psychomotor development index
(PDI) akan membaik dengan intervensi dini perkembangan.(29)
Pada EHI ringan, luaran pada umur 18 bulan semuanya normal
perkembangannya. Sedangkan pada EHI yang berat semua abnormal
perkembangannya.(2) Luaran pada umur 8 tahun pada EHI berat adalah
82% meninggal dan 18% mengalami kecacatan. Sedangkan pada EHI
sedang, 80% tanpa kecatatan, 5% meninggal dan 15% mengalami
kecacatan. Pada HIE ringan tidak ada perbedaan dengan bayi yang tidak
mengalami HIE.(30) Kecatatan yang terjadi adalah integention quotient (IQ),
integrasi motor visual, dan bahasa reseptif, dan kemampuan membaca.
Semakin berat EHI semakin tinggi gangguan perkembangannya.(30)
Dampak perkembangan pada umur 9-10 tahun pada neonatus yang
mengalami EHI adalah tingkat kecerdasan yang rendah, dan skor
neuromotorik yang juga rendah.(31)
Tingkat resusitasi berkorelasi positif dengan luaran. Luaran pada
bayi yang dilakukan resusitasi sampai VTP pada umur 18 bulan yaitu
normal 93,2%, cacat 4,1%, dan meninggal 1,4%. Pada yang dilakukan
resusitasi VTP dan intubasi, perkembangan normal sebanyak 80%, cacat
6,7%, meninggal 10%. Sedangkan pada resusitasi sampai VTP dan
kompresi dada (KD) semuanya normal (tidak ada yang cacat dan
meninggal). VTP-KD dan intubasi, luaran normal 75%, cacat 25%,
meninggal 0%. Resusitasi VTP-KD-intubasi-adrenalin yang normal 9,1%,
cacat 18,2%, meninggal 72,7%. Dan secara keseluruhan, perkembangan
normal 87,7%, cacat 5,3%, meninggal 5,7%.(2).
Dengan tidak adanya data insidens asfiksia neonatorum dan
komplikasinya di Indonesia, sulit untuk mengetahui besarnya dampak
pada tumbuh kembang dan kecacatan.
LAMA RAWAT

Neonatus yang mengalami asfiksia memerlukan perawatan yang lebih lama


daripada yang tidak. Hal ini karena pada asfiksia neonatorum dapat terjadi
komplikasi yang memerlukan penanganan dan perawatan. Namun,
beberapa penelitian disebutkan bahwa lama perawatan neonatus yang
mengalami asfiksia tanpa komplikasi sama dengan neonatus yang tidak
asfiksia.(8) Lama perawatan pasien EHI 1-3 hari sebanyak 34,3%, 4-7 hari
44,8%, dan >7 hari 20,9%.(3) Lama rawat berhubungan dengan
keparahan EHI, di mana semakin berat semakin lama perawatannya.(3)
Data di RSUP Dr. Sardjito menunjukkan bahwa neonatus yang
mengalami asfiksia neonatorum perlu perawatan yang lebih lama
dibandingkan yang tidak. Semakin rendah berat lahir semakin lama waktu
perawatan (Table 2).(9)

Tabel 2. Lama rawat.(9)


ASFIKSIA (hari) TIDAK ASFIKSIA
(hari)
BBLSR 30 27,9
BBLR 26 14,5
BBLC 7,5 6,9
BBLB - 7,9
<29 minggu 35
29-32 minggu 41,7 27,8
33-36 minggu 18,7 13,5
37-41 minggu 8,4 7,9
>41minggu 19,4 -
RESUSITASI NEONATUS

Di Indonesia pada waktu sekarang ada 4 pedoman resusitasi


neonatus, yaitu Membantu Bayi Bernapas,(32) Manajemen Asfiksia untuk
Bidan,(33) Program Resusitasi Neonatus(1), dan Resusitasi Neonatus
Ikatan Dokter Anak Indonesia(34) Masing-masing pedoman ini
diperuntukkan sesuai kompetensi dan tingkat pelayanan. Membantu Bayi
Bernapas (MBB) adalah pedoman untuk bidan di daerah dan fasilitas yang
sangat terbatas.(32) Kementerian Kesehatan pada tahun 2007 membuat
buku pedoman Manajemen Asfiksia untuk Bidan, yang juga merupakan
pedoman untuk bidan. Pedoman ini sekarang sedang dalam proses revisi
menjadi Manajemen Asfiksia untuk Paramedis, di mana pedoman ini juga
digunakan oleh perawat yang melakukan resusitasi neonatus di Puskesmas.
(33) Program Resusitasi Neonatus merupakan pedoman dari American
Academy of Pediatrics (AAP) dan American Heart Association (AHA).
Pedoman ini pada dasarnya untuk petugas kesehatan di RS (perawat,
dokter, spesialis anak) di fasilitas kesehatan yang lengkap. Sedangkan
pedoman Resusitasi Neonatus yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi
(UKK) Neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun
2014 merupakan pedoman untuk dokter spesialis anak yang bekerja di RS.
Pedoman ini merupakan yang paling lengkap, di mana berisi tidak hanya
prosedur resusitasi saja, tapi juga berisi prosedur stabilisasi dan
transportasi.
Sudah banyak pelatihan yang diselenggarakan di Indonesia
berdasarkan modul-modul tersebut. Resusitasi Neonatus IDAI yang
diselenggarakan oleh UKK Neonatologi sudah tiga kali diadakan, belum
termasuk yang diselenggarakan oleh senter-senter di tempat masing-masing.
Perinasia sudah menyelenggarakan pelatihan NRP hampir 500 angkatan
sampai akhir tahun 2016. Dinas Kesehatan di Kabupaten/Kota
menyelenggarakan pelatihan Manajemen Asfiksia untuk Bidan di banyak
daerah. Begitu pula MBB sudah dilatihkan di seluruh Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, sudah banyak petugas
kesehatan yang dilatih resusitasi neonatus, di berbagai tingkat kompetensi
dan tingkat fasilitas kesehatan. Namun, sampai waktu sekarang belum
diketahui berapa banyak petugas kesehatan yang betul-betul terampil
melakukan resusitasi neonatus ini dan melaksanakannya sesuai pedoman.
Sampai waktu sekarang belum ada evaluasi tentang hal ini.
Kesiapan petugas merupakan salah satu kunci keberhasilan
resusitasi neonatus. Petugas yang terampil melakukan resusitasi neonatus
harus siap pada setiap persalinan.(1,34) Semakin tinggi risiko terjadinya
asfiksia neonatorum, semakin tinggi pula kompetensi petugas yang mampu
melakukan resusitasi. Ini sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan
oleh UKK Neonatologi nomor 007/Rek/PP IDAI/XI/2013, tentang
Kehadiran Dokter Spesialis Anak pada Pertolongan Persalinan per
Vaginam(35) dan nomor 005/Rek/PP IDAI/V/2014 tentang
 Resusitasi
dan Stabilisasi Neonatus.(36) Belum ada data yang menunjukkan berapa
persen petugas kesehatan yang siap untuk melakukan resusitasi.
Resusitasi neonatus memerlukan peralatan yang lengkap, di mana
semakin tinggi risiko terjadinya asfiksia maka peralatan yang disiapkan
harus semakin lengkap. Kesiapan alat dan perlengkapan resusitasi
memegang peranan penting dalam keberhasilan resusitasi. Selain itu,
persiapan juga berupa kerja sama tim, lingkungan, alat tranportasi dan
stabilisasi. Sebelum bayi lahir harus sudah diketahui faktor risiko
terjadinya asfiksia sehingga tim menjadi lebih siap.(1,34)
Resusitasi neonatus meliputi tahap airway, breathing, circulation,
drug, evaluation (ABCDE). Sekitar 10% neonatus memerlukan resusitasi
agar bayi bernapas spontan dan sirkulasinya baik. Keterampilan resusitasi
sudah terbukti dapat menurunkan kematian karena asfiksia neonatorum.
Satu meta-analisis/reviu sistematik menunjukkan bahwa pelatihan
resusitasi dapat menurunkan 30% kematian yang berhubungan dengan
hipoksia intrapartum (RR: 0,7; 95%-IK: 0,59-0,84). Sedangkan pelatihan
resusitasi di tingkat komunitas dapat menurunkan kematian asfiksia
sebesar 20%. Di negara yang angka kejadian asfiksia neonatorumnya
tinggi, seperti di Tanzania, penurunannya lebih tinggi lagi yaitu 47% (RR:
0,53; IK-95%: 0,43-0,65) dan angka kematian fresh still birth 24% (RR:
0,76; IK-95%: 0,64-0,90). Di seluruh Dunia, sekitar 6 juta bayi dapat
diselamatkan dengan resusitasi sampai ventilasi tekanan positif. Sekitar 1%
memerlukan resusitasi tingkat lebih lanjut seperti kompresi dada, intubasi,
dan pemberian obat-obatan.(1)
Pascaresusitasi neonatus perlu monitoring dan evaluasi kondisi
klinis. Dampak hipoksia pada organ-organ perlu dipantau dan bila terjadi
perlu penanganan yang memadai. Problem-problem tersebut meliputi
respirasi, oksigenasi, gangguan metabolik, gangguan elektrolit, asidosis,
hipotermia, kejang, neurologis, kardiaovaskular, ginjal, hepar. Perawatan
pascaresusitasi yang efektif dapat menurunkan angka kematian dan
memperbaiki luaran neurodevelopmental. Perawatan pascaresusitasi ini
memerlukan fasilitas yang memadai dan tenaga medis yang kompeten.(1)

PENUTUP

Asfiksia neonatorum di Indonesia masih merupakan masalah, baik


dampaknya terhadap kematian neonatus maupun gangguan tumbuh
kembang. Sampai waktu sekarang belum diketahui insidens asfiksia secara
nasional di Indonesia, sehingga angka kematian spesifik yang disebabkan
asfiksia pun belum diketahui. Seberapa besar dampak asfiksia neonatorum
pada tumbuh kembang, biaya perawatan dan dampak lainnya belum
diketahui sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariff S, Lee AC, Lawn J, Bhutta ZA. Global Burden, Epidemiologic


Trends, and Prevention of Intrapartum-Related Deaths in Low-
Resource Settings. Clin Perinatol. 2016 Sep;43(3):593–608.

2. Thornberg E, Thiringer K, Odeback A, Milsom I. Birth asphyxia:


incidence, clinical course and outcome in a Swedish population. Acta
Paediatr. 1995;84(8):927–932.

3. Athumani J. prevalence and immediate outcomes of hypoxic


ischaemic encephalopathy (hie) among infants with birth asphyxia
admitted at the neonatal ward of muhimbili national hospital in dar es
salaam, tanzania. Dar Es Salaam Med Stud J. 2008;15(1):17–19.

4. Padayachee N, Ballot DE. Outcomes of neonates with perinatal


asphyxia at a tertiary academic hospital in Johannesburg, South Africa.
South Afr J Child Health. 2013 Aug 30;7(3):89–94.

5. Seikku L, Gissler M, Andersson S, Rahkonen P, Stefanovic V,


Tikkanen M, et al. Asphyxia, Neurologic Morbidity, and Perinatal
Mortality in Early-Term and Postterm Birth. Pediatrics. 2016 Jun
1;137(6):e20153334.

6. Wu YW, Backstrand KH, Zhao S, Fullerton HJ, Johnston SC.


Declining Diagnosis of Birth Asphyxia in California: 1991-2000.
PEDIATRICS. 2004 Dec 1;114(6):1584–90.

7. Nath AK, Hazarika D. PROFILE OF ASPHYXIATED BABIES AT


NEONATAL INTENSIVE CARE UNIT IN A TERTIARY CARE
HOSPITAL IN NORTH EASTERN INDIA. J Evol Med Dent Sci-
JEMDS. 2016;5(42):2707–2710.

8. Shireen N, Nahar N, Mollah AH. Risk factors and short-term outcome


of birth asphyxiated babies in Dhaka Medical College Hospital.
Bangladesh J Child Health. 2009;33(3):83–89.

9. Data Tahunan 2015-2016. Instalasi Maternal-Perinatal. RSUP Dr.


Sardjito. Yogyakarta.

10. Lee AC, Kozuki N, Blencowe H, Vos T, Bahalim A, Darmstadt GL, et


al. Intrapartum-related neonatal encephalopathy incidence and
impairment at regional and global levels for 2010 with trends from
1990. Pediatr Res. 2013 Dec;74:50–72.

11. Oza S, Lawn JE, Hogan DR, Mathers C, Cousens SN. Neonatal cause-
of-death estimates for the early and late neonatal periods for 194
countries: 2000–2013. Bull World Health Organ. 2015 Jan
1;93(1):19–28.

12. Wang H, Liddell CA, Coates MM, Mooney MD, Levitz CE,
Schumacher AE, et al. Global, regional, and national levels of
neonatal, infant, and under-5 mortality during 1990–2013: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013.
Lancet. 2014 Sep 13;384(9947):957–79.

13. Kementerian Kesehatan RI. Lampiran 1. Analisis situasi kesehatan


neonatal di Indonesia. Jakarta, 2014.

14. WHO 2016. http://apps.who.int/gho/data/node.country.country-


IDN?lang=en Diunduh pada 1 November 2016.

15. Ersdal HL, Mduma E, Svensen E, Perlman J. Birth Asphyxia: A Major


Cause of Early Neonatal Mortality in a Tanzanian Rural Hospital.
PEDIATRICS. 2012 May 1;129(5):e1238–43.

16. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta, 2013.

17. Pappas A, Korzeniewski SJ. Long-Term Cognitive Outcomes of Birth


Asphyxia and the Contribution of Identified Perinatal Asphyxia to
Cerebral Palsy. Clin Perinatol. 2016 Sep;43(3):559–72.

18. Golubnitschaja O, Yeghiazaryan K, Cebioglu M, Morelli M, Herrera-


Marschitz M. Birth asphyxia as the major complication in newborns:
moving towards improved individual outcomes by prediction, targeted
prevention and tailored medical care. EPMA J. 2011 Jun;2(2):197–
210.

19. Wijata A, Wilar R. Kadar Neuron-Specific Enolase Serum dan Derajat


Ensefalopati Hipoksik Iskemik pada Asfiksia Neonatorum. Sari
Pediatri. 2016 Nov 18;18(1):1–5.

20. Masyhur M, Amir I, Putra ST, Tumbelaka AR. Echocardiographic


patterns in asphyxiated neonates. Paediatr Indones. 2009 Aug
31;49(4):214–8.
21. Wyckoff MH, Aziz K, Escobedo MB, Kapadia VS, Kattwinkel J,
Perlman JM, et al. Part 13: Neonatal Resuscitation 2015 American
Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2015;132(18 suppl 2):S543–S560.

22. Amir I, Manoe VM, Tambunan T. Nephrologic abnormalities in


neonatal asphyxia at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Paediatr
Indones. 2004;44(3–4):67.

23. Amardiyanto R, Trihono PP, Rundjan L, Pusponegoro HD. Acute


kidney injury in asphyxiated neonates. Paediatr Indones. 2013 Aug
31;53(4):232–8.

24. Halloran DR, McClure E, Chakraborty H, Chomba E, Wright LL,


Carlo WA. Birth asphyxia survivors in a developing country. J
Perinatol. 2009;29(3):243–249.

25. Zubčević S, Heljić S, Spahović R, Kalkan I, Terzić S, et al.


Neurodevelopmental outcome following therapeutic hypothermia for
perinatal asphyxia. Paediatr Croat. 2014 Dec 30;58(4):262–9.

26. Clark SM, Basraon SK, Hankins GD. Intrapartum Asphyxia, Neonatal
Encephalopathy, Cerebral Palsy, and Obstetric Interventions in the
Term and Near-Term Infant. NeoReviews. 2013;14(1):e13–e21.

27. Gunarwati S, Patria SY, Julia M. Risk factors of cerebral palsy in the
perinatal period. Paediatr Indones. 2016 Sep 26;48(3):175–9.

28. Yuniastuti A, Wibowo T, Ismail D. Perinatal factors associated with


autistic spectrum disorder. Paediatr Indones. 2014 Jun 30;54(3):144–
8.

29. Carlo WA, Goudar SS, Pasha O, Chomba E, Wallander JL, Biasini FJ,
et al. Randomized Trial of Early Developmental Intervention on
Outcomes in Children after Birth Asphyxia in Developing Countries.
J Pediatr. 2013 Apr 1;162(4):705–712.e3.

30. Robertson CMT, Finer NN, Grace MGA. School performance of


survivors of neonatal encephalopathy associated with birth asphyxia at
term. J Pediatr. 1989 May 1;114(5):753–60.

31. Kontio T, Toet MC, Hellström-Westas L, van Handel M, Groenendaal


F, Stjerna S, et al. Early neurophysiology and MRI in predicting
neurological outcome at 9–10years after birth asphyxia. Clin
Neurophysiol. 2013 Jun;124(6):1089–94.

32. Perinasia. Membantu Bayi Bernapas. 2013.

33. Kementerian Kesehatan RI. Manajemen Asfiksia untuk Bidan. 2007

34. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Resusitasi Neonatus. 2014.

35. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi nomor 007/Rek/PP


IDAI/XI/2013, tentang Kehadiran Dokter Spesialis Anak pada
Pertolongan Persalinan per Vaginam

36. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi nomor 005/Rek/PP


IDAI/V/2014 tentang
 Resusitasi dan Stabilisasi Neonatus
PENCEGAHAN DAN MANAJEMEN ASFIKSIA INTRA PARTUM

Bambang Rahardjo

Divisi Maternal Fetal Medicine


SMF/Lab. Obstetri dan Ginekologi
RSU Dr Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya – Malang

Abstrak
Istilah asfiksia berasal dari Yunani yang berarti “stopping of the
pulse”. Asfiksia perinatal merupakan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan gas pernafasan (O2 dan CO2) yang menyebabkan hipoksemia dan
hiperkapnea sehingga terjadi metabolik asidosis. Angka kejadian asfiksia
sekitar 1-6 per 1000 kelahiran hidup. Asfiksia menempati urutan ketiga
penyebab kematian neonatal (23%) setelah kelahiran preterm (28%) dan
infeksi (26%).
Asfiksia intrapartum didefinisikan sebagai metabolik asidosis yang
diukur pada saat kelahiran dengan pH kurang dari 7,00 dan defisit basa
lebih atau sama dengan 12 mmol/L. Ada beberapa konsensus dalam dalam
menentukan kriteria asfiksia intra partum diantaranya yang dikeluarkan
oleh American College of Obstetric and Gynaecology (ACOG) tahun 2002,
dimana ada 4 kriteria utama dan 5 kriteria tambahan. Kriteria tersebut
adalah Asidosis metabolik (PH < 7,0 dan defisit basa > 12 mmol/L) pada
sampel darah umbilikus, encephalopathy sedang atau berat, cerebral palsy
tipe spastic quadriplegia atau dyskinetic, disingkirkan penyebab lain;
kriteria tambahan meliputi kejadian sentinel, perubahan denyut janin yang
mencolok, Apgar skor < 3 lebih dari 5 menit, kegagalan sistem multi organ
pada 72 jam pertama kehidupan, dan adanya temuan pada pencitraan
awal.
Asfiksia intra partum dapat berkembang dari kondisi kehamilan
dengan faktor resiko tambahan seperti gangguan trombosis, diabetel
mellitus, preeklampsia, IUGR dll. Demikian pula asfiksia intra partum
dapat diakibatkan oleh kejadian-kejadian yang dapat terjadi selama
persalinan berlangsung, antara lain solusio plasenta, ruptura uteri, prolaps
tali pusat, partus lama, partus dengan tindakan maupun chorioamnionitis.
Pencegahan terjadinya asfiksia intra uterin sangat penting untuk
menghasilkan bayi yang berkualitas. Hal ini dikarenakan asfiksia intra
uterin dapat menyebabkan kematian janin dan bayi, tetap dilain pihak jika
dapat menyebabkan efek jangka panjang berupa Hypoxic Ischemia
Encephalopathy (HIE), gangguan multi sistem organ , hipertensi pulmonal
maupun Necrotizing Entero Colitis (NEC). Oleh karena itu diperlukan
strategi pengelolaan kehamilan resiko tinggi mulai dari pelayanan
kesehatan primer sampai tingkat rujukan. Penggunaan metode intermiten
auscultation dan pemantauan persalinan dengan menggunakan Partograf
terbukti dapat menurunkan kejadian keterlambatan rujukan dan angka
asfiksia intra uterin. Pada tingkat rujukan penggunaan metode electronic
fetal monitoring maupun penilaian kesejahteraan janin dengan
menggunakan Biophysical Profile sangat bermanfaat dalam deteksi dini
terjadinya asifiksia intra uterin maupun intra partum. Hal ini tentunya
harus didukung juga oleh tim PONEK yang diantara beranggotan dokter
spesialis kebidanan, anastesi dan perinatologi/neonataologi.
Penapisan dan pengelolaan kehamilan resiko tinggi, deteksi dini
asfiksia intra uteri dan pengambilan keputusan yang tepat serta didukung
oleh tim PONEK yang solid menjadi kunci strategi dalam pencegahan dan
penanggulangan asfiksia intra uterin. Hal ini akan sangat bermakna dalam
ikut membantu menurunkan angka kematian bayi serta membantu
menghasilkan generasi unggul dimasa yang akan datang.

Kata kunci: asfiksia intra partum, kehamilan resiko tinggi, fetal monitoring
DIAGNOSIS ASFIKSIA NEONATORUM
Tunjung Wibowo

Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Dr. Sardjito
/ Fakultas Kedokteran UGM/ KSM Kesehatan Anak
Yogyakarta

Abstrak
Asfiksia masih merupakan penyebab utama kematian neonatus dini.
Menurut WHO asfiksia menyumbangkan 23% penyebab kematian
neonatus di seluruh dunia . Salah satu masalah dalam penanganan asfiksia
adalah kesepakatan dalam diagnosis. Task Force yang dibentuk oleh World
Federation of Neurology Group for the prevention of cerebral palsy and related
neurologic mendifinisikan asfiksia sebagai suatu kondisi gangguan
pertukaran udara yang kalau berlanjut akan menyebabkan hipoksemia
yang progresif dan hiperkapnea dengan asidosis metabolik yang signifikan.
American College of Obstetricians and Gynecologists’ Task Force on Neonatal
Encephalopathy mengajukan syarat diagnosis asfiksia adalah 1) Skor apgar <
5 pada menit ke-5 dan 10; 2) acidemia patologis dengan pH arteri
umbilikus <7,0 dan/atau Base deficit ≥ 12 mmol/L; 3) Bukti dari
neuroimaging terdapat Acute Brain Injury pada Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau Magnetic Resonance Spectroscopy yang sesuai dengan gambaran
Hypoxia–Ischemia; 4) Terdapat kegagalan sistem multiorgan yang sesuai
dengan kondisi Hypoxic–Ischemic Encephalopathy. WHO mengklasifikasikan
asfiksia menjadi asfiksia ringan, sedang, dan asfiksia berat sesuai dengan
ICD-10 versi 2016. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa
pemeriksaan laktat dari arteri umbilikus > 8 mmol/L bisa menjadi
indikator adanya asfiksia pada saat lahir.

Pendahuluan

Asfiksia masih merupakan penyebab utama kematian neonatus


dini. Menurut data WHO asfiksia menyumbangkan 23% kematian bayi
baru lahir di seluruh dunia1. Afiksia neonatorum merupakan suatu insult
hipoksia yang bisa menyebabkan asidosis metabolik, encefalopati, dan
disfungsi sistem multiorgan. Task Force yang dibentuk oleh World Federation
of Neurology Group for the prevention of cerebral palsy and related neurologic
mendifinisikan asfiksia sebagai suatu kondisi gangguan pertukaran udara
yang kalau berlanjut akan menyebabkan hipoksemia yang progresif dan
hiperkapnea dengan asidosis metabolik yang signifikan2 . Istilah asfiksia
perinatal atau lahir asfiksia dan hypoxic-ischemic encephalopathy
seharusnya tidak digunakan sampai terdapat bukti adanya masalah
neurologis yang disebabkan oleh asfiksia pada neonatus3.
Keparahan asfiksia dapat diklasifikasikan dengan menentukan
luaran jangka pendek berupa gejala encephalopathy dan komplikasi sitem
organ neonatus. Kondisi alternatif ini diperlukan karena durasi asfiksia
tidak dapat ditentukan dan determinan serta gejala klinis compensasi atau
dekompensasi sistem kardiovaskuler janin tidak tersedia2
Ensefalopati neonatus secara klinis didefinisikan sebagai suatu
sindrom gangguan fungsi neurologis yang terjadi pada awal kehidupan
pada bayi yang lahir dengan umur kehamilan lebih dari 35 minggu,
manifestasi yang muncul berupa gangguan kesadaran atau kejang dan
biasanya diikuti oleh kesuitan bernapas dan depresi tonus serta reflek4.

Diagnosis asfiksia

Untuk mendiagnosis asfiksia menurut American College of Obstetricians and


Gynecologists’ Task Force on Neonatal Encephalopathy diperlukan gejala dan
tanda sebagai berikut4:
1. Skor apgar < 5 pada menit ke-5 dan 10
Skor apgar yang rendah pada menit ke-1 tidak berhubungan dengan
luaran jangka panjang. Skor apgar yang rendah pada menit ke-5 dan
10 terbukti meningatkan risiko terjadinya cerebral palsy dan
kematian5,6. Skor apgar yang rendah pada menit ke-5 disertai tanda
lain asfiksia merupakan prediktor untuk terjadinya kejang7.
Penyebab skor apgar yang rendah sangat banyak tetapi jika skor apgar
pada menit ke-5 lebih atau sama dengan 7, kemungkinan besar
hipoksi-iskemia peripartum bukan sebagai penyebab terjadinya
encepalopati neonatorum4.
2. Acidemia pada arteri umbilikus
Batasan acidemia yang patologis adalah pH arteri umbilikus <7,0
dan/atau Base deficit ≥ 12 mmol/L. Sebenarnya acidemia adalah
apabila pH arteri umbilikus <7,2 tetapi ternyata sebagian besar bayi
dengan pH arteri umbilikuss > 7,0 lahir dalam keadaan bugar dan
tidak terdapat sequele neurologis. Risiko ensefalopati neonatorum
akan meningkat apabila pH arteri umbilikus < 7,0. Apabila pH arteri
umbilikus > 7,2 kejadian ensefalopati neonatorum kemungkinan
besar tidak disebabkan oleh hipoksia intrapartum4,8.
3. Bukti dari neuroimaging terdapat Acute Brain Injury pada Magnetic
Resonance Imaging (MRI) atau Magnetic Resonance Spectroscopy yang sesuai
dengan gambaran Hypoxia–Ischemia
Pemeriksaan MRI merupakan modalitas neuroimaging terbaik untuk
melihat perjalanan alamiah dan tingkatan jejas otak pada neonatus
dengan ensefalopati. USG kepala dan CT scan kurang sensitif untuk
mengevaluasi kondisi tersebut. 
 Pemeriksaan MRI setelah 24 jam
pertama oleh ahli neuroradiologist yang terlatih yang tidak menemukan
area jejas pada otak dapat menyingkirkan kemungkinan peri atau
intrapartum hipoksia-iskemia sebagai penyebab ensefalopati neonatus.

 Waktu optimal pemeriksaan MRI adalah 10 hari pertama.
Pemeriksaan pada 24-96 jam bisa menggambarkan waktu terjadinya
cerebral injuri4.
4. Terdapat kegagalan sistem multiorgan yang sesuai dengan kondisi
Hypoxic–Ischemic Encephalopathy
Kegagalan organ multi sistem bisa bisa terjadi injuri pada ginjal, hepar,
gastrointestinal abnormalitas hematologi, disfungsi kardiologi dan
gangguan metabolisme Atau kombinasi dari beberapa hal diatas.
Keparahan injuri otak yang terlihat pada neuroimaging tidak selalu
berhubungan dengan derajat injuri pada sistem organ lainnya4.
Kerusakan di saluran cerna bisa berupa cedera pada dinding usus.
Cedera bisa sebatas mukosa atau seluruh dinding usus dan bahkan bisa
terjadi perforasi. Gangguan ini akan mempengaruhi manajemen
pemberian minum. Cider pada hepar juga bisa terjadi yang ditandai
dengan kenaikan transaminase9.
Gangguan pada sistem hematologi bisa berupa disseminated
intravascular coagulation. Apabila jejas iskemia mengenai sumsusm
tulang akan menyebabkan supresi sumsum tulang dengan gejala awal
trombositopenia9.
Gangguan metabolik yang biasanya terjadi adalah hipoglikemia,
hipocalsemia, myoglobinuria dan inappropriate secretion of
antidiuretic hormone yang bisa menyebabkan hiponatremia. Kondisi
ini harus segera diatasi supaya tidak meningkatkan risiko kejang9.
Kondisi ginjal sangat berhubungan dengan kondisi otak. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa pasien asfiksia yang menderita oliguria
setelah 24 jam meningkatkan kematian dari 5% menjadi 33% dan jejas
pada neurologi dari 10% menjadi 67%10.
Menurut WHO sesuai dengan ICD-10 versi 2016 Asfiksia
diklasifikasikan sebagai berikut:11
1. Asiksia ringan sedang
 Napas normal tidak tercapai dalam 1 menit pertama tetapi
denyut jantung ≥ 100 x/menit, hipotoni sedang, dan
memberikan sedikit respon terhadap stimulasi
 Skor Apgar menit pertama 4 – 7
2. Asfiksia berat
 Denyut jantung kurang dari 100 X/menit, cenderung
turun atau menetap, tidak bernapas atau megap-megap,
pucat, tonus otot jelek
 Skor Apgar menit pertama 0 – 3

Peranan laktat untuk diagnosis asfiksia

Asfiksia merupakan proses hipoksik-iskemik yang akan


menyebakan metabolisme anaerobik. Selama metabolisme anaerobik akan
diproduksi laktat yang akan meningkatkan metabolisme laktat.
Pemeriksaan laktat di arteri umbilikus segera setelah lahir bisa sebagai alat
untuk menilai asidosis metabolik selama persalinan. Pemeriksaan laktat
mempunyai keuntungan dibandingkan base excess karena laktat diperiksa
secara langsung sedangkan base excess harus dihitung secara algoritma yang
mungkin akan dipengaruhi alat yang digunakan12.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan laktat dari arteri
umbilikus > 8 mmol/L bisa menjadi indikator adanya asfiksia pada saat
13,14
lahir . Permasalahan teknis yang sering dihadapi adalah darah arteri
tidak selalu bisa didapatkan. Vena umbilikalis lebih mudah diakses karena
ukurannya lebih besar. Penelitian yang dilakukan oleh Tuuli dkk, 2016
menunjukkan bahwa pemeriksaan laktat dari vena umbilikus dapat
memprediksikan adanya asidosis laktat di arteri umbilikus15.
Simpulan
Asfiksia merupakan proses yang didahului adanya hipoksik-
iskemia yang menyebabkan asidosis akan memberikan dampak pada sistem
neurologi pada masa neonatus. Diagnosis asfiksia menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists’ Task Force on Neonatal
Encephalopathy berdasarkan skor Apgar menit ke-5, pemeriksaan analisis
gas darah, pemeriksaan neuroimaging dan adanya kegagalan sistem
multiorgan. Pemeriksaan laktat arteri atau vena umbilikus bisa menjadi
prediktor asfiksia saat lahir.

Daftar Pustaka

1. (WHO. Newborn death and illness. 2011 didunduh dari:


http://www.who.int/pmnch/media/press_materials/fs/fs_newborn
dealth_illness/en/# tanggal 20 Oktober 2016).
2. Low JA. Intrapartum fetal asphyxia: Definition, diagnosis, and
classification. Am J Obstet Gyneco11997;176:957-9
3. Bax M, Nelson KB. Birth asphyxia: a statement. Dev Med Child
Neurol 1993;35:1022-4.
4. D’Alton ME, Hankins GDV, MD, Berkowitz RL, Bienstock J,
Ghidini A, Goldsmith J. dkk. Neonatal Encephalopathy and
Neurologic Outcome, Second Edition. Report of the American
College of Obstetricians and Gynecologists’ Task Force on Neonatal
Encephalopathy. Pediatrics 2014; 133(5):e1483-8.
5. Moster D, Lie RT, Irgens LM, Bjerkedal T, Markestad T. The
association of Apgar score with subsequent death and cerebral palsy:
a population-based study in term infants. J Pediatr. 2001; 138:798 –
803.
6. American Academy of Pediatrics Committee on Fetus and
Newborn, American College of Obstetricians and Gynecologists
Committee on Obstetric Practice. The Apgar score. Pediatrics 2006;
117(4): 1444-7
7. Perlman JM, Risser R. Can asphyxiated infants at risk for neonatal
seizures be rapidly identified by current high-risk markers? Pediatrics.
1996;97:456–62.
8. Andreas RL, Saade G, Gilstrap LC, Wilkin I, Witlin A, Zlatnik F,
Hankin GV. Association between umbilical blood gas parameters
and neonatal morbidity and death in neonates with pathologic fetal
acidemia. Am J Obstet Gynecol 1999;181(4):867-71
9. Leuthner SR, Das UG. Low Apgar scores and the definition of birth
asphyxia. Pediatr Clin N Am 2004;51:737–45
10. Perlman JM, Tack ED. Renal injury in the asphyxiated newborn
infant: relationship to neuro- logic outcome. J Pediatr
1988;113:875–9.
11. WHO. International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems 10th Revision (ICD-10)-WHO Version for
2016. Diunduh dari
http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2016/en#/P21
tanggal 20 Oktober 2016.
12. Wiberg N, Källén K, Olofsson P. Base deficit estimation in
umbilical cord blood is influenced by gestational age, choice of fetal
fluid compartment, and algorithm for calculation. Am J Obstet
Gynecol 2006;195:1651–6.
13. Gjerris AC, Staer-Jensen J, Jorgensen JS, Bergholt T, Nickelsen C.
Umbilical cord blood lactate: A valuable tool in the assessment of
fetal metabolic acidosis. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology 2008; 139:16–20
14. Surmiak P, Baumert M, Fiala M, Sypniewska K, Walencka Z,
ukomska A, Karcz K. Umbilical cord blood NGAL concentration as
an early marker of perinatal asphyxia in neonates. Cochrane
2014;85(6):424-7
15. Tuuli MG, Stout MJ, Macones GA, Cahill AG. Umbilical Cord
Venous Lactate for Predicting Arterial Lactic Acidemia and
Neonatal Morbidity at Term. Obstet Gynecol 2016;127:674–80.
PEMANTAUAN TUMBUH KEMBANG ANAK PASCA ASFIKSIA

Ahmad Suryawan

Divisi Tumbuh Kembang


Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr. Soetomo
/ Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya

Abstract
Perinatal asphyxia can cause a severe lack of oxygen to the infant’s brain,
which can injure brain cells and cause hypoxic ischemic encephalopathy
(HIE). Evidence shows adverse sequelae do not follow perinatal
asphyxia unless encephalopathy is part of the neonatal clinical
presentation. Not all infants with HIE end upwith permanent brain
damage. Some infants will not experience any long-term effects of birth
asphyxia or any latent problems from HIE. Infants who have brain damage
caused by birth asphyxia or HIE may develop several problems of growth
and development. The majority survivors of perinatal asphyxia infants
recover quickly and have no signs of encephalopathy, and in general do
not have adverse sequelae and may develop in line with their peers.
Nevertheless, several large population basedstudies now suggest that
outcome in children with perinatal asphyxia without clinical
encephalopathy is not completely normal and demonstrated an increased
risk of low intelligence quotient. For this reason, at present, longitudinal
monitoring of growth and development is required for all children with a
history of perinatal asphyxia. Long-term monitoring of growth and
development of infants with perinatal asphyxia has been recommended.
Recommendations include the optimal ages of assessment of specific
functions such as general cognitive and adaptive behavioral functioning at
preschool age, and, in some cases, school achievement tests screening at
school age.

ABSTRAK
Asfiksia perinatal dapat menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke
otak, sehingga menimbulkan kerusakan sel otak, dan memicu terjadinya
kondisi hypoxic ischemic encephalopathy (HIE). Berbagai bukti menunjukkan
bahwa asfiksia perinatal tidak akan menimbulkan gejala sisa atau sequelae
kecuali disertai ensefalopati. Tidak semua bayi dengan HIE akan berakhir
dengan kerusakan otak yang permanen. Beberapa bayi pasca asfiksia
perinatal tidak mengalami dampak negatif jangka panjang atau berbagai
masalah laten akibat dari HIE. Bayi asfiksia yang mengalami kerusakan
otak atau HIE dapat mengalami berbagai permasalahan tumbuh kembang
jangka panjang. Sebagian besar bayi pasca asfiksia perinatal yang mampu
bertahan hidup memang dapat segera membaik dan tidak menunjukkan
gejala klinis adanya HIE, dan secara umum tidak menunjukkan adanya
gejala sisa. Namun demikian, beberapa studi dengan populasi yang cukup
besar menunjukkan bahwa anak pasca asfiksia perinatal tanpa gejala klinis
HIE ternyata mempunyai perkembangan yang tidak sepenuhnya normal
dan menunjukkan adanya peningkatan risiko akan mempunyai level
intelegensia rendah. Atas dasar beberapa bukti tersebut, maka saat ini
dianjurkan untuk melakukan kegiatan pemantauan tumbuh kembang
secara longitudinal untuk semua bayi dengan riwayat asfiksia perinatal.
Para ahli memberikan rekomendasi untuk melakukan monitoring tumbuh
kembang jangka panjang untuk semua bayi pasca asfiksia perinatal.
Rekomendasi tersebut meliputi usia optimal dilakukan monitoring,
instrumen dan penilaian berbagai kemampuan spesifik seperti kecerdasan
dan perilaku adaptif di usia pra-sekolah, dan pada beberapa kasus juga
diperlukan penilaian uji prestasi pada saat anak mencapai usia sekolah.

PENDAHULUAN

Keterkaitan antara asfiksia perinatal dengan berbagai luaran


(outcomes) gangguan tumbuh kembang jangka panjang, akan mempunyai
nilai sensitivitas dan spesifitas yang relatif lemah bila definisi asfiksia
perinatal hanya didasarkan atas skor Apgar.1-4 Namun, bila definisi asfiksia
perinatal didasarkan atas kombinasi berbagai indikator,5,6 yang digunakan
sebagai dasar konsep neonatal ensefalopati, maka akan didapatkan nilai
sensitivitas dan spesifitas yang tinggi terhadap berbagai luaran gangguan
tumbuh kembang. Sehingga, skor neonatal ensefalopati seringkali
dipergunakan untuk memprediksi luaran perkembangan bayi.7-9 Adanya
sistem klasifikasi neonatal ensefalopati, yang termasuk HIE, menjadi
beberapa gradasi severitas seperti sistem Sarnat,10 akan meningkatkan
kemampuan memprediksi luaran tumbuh kembang dengan adanya variasi
individual dengan berbagai tingkat keparahan HIE.11 Roberston dkk, 2006
mendefinisikan HIE, sebagai sub-set dari neonatal ensefalopati, adalah
sebuah kondisi ensefalopati akut yang bersifat non-statis sebagai akibat dari
adanya hipoksia dan iskemia otak intrapartum atau antepartum.12 Kondisi
HIE yang terjadi pada hari-hari pertama setelah bayi lahir merupakan
prediktor kuat untuk gangguan perkembangan.13 Luaran bayi pasca HIE
yang sangat bervariasi, baik dari segi keparahan dan juga dari segi jenis
gangguan perkembangan di setiap tahapan usia yang berbeda, maka
direkomedasikan untuk melakukan kegiatan pemantauan tumbuh
kembang untuk setiap bayi yang lahir dengan riwayat asfiksia perinatal.

ASFIKSIA PERINATAL DAN TUMBUH KEMBANG ANAK


JANGKA PANJANG

Sebagian besar studi mengenai dampak asfiksia perinatal dan/atau


HIE terhadap tumbuh kembang jangka panjang terfokus pada deteksi dini
abnormalitas perkembangan yang utama dan nampak nyata (seperti cerebral
palsy) di usia dini. Namun, saat ini mulai dijumpai berbagai studi yang
lebih terfokus pada dampak asfiksia terhadap gangguan tumbuh kembang
yang lebih kurang nyata di usia dini tetapi mempunyai dampak jangka
panjang terhadap kecerdasan dan perilaku di masa depan.6,14-16
Gangguan sensoris pada bayi pasca HIE dapat berupa gangguan
pendengaran dengan insidens tertinggi sebesar 17.1%,17 dan gangguan
beberapa elemen fungsi visual pada tahun pertama setelah lahir sebesar
41%.18 Insidens gangguan motorik berat seperti cerebral palsy (CP)
bervariasi sekitar 10-13% pada HIE sedang-berat yang mampu bertahan
hidup,19,20 dengan 80% berupa CP spastik-kuadriplegia.20
Kewaspadaan akan adanya dampak jangka panjang terhadap
gangguan kecerdasan dan perilaku merupakan hal yang sesuai dengan area
struktur otak yang seringkali terkena pada bayi neonatal ensefalopati, yaitu
area hipokampus dan striatum.21-23 Kedua struktur tersebut diketahui
berkaitan dengan fungsi kognitif spesifik seperti memori dan atensi, dan
juga berkaitan dengan patogenenis terjadinya gangguan perilaku ADHD
dan autisme.24-27
Defisit kognitif pada bayi pasca asfiksia tidak selalu disertai
disfungsi motorik atau sensoris.28 Evaluasi jangka panjang bayi pasca
ensefalopati-sedang yang bertahan hidup, menunjukkan penurunan skor
kesiapan sekolah dan peningkatan gejala-gejala eksplosif dan iritabilitas
pada usia 5.5 tahun, tanpa disertai adanya disabilitas yang lain.9 Pada
populasi di negara maju, dari 70% mereka yang tidak mengalami CP,
dijumpai gangguan kognitif pada usia remaja akhir.29 HIE sedang dan
berat yang terkait asfiksia perinatal juga mempunyai hubungan dengan
risiko gangguan perilaku, seperti ADHD,16 dan ASD (autism spectrum
disorders) pada usia 5 tahun (RR=5.9).30 Semakin panjang masa
pemantauan, semakin nyata terbukti bahwa bayi pasca asfiksia dan HIE
perinatal mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang jangka panjang
yang bersifat non-motorik.

PEMANTAUAN TUMBUH KEMBANG ANAK PASCA ASFIKSIA

Kegiatan pemantauan perkembangan pasca asfiksia perinatal


dilakukan untuk mendeteksi secara dini berbagai gangguan perkembangan.
Pada usia tahun pertama: gangguan sensoris dan motoris, usia 1-2 tahun:
nilai skor perkembangan atau developmental quotient (DQ), usia 2-4
tahun: gangguan motorik kasar dan motorik halus, usia 4-7 tahun:
abnormalitas kognitif, dan pada usia 7-9 tahun: gangguan atau kesulitan
belajar (learning disabilities).31 Para ahli juga memberikan rekomendasi
tentang jadwal dan instrumen yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan
pemantauan tumbuh kembang anak pasca asfiksia perinatal,12,32 sebagai
berikut:
Pemantauan saat usia baru lahir dan sebelum keluar rumah sakit
Pemantauan tumbuh kembang anak pasca asfiksia harus dimulai
sejak bayi masih dirawat di rumah sakit. Bayi asfiksia yang diwaspadai akan
mengalami disabilitas berat harus terpantau lebih intensif. Mereka yang
mampu bertahan hidup dengan riwayat HIE-derajat 3, HIE-derajat 2 yang
disertai kesulitan minum dan menelan, hendaknya ditangani bersama
dengan ahli perkembangan. Penanganan bersama antara neonatologis
dengan ahli tumbuh kembang yang dimulai sejak bayi dirawat di rumah
sakit sebelum diperbolehkan pulang, akan membantu orangtua memahami
dan belajar berbagai aspek risiko dan kewaspadaan akan gangguan tumbuh
kembang di masa depan.
Instrumen pemantauan pertumbuhan bayi pasca asfiksia pada
umumnya disesuaikan dengan usia gestasi. Bila usia gestasi bayi telah
mencapai 40 minggu, maka dianjurkan menggunakan instrumen kurva
pertumbuhan WHO.33 Bila usia gestasi bayi di bawah 37 minggu, maka
dipergunakan kurva pertumbuhan khusus bayi prematur, seperti kurva
Fenton-2013, hingga usia bayi mencapai usia koreksi 40 minggu dan
kemudian dilanjutkan dengan kurva WHO. Namun bila bayi masih
dirawat di NICU, penggunaan kurva Fenton dapat diteruskan hingga usia
gestasi 50 minggu.34 Evaluasi pertumbuhan, terutama pertumbuhan
lingkar kepala, yang dilakukan sejak bayi lahir merupakan parameter
pemantauan utama yang sangat penting. Bila terjadi penurunan
pertumbuhan lingkar kepala pada pengukuran yang serial pada bulan-
bulan awal kehidupan, sangat terkait dengan risiko outcome tumbuh
kembang di masa depan.35-37
Instrumen yang dapat diaplikasikan dalam rangka kegiatan deteksi
perkembangan di masa bayi mempunyai berbagai sifat dan tujuan, seperti:
(1) instrumen bersifat diskriminatif (untuk membedakan berbagai tingkat
risiko bayi); (2) instrumen bersifat prediktif (untuk memprediksi berbagai
gangguan perkembangan di masa depan); dan (3) instrumen bersifat
evaluatif (untuk mengevaluasi adanya perubahan perkembangan di setiap
tahapan waktu tertentu).38-39
Instrumen penilaian perkembangan perilaku motorik pada bayi
muda harus bersifat valid, reliabel, dan dirancang untuk penilaian
longitudinal sejak prenatal hingga periode awal pasca lahir. Para ahli
mengharapkan apapun jenis instrumen penilaian perkembangan bayi,
hendaknya dapat diaplikasikan sejak bayi dirawat di NICU dengan kondisi
yang rawan dan tidak stabil.
Review oleh Noble, tahun 2012, yang dilakukan dengan tujuan
mengevaluasi properti klinimetrik berbagai instrumen deteksi dini
perkembangan bayi risiko tinggi, menunjukkan bahwa terdapat beberapa
instrumen yang berpotensi dapat diaplikasikan untuk menilai
perkembangan perilaku motorik secara longitudinal pada bayi sejak pada
periode perinatal hingga usia 4 bulan koreksi. Instrumen tersebut antara
lain: (1) Assessment of Preterm Infants’ Behaviour (APIB); (2) Neonatal Intensive
Care Unit Network Neurobehavioural Scale (NNNS); (3) Test of Infant Motor
Performance (TIMP); (4) Prechtl’s Assessment of General Movements (GMs); (5)
Neurobehavioural Assessment of the Preterm Infant (NAPI); (6) Dubowitz
Neurological Assessment of the Preterm and Full-term Infant (Dubowitz); (7)
Neuromotor Behavioural Assessment (NMBA); dan (8) Brazelton Neonatal
Behavioural Assessment Scale (NBAS) (Noble, 2012). Untuk penggunaan
yang bertujuan riset, instrumen NNNS dan APIB mempunyai kualitas
psikometrik yang kuat. Namun untuk penggunaan dengan seting klinis,
lebih dianjurkan menggunakan instrumen GMs, TIMP dan NAPI.
Instrumen terbaik yang mempunyai sifat prediktif adalah GMs, sedangkan
instrumen terbaik dengan sifat evaluatif adalah TIMP. Kualitas setiap
instrumen yang ditinjau dari berbagai aspek properti klinimetrik
terangkum dalam Tabel 1 di bawah ini.39
Tabel 1. Rangkuman kualitas berbagai instrumen perkembangan bayi yang ditinjau dari beberapa aspek properti
klinimetrik.39

Instrumen Aplikasi Skala Standari- Relia- Validitas Aplikasi


Perkemba- secara konstruk- sasi bilitas Konten Konstruk- Kriteria Respon- keseluru-
ngan klinis tif tif sifitas han
APIB A E E A A E E NE A
Dubowitz E E A P A NE A NE A
GMs E n ⁄a E E A E A n ⁄a E
NAPI E E E A E A A A A
NBAS A E E P A E E A A
NMBA A A P NE A A NE NE P
NNNS A E E A A NE NE A A
TIMP E E E E E E E A E

E: excellent; A: adequate; P: poor; n ⁄ a: not applicable; NE: no evidence available

APIB: Assessment of Preterm Infants Behaviour;


Dubowitz, the Dubowitz Neurological Assessment of the Preterm and Full term Newborn Infant;
GMs: Prechtl’s Assessment of General Movements;
NAPI: Neurobehavioural Assessment of the Preterm Infant;
NBAS: Brazelton Neonatal Behavioural Assessment Scale;
NMBA: Neuromotor Behavioural Assessment;
NNNS: Neonatal Intensive Care Network Neurobehavioural Scale;
TIMP: Test of Infant Motor Performance
Pemantauan bersama dengan ahli mata anak juga diperlukan
untuk mengevaluasi kemungkinan kerusakan jalur visual posterior atau
kerusakan area visual primer di korteks otak, terutama bayi pasca asfiksia
yang berkembang menjadi HIE-grade 3, dan HIE-grade 2 yang disertai
abnormalitas neurologis atau yang diwaspadai mengalami penurunan
visual saat menjelang keluar rumah sakit. Meskipun kelainan visual
kortikal dapat membaik sendiri seiring dengan bertambahnya usia bayi,
evaluasi bersama dengan ahli mata anak berguna untuk pencegahan
ambliopia sekunder dan penyembuhan atrofi atau hipoplasia saraf optik.
Evaluasi bersama dengan ahli THT anak juga diperlukan dalam
rangka penilaian kualitas pendengaran sensori-neural. Pemeriksaan BERA
direkomendasikan dilakukan pada bayi pasca asfiksia intrapartum dan
sebelum bayi keluar rumah sakit.40 Penilaian pendengaran dapat
dievaluasi ulang pada anak usia dini bila terdapat indikasi adanya risiko
gangguan pendengaran sensori-neural.

Pemantauan saat usia 4-8 bulan


Kegiatan deteksi dini tumbuh kembang pada rentang usia ini
sangat penting untuk mengawali intervensi dini. Penilaian tumbuh
kembang utamanya meliputi penilaian parameter pertumbuhan (berat
badan, panjang badan dan lingkar kepala), kemampuan penglihatan, dan
perkembangan motorik. Evaluasi dalam hal fungsi oral-motor, tonus otot
wajah dan bibir, kontrol saliva, koordinasi mengunyah dan menelan, dan
vokalisasi suara awal. Pada usia 6 bulan, mulai mengevaluasi
menghilangnya beberapa refleks primitif. Penilaian kemampuan visual dan
tes neurologis standar juga sangat bermanfaat.
Pemantauan saat usia 1-2 tahun
Untuk anak pasca asfiksia yang tidak mendapatkan penanganan
khusus rehabilitasi anak, maka direkomendasikan untuk dilakukan
pemantauan pada rentang usia 12-24 bulan. Pemantauan rutin dan reguler
meliputi kemampuan motorik, termasuk oral-motor disfraksia, bahasa, dan
perilaku adaptif. Bila dicurigai adanya gangguan pendengaran, maka
diperlukan pemeriksaan ulang audiologi.

Pemantauan saat usia 3-5 tahun


Pemantauan periodik pada rentang usia ini akan memberi
gambaran tentang kesiapan anak menghadapi pendidikan anak usia dini.
Pada anak resiko tinggi yang terkait asfiksia perinatal dan dapat bertahan
hidup tanpa disabilitas, hampir setengahnya ditemukan keterlambatan
kesiapan masuk sekolah.8,9 Pemantauan yang penting pada periode ini
adalah penilaian kemampuan motorik kasar terutama masalah
keseimbangan badan, kemampuan motorik halus terutama untuk
kecepatan dan atensi visual. Penliaian kemampuan bicara dan bahasa
untuk mendeteksi berbagai gangguan bicara atau disfraksia. Pemantauan
lain yang juga penting adalah penilaian fungsi kognitif dan perilaku
adaptif.

Pemantauan saat usia 8-10 tahun


Pemantauan dapat dilakukan melalui penilaian IQ dengan WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children), evaluasi pencapaian nilai akademik
sekolah, penilaian prosesing bicara dan kognitif. Pada masa ini juga
direkomendasikan pengukuran skala perilaku adaptif untuk menunjang
penilaian kognitif. Bila dipandang perlu dan terdapat indikasi, maka dapat
dilakukan berbagai pemeriksaan skrining neurofisiologis. Kegiatan
pemantauan dalam masa ini dimaksudkan untuk mengenali sedini
mungkin anak yang membutuhkan bantuan sekolah khusus pada usia awal
sekolah.

KESIMPULAN

Bayi pasca asfiksia perinatal yang berkembang menjadi kondisi


ensefalopati mempunyai dampak jangka pendek dan jangka panjang
terhadap pertumbuhan dan perkembangannya. Pada usia awal, dampak
tersebut lebih terfokus pada gangguan sensoris dan motorik. Seiring
dengan bertambahnya usia, maka dampak terhadap gangguan kecerdasan
dan perilaku-emosi mulai nampak lebih nyata, dengan atau tanpa disertai
gangguan motorik.
Para ahli telah mengeluarkan rekomendasi perihal pemantauan
jangka panjang tumbuh kembang anak pasca asfiksia perinatal dan HIE.
Pemantauan tersebut harusnya diawali sejak bayi masih dirawat di rumah
sakit, yang melibatkan keahlian multididipliner untuk memperkuat tim
neonatolog dan memberi pemahaman kepada orantua tentang
kewaspadaan terhadap gangguan tumbuh kembang jangka panjang secara
lebih dini dan lebih komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson KB, Ellenberg JH. Apgar scores as predictors of chronic


neurologic disability. Pediatrics 1981;68:36–44
2. Seidman DS, Paz I, Laor A, Gale R, Stevenson DK, Danon YL. Apgar
scores and cognitive performance at 17 years of age. Obstet Gynecol
1991;77(6):875–878
3. American Academy of Pediatrics. Use and abuse of the Apgar score.
Pediatrics 1996;98:141–142.
4. Shevell MI, Majnemer A, Miller SP. Neonatal neurologic
prognostication: the asphyxiated term newborn. Pediatr Neurol
1999;21:776–784
5. Dilenge ME, Majnemer A, Shevell MI. Long-term developmental
outcome of asphyxiated term neonates. J Child Neurol 2001;16:781–
792
6. Moster D, Lie RT, Markestad T. Joint association of Apgar scores and
early neonatal symptoms with minor disabilities at school age. Arch Dis
Child Fetal Neonatal 2002;86:F16–F21
7. Robertson CM, Finer NN. Term infants with hypoxicischemic
encephalopathy: outcome at 3.5 years. Dev Med Child Neurol
1985;27:473–484
8. Robertson CMT, Finer NN, Grace MGA. School performance of
survivors of neonatal encephalopathy associated with birth asphyxia at
term. J Pediatr 1989a;114:753-60.
9. Robertson CM, Finer NN. Educational readiness of survivors of
neonatal encephalopathy associated with birth asphyxia at term. J Dev
Behav Pediatr 1989b;9:298–306
10. Robertson CM, Finer NN. Long-term follow-up of term neonates with
perinatal asphyxia. Clin Perinatol 1993;20:483–500
11. Leviton A, Nelson KB. Problems with definitions and classifications of
newborn encephalopathy. Pediatr Neurol 1992;8:85–90
12. Robertson CMT, Perlman M. Follow-up of the term infant after
hypoxic-ischemic encephalopathy. Paediatr Child Health 2006;11:278-
82.
13. Ferriero DM. Neonatal brain injury. N Engl J Med 2004;351:1985-95.
14. Barnett A, Mercuri E, Rutherford M, Haataja L, Frisone MF,
Henderson S, Cowan F, Dubowitz L. Neurological and perceptual-
motor outcome at 5–6 years of age in children with neonatal
encephalopathy: relationship with neonatal brain MRI. Neuropediatrics
2002;33:242–248
15. Gonzalez FF, Miller SP. Does perinatal asphyxia impair cognitive
function without cerebral palsy? Arch Dis Child 2006;91:F454–F459
16. Marlow N, Rose AS, Rands CE, Draper ES. Neuropsychological and
educational problems at school age associated with neonatal
encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2005; 90: F380-F387.
17. Jiang ZD. Long-term effect of perinatal and postnatal asphyxia on
developing human auditory brainstem responses: peripheral hearing
loss. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1995; 33: 225-238
18. Mercuri E, Anker S, Guzzetta A, Barnett AL, Haataja L, Rutherford
M, Cowan F, Dubowitz L, Braddick O, Atkinson J. Visual function at
school age in children with neonatal encephalopathy and low Apgar
scores. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F258-F262.
19. Dixon G, Badawi N, Kurinczuk JJ, Keogh JM, Silburn SR, Zubrick SR,
Stanley FJ. Early developmental outcomes after newborn
encephalopathy. Pediatrics 2002;109: 26-33
20. Rennie JM, Hagmann CF, Robertson NJ. Outcome after intrapartum
hypoxic ischaemia at term. Semin Fetal Neonatal Med 2007;12: 398-407
21. Barkovich AJ. MR and CT evaluation of profound neonatal and
infantile asphyxia. Am J Neuroradiol 1992;13:959–972
22. Rademakers RP, van der Knaap MS, Verbeeten B Jr, Barth PG, Valk J.
Central cortico-subcortical involvement: a distinct pattern of brain
damage caused by perinatal and postnatal asphyxia in term infants. J
Comput Assist Tomogr 1995;19:256–263
23. Maneru C, Serra-Grabulosa JM, Junque C, Salgado-Pineda P, Bargallo
N, Olondo M, Botet-Mussons F, Tallada M, Mercader JM. Residual
hippocampal atrophy in asphyxiated term neonates. J Neuroimaging
2003;13(1):68–74
24. DeLong GR. Autism, amnesia, hippocampus, and learning. Neurosci
Biobehav Rev 1992;16:63–70
25. Lou HC. Etiology and pathogenesis of attention-deficit hyperactivity
disorder (ADHD): significance of prematurity and perinatal hypoxic-
haemodynamic encephalopathy. Acta Paediatr 1996;85:1266–1271
26. Toft PB. Prenatal and perinatal striatal injury: a hypothetical cause of
attention-deficit-hyperactivity disorder? Pediatr Neurol 1999;21:602–610
27. de Haan M, Wyatt JS, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin
M. Brain and cognitive-behavioural development after asphyxia at term
birth. Dev Sci 2006;9(4):350–358
28. Ahearne CE, Boylan GB, Murray DM. Short and long term prognosis
in perinatal asphyxia: An Update. World J Clin Pediatr 2016;5(1): 67-74
29. Lindström K, Hallberg B, Blennow M, Wolff K, Fernell E, Westgren
M. Moderate neonatal encephalopathy: pre- and perinatal risk factors
and long-term outcome. Acta Obstet Gynecol Scand 2008;87: 503-509.
30. Badawi N, Dixon G, Felix JF, Keogh JM, Petterson B, Stanley FJ,
Kurinczuk JJ. Autism following a history of newborn encephalopathy:
more than a coincidence? Dev Med Child Neurol 2006; 48: 85-89
31. Amiel-Tison C, Ellison P. Birth asphyxia in the full term newborn:
Early assessment and outcome. Dev Med Child Neurol 1986;28:617-82.
32. Vohr B, Wright LL, Hack M, Aylward G, Hirtz D. Follow-up care of
high-risk infants. Pediatrics 2004;114(Suppl 1):1377-97.
33. World Health Organization. Training course on child growth
assessment: interpreting growth indicators 2008. Available from:
http://www.who.int/childgrowth/training/en/.
34. Fenton TR, Kim JH. A systematic review and meta-analysis to revise
the Fenton growth chart for preterm infants. BMC Pediatrics
2013;13:59.
35. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, Hill A. Early prediction of the
development of microcephaly after hypoxic-ischemic encephalopathy
in the full-term newborn. Pediatrics 1994;93:703-7.
36. Badawi N, Kurinczuk JJ, Blair EE. Early prediction of the development
of microcephaly after hypoxic-ischemic encephalopathy in the full-term
newborn. Pediatrics 1994;93:703-7.
37. Mercuri E, Ricci D, Cowan FM, et al. Head growth in infants with
hypoxic-ischemic encephalopathy: Correlation with neonatal magnetic
resonance imaging. Pediatrics 2000;106:235-43.
38. Spittle AJ, Doyle LW, Boyd RN. A systematic review of the clinimetric
properties of neuromotor assessments for preterm infants during the
first year of life. Dev Med Child Neurol 2008; 50: 254–66 (erratum in
Dev Med Child Neurol 2008; 50: 800).
39. Noble Y, Boyd R. Neonatal assessments for the preterm infant up to 4
months corrected age: a systematic review. Dev Med Chi Neurol 2012,
54: 129–139
40. Joint Committee on Infant Hearing 1990 Position Statement. ASHA
Suppl 1991;5:3-6.
RESUSITASI BAYI BARU LAHIR DI INDONESIA

Rinawati Rohsiswatmo, Rakhmah Sari Indah Cahyani

Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Cipto Mangunkusumo/ FK Universitas Indonesia
Jakarta

Abstrak
Tidak semua bayi baru lahir dapat melewati fase transisi pulmonal dan
sirkulasi dengan baik. Ada sekitar 10% bayi baru lahir membutuhkan
resusitasi untuk memulai pernapasan dan bayi yang memerlukan resusitasi
lebih lanjut sebanyak 1%. Semua tenaga kesehatan yang membantu proses
kelahiran harus memiliki kompetensi melakukan resusitasi neonatus.
Keberhasilan resusitasi sangat ditentukan oleh ketersediaan alat kesehatan
yang memadai dan kerjasama tim yang kompak dan tangguh. Kesiapan
melakukan resusitasi neonatus perlu diikuti dengan kemampuan
melakukan stabilisasi dan kemampuan transpor bayi baru lahir. Indonesia
adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang
banyak, persebaran penduduk tidak merata, dan tingkat ketersediaan
maupun kelengkapan fasilitasnya sangat beragam. Perlu dipikirkan
kelengkapan alat resusitasi yang tepat untuk masing-masing tempat
pelayanan agar memberi manfaat secara optimal.

Pendahuluan
Resusitasi neonatus merupakan sebuah kompetensi yang perlu
dimiliki oleh semua tenaga kesehatan yang membantu proses persalinan.
Detik-detik pertama setiap kelahiran adalah saat paling kritis bagi
kehidupan bayi. Pada saat itu terjadi perpindahan kehidupan dari
intrauterin ke ekstrauterin yang memerlukan adaptasi neonatal terutama
pada fungsi respirasi dan sirkulasi. Ancaman kegagalan beradaptasi
semakin tinggi apabila bayi yang dilahirkan adalah bayi risiko tinggi,
misalnya prematuritas, bayi dengan birth defect, dan bayi dari ibu risiko
tinggi.
Luaran bayi baru lahir sangat ditentukan oleh “the golden minute”
yaitu menit-menit pertama saat kelahiran. Kegagalan penanganan bayi di
menit awal kehidupan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak di kemudian hari.
Resusitasi bayi baru lahir tidak akan berhasil dengan baik apabila
dikerjakan seorang diri. Dengan demikian, kerja sama tim dan dukungan
peralatan yang memadai sangat diperlukan.

Sistem Pernapasan dan Sirkulasi pada Janin


Pada masa kehidupan janin, plasenta memiliki peran penting
sebagai tempat pertukaran gas dan sisa metabolisme. Janin mendapat
seluruh kebutuhan oksigen dari ibu melalui mekanisme difusi di dalam
plasenta. Sementara itu, karbondioksida dari proses metabolisme janin
ditranspor melewati plasenta dan dikeluarkan oleh paru ibu. Meskipun
belum berfungsi dalam pertukaran gas, paru janin telah mengembang
berisi cairan sekresi dari sel epitel paru. Cairan ini berfungsi
mempertahankan volume paru agar mendekati kapasitas residu fungsional
(KRF) sekitar 30 mL/kgBB. Volume paru sebesar itu diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan paru yang normal pada saat kelahiran. Di samping
itu, pembuluh darah pulmonal yang membawa darah menuju ke alveolus
masih mengalami kontriksi sehingga hanya sedikit aliran darah menuju ke
alveolus.1,2
Difusi oksigen dari darah ibu ke dalam pembuluh darah janin
terjadi di dalam plasenta. Di dalam struktur tersebut terdapat arteri dan
vena umbilikalis yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Arteri
umbilikalis mengalirkan darah miskin oksigen dari sirkulasi sistemik janin
menuju ke plasenta. Sebaliknya, darah kaya oksigen dari plasenta dialirkan
menuju ke sirkulasi sistemik janin melalui vena umbilikalis. Pirau intra-
dan ekstrakardiak yang mengalirkan darah menuju ke dua sirkulasi paralel
memungkinkan pembagian alirah darah. Darah kaya oksigen mensuplai
otak, jantung, dan bagian atas tubuh sedangkan darah miskin oksigen
mensuplai bagian bawah tubuh dan plasenta. Jalur sirkulasi pada janin
dikenal sebagai right-to-left-shunt.1,3,4
Darah janin telah mengalami saturasi sebesar 80-90% di dalam
vena umbilikalis. Darah kaya oksigen ini sebagian dialirkan menuju ke
jalur sirkulasi hepatik. Sementara itu, 50-60% lainnya memotong jalur
sirkulasi hepatik melalui duktus venosus menuju ke vena kava inferior. Di
dalam vena kava inferior terjadi pertemuan antara darah kaya oksigen dari
duktus venosus dan darah miskin oksigen dari vena sistemik yang
mengalirkan darah dari bagian bawah tubuh janin. Meskipun demikian,
darah kaya oksigen dari duktus venosus cenderung mengalir secara
terpisah sehingga keduanya tidak saling bercampur. Darah selanjutnya
memasuki perbatasan antara vena kava inferior dan atrium kanan. Di
antara keduanya terdapat struktur penutup jaringan yang dinamakan
katup Eustachius. Katup ini cenderung mengarahkan darah kaya oksigen
agar tetap mengalir di sepanjang sisi posterior vena kava inferior, melintasi
foramen ovale, hingga memasuki atrium dan ventrikel kiri. Darah di
ventrikel kiri dipompa melewati aorta asenden dan dialirkan terutama
menuju ke otak, jantung, dan bagian atas tubuh janin.3,4
Di sisi lain, darah miskin oksigen dari vena kava superior, sinus
koronarius, dan vena kava inferior sisi anterior dialirkan melintasi katup
trikuspid hingga memasuki ventrikel kanan. Darah selanjutnya dipompa
melewati arteri pulmonalis menuju sirkulasi pulmonal. Namun, hanya
sebagian kecil darah (±12%) dari ventrikel kanan yang memasuki sirkulasi
pulmonal pada janin. Hal ini disebabkan oleh tahanan paru yang tinggi
akibat kontriksi pembuluh darah pulmonal, tahanan pembuluh darah
sistemik yang rendah, dan adanya duktus arteriosus. Sementara itu, 88%
lainnya memasuki aorta desenden dengan cara melintasi duktus arteriosus.
Darah di dalam aorta desenden dialirkan menuju ke arteri umbilikalis
untuk mengalami oksigenasi kembali di dalam plasenta. Darah tersebut
juga mensuplai kebutuhan oksigen pada organ bagian bawah tubuh.
Dengan demikian, bagian bawah tubuh janin mendapat suplai dari aliran
darah yang relatif miskin oksigen.3,4

Transisi Kehidupan
Serangkaian perubahan fisiologis terjadi setelah lahir yang
berujung pada keberhasilan transisi dari sirkulasi janin ke bayi baru lahir.
Bayi baru lahir mulai menggunakan paru untuk pertukaran udara pada
saat bayi bernapas dan tali pusat dijepit. Cairan di dalam paru akan diserap
dengan cepat dan digantikan dengan udara. Pengosongan cairan paru
dimulai pada awal persalinan kala I. Pada periode ini, sekresi cairan paru
berhenti akibat stimulasi katekolamin di dalam sirkulasi darah janin.
Selain itu, peningkatan tekanan rongga dada janin yang disebabkan oleh
kontraksi uterus mengakibatkan cairan paru terdorong keluar. Sebagian
besar cairan paru telah diabsorpsi sebelum memasuki fase persalinan kala
II.1,2

Gambar 1. Transisi pengisian alveolus dengan udara pada bayi baru lahir1
Tangisan dan pernapasan pertama pada bayi baru lahir membantu
pembersihan cairan dari jalan napas. Stimulus yang merangsang tarikan
napas pertama pada bayi baru lahir adalah suara, perubahan suhu, dan
sentuhan selama proses persalinan. Penurunan pO2 dan peningkatan
pCO2 karena pemutusan sirkulasi umbilikal juga menstimulasi
kemoreseptor sentral yang selanjutnya meningkatkan dorongan
pernapasan. Ketika bayi melakukan tarikan napas pertama, tekanan negatif
inspiratorik terbentuk hingga mencapai 70-100 cmH2O untuk
memfasilitasi pengembangan alveolus. Pengembangan alveolus
menyebabkan peningkatan diameter alveolar dan penurunan tegangan
dinding alveolus. Pada saat paru mengembang dan kadar oksigen alveolus
meningkat, arteri pulmonalis mengalami dilatasi yang menyebabkan
tahanan pembuluh darah paru menurun sehingga sirkulasi pulmonal
meningkat. Peristiwa ini juga diikuti dengan penyerapan cairan paru ke
dalam sirkulasi.1,2,4,5

Gambar 2. Dilatasi pembuluh darah pulmonal1

Penjepitan tali pusat segera setelah lahir menyebabkan perubahan


pada tahanan pembuluh darah sistemik menjadi meningkat dan aliran
darah yang melewati duktus venosus menjadi menurun secara tiba-tiba.
Hal ini menyebabkan penutupan duktus venosus secara pasif dalam waktu
3-7 hari dan penurunan aliran darah menuju ke vena kava inferior. Di
samping itu, pengembangan paru menyebabkan tahanan pembuluh darah
paru menurun sehingga aliran darah menuju ke atrium kiri meningkat.
Peristiwa ini menyebabkan tekanan di dalam atrium kiri meningkat dan
atrium kanan menurun sehingga arah pirau berubah dari kiri ke kanan
dan foramen ovale menutup secara fungsional dalam beberapa tarikan
napas pertama. Seiring dengan peningkatan oksigen dan penurunan
prostaglandin sirkulatorik, duktus arteriosus secara perlahan menutup.
Penutupan duktus arteriosus secara fungsional terjadi dalam waktu 60 jam
pada 93% bayi aterm. Sementara itu, penutupan duktus arteriosus secara
permanen baru terjadi setelah 4-8 minggu dengan cara destruksi
endothelial dan proliferasi subintimal. Dengan demikian, resolusi jalur
sirkulasi right-to-left-shunt menyebabkan darah teroksigenasi yang kembali
dari paru bayi akan dialirkan menuju ke ruang kiri jantung dan dipompa
melewati aorta menuju ke seluruh jaringan tubuh.1,2,4
Gambar 3. Sirkulasi darah janin (kiri) dan bayi baru lahir (kanan)1
Keseluruhan proses transisi di atas mungkin tidak dapat selesai
dalam beberapa jam atau beberapa hari meskipun langkah-langkah awal
pada transisi normal terjadi dalam beberapa menit kelahiran. Sebuah studi
menunjukkan bahwa diperlukan waktu sekitar 4,7 menit bagi bayi cukup
bulan dan 6,5 menit bagi bayi prematur untuk mencapai saturasi oksigen
di atas 90%.6 Selain itu diperlukan waktu hingga beberapa jam untuk
menyempurnakan absorpsi cairan alveolus.1

Alur Resusitasi
Data menunjukkan bayi baru lahir yang memerlukan bantuan
untuk memulai pernapasan adalah 10% dan bayi yang memerlukan
resusitasi lebih lanjut sebanyak 1%.2 American Academy of Pediatric (AAP)
telah membuat diagram alur neonatal resuscitation program (NRP) yang
kemudian disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Alur resusitasi ini
menjelaskan langkah evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir. Langkah ini
dibagi dalam lima blok yang dimulai dengan penilaian kelahiran dari awal.
Tenaga kesehatan yang melakukan resusitasi perlu memastikan bahwa
setiap blok telah dilakukan dengan adekuat sebelum berpindah ke blok
selanjutnya. Kelima blok tersebut terdiri atas1:
1. Penilaian awal (initial assessment):

Memastikan bayi baru lahir dapat tetap bersama ibunya atau perlu
dipindahkan untuk evaluasi lebih lanjut ke radiant warmer/meja
resusitasi. Ada beberapa hal perlu dilakukan pada langkah awal
yang dikenal dengan akronim JAIKA yaitu jaga kehangatan, atur
posisi, isap lendir kalau perlu, keringkan atau pakaikan plastik
untuk bayi dengan berat lahir <1500 gram, dan atur posisi lagi.
2. Airway (A)
Melakukan upaya untuk membuka jalan napas dan mendukung
respirasi spontan.
3. Breathing (B)

Menyediakan ventilasi tekanan positif untuk membantu fungsi


pernapasan bayi yang mengalami apnea atau bradikardia.
Sementara itu, bayi dengan sesak napas atau saturasi oksigen
rendah dapat diberikan intervensi lain yang sesuai (continuous
positive airway pressure [CPAP]).
4. Circulation (C)

Menyediakan dukungan sirkulasi berupa kompresi dada secara


terkoordinasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif pada saat
terjadi bradikardia berat. Terkadang dibutuhkan pemberian cairan
pada keadaan syok.
5. Drug (D)

Memberikan epinefrin di samping ventilasi tekanan postif dan


kompresi dada yang dilakukan secara kontinyu pada saat terjadi
bradikardia berat.

Diagram 1 menunjukkan alur resusitasi bayi baru lahir versi Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) tahun 2013 yang dimodifikasi dari diagram alur
NRP rekomendasi AAP. Ada beberapa perubahan yang dilakukan sesuai
dengan temuan dari NRP terbaru tahun 2016. Perubahan yang dianjurkan
yaitu1,2:
1. konseling antenatal, pengarahan tim, dan pemeriksaan alat
sebelum kelahiran bayi
Perencanaan tim perlu dipersiapkan dengan matang sebelum
memulai resusitasi bayi baru lahir. Perencanaan tersebut meliputi
pemilihan ketua, orang yang bertanggung jawab untuk
mendokumentasikan setiap kejadian, dan pendelegasian tugas
sehingga setiap anggota tim mengetahui peran dan tugasnya
masing-masing. Pengarahan tim yang dilakukan setiap sebelum
melakukan resusitasi bayi baru lahir juga membahas tentang
situasi klinis dan rencana tindakan resusitasi berdasarkan
penilaian faktor risiko perinatal yang berasal dari ibu, janin, dan
intrapartum. Selain itu perlu dipersiapkan peralatan yang
dibutuhkan dan cara memanggil bantuan tambahan apabila
dibutuhkan. Keseluruhan tindakan ini diperlukan untuk
membentuk tim yang baik.
Persiapan alat untuk melakukan resusitasi lengkap perlu tersedia
pada saat menolong persalinan. Seluruh perlengkapan secara rutin
perlu dicatat, diperiksa, dan dipastikan siap ketika dibutuhkan
terutama pada saat menolong bayi dengan risiko tinggi. Tabel 1
memperlihatkan checklist kelengkapan tim dan peralatan yang
perlu dipersiapkan.
2. Alokasi waktu mulai dari langkah awal sampai dengan pemberian
bantuan napas
Pengerjaan langkah awal tidak harus selalu dalam waktu 30 detik.
Pada kasus bayi tidak bugar, pemberian bantuan napas melalui
ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan secepatnya setelah
langkah awal dikerjakan. Alokasi waktu mulai dari penilaian bayi
baru lahir sampai dengan pemberian VTP secara keseluruhan
adalah 60 detik.
3. pertimbangan penggunaan EKG selain pemantauan SpO2 pada
saat pemberian VTP, CPAP, atau suplementasi oksigen
4. posisi penolong yang melakukan kompresi dada
Apabila diperlukan kompresi dada, ketua tim harus melakukan
intubasi terlebih dahulu. Setelah itu, posisi penolong yang
melakukan kompresi dada dapat berpindah tempat dengan ketua
tim. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemasangan kateter
umbilikal emergensi (apabila diperlukan).

Diagram 1. Alur resusitasi bayi baru lahir


Tabel 1. Checklist kelengkapan tim dan peralatan yang perlu dipersiapkan
Item Ada/tidak
Tim penolong
Risiko sangat tinggi
1 konsulen neonatologi, 1 perawat, 1 bidan

Risiko sedang atau tinggi


1 dokter spesialis anak, 1 perawat, 1 bidan

Kehamilan multiple: 2 kali tim


Termoregulasi
Suhu ruangan 24-260C
Topi bayi yang sudah dihangatkan
Kain bedong 3 lapis (kain pengering) yang sudah dihangatkan
Plastik (untuk bayi BB <1500 gram) 2 buah
Infant warmer dinyalakan dengan suhu 34oC
Inkubator transport dinyalakan dengan suhu 37oC
Airway
Suction kateter 5F atau 6F,8F,10F,12F atau 14F
Sungkup berbagai ukuran (35mm, 42mm, 50mm, 60mm)
Laringoskop (lampu menyala) dengan blade lurus ukuran:
00: bayi sangat premature (<1000 gram)
0 : bayi prematur
1 : bayi cukup bulan (> 4 kg)
Laryngeal mask airway (LMA) ukuran no. 1
Pipa endotrakeal nomor 2; 2,5; 3,0; 3,5; 4
Stilet dan magyll
Plester
Gunting steril
Benang kasur
Breathing
Self Inflating Bag (ambubag utk neonatus)
PEEP valve + connector
Tabung Oksigen (sudah diisi penuh)
T-piece resuscitator (sudah diatur tekanan 25-30/5)
Jackson Rees (*jika tidak ada T-piece resuscitator)
Sirkulasi dan obat-obatan
Pulse oxymeter portable
Spuit (1, 5, 10, 50 mL)
Infus set yang sudah disambungkan dengan needleless connector
Hecting set
Umbilical set
OGT no. 5 dan 8
Tabel 1. Checklist kelengkapan tim dan peralatan yang perlu dipersiapkan
(lanjutan)
Sirkulasi dan obat-obatan (lanjutan)
NaCl 0,9% (sudah disiapkan 1-2 x 10mL/kg dalam spuit 30cc)
D 10% (sudah disiapkan 2-4 x 2mL/kg dalam spuit 5cc)
Umbilikal emergency yang sudah diisi dan siap pakai
Adrenalin (ampul)
Dopamin dan dobutamin (ampul)
Handscoen steril 3 pasang
*Semua peralatan dalam keadaan steril dalam troli

Premedikasi:
Midazolam yang sudah dimasukkan dalam spuit
Morphin yang sudah dimasukkan dalam spuit
Sulfas atropin sudah dimasukan dalam spuit

Kondisi Indonesia
Tindakan resusitasi bayi baru lahir memerlukan pemahaman
terhadap serangkaian perubahan fisiologis selama periode transisi dan
berbagai hambatannya. Resusitasi yang optimal diharapkan mampu
membantu bayi baru lahir dengan segala kondisi agar dapat melewati
periode transisi secara sempurna sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian.1 Di Indonesia, angka kematian bayi baru lahir
masih tinggi yaitu 14 per 1000 kelahiran hidup.7 Salah satu penyebab
tersering kematian ini adalah asfiksia dan komplikasi intrapartum (10,5%)
yang sebenarnya dapat ditolong melalui tindakan resusitasi tetapi seringkali
terhambat oleh ketersediaan alat yang belum memadai.8,9
Keberagamanan kondisi geografi, kepadatan penduduk,
kesejahteraan individu, dan ketersediaan jumlah tenaga kesehatan di
Indonesia juga seringkali menyebabkan persebaran sumber daya dan
fasilitas kesehatan antardaerah belum merata. Di beberapa daerah yang
masih memiliki keterbatasan diperlukan peralatan resusitasi sesuai dengan
standar pelayanan minimal dengan memanfaatkan peralatan yang tersedia
sebagai alternatif (Tabel 2).2
Pembiayaan kesehatan masih menjadi isu penyediaan layanan yang
optimal. Total pengeluaran kesehatan di Indonesia masih lebih rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur dan Tenggara.
Besaran pengeluaran tersebut hanya 3% dari gross domestic product (GDP) di
bidang kesehatan pada tahun 2010. Kementerian Kesehatan RI pada
tahun yang sama menganggarkan biaya pelayanan pasien sebesar 71% dari
Rp 23,8 triliun dana yang tersedia. Anggaran ini dialokasikan untuk
asuransi kesehatan sosial (30,4%), layanan medis (29,4%), layanan
kesehatan masyarakat (6,7%), dan penyediaan farmasi dan medis (4,4%).
Alokasi dana ini juga mencakup pembiayaan kesehatan maternal dan
neonatal baik secara langsung maupun tidak langsung.10 Namun, pada
kenyatannya resusitasi bayi baru lahir membutuhkan biaya yang cukup
besar terutama dalam hal penyediaan alat karena umumnya peralatan ini
mahal dan bersifat sekali pakai. Fasilitas kesehatan pun memanfaatkan alat
dengan harga yang lebih terjangkau dan dapat dipakai ulang (reusable).
Selain itu digunakan metode sterilisasi untuk beberapa alat seperti balon
resusitasi, sungkup, sirkuit alat bantu napas, dan daun laringoskop dengan
memperhatikan keamanan dan kebersihannya.2
Peralatan resusitasi pada umumnya membutuhkan sumber daya
listrik yang kontinyu. Pembangkit listrik di Indonesia masih belum cukup
memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemadaman listrik masih rutin
dilakukan selama 4 jam. Rasio elektrifikasi pada tahun 2014 mencapai
84,35% yang berarti belum mencukupi kebutuhan listrik seluruh
penduduk.11,12
Tabel 2. Perlengkapan resusitasi yang dapat digunakan di fasilitas terbatas2
Komponen
Fasilitas Lengkap Fasilitas Terbatas
Resusitasi

Meja resusitasi dengan


suhu ruangan 26oC dan
Termoregulasi Infant warmer
diberi lampu 40/60/80
watt

Penghisap Suction unit Midwifery suction catheter

Ventilasi CPAP dini pada bayi sesak

T-piece resuscitator Jackson-Rees

VTP dini pada bayi apneu

Balon sungkup dengan


T-piece resuscitator
katup PEEP

Mencampur O2 100% dengan udara bertekanan

 Tabung oksigen dan


udara yang
disambungkan dengan
Y-Connector

Oxygen blender  Oxygen concentrator dan


kompresor

 Tabung oksigen/oksigen
konsentrator + mini
compressor

Sirkulasi Pemasangan jalur umbilikal emergensi sementara

Kateter umbilikal Oral gastric tube

Transportasi Inkubator transpor Metode kanguru

Pulse oxymeter harus tetap


Pelengkap Pulse oxymeter
disediakan
Simpulan
Setiap bayi baru lahir harus dijamin hidup dan berkualitas untuk
mencapai tumbuh kembang sesuai dengan potensi genetiknya. Tidak
semua bayi baru lahir mampu melewati fase transisi dari kehidupan
intrauterine ke ekstrauterin dengan sempurna. Ada sekitar 10% bayi baru
lahir membutuhkan bantuan resusitasi untuk memulai napas pertamanya
dan 1% yang membutuhkan resusitasi lebih lanjut.
Setiap penolong persalinan harus siap menghadapi situasi
tersebut. Kompetensi dan peralatan sesuai standar minimal diperlukan
untuk melakukan resusitasi bagi setiap bayi baru lahir hidup.
PENYULIT RESUSITASI NEONATUS

Toto Wisnu Hendrarto

Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta

Abstract
Birth asphyxia accounts for about 23% of the approximately 4
million neonatal deaths each year worldwide. The majority of newborn
infants require little assistance to undergo physiologictransition at birth
and adapt to extrauterine life. Approximately 10% of infants require some
assistance to establish regular respirations at birth. Less than 1% need
extensive resuscitative measures such as chest compressions and
approximately 0.06% require epinephrine.
The key elements to a successful neonatal resuscitation include
ventilation of the lungs while minimizing injury, the judicious use of
oxygen to improve pulmonary blood flow, circulatory support with chest
compressions, and vasopressors and volume that would hasten return of
spontaneous circulation. Several exciting new avenues in neonatal
resuscitation such as delayed cord clamping, sustained inflation breaths,
and alternate vasopressor agents arebriefly discussed.
Revised resuscitation guidelines base on medical evidence are
conducted every five years, but implementation is still obtained
complications that affect the successful of neonatal resuscitation. The
difficulties of neonatal resuscitation practice are different in each country,
especially in countries with limited facilities. In this paper the neonatal
resuscitation difficulties are mainly found on the weakness of the data,
especially related to the medical records of pregnant women. An others are
implementing the neonatal resuscitation system that is related with health
facilities owned. The complications in every step of resuscitation are also
an obstacle to success in neonatal resuscitation.
Pendahuluan
Asfiksi neonatorum masih menjadi masalah di Negara dengan penghasilan
menengah-bawah baik di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika, Angka
kejadiannya sekitar 21-31 juta bayi dalam dua dekade terakhir,1 dimana
seperempatnya disebabkan oleh asfiksi neonatorum.2,3 Artinya terdapat
720.000-920.000 kematian neonatus per tahun yang disebabkan oleh
asfiksi neonatorum.4 Menurut WHO, asfiksi pada bayi baru lahir termasuk
dalam lima besar dan menjadi 23% dari empat juta kematian neonatus
setiap tahun secara global.5-7
Definisi asfiksi adalah kejadian yang menunjukkan adanya
kegagalan pertukaran gas secara progresif berdasarkan lama waktu
terjadinya sehingga menimbulkan keadaan hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis. Akibat kegagalan bernapas pada menit pertama pasca lahir
berisiko terjadinya kematian dan gejala sisa neurologis seumur hidup
(ensefalopati hipoksik-iskemik, EHI).8 Kriteria asfiksi menurut the American
Congress of Obstetricians and Gynecologists Task Force on Neonatal
Encephalopathy and Cerebral Palsy adalah: (1) Asidosis metabolik pada
sediaan darah arteri tali pusat saat lahir (pH < 7.00 dan deficit basa ≥ 12
mmol/L, (2) ensefalopati neonatus sedang-berat awitan dini pada neonatus
lahir pada usia kehamilan ≥ 34 minggu, (3) palsi serebral tipe spastik,
quadriplegi, dan diskinetik, (4) tidak didapatkannya sebab lain seperti
trauma, gangguan koagulasi, infeksi dan kelainan genetik.9 Klasifikasi
asfiksi menurut WHO dalam ICD-10 adalah asfiksi berat apabila nilai
APGAR pada menit pertama 0-3, sedang dan ringan apabila nilainya 4-7.10
Implikasi istilah resusitasi terkait dengan asfiksi neonatus adalah
suatu prosedur tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi kegagalan
nafas pada saat bayi baru lahir.11 Sebagian besar bayi akan melahirkan
secara normal dan tidak memerlukan resusitasi. Diperkirakan sekitar 10%
bayi baru lahir membutuhkan bantuan napas ringan, hanya sekitar 1%
yang membutuhkan resusitasi secara ekstensif dengan melakukan kompresi
dada dan 0,06% membutuhkan epinephrine dalam melakukan resusitasi.12
Resusitasi pada neonatus dibentuk pertama kali pada tahun 1985 atas
konsensus bersama antara American Academy of Pediatrics (AAP) dan
American Heart Association (AHA). Edisi pertama buku tentang resusitasi
neonatus dipublikasikan pada tahun 1987. Selanjutnya pengembangan
dan publikasi tentang resusitasi dilakukan setiap lima tahun oleh
International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR).13
Pada mulanya langkah-langkah resusitasi pada neonatus hanya
suatu rekomendasi yang didasari oleh pendapat ahli. Peningkatan
rekomendasi berbasis bukti terjadi dalam dua dekade terakhir, karena
panduan resusitasi neonatus saat ini dihasilkan dari penelitian, kajian
kepustakaan dan observasi klinis secara sistematik.14,15 Namun demikian,
implementasi panduan resusitasi pada neonatus belum sepenuhnya
berbasis bukti, kontroversi belum sepenuhnya terselesaikan karena
jarangnya tindakan resusitasi pada tahap lanjut sebagai dasar penelitian.
Kontroversi yang semakin dipahami adalah risiko hiperoksemia,
barotrauma terkait ventilasi tekanan positif, efek mekanis dari kompresi
dada dan obat-obatan resusitasi.16,17 Penyulit lain juga dialami di Negara
dengan fasilitas terbatas. Tidak sepenuhnya resusitasi dapat dilakukan
sesuai panduan yang telah ditetapkan.18,19 Makalah ini ditujukan untuk
mendapatkan penyelesaian masalah penyulit resusitasi pada neonatus
terutama dalam praktek sehari-hari.

Fisiologi asfiksi neonatorum


Janin dapat mengalami hipoksia sebelum, selama dan sesudah proses
persalinan.20 Apabila hipoksia berlangsung terus, janin akan mengalami
gangguan kesadaran, pusat napas di batang otak kehilangan kontrol,
terjadi apne primer; pada saat itu jantung masih dapat berfungsi normal.
Apabila keadaan hipoksia berlanjut, akan timbul diving reflex, aliran darah
dikonsentrasikan ke organ vital (otak, jantung dan kelenjar adrenal)
dengan menurangi aliran darah ke organ non vital.21 Pada keadaan
hipoksia lanjut, terjadi metabolisme anaerob, memperberat asidosis
metabolik yang akan merangsang refleks spinal primitif untuk gasping
(megap-megap). Keadaan tersebut akan membuka ruang alveol untuk
terjadi pertukaran gas. Apne sekunder akan terjadi apabila refleks primitif
tersebut gagal membuka alveol untuk proses pertukaran gas CO2 dan O2.22

Penyulit dalam resusitasi neonatus


Langkah resusitasi neonatus
Secara umum prinsip langkah resusitasi pada neonatus masih mengikuti
alogaritma yang dijelaskan pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1 Algoritma resusitasi neonatus
Namun demikian terdapat revisi tambahan yang dilakukan pada tahun
2015 dengan beberapa perubahan sebagai berikut23:
1. Adanya tindakan untuk memperlambat pemotongan tali pusat selama
satu menit (delayde cord clamping) untuk memperbaiki sirkulasi saat
terjadinya hipoksia miokardium pada periode terjadinya apne primer.
Uraian tentang peran memperlambat pemotongan tali pusat pada bayi
baru lahir dijelaskan pada gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Hubungan perlambatan pemotongan tali pusat dengan sirkulasi janin 11

Proses lahir fisiologis ditandai adanya tangis bayi, proses respirasi


(pertukaran O2-CO2) berlangsung sebelum pemotongan tali pusat
dilaksanakan (gambar 1A). Pada gambar 1B menunjukkan keadaan
apabila pemotongan tali pusat dilaksanakan sebelum terjadi proses
respirasi. Akibatnya, aliran darah balik ke jantung terhambat,
pengisian darah ke ventrikel kiri berkurang, terjadi pengurangan
volume darah ke sirkulasi sistemik, terutama ke otak. Karena ventilasi
tidak terjadi, tahanan pembuluh darah paru tetap tinggi, sehingga
aliran darah kembali ke ventrikel kiri.24 Jadi pemotongan tali pusat
yang fisiologis dilakukan setelah terjadi proses respirasi dalam
pertolongan persalinan. Penundaan pemotongan tali pusat selama satu
menit (delayed cord clamping) terutama direkomendasikan pada bayi
prematur.
2. Pentingnya menjaga suhu tubuh bayi baru lahir antara 36,5-37,5°C.
Upaya dilaksanakan maksimal mulai dari menjaga suhu ruangan
minimal 26°C, penggunaan matras hangat, humidifier untuk
menghangatkan gas dalam terapi oksigen dan membungkus tubuh
dengan plastik serta tutup kepala terutama pada bayi prematur.
Hipotermi merupakan kondisi yang harus dicegah selama
melaksanakan pertolongan persalinan. Akibat hipotermi adalah
hipoglikemia, distress pernapasan, hipoksia, asidosis metabolik,
gangguan koagulasi, gangguan proses transisi sirkulasi janin ke bayi
baru lahir, gagal ginjal akut, entero kolitis nekrotikans bahkan dapat
timbul kematian.
3. Tersedianya monitor EKG dan saturasi O2 untuk mengetahui dengan
pasti keberhasilan resusitasi.
4. Penggunaan gas blender untuk memastikan konsentrasi O2 yang
diberikan selama resusitasi, terutama pada bayi prematur. Pada
neonatus cukup bulan digunakan O2 dengan konsentrasi 21%,
sedangkan pada neonatus kurang bulan digunakan O2 dengan
konsentrasi 21-30%.
5. Tersedianya alat CPAP untuk memberikan tindakan rumatan inflasi
alveol setelah oksigenisasi berhasil dilaksanakan dan tercapai
perbaikan sirkulasi. Prinsip utama resusitasi adalah memberikan
ventilasi yang adekuat.25
Gambar 3. Perlunya ventilasi untuk membuka alveol dalam resusitasi neonatus11

6. Peningkatan konsentrasi oksigen pada saat melaksanakan kompresi


dada. Kompresi dada jarang dilakukan apabila ventilasi adekuat
terlaksana dengan baik, oksigenisasi organ vital termasuk miokardiom
dapat tercapai optimal. Angka kejadiannya sekitar 8 dari 10.000
neonatus cukup bulan per tahun.26
Gambar 4. Mekanisme kompresi dada dalam memperbaiki sirkulasi
dalam resusitasi neonatus11
7. Tidak perlunya melaksanakan pembersihan jalan napas pada bayi baru
lahir dengan ketuban hijau, saat kepala bayi masih di perineum.23
Upaya pembersihan jalan napas dengan melakukan intubasi, hanya
akan memperlambat proses oksigenisasi. Laringoskop digunakan
untuk memastikan tidak adanya mekonium yang menutupi jalan
napas, agar upaya pemberian VTP adekuat dapat membuka alveol,
sehingga proses oksigenisasi dapat segera dilaksanakan.27

Penyulit dalam resusitasi neonatus.


Prinsip dasar resusitasi neonatus adalah penyelamatan kehidupan
neonatus yang dibatasi oleh waktu. Waktu menjadi kunci keberhasilan
tindakan resusitasi pada neonatus, sehingga sistematika tindakan harus
terintegrasi dalam satu sistem yang terdiri dari pelaku yang kompeten,
peralatan yang lengkap dan standar prosedur yang dilaksanakan secara
benar.
Meskipun hanya 1% neonatus yang memerlukan tindakan resusitasi
yang intensif, namun angka 1% tersebut dapat terjadi kapanpun dalam
setiap proses persalinan.23 Hipoksia dapat terjadi sebelum, selama dan
sesudah persalinan. Penyulit yang harus diantisipasi bagi pelaku resusitasi
pada neonatus adalah:
1. Pengenalan faktor risiko.
Bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi
berdasarkan faktor risiko selama kehamilan, dalam proses persalinan
dan sesudah persalinan. Penyulit dapat timbul apabila data faktor
risiko tersebut tidak tercatat dalam catatan medik, sehingga
probabilitas 99% persalinan normal berubah menjadi persalinan yang
memerlukan resusitasi intensif.
2. Kesiapan sistem pelaksana resusitasi
Sistem pelaksanaan resusitasi neonatus terdiri dari pelaku yang
kompeten (memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap
profesionalisme yang mempuni) dalam melaksanakan resusitasi,
kesiapan alat resusitasi yang optimal dan panduan resusitasi yang
dilaksanakan secara tepat.
Kompetensi pelaksana resusitasi didapat dan selalu mengalami
penyegaran setiap dua tahun sekali secara resmi melalui sertifikasi
kompetensi. Demikian juga peralatan resusitasi harus siap pakai setiap
saat. Panduan resusitasi diperbarui setiap lima tahun sekali mengikuti
perkembangan panduan resusitasi global.25 Penyulit akan timbul
apabila sistem pelaksana resusitasi, baik kompetensi pelaku resusitasi,
kesiapan alat resusitasi dan perkembangan panduan resusitasi tidak
terjaga kualitasnya. Kelemahan sistem pelaksana resusitasi akan
memperlambat waktu pelaksanaan resusitasi neonatus yang berdampak
pada peningkatan morbiditas dan mortalitas asfiksi pada neonatus.
3. Risiko komplikasi dari setiap langkah resusitasi yang memperberat
tingkat asfiksi juga merupakan penyulit pada resusitasi neonatus.
Komplikasi yang sering terjadi adalah hiperoksia, baro trauma dan efek
mekanis pada saat melakukan kompresi dada.

Take home message


Resusitasi merupakan langkah penyelamatan hidup bayi baru lahir yang
harus dikuasai oleh praktisi di bidang neonatal. Penyulit yang akan
dihadapi secara umum adanya batasan waktu untuk memutuskan,
melakukan dan menyelesaikan tindakan. Penyulit spesifik terkait dengan
faktor risiko terjadinya asfiksi yang harus diatasi secara sistem oleh
pelaksana resusitasi. Penyulit tambahan yang dihadapi selama
melaksanakan resusitasi adalah komplikasi yang dapat timbul saat
melaksanakan setiap langkah resusitasi.
Daftar Pustaka
1. Oestergaard MZ, Inoue M, Yoshida S, etal. Neonatal mortality
levels for 193 countries in 2009 with trends since 1990: a
systematic analysis of progress, projections, and priorities. PLoS
Med. 2011;8(8):e1001080.
2. WHO. WHO global health observatory Every Newborn Action
Plan. 2014; Available at:
http://www.everynewborn.org/Documents/Every_Newborn_Acti
on_Plan- EXECUTIVE_SUMMARY-
ENGLISH_updated_July2014.pdf. Accessed October 29, 2016.
3. Lawn JE, Wilczynska-Ketende K, Cousens SN. Estimating the
causes of 4 million neonatal deaths in the year 2000. Int J
Epidemiol. 2006;35(3):706-718.
4. Liu L, Johnson HL, Cousens S, etal. Global, regional, and
national causes of child mortality: an updated systematic analysis
for 2010 with time trends since 2000. Lancet.
2012;379(9832):2151-2161.
5. Bryce J, Boschi C, Shibuya K, Black RE. WHO estimates of the
causes of death in children. Lancet 2005;365:1147-1152.
6. Lawn J, Shibuya K, Stein C. No cry at birth: global estimates of
intrapartum stillbirths and intrapartum related neonatal deaths. .
Bull World Health Organization. 2005;83:409-417.
7. Black RE, Cousens S, Johnson HL, et al. Child Health
Epidemiology Reference Group of, W. H. O. Unicef: Global,
regional, and national causes of child mortality in 2008: a
systematic analysis. Lancet. 2010;375(9730):1969–1987.
8. Lawn JE, Manandhar A, Haws RA, Darmstadt GL. Reducing one
million child deaths from birth asphyxia–a survey of health
systems gaps and priorities. Health Res Policy Syst. 2007;5:4.
9. ACOG. Committee Opinion. Number 326. Inappropriate use of
the terms fetal distress and birth asphyxia. . Obstet Gynecol.
2005;106:1469-1470.
10. ICD-10 Version. 2010
[http://www.who.int/classifications/icd/icdonlineversions/en].
11. Vali P, Mathew B, Lakshminrusimha S. Neonatal resuscitation:
evolving strategies. Maternal Health Neonatol Perinatol. 2015;1(4):1-
14.
12. Wyllie J, Perlman JM, Kattwinkel J, et al. Neonatal Resuscitation
Chapter Collaborators: Part 11: neonatal resuscitation: 2010
international consensus on cardiopulmonary resuscitation and
emergency cardiovascular care science with treatment
recommendations. Resuscitation. 2010;81(Suppl 1):e260–287.
13. Perlman J, Kattwinkel J, Wyllie J, Guinsburg R, Velaphi S, Group-
NSftNITF.
Neonatal resuscitation: in pursuit of evidence gaps in knowledge.
Resuscitation. 2012;83(5):545–550.
14. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguilar AM, Vivas
NI. Oropharyngeal and nasopharyngeal suctioning of meconium-
stained neonates before delivery of their shoulders: multicentre,
randomised controlled trial. Lancet. 2004;364(9434):597–502.
15. Wiswell TE, Gannon CM, Jacob J, et al. Delivery room
management of the apparently vigorous meconium-stained
neonate: results of the multicenter, international collaborative
trial. Pediatrics. 2000;105(1 Pt 1):1–7.
16. Saugstad O, Aune D, Aguar M, Kapadia V, Finer N, Vento M.
Systematic review and meta-analysis of optimal initial fraction of
oxygen levels in the delivery room at ≤32 weeks. Acta Paediatr.
2014;103(7):744–751.
17. Kapadia VS, Wyckoff MH. Drugs during delivery room
resuscitation–what, when and why? Semin Fetal Neonatal Med.
2013;18(6):357–361.
18. Wall SN, Lee ACC, Niermeyer S, et al. Neonatal resuscitation in
low-resource settings: What, who, and how to overcome challenges
to scale up? Int J Gynaecol Obstet. 2009;107(Suppl 1):S47-S64.
19. Berkelhamer SK, Kamath-Rayne BD, Niermeyer S. Neonatal
Resuscitation in Low-Resource Settings. Clin Perinatol.
2016;43(573-91).
20. Rainaldi MA, Perlman JM. Pathophysiology of Birth Asphyxia.
Clin Perinatol. 2016;43:409-422.
21. Kara T, Narkiewicz K, Somers VK. Chemoreflexes–physiology and
clinical implications. Acta Physiol Scand. 2003;177(3):377–384.
22. Dawes G, Jacobson H, Mott JC, etall. The treatment of
asphyxiated, mature foetal lambs and rhesus monkeys with
intravenous glucose and sodium carbonate. J Physiol.
1963;169(1):167–184.
23. Wyllie J, Perlman JM, Kattwinkel J, etal. on behalf of the Neonatal
Resuscitation Chapter Collaborators. Part 7: Neonatal
resuscitation: 2015 International Consensus on Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Resuscitation. 2015;95:e171-e203.
24. Raju TN, Singhal N. Optimal timing for clamping the umbilical
cord after birth. . Clin Perinatol. 2012;39(4):889–900.
25. A B Te Pas, Sobotka K, Hooper SB. Novel Approaches to
Neonatal Resuscitation and the Impact on Birth Asphyxia. Clin
Perinatol. 2016;43:455-467.
26. Wyckoff MH, Berg RA. Optimizing chest compressions during
delivery-room resuscitation. Semin Fetal Neonatal Med.
2008;13:410–415.
27. Lakshminrusimha S, Mathew B, Nair J, etal. Tracheal suctioning
improves gas exchange but not hemodynamics in asphyxiated
lambs with meconium aspiration. Pediatr Res. 2015;77:347–355.
SINDROM ASPIRASI MEKONIUM

Gatot Irawan S

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/
KSM Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang

Abstrak
Sindroma klinis akibat terhirupnya atau aspirasi mekonium ke dalam
saluran pernafasan bayi baru lahir disebut sebagai Sindrom aspirasi
mekoneum (SAM) ditandai dengan kumpulan gejala klinis dan radiologis.
Gambaran klinis dapat terjadi berupa takipnea, sianosis, merintih
(grunting), napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis, peningkatan
diameter anteroposterior dada (barrel chest) akibat adanya air trapping,
kadang disertai ronki basah dan kasar serta warna kekuningan pada kuku
jari, tali pusat. Pengeluaran mekonium bercampur ke dalam air ketuban
biasanya akibat hipoksia intrauteri dan atau gawat janin, kejadian aspirasi
dapat sebelum, selama, setelah proses persalinan atau kelahiran.
Kelainan ini masih merupakan masalah mortalitas dan morbiditas pada
bayi baru lahir terutama ditempat pelayanan perinatologi dengan fasilitas
yang terbatas. Angka kematian sekitar 1,2% Di Amerika Serikat,
sedangkan Di Pakistan 27,3% dari persalinan dengan riwayat air ketuban
bercampur mekoneum. Kejadian air ketuban keruh sekitar 12% dari
kelahiran hidup (Amerika Serikat) 35% diantaranya akan berkembang
menjadi SAM. Komplikasi yang sering terjadi berupa hypoxic ischemic
encephalopathy (HIE) (46%), hypotensive shock (22%), pneumothorax (11.4%),
myocardial dysfunction (22%) dan pulmonar hypertension (PHN) (17%). Sekitar
66% kasus hipertensi pulmonal persisten berkaitan dengan SAM.
Walaupun sebagian kasus SAM dapat mengalami pemulihan fungsi paru,
sekitar 50% memiliki risiko terkena penyakit saluran napas reaktif dalam 6
bulan pertama kehidupan. Kelainan jangka panjang yang dapat terjadi
berupa defisit neurologis termasuk kerusakan SSP, kejang, keterbelakangan
mental, dan Palsi serebral
Tatalaksana komprehensip SAM meliputi upaya pencegahan antepartum,
intrapartum ,dan postpartum, tunjangan respirasi yang optimal serta
tatalaksana komplikasi dan pemantauan tumbuh kembang jangka panjang.
PRESENTASI KASUS ASFIKSIA oleh SpA (RS Tipe B)

Retno Nurhayati

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Bojonegoro
ENSEFALOPATI HIPOKSIK ISKEMIK

Aris Primadi

Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Padjajaran / RS Hasan Sadikin - Bandung
TERAPI HIPOTERMI

Lily Rundjan

Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RS Cipto Mangunkusumo / FK Universitas Indonesia
Jakarta

Abstrak
Asfiksia perinatal adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada neonatus. Kejadian hipoksik-iskemik pada asfiksia dapat
memulai kaskade neurotoksik dan menimbulkan cedera neuron otak yang
dikenal sebagai hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE). Walaupun pendekatan
terhadap bayi asfiksia sudah terus berkembang, HIE masih merupakan
penyebab mortalitas utama dan morbiditas jangka panjang pada bayi
dengan asfiksia. Risiko morbiditas jangka panjang antara lain palsi
serebral, retardasi mental, epilepsi, dan neurodevelopmental delay. Terapi
hipotermi merupakan bentuk intervensi yang terbukti bermanfaat untuk
bayi dengan HIE derajat sedang dan berat. Penerapan whole body cooling
(WBC) atau selective head cooling (SHC) segera setelah cedera hipoksik-
iskemik menunjukan prognosis yang lebih baik. Namun penerapan terapi
hipotermi dilakukan hanya untuk bayi yang memenuhi kriteria dan
memerlukan pengawasan berkesinambungan oleh tenaga kesehatan.
Dengan demikian pemahaman mengenai patofisiologi HIE dan peran
terapi hipotermi dibutuhkan agar dapat mencapai manfaat optimal

A. Latar Belakang
Ensefalopati hipoksik-iskemik (hypoxic-ischemic encephalopathy /
HIE) merupakan bentuk cedera organ yang paling sering ditemukan pada
asfiksia perinatal. Asfiksia perinatal merupakan salah satu dari tiga
penyebab mortalitas tertinggi dan memengaruhi 1-6 per 1000 kelahiran
hidup.1 Sebesar 50-60% bayi dengan asfiksia perinatal memiliki risiko HIE.
Pada negara maju, HIE dengan derajat sedang-berat terjadi pada 0,5-1 per
1000 kelahiran hidup dan memiliki risiko mortalitas hingga 10-60%.
Sebesar 25% bayi yang bertahan hidup memiliki risiko sekuele
neurodevelopmental seperti retardasi mental, epilepsi, palsi serebral,
gangguan belajar dan kognitif.1,2 Negara berkembang memiliki angka yang
sangat bervariasi, namun insidens HIE diperkirakan mencapai hingga 10
kali lipat lebih tinggi dari negara maju.3
Penanganan HIE seringkali terbatas dengan terapi suportif di unit
intensif. Namun pada beberapa dekade terakhir, terapi hipotermia disebut
sebagai terapi menjanjikan dalam memperbaiki luaran bayi dengan HIE.4
Dengan demikian, perlu adanya pemahaman mengenai efek
neuroprotektif terapi hipotermia pada HIE sehingga penerapan terapi
hipotermia dapat dilaksanakan pada setiap bayi yang memenuhi indikasi
untuk memperbaiki luaran bayi dengan HIE.

B. Patofisiologi HIE
HIE adalah ensefalopati neonatorum yang disebabkan oleh cedera
hipoksik-iskemik pada saat masa intrapartum atau masa antepartum akhir.1
Proses cedera hipoksik-iskemik merupakan proses dinamik dan dibedakan
menjadi 2 fase, yaitu fase primer dan fase sekunder (Gambar 1)5.
Penurunan perfusi dan distribusi oksigen pada otak mengakibatkan
penurunan metabolisme yang menyebabkan penurunan energi,
peningkatan depolarisasi sel, edema sitotoksik, asidosis dan akumulasi
neurotransmiter eksitatorik.6 Fase primer diakhiri dengan apoptosis dan
nekrosis sel. Kerusakan dan kematian sel yang terjadi pada fase primer
akan diikuti dengan reperfusi serebral yang dinamakan fase laten. Fase ini
ditandai dengan perbaikan parsial dari edema, metabolisme dan pH sel.
Apabila cedera otak yang diakibatkan oleh fase primer cukup berat,
kerusakan neuron akan kembali terjadi mengikuti fase laten. Fase ini
disebut fase sekunder.1,3,7-10
Gambar 1. Fase cedera hipoksik-iskemik pada HIE5

Luas kerusakan sel yang terjadi pada fase sekunder merupakan penanda
luaran dari bayi dengan HIE. Dengan demikian, periode laten merupakan
therapeutic window sebelum kerusakan sekunder dimulai yaitu 6-48 jam
setelah fase primer.7,11-12 Studi in vivo dan in vitro menunjukkan perbaikan
luaran neuron dan sel oligodendrisit yang signifikan setelah terapi
hipotermia 90 menit hingga 3 jam dibandingkan dengan kelompok terapi
di atas 6 jam dan 8,5 jam.12-13 Bayi cukup bulan dengan HIE derajat
sedang hingga berat mengalami kerusakan hingga 60% setelah 5,5 jam.
Sebagai simpulan, terapi hipotermi disarankan untuk dimulai sebelum 6
jam atau jika memungkinkan sedini mungkin (sebelum 3 jam).6,14

C. Terapi Hipotermi
Terapi hipotermia adalah upaya menurunkan suhu inti tubuh 32-
340C (fase cooling) yang dipertahankan selama 72 jam (fase maintenance)
diikuti dengan penghangatan tubuh bayi kembali ke suhu normal (36.5-
37.50C) secara perlahan (fase rewarming).14-16 Proses ini dapat dilakukan
melalui pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling/WBC) (Gambar
2)16-18 dan pendinginan kepala selektif (selective head cooling /SHC) (Gambar
3).16,19-20 Kedua metode bertujuan untuk menurunkan suhu otak sentral
yang sensitif terhadap cedera hipoksik-iskemik. Metode WBC mengalirkan
air dingin ke dalam matras atau selimut yang membungkus sebagian atau
hampir seluruh tubuh bayi. Sebaliknya pada metode SHC, air dingin
hanya dialirkan di dalam kepala penutup yang digunakan pada bayi.
Systematic review yang membandingkan kedua metode menunjukan WBC
memiliki kecenderungan luaran yang lebih baik, namun belum dapat
disimpulkan karena penelitian yang ada bersifat retrospektif.20-22

Gambar 2. Penerapan Whole Body Cooling di Fasilitas Lengkap16-18

1 2

Keterangan:
 Gambar 2.1 WBC dengan pembungkus ‘cure wrap’ (Criticool; Meditherm)
 Gambar 2.2 WBC dengan matras pendingin (Tecotherm; Tec-Com, Halle, Germany)
 Gambar 2.3 WBC dengan selimut pendingin (Blanketrol Cincinnati Sub-Zero Products, Inc,
Cincinnati, OH, USA)

Gambar 3. Penerapan Selective Head Cooling16,19-20


Coolcap (Olympic Medical Cool Care System, Olympic Medical, Seattle,
WA, USA).

Pengaturan suhu pada alat dapat menggunakan sistem servo dan sistem
manual. Pada sistem manual, tenaga kesehatan akan mengatur suhu alat
secara manual berdasarkan bacaaan suhu di monitor. Sebaliknya sistem
servo pada alat akan secara otomatis mengatur suhu alat pendingin dan
menyesuaikan dengan suhu target apabila suhu bayi berada di bawah atau
di atas dari suhu target. Pengaturan suhu dengan sistem manual dapat
menyebabkan fluktuasi suhu yang lebih besar karena diatur secara
manual.16 Oleh karena itu, sistem servo lebih dipilih dibandingkan sistem
manual. Selama proses pendinginan probe suhu dapat diletakkan di rektal
atau esofagus. Pengukuran suhu aksila tidak dianjurkan karena memiliki
variasi suhu yang besar dan tidak mewakili suhu inti.13,23
Terapi hipotermia tidak dapat dilakukan untuk semua bayi
dengan ensefalopati neonatorum. HIE adalah ensefalopati dengan bukti
cedera hipoksik-iskemik. Kriteria terapi hipotermia telah dirangkum
berdasarkan konsensus yang diterbitkan oleh American Academy of Pediatrics
(AAP), American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG) dan
International Cerebral Palsy Task Force (Tabel 1)1,2,24

Tabel 1. Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Hipotermia


Indikasi Terapi Hipotermia1,2,19,24
1. Neonatus dengan usia gestasi > 35 minggu dan usia kurang dari 6 jam
2. HIE derajat sedang atau berat
a. Tanda dan gejala yang sesuai dengan HIE derajat sedang atau
berat, DAN/ATAU
b. Tanda ensefalopati pada amplitude EEG (aEEG)
3. Adanya bukti cedera hipoksik-iskemik peripartum, yaitu:
a. Nilai Apgar ≤ 5 pada menit ke-10, ATAU
b. Menggunakan ventilasi mekanik (balon / T-piece resuscitator
dengan sungkup atau pipa endotrakeal) atau masih
membutuhkan resusitasi pada menit ke-10 ATAU
c. pH darah tali pusat <7.0, pH gas darah <7.0 atau defisit basa
>12 dalam 1 jam setelah lahir
Kontraindikasi Terapi Hipotermia:15,25-27
1. Jika terapi hipotermi tidak dapat dimulai pada usia <6 jam
2. Berat lahir <2 kg
3. FiO2 80%
4. Kelainan kongenital mayor
5. Koagulopati berat secara klinis
6. Ancaman kematian tampaknya tidak dapat dihindari
7. Atresia ani (dapat dipertimbangkan penggunaan probe suhu di
esofagus)

Identifikasi bayi dengan cedera otak hipoksik-iskemik yang merupakan


kandidat dari terapi hipotermi merupakan suatu tantangan. Tenaga
kesehatan seringkali sulit membedakan apakah ensefalopati benar
disebabkan oleh hipoksik-iskemik otak (bukan disebabkan oleh kelainan
genetik, malformasi otak ataupun kelainan metabolik) dalam waktu kurang
dari 6 jam, terlebih lagi kriteria diagnosis seperti pemeriksaan pH darah
tali pusat dan aEEG seringkali tidak tersedia pada fasilitas terbatas. Oleh
karena itu, Thompson score (Tabel 2) atau Sarnat staging (Tabel 3) dapat
digunakan untuk membantu diagnosis HIE. Penilaian Thompson score lebih
detail dan dapat digunakan sebagai parameter perbaikan klinis.13,19

Tabel 2. Thompson score19


Tanda Nilai Thompson
0 1 2 3
Tonus normal hiper hipo flaksid
Tingkat normal hyperalert, letargik koma
kesadaran memandangi
Kejang tidak < 3x/hari > 2x/hari
ada
Postur normal menggengam, fleksi kuat deserebrasi
gerakan seperti di distal
mengayuh sepeda
Refleks normal Parsial tidak ada
Moro
Grasp reflex normal Buruk tidak ada
Sucking normal Buruk tidak ada 
reflex menggigit
Respirasi normal hiperventilasi apnea apnea atau
sesaat dalam VTP
Ubun- normal datar, tidak tegang tegang
ubun
Nilai total
Keterangan:
 VTP : ventilasi tekanan positif
 Nilai <10 = HIE derajat ringan; 11-14 = HIE derajat sedang; >15 =
HIE derajat berat
 Nilai ≥6 = indikasi memulai terapi hipotermi
Tabel 3. Sarnat staging19
HIE derajat sedang HIE derajat berat
Kesadaran Letargik Koma/ tidak sadar
Aktivitas Menurun Menghilang
Postur Fleksi distal Deserebrasi
(ekstensi menyeluruh)
Tonus Hipotonik Flaksid
Refleks primitif Reflek hisap,gag & Refleks hisap, gag &
Moro Moro
Melemah Menghilang
Pupil Kontriksi Deviasi, dilatasi, tanpa
reaksi
Frekuensi Bradikardia Bervariasi
jantung
Pernapasan Periodik Apneu
Keterangan: diagnosis dengan Sarnat staging ditegakkan jika terdapat
minimal 3 tanda

Nilai Apgar seringkali digunakan sebagai penanda absolut bayi mengalami


cedera hipoksik-iskemik dan dilakukan terapi hipotermi. Nilai Apgar
adalah indikator klinis untuk menggambarkan keadaan fisik neonatus saat
lahir yang dapat dipengaruhi penyebab hipoksik-iskemik serta penyebab
non-asfiksia lain seperti pengaruh obat anestesi, prematuritas dan infeksi.
Oleh karena itu, nilai Agar yang rendah bukan indikasi absolut cedera
hipoksik iskemik dan dimulainya terapi hipotermi.1 Apabila menilik ulang
kriteria HIE petunjuk dari semua kriteria yang diterbitkan konsensus di
dunia adalah adanya asidosis metabolik yang dibuktikan dari sampel darah
bayi baru lahir disertai dengan adanya tanda ensefalopati neonatorum
derajat sedang-berat.1,2,24

D. Memulai Terapi Hipotermi


Terapi hipotermi dapat dimulai pada neonatus yang memenuhi
kriteria dan harus terlebih dahulu didiskusikan dengan konsultan
neonatologi dan orangtua bayi. Pada fasilitas terbatas, bayi harus dirujuk
ke fasilitas lengkap tanpa menunda passive cooling.19,23
D.1 Prosedur cooling19,25-27
1. Mulai prosedur passive cooling pada bayi yang memenuhi kriteria
sejak di ruang persalinan dengan mematikan radiant warmer dan
paparkan bayi ke suhu ruangan. Bayi dalam keadaan telanjang,
tanpa popok, topi, ataupun selimut.
 Jika bayi dalam ventilator, jaga suhu humidifier di suhu
normal 36,5 - 37,50C.
2. Masukkan probe rektal ke anus sedalam minimal 5 cm (fiksasi
menggunakan plester, sekitar 10 cm ke paha atas bagian dalam)
dan hubungkan probe ke mesin pengukur suhu. Probe tidak perlu
dikeluarkan untuk dibersihkan berkala.
 Jika tidak memiliki probe, gunakan termometer rektal
khusus yang dapat mengukur suhu hingga 32oC (3)
3. Jika suhu rektal lebih dari 34,50C lakukan active cooling dengan
metode WBC atau SHC dengan target suhu 33-340C (active
cooling)
 Pada fasilitas terbatas, active cooling dapat dilakukan
dengan cool packs, botol air, phase changing material (PCM),
atau sarung tangan berisi air yang telah didinginkan di
lemari pendingin hingga suhu ~10oC (bukan freezer)
(Gambar 4) (14,32-35)
Gambar 4. Metode active cooling di Fasilitas Terbatas16,19,28

2 3

Keterangan:
 Gambar 4.1 Penggunanan botol air, cool packs dan sarung tangan berisi air untuk
cooling
 Gambar 4.2 Phase changing material (PCM) yang terbuat dari salt hydride, asam lemak,
ester atau paraffin dapat menyerap suhu lingkungan yang berdekatan. Matras dengan
material PCM telah digunakan di beberapa uji klinis di India untuk active cooling di
fasilitas terbatas
 Gambar 4.3 Matras dengan penggunaan PCM (Miracradletm)

 Selama cooling, jika bayi tampak tidak nyaman,


pertimbangkan morfin dan/atau midazolam (kalau
menggunakan ventilator) atau parasetamol (boleh
diberikan per rektal, walaupun terpasang probe rektal)
 Jika suhu rektal lebih rendah dari 33,50C, hentikan
prosedur active cooling nyalakan radiant warmer dan atur
tingkat kehangatan untuk mempertahankan suhu rektal
33-340C.
4. Suhu bayi dijaga 33-340C selama 72 jam, setelah itu prosedur
rewarming dimulai
Selama prosedur hipotermi, pemantauan dan pemeriksaan penunjang yang
perlu dilakukan antara lain:14,19
1. Pemeriksaan EKG dan USG kepala dapat dilakukan pada hari-1 (usia
24 jam), jika terindikasi. Amplitude EEG dipasang untuk melihat
baseline gelombang otak dan memantau timbulnya kejang.
2. Lakukan pemantauan tekanan darah kontinu dengan memasang
arterial line (umbilikal lebih disukai) untuk 72 jam cooling dan 12 jam
rewarming. Akses ini juga dapat digunakan untuk analisis gas darah
(AGD) karena lebih baik daripada AGD kapiler (yang mungkin
terpengaruh oleh penurunan perfusi perifer akibat cooling).
3. Lakukan pemeriksaan laboratorium : AGD, laktat, darah perifer
lengkap (DPL), PT, APTT, glukosa, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca ion).
 Pemeriksaan ini diulang selama 3 hari pertama (hari 0, hari 1, hari
2).
 Pada hari 3 pemeriksaan yang perlu dilakukan lagi adalah: DPL,
AGD, glukosa, elektrolit, ureum, kreatinin, PT, APTT (sesuai
klinis).
 Grafik panduan pemeriksaan penunjang dapat dilihat di tabel 5.
Tabel 5. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam terapi
hipotermi19
Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 -
(masuk 7
perawatan)
AGD    
Laktat   
DPL    
PT, APTT    
GDS    
SGOT,SGPT   
Ureum, Creat    
Elektrolit    
EKG  
Echo     
EEG 
USG kepala 
MRI kepala 

D.2 Memulai rewarming8,19,25-27


1. Rewarming dimulai setelah cooling dilakukan selama 72 jam.
2. Tempelkan skin probe dari radiant warmer ke kulit bayi dan nyalakan
radiant warmer dengan set suhu 34,50C atau set kenaikan suhu di
mesin yang dipergunakan.
3. Naikkan set suhu 0,50C setiap 1- 2 jam sampai tercapai suhu kulit
36,50C dan suhu rektal 37oC.
a. Rewarming memerlukan waktu 6-12 jam.
b. Rewarming harus dilakukan dengan perlahan. Rewarming
yang terlalu cepat dapat mengakibatkan penurunan tajam
tekanan darah. Jika kondisi bayi tampak tidak "baik",
lambatkan interval penurunan suhu.
4. Re-warming tidak boleh dilakukan terlalu cepat untuk mencegah
terjadinya efek yang merugikan. Pemantauan suhu rektal disarankan
tetap dilakukan hingga 12 jam paska rewarming. Buang probe suhu
rektal setelah selesai digunakan. Kabel dan mesin pengukur suhu
disimpan kembali.

D.3 Terapi Hipotermi saat Transpor


Efektivitas terapi hipotermi tergantung waktu dimulainya terapi. Bayi
dengan cedera hipoksik-iskemik yang memenuhi syarat terapi hipotermi
seringkali berada pada fasilitas terbatas dan membutuhkan transpor ke
fasilitas lengkap.13,16,23 Pada bayi yang diputuskan untuk dikirim ke fasilitas
lengkap, 80% memiliki risiko tidak dapat mencapai window of opportunity
terapi 6 jam saat tiba di fasilitas lengkap. Dengan demikian, prosedur
hipotermi seharusnya dimulai sejak di fasilitas terbatas dan selama
transpor. Prinsip terapi hipotermi selama transpor sama dengan prinsip
yang digunakan di fasilitas terbatas. Bayi diletakkan pada cot dengan popok
kecil, tanpa menggunakan nesting atau pakaian lain (passive cooling). Active
cooling dilakukan dengan menggunakan cool packs, botol air, PMC ataupun
sarung tangan yang berisikan air dingin. 16,29-33

E. Efek Samping Terapi Hipotermi


Beberapa efek merugikan yang dapat timbul selama proses cooling dan
rewarming (apabila peningkatan suhu terlalu cepat) (Tabel 4)
Tabel 4. Efek Samping Terapi Hipotermi
Efek samping proses cooling1,13,19 Efek samping proses rewarming8,19,26
 Sinus bradikardia  Peningkatan frekuensi
 Interval QT memanjang jantung (6-8 denyut per
 Aritmia yang membutuhkan menit/1oC)
intervensi medis dan/ atau  Penurunan tekanan darah
penghentian cooling  Penurunan produksi urin
 Hipotensi (mean arterial (urine output)
pressure <40 mmHg)  Gangguan elektrolit
 Kebutuhan obat-obatan (peningkatan kalium,
inotropik penurunan kalsium dan
 Anemia (Hb <10 g/dL, Hct magnesium)
<30%)  Hipoglikemia
 Leukopenia (< 5000/L)  Peningkatan risiko kejang
 Trombositopenia  Peningkatan konsumsi
(<150.000/L) oksigen
 Koagulopati  Peningkatan produksi
 Hipoglikemia CO2
 Hipokalemia
 Peningkatan laktat (>2
mmol/L)
 Gangguan fungsi ginjal
 Sepsis

Cochrane review terhadap 11 randomized controlled trial (RCT) melaporkan


efek samping yang paling sering dijumpai antara lain penurunan denyut
jantung (RR 5.96, 95% IK 2.15–16.49), peningkatan kebutuhan terapi
inotropik (RR 1.17, 95% IK 1.00–1.38) dan trombositopenia di bawah
150000/uL (RR 1.55, 95% CI 1.14–2.11). Efek samping berat tidak
pernah dilaporkan. Selain itu, terapi hipotermi tidak memiliki
kecenderungan untuk menyebabkan abnormalitas irama jantung,
meningkatnya kebutuhan transfusi darah, turunnya leukosit,
kecenderungan perdarahan, kadar gula darah dan kalium yang rendah,
kejadian sepsis dan kejadian oliguria.2
Bayi dengan tanda hipertensi pulmonal perburukan atau berat,
koagulopati berat, aritmia yang memerlukan obat (bukan sinus bradikardi)
dapat dipertimbangkan untuk penghentian terapi hipotermia. Penghentian
terapi hipotermi harus didiskusikan terlebih dahulu dengan tim
neonatologi / konsultan setempat.19,25-27

F. Perawatan Bayi Selama Terapi Hipotermia


Perawatan bayi selama terapi hipotermia kurang lebih sama dengan bayi
lain yakni menjaga parameter kardiovaskular dan respirasi, pemantauan
cairan dan elektrolit, pemantauan indikator kegagalan fungsi organ,
pengendalian infeksi dan meminimalisasi stress dan nyeri pada bayi. Bayi
asfiksia memiliki risiko mengalami penyakit usus iskemia dan pengaruh
hipotermi terhadap sirkulasi mesenterium belum diketahui jelas. Oleh
karena itu, bayi sebaiknya dipuasakan untuk mengurangi risiko
enterokolitis nekrotikan dan dipertimbangkan dimulai secara perlahan
pada fase rewarming. Terapi hipotermi memiliki efek imunosupresif dengan
menurunkan jumlah dan fungsi leukosit, menurunkan respons sitokin dan
interleukin yang dapat menyebabkan keterlambatan peningkatan penanda
infeksi. Dengan demikian, perlu dilakukan pertimbangan pemberian
antibiotik empiris pada bayi HIE dengan penyebab asfiksia yang belum
diketahui. Terapi hipotermi dapat memperpanjang masa paruh waktu
obat, sehingga rentang pemberian obat seperti gentamisin harus
diperpanjang hingga 36 jam.13,26
Prosedur hipotermi memiliki risiko overcooling dan hipertermi
terutama pada bayi HIE derajat berat serta bayi berat lahir dibawah 1500
gram.14,22 Bayi dengan overcooling hingga suhu ~28oC dilaporkan memiliki
risiko henti jantung dan hipotensi, sedangkan hipertermi akan
meningkatkan risiko kejang.9 Dengan demikian perlu dilakukan
pemantauan dan pencatatan rekam medis oleh dokter dan/atau perawat.
Catatan mencakup keadaan klinis, pemantauan suhu rektal dan efek
samping. Dokter harus menuliskan tanggal dan jam kapan prosedur cooling
dimulai, rewarming dimulai, dan rewarming selesai. Lamanya durasi cooling
secara efektif mulai dihitung saat bayi sudah mencapai target suhu 32-
340C.19

G. Luaran Terapi Hipotermi: Evidence-based


G.1 Mortalitas dan Luaran Neurodevelopmental
Sejak tahun 2005 hingga 2011, terdapat 6 penelitian studi acak
terandomisasi (randomized controlled trial / RCT) terhadap neonatus dengan
usia gestasi di atas 35 minggu untuk dilakukan terapi hipotermi dengan
target suhu 33,50C – 340C selama 72 jam diikuti dengan proses
penghangatan lambat (0,50C tiap jam).34 Tolak ukur penelitian adalah
mortalitas dan morbiditas saat usia 18 dan 22 bulan. Keseluruhan RCT
memperlihatkan kecenderungan penurunan rerata mortalitas dan
morbiditas sebesar 24% pada kelompok hipotermi jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hasil serupa didapatkan baik pada kelompok
neonatus dengan HIE sedang (RR 0,67; 95%IK 0,56-0,81) dan neonatus
dengan HIE berat (RR 0,85; 95% IK 0,74-0,92).10,34-35
Data yang dicatat oleh Cochrane review (2013) yang menganalisis 11 RCT
(Gunn 1998; Akisu 2003; Coolcap study 2005; Eicher 2005; NICHD study
2005; Lin 2006; ICE study 2011; Shankaran 2002; TOBY study 2009;
neo.nEURO study 2010; Zhou 2010) juga menemukan penurunan
mortalitas dan morbiditas sebesar 25% secara keseluruhan (neonatus
dengan HIE berat RR 0.80, 95% IK 0.68–0.94; neonatus dengan HIE
sedang RR 0.76, 95% CI 0.58–1.00).2,36-41
G.2 Fungsi Neurologis Jangka Pendek
Berbagai RCT melaporkan jumlah kejadian kejang yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol, namun hasil meta analisis pada
11 RCT menunjukan praktik hipotermi tidak mempengaruhi kejadian
kejang pada 3 hari pertama secara signifikan. Tidak ada hubungan
signifikan antara terapi hipotermi dengan fungsi neurologis jangka pendek
mencakup kejadian kejang, abnormalitas MRI dan hasil pemeriksaan fisik
neurologis.2
G.3 Luaran Jangka Panjang
Penelitian follow up yang dilakukan NICHD whole body cooling trial pada
survivors pada usia 7-8 tahun mendapatkan tidak ada perbedaan signifikan
nilai IQ dan mortalitas pada kelompok hipotermi dan kelompok kontrol.42-
43

H. Simpulan
Terapi hipotermia telah menjadi standard of care bayi dengan HIE di negara
maju dan dibuktikan dapat menurunkan mortalitas serta memperbaiki
luaran morbiditas jangka pendek dan panjang. Dengan demikian, perlu
adanya pemahaman prinsip terapi agar dapat dilakukan implementasi dini
pada bayi yang memenuhi kriteria. Walaupun demikian, implementasi
prosedur ini harus mempertimbangkan manfaat dan dampak yang
mungkin terjadi pada setiap bayi dengan HIE. Pemantauan jangka pendek
serta jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai manfaat serta efek
samping yang mungkin terjadi setelah terapi hipotermi.
Daftar Pustaka
1. Antonucci R, Porcella A, Piloni MD. Perinatal asphyxia in the
term newborn. JPNIM. 2014; 3: e030269
2. Jacobs SE, Berg M, Hunt R, Tarnow-Mordi WO, Inder TE, Davis
PG. Cooling for newborns with hypoxic ischemic encephalopathy
review. Cochrane Database of Systematic Review. 2013, Issue
1.Art.No.:CD003311.DOI: 10.1002/14651858.CD003311.pub3
3. Marks K, Shany E, Shelef I, Golan A, Zmora E. Hypothermia: a
neuroprotective therapy for neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy. Isr Med Assoc J. 2010; 12: 494-500
4. Rahman S. Neuroprotection in neonatal hypoxic ischemic
encephalopathy: therapeutic hypothermia and beyond. JPMI.
2011; 25: 01-03
5. Cornette L. Therapeutic hypothermia in neonatal asphyxia. Facts
Views Vis Obgyn. 2010; 4:133-139
6. Pfister RH, Soll RF. Hypothermia for the treatment of infants with
hypoxic ischemic encephalopathy. J Perinatol. 2010; 30:82-87
7. Dixon BJ, Reis C, Ho WM, Tang J, Zhang JH. Neuroprotective
strategies after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Int J
Mol Sci. 2015; 16: 22368-22401
8. Davidson JO, Wassink G, Heuij LG, Bennet L, Gunn AJ.
Therapeutic hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic
encephalopathy – where to from here. Front Neurol. 2015; 6: 198
9. Romero CC, Vega CC. Neuroprotection in perinatal hypoxic
ischemic encephalopathy – pharmacology combination therapy.
In: Svraka E, editor. Cerebral palsy challenges for the future. 1st
ed. US: Intech; 2014. P. 123-192
10. Shankaran S. Therapeutic hypothermia for neonatal
encephalopathy. Curr Treat Options Neurol. 2012; 14: 608-619
11. Volpe JJ. Neurology of the newborn. 5th ed. Philadelphia:
Saunders/Elsevier, 2008.
12. Gleason CA, Juul SE. Avery’s diseases of the newborn. 9th ed.
Philadelphia: Saunders/Elsevier, 2012.
13. Ergenekon E. Therapeutic hypothermia in neonatal intensive care
unit: challenges and practical points. J Clin Neonatol. 2016; 5:8-
17
14. Chakkarapani E, Thoresen M. Use of hypothermia in asphyxiated
infant. Perinatology. 2010; 3:20-29
15. King Edward Memorial Hospital. Systemic cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guidelines. 2014 [accessed on
October 8th 2016]. Available at: http://www.kemh.health.wa.gov
16. Robertson NJ, Kendall GS, Thayyil S. Techniques for therapeutic
hypothermia during transport and in hospital for perinatal
asphyxial encephalopathy. Semin Fetal Neonatal Med.
2010;15:276-86.
17. New Medical. Meditherm hyper-hypothermia system. 2008
[Accessed on October 7th 2016]. Available in:
http://www.newmedical.com.au
18. MTRE Advanced Technologies. Criticool thermoregulation
system. 2014 [Accessed on October 7th 2016]. Available in:
http://www.mtre.com
19. Buku Pedoman Pelayanan Nasional Kedokteran (PNPK) Asfiksia.
Edisi 1. Dalam tahap publikasi. 2016
20. Allen KA. Moderate hypothermia: is selective head cooling or
whole body cooling better. Adv Neonatal Care. 2014; 14: 113-118
21. Celik Y, Atici A, Gulasi S, Okuyaz C, Makharoblidze K, Sungur
MA. Comparison of selective head cooling versus whole body
cooling. Pediatrics International. 2016; 58:27-33
22. Atici A, Celik Y, Gulasi S, Turhan AH, Okuyaz C, Sungur MA.
Comparison of selective head cooling and whole body cooling
therapy in newborns with hypoxic ischemic encephalopathy: short
term results. Turk Pediatr Ars. 2015; 50:27-36.
23. Mitchell AP, Johnston ED. Provision of therapeutic hypothermia
during neonatal transport. Infant. 2013;7:79-82
24. Papile LA, Baley JE, Benitz W, Cummings J, Carlo WA,
Eichenwald E, et al. Hypothermia and neonatal encephalopathy.
Pediatrics. 2014; 133: 1146-1150
25. Royal Cornwall Hospital. Neonatal total body cooling for hypoxic
ischemic encephalopathy clinical guideline. 2014 [accessed on
October 1th 2016]. Available at: http://www.rcht.nhs.uk
26. Mosalli R. Whole body cooling for infants with hypoxic-ischemic
encephalopathy. J Clin Neonatol. 2012; 1:101-106
27. Mercy Hospital for Women. Cooling neonates - moderate systemic
hypothermia for the treatment of hypoxic ischemic
encephalopathy. 2014 Aug 21 [accessed on October 8th 2016].
Available at: http://www.mercyhealth.com.au
28. Victoria State Government. Therapeutic hypothermia for hypoxic-
ischemic encephalopathy: initiation in special care nurseries. 2015
[accessed on October 8th 2016]. Available at:
http://www2.health.vic.gov.au
29. Bharadwaj SK, Bhat BV. Therapeutic hypothermia using gel packs
for term neonates with hypoxic ischemic encephalopathy in
resource limited settings: a randomized controlled trial. J Trop
Pediatr. 2012; 58: 382-388
30. Pauliah SS, Shankaran S, Wade A, Cady EB, Thayyil S.
Therapeutic hypothermia for a neonatal encephalopathy in low
and middle income contries: a systematic review and meta analysis.
PLoS ONE. 2013; 8: e588
31. Kumar V, Shearer JC, Kumar A, Darmstadt. Neonatal
hypothermia in low resource settings: a review. J Perinatol. 2009;
29: 401-412
32. Thayyil S, Shankaran S, Wade A, Cowan FM, Ayer M, Satheesan
K, et al. Whole body cooling in neonatal encephalopathy using
phase changing material. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2013;
98: 280-281
33. Fairchild K, Sokora D, Zanelli S. Therapeutic hypothermia on
neonatal transport: 4-year experience in a single NICU. J
Perinatol. 2010; 30: 324-329
34. Schulzke SM, Rao S, Patole SK. A systematic review of cooling for
neuroprotection in neonates with hypoxic ischemic
encephalopathy are we there yet. BMC Pediatrics. 2007; 7:30
35. Tagin MA, Woolcott CG, Vincer MJ, Whyte RK, Stinson DA.
Hypothermia for neonatal hypoxic ischemic encephalopathy an
updated systematic review and meta analysis. Arch Pediatr Adolesc
Med. 2012; 166: 558-566
36. Eicher DJ, Wagner CL, Katikaneni LP, Hulsey TC, Bass WT,
Kaufman DA, et al. Moderate hypothermia in neonatal
encephalopathy: safety outcomes. Pediatr Neurol. 2005; 32:18-24
37. Jacobs SE, Morley CJ, Inder TE, Stewart MJ, Smith KR,
McNamara PJ, et al. Whole body hypothermia for term and near
term newborns with hypoxic ischemic encephalopathy: a
randomized controlled trial. Arch Pediatr Adolesc Med. 2011;
165:692-700
38. Shankaran S, Laptook AR, Ehrenkranz RA, Tyson JE, McDonald
SA, Donovan EF, et al. Whole body hypothermia for neonates
with hypoxic ischemic encephalopathy. N Engl J Med. 2005; 353:
1574-1584
39. Simbruner G, Mittal RA, Rohlmann F, Muche R. Systemic
hypothermia after neonatal encephalopathy: outcomes of
neo.nEURO network randomized controlled trial. Pediatrics.
2010;126:771-778.
40. Azzopardi DV, Strohm B, Edwards AD, Dyet L, Halliday HL,
Juszczak E, et al. Moderate hypothermia to treat asphyxial
encephalopathy. N Eng J Med. 2009; 361: 1349-1358
41. Gluckman PD, Wyatt JS, Azzopardi D, Ballard R, Edwards AD,
Ferriero DM, et al. Selective head cooling with mild systemic
hypothermia after neonatal encephalopathy: multicentre
randomised trial. Lancet. 2005; 365: 663-670
42. Shankaran S, Pappas A, McDonald SA, Vohr BR, Hintz SR,
Yolton K, et al. Childhood outcomes after hypothermia for
neonatal encephalopathy. N Engl J Med. 2012; 366: 2085-2092
43. Guillet R, Edwards AD, Thoresen M, Ferriero DM, Gluckman
PD, et al. Seven to eight year follow up to coolcap trial of head
cooling for neonatal encephalopathy. Pediatr Res. 2012; 71: 205-
209.
MANAJEMEN KEJANG PADA NEONATUS

Eko Sulistijono

Divisi Neonatologi
SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Saiful Anwar / FK Universitas Brawijaya
Malang

Abstrak
Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering terjadi
pada neonatus karena dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup
berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi dan dapat mengakibatkan sekuel
di kemudian hari. Angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5 per
1000 kelahiran sampai 14 per 1000 kelahiran. Diagnosis dengan
menggunakan continuous EEG monitoring, dimana ini merupakan gold
standard. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan kejang yang berat
pada neonatus, tidak berespon dengan baik dengan fenobarbital dan
diazepam, dan dapat efektif dengan lidokain. Fenobarbital merupakan
pilihan pertama pada kejang neonatus, cara kerja dengan menghambat
peningkatan inhibisi GABA. Lidokain saat ini sangat efektif sebagai terapi
lini kedua dan lini ketiga neonatal seizure, dengan angka respon yang
berkisar 60–92%. Untuk kedepan masih diperlukan penelitian control
randomized dalam rangka membuat protokol untuk diagnosis kejang pada
neonatus, efikasi, dan keamanan dari generasi obat-obatan kejang dan
untuk menetukan durasi pemberian obat yang optimal.

Pendahuluan

Kejang merupakan keadaan darurat atau tanda bahaya yang sering


terjadi pada neonatus karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak
yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat
mengakibatkan sekuel di kemudian hari. Selain itu kejang dapat
merupakan tanda atau gejala dari satu masalah atau lebih dan memiliki
efek jangka panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar
dan gangguan daya ingat. Aktivitas kejang yang terjadi pada waktu
diferensiasi neuron, mielinisasi, dan proliferasi glia pada neonatus
dianggap sebagai penyebab kerusakan otak. kejang berulang akan
menyebabkan berkurangnya oksigenasi, ventilasi, dan nutrisi di otak.1-4
Kejang pada neonatus secara klinis dapat diartikan sebagai
perubahan paroksimal dari fungsi neurologik seperti perubahan perilaku,
sensorik, motorik, dan fungsi autonom sistem saraf yang terjadi pada bayi
berumur sampai dengan 28 hari. Angka kejang neonatus yang sebenarnya
tidak diketahui secara pasti karena sulitnya mengenali tanda bangkitan
kejang pada neonatus. Gambaran klinis kejang sangat bervariasi bahkan
sangat sulit membedakan gerakan normal bayi itu sendiri. Meskipun
demikian, angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0,8 -1,2 setiap
1000 bayi lahir hidup setiap tahunnya. Sumber pustaka lain menyebutkan
angka kejadian pada umumnya berkisar antara 1,5 per 1000 kelahiran
sampai 14 per 1000 kelahiran. Di ruang perawatan intensif, pada bayi
berat lahir rendah yang sakit, frekuensi kejang meningkat sampai 25%.
Kejang pada bayi baru lahir 85% terjadi pada 15 hari pertama kehidupan
dan 65% terjadi pada hari kedua dan kelima kehidupan.

Kejang pada neonatus

Kejang merupakan keadaan emergency paling sering pada neonatal


dan mempengaruhi perkembangan neurologi. Kejang dapat terjadi pada
1000 kelahiran dan berdasarkan beberapa penelitian populasi dapat terjadi
paling banyak pada bayi prematur.1,2,6 Penanda kejang pada neonatus
adalah kelainan pada cerebral, paling sering terjadi HIE ( hypoxic-ischaemic
encephalopathy) pada bayi cukup bulan. Dengan perkembangan organ
kejang dapat mengekserbasi cerebral injury, sehingga diagnosis dan terapi
yang efektif dapat mencegah dan mengurangi outcome jangka panjang yang
lebih buruk.6 EEG merupakan diagnostic yang sesuai pada kejang neonatal
terutama pada kejang yang subtle, non spesifik neurogical pada neonatus.
HIE membutuhkan neuroprotektif terapi hipotermi, digabungkan dengan
obat-obatan sedasi, anticonvulsant drugs atau kombinasi keduannya.
Sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanju yaitu randomized controlled trials
untuk mengetahui keamanan dan keefektifan protocol pengobatan kejang
pada neonates.

Epidemiologi

Kejadian kejang pada neonatus terjadi 1-5 pada kelahiran


1000 bayi cukup bulan, bahkan insiden kejang meningkat pada bayi
BBLR.8 Pada penelitian di USA, insiden kejang 0,15 – 3,5 dari 1000
kelahiran bayi, tertinggi pada bayi prematur.

Etiologi

Kejang terjadi kerja neuron berlebihan, disinkronisasi depolarisasi.


Depolarisasi terjadi karena pelepasan asam amino yang berlebihan
(glutamat) atau kekurangan neurotransmitter inhibisi (asam butirat gama
amino [GABA]).
Anatomi - fisologis neonatus yang mendukung terjadinya kejang:
 Susunan dendrit yang masih dalam proses pertumbuhan
 Sinaptogenesis belum sempurna
 Mielinisasi dan sistem cortical belum lengkap
 Sinap eksitatori berkembang mendahului inhibisi
 Inhibisi kejang pd sistem substansia nigra belum berkembang

Penyebab kejang yang paling sering antara lain:


 Hipoksia-iskemik ensefalopati

Merupakan penyebab tersering (60-65%), bentuk kejang


subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik. Biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama. Penyebab yang potensial adalah
gangguan adenosin trifosfat (ATP) potensial membran istirahat,
yang menyebabkan natrium masuk ke neuron dan kalium keluar
dari neuron. Hipoksia-iskemik ensefalopati mengganggu ATP-
dependent natrium-kalium pompa dan tampaknya menyebabkan
depolarisasi berlebihan.

 Pendarahan
Perdarahan intrakranial termasuk diantaranya
intraventrikular, subdural, sub arachnoid, trauma. Perdarahan
intrakranial lebih banyak terjadi pada prematur dari pada bayi
cukup bulan. Sulit dibedakan antara hipoksia-iskemik ensefalopati
dengan perdarahan intrakranial. Subarachnoid hemorrhage lebih
sering terjadi pada bayi cukup bulan. Jenis perdarahan sering
terjadi dan tidak signifikan secara klinis. Germinal matriks-
intraventricular perdarahan terlihat lebih sering pada prematur,
terutama pada bayi lahir sebelum usia kehamilan 34 minggu.

 Gangguan metabolik
Gangguan metabolik paling sering adalah hipoglikemia,
hipokalsemia, hiponatremia, hypernatremia, hipomagnesemia.
kelainan metabolisme bawaan (a.l.: defisiensi piridoxin)
Gangguan metabolisme lebih jarang, seperti inborn eror metabolism.
Biasanya, dapat terlihat setelah bayi mulai intake.

 Infeksi Intrakranial
Infeksi SSP terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab
kejang. Infeksi intrakranial yang harus disingkirkan adalah
penyebab penting dari kejang neonatal termasuk meningitis,
ensefalitis (termasuk ensefalitis herpes), toksoplasmosis, dan
(CMV) sitomegalovirus infeksi. Bakteri patogen umum termasuk
Escherichia coli dan Streptococcus pneumoniae.

 Kelainan sindrom
Malformasi serebral sering disertai kejang pada usia lanjut,
sindrom malformasi utama adalah penting untuk
dipertimbangkan. Lissencephaly, pachygyria, polymicrogyria, dan
sindrom sebaceous nevus linier dapat terjadi dengan kejang pada
periode neonatal.

 Kelainan kongenital SSP seperti Hidrosefalus, hidransefali,


porensefali, kelainan pembuluh darah otak
 Ensefalopati bilirubin (kern ikterus)
 Maternal drug withdrawal (heroin, barbiturates, methadone,
cocaine, morfin)
 Idiopatik
Diagnosis
Tipe kejang selain tonik klasik, klonik dan mioklonik, pada
neonatus menunjukkan berbagai presentasi lain seperti deviasi mata,
berkedip, menatap, mengunyah, mengisap, bersepeda dan tinju gerakan
anggota badan, apnea dan perubahan tekanan darah. Hanya sebagian kecil
dari yang diduga kejang klinis neonatal dikonfirmasi oleh
electroencephalography (EEG), sementara tanda-tanda klinis mungkin
tidak terlihat 80-90% dari kejang electrographic.9,10
Klinis kejang sulit terlihat atau terdeteksi jika diikuti dengan
pemberian anticonvulsants atau agen sedasi, selama terapi hipotermia atau
kondisi yang kritis pada neonatus.7 Diagnosis yang dapat dipercaya adalah
dengan menggunakan continuous EEG monitoring, dimana ini merupakan
gold standard untuk diagnostik kejang dan untuk melihat efficacy dari
anticonvulsants.8
Terapi
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan kejang yang berat
pada neonatus, tidak berespon dengan baik dengan fenobarbital dan
diazepam, dan dapat efektif dengan lidokain.7

Dikutip dari: Donovan et al, 2016


Gambar 1. Cara kerja anticonvulsants. Banyak obat bertindak dengan
mengurangi neurotransmisi (glutamatergic sinaps). Fenitoin, lidocaine dan
topiramate mencegah depolarisasi dengan menghambat natrium kanal.
Levetiracetam mencegah masuknya kalsium melalui saluran kalsium N-
jenis yang di gilirannya mengurangi eksositosis dan mengurangi pelepasan
glutamat dari vesikel intrasel oleh modulasi sinaptik vesikel protein 2A. Di
terminal pascasinaps, fenobarbital dan topiramate mengurangi
neurotransmisi rangsang melalui AMPA / glutamat reseptor kainate.
Antikonvulsan, termasuk fenobarbital, benzodiazepin dan topiramate,
bekerja dengan meningkatkan neurotransmisi penghambatan melalui
reseptor GABA (GABAergic sinaps). Bumetanide dapat mengubah
tindakan agen GABAergic dengan mencegah akumulasi intraselular
klorida melalui NKCC1. AMPA asam a-amino-3-hidroksi-5-metil-4-
isoxazolepropionic, NMDA N-methyl-D-aspartat, GABA c-amino asam
butirat, GAD glutamat dekarboksilase asam, SV2A sinaptik vesikel 2A
protein

1. Fenobarbital
Fenobarbital merupakan pilihan pertama pada kejang neonatus.
Cara kerja dengan menghambat peningkatan inhibisi GABA. Neonatus
dengan kejang yang berat dapat menjadi kerusakan otak yang berat dan
perkembangan neurologis yang tidak baik.6 Fenobarbital sebagai lini
pertama sebagai terapi kejang neonatus, meskipun hanya memiliki efficacy
sekitar 50%. Fenobarbital merupakan pilihan yang aman, walaupun
didapatkan bukti bahwa fenobarbital dapat mempengaruhi perkembangan
neuro dan meningkatkan apoptosis neuron5 namun sangat terbatas
penelitian yang mengkaji efikasi dari fenobarbital. Kejang sangat berespon
setelah pemberian loading iv 15-20 mg/kg dengan angka keberhasilan 33-
40%. Dosis dapat dinaikkan sampai denga 40 mg/kg.5,6 Pada penelitian
randomized controlled boylan et al, 11 dari 22 neonatus berespon dengan
fenobarbital pada dosis 40 mg/kg sebagai terapi lini pertama.14

2. Lidokain
Di Eropa lidokain biasa digunakan sebagai lini ketiga sebagai AED
( antiepileptic drug), dimana di beberapa negara luar hanya digunakan 1-6%
oleh neurologist dan neonatologists.4 Lidokain saat ini sangat efektif sebagai
terapi lini kedua dan lini ketiga neonatal seizure, dengan angka respon yang
berkisar 60 – 92%. Meskipun pada beberapa penelitian angkanya sangat
kecil, namun terapi dengan lidokain dengan perbedaan regimen sangat
baik5.
Lidokain akan sangan efektif sebagai obat anti kejang saat obat
anti kejang yang lain gagal. Perhatian terhadap kardio toksik masih
terbatas pada penggunaan obat ini. Pada beberapa penelitian terdahulu
ditemukan kejadian sebesar 4,8% terjadi aritmia selama pemberian
continuous infusion lidokain.5,6 Pengenalan dosis regimen baru dan
rekomendasi pemberian lidokain hanya terbatas pada pasien NICU
dengan monitoring kardio secara continuous sehingga dapat mengurangi
risiko. Lidokain secepatnya dihentikan bila didapatkan tanda-tanda aritmia
dan tidak diberikan pada neonatus dengan kelainan jantung bawaan atau
pada neonatus yang sebelumnya sudah mendapat fenitoin.11
Dosis lidokain harus disesuaikan pada terapi hipotermia. Suhu
tubuh yang rendah dapat merubah farmakokinetik dan farmakodinamik
sehingga meingkatkan risiko kardio toksik oleh karena penurunan
clearance lidokain. Selain membahas tentang oabt anti kejang pada
neonatus, penting untuk mempertanyakan seberapa agresif kita harus
menterapi kejang neonatus, seperti bagaimana seharusnya kita mencoba
untuk menghilangkan gambaran elektrografi kejang atau justru kita
membiarkan kejang itu tetap ada. Meskipun belum ada penelitian yang
membuktikan dengan terapi yang agresif dapat memperbaiki outcome,
terdapat beberapa penelitian yang beranggapan bahwa kejang dapat
mengekserbasi kejadian brain injury, terutama HIE. 7-9

Kerja lidokain dengan menghambat kanal Na untuk mencegah


terjadi depolarisasi. Lidokain terbukti sebagai AED dengan nilai efficacy
sebesar 78% berdasarkan dengan EEG.5 penelitian retrospektif terbaru
dari EEG ditemukan bahwa lidokain sebagai lini kedua atau ketiga obat
anti kejang sangat bagus (mengkontrol paling tidak selama 4 jam) ataupun
rata-rata (kontrol kejang selama minimal 2 jam) berefek sebagai anti
epileptik pada 71,4% neonatus, bayi cukup bulan atau prematur.9 Sebagai
obat anti kejang, penyesuaian dosis untuk neonatus harus disesuaikan,
batas kardio toksik ditemukan pada beberapa neontus dengan standart
infus lidocain. Selain itu, penggunaan lidokain sangat aman pada
neonatus.9,10

Waktu paruh lidokain dibandingkan dengan obat lain


fenobarbital, fenitoin dan diazepam sangat pendek dengan fase terminal
t1⁄2 3 jam, 16 jam setelah pemberian single dose, meningkat sampai dengan
5 jam setelah pemberian continous.7 Pada penelitian Wallin dkk, fase
terminal t1/2 lidokain sebesar 5,2-5,4 jam.

Dikutip dari Weeke et al, 2016


Table 1. Perubahan regimen dosis beberapa tahun terakhir

3.Midazolam
Midazolam dapat juga sebagai lini kedua dan lini ketiga sebagai
terapi kejang pada neonatal. Farmakodinamik sama dengan salah satu
kerja fenobarbital yaitu meningkatkan neurotransmiter inhibisi dengan
memodulasi kanal clorida reseptor GABA.5 Respon midazolam sangat
bervariasi antara 0-100% dengan melihat gambaran EEG. Midazolam
dapat menjadi sedikit efektif dibandingkan dengan lidocain, tergantung
derajat keparahan HIE.13,15 Midazolam juga digunakan pada kejang
refrakter, dengan efikasi dalam 2 penelitian sebsesar 67% dan 80%.16 Pada
penelitian Shany et al. 4 dari 8 neonatus dengan menggunakan midazolam
hanya berespon sebagian.13 sedangkan pada small randomized trial Boylan
et al, dari 6 neonatus menggunakan midazolam sebagai lini kedua
berespon baik.14 Penelitian Sirsi et al, 3 neonatus satus epileptikus dengan
penyebab yang berbeda, kejang pada 3 neonatus tidak tidak berespon baik
dengan fenobarbital dan fenitoin, namun berespon baik dengan continuous
midazolam.16
Dosis yang digunakan untuk midazolam yaitu dengan dosis awal
0,05 mg/kg dalam 10 menit diikuti dengan pemberian selanjutnya dosis
maintenance 0,15 – 0,5 mg/kg/jam ditingkatkan bertahap dengan
peningkatan 0,05 mg/kg/jam.

4. Levetiracetam
Levetiracetam merupakan obat baru, diharapkan obat ini
mengaktifkan glikoprotein 2A (SV2A) melalui vesicle sinap dimana protein
ini terlibat dalam pelapasan neurotransmitter. Levetiracetam memiliki
farmakokinetik yang bagus dan aman pada neonatus.17 Pada beberapa
kasus levetiracetam digunakan sebagai lini kedua atau ketiga.18 dibutuhkan
penelitian randomized- controlled trial untuk mengetahui efektifitas dan
aman obat ini.

Perbandingan beberapa penelitian


Hellstrom et al, 1988, membandingkan perbedaan lidokain setelah
pemberian fenobarbital ( 10-15 mg/kg) dan juga lini kedua diazepam pada
beberapa pasien. 46 neonatus dibagi menjadi 3 kelompok yang mendapat
dosis loading 2mg/kg, 1-1,5 mg/kg atau tidak dengan loading, kemudian
dilanjutkan 2-6 mg/kg/jam dengan drip. Diikuti dengan continuous EEG,
didapatkan kejang berhenti sebesar 83% selama 3-4 jam, dimana 26 dari
29 (90%) dengan loading 2mg/kg berespon kurang lebih 30 menit. Dan
yang tidak mendapat dosis loading tidak berespon. Tidak ada laporan efek
samping yang terjadi pada penelitian ini. Meskipun 7 dari 32 kasus (22%)
dengan arterial monitor didapatkan perubahan tensi dan 22 dari 43 kasus
(51%) dengan kardiak monitoring menunjukkan perubahan heart rate.1,3
Pada penelitian Malingre et al, 2006, 20 neonatus menggunakan
lidocain ( dosis protocol 2 mg/kg/loading, 6 mg/kg/jam selama 12 jam , 4
mg/kg/jam selama 12 jam kemudian 2 mg/kg/jam selama 12 jam)
diberikan setelah dengan pemberian fenobarbital atau dengan midazolam/
clonazepam gagal. Sebanyak 76% terjadi penurunan kejadian kejang, dan
52% kejang dapat berhenti dengan sempurna. Keberhasilan lidokain
berkembang dengan optimal, penggunaan lidokain dengan dosis yang
optimal memiliki efek samping yang minimal pada kardiak. Mulai
dikembangkan pengurangan dosis (6 mg/kg/jam hanya 6 jam vs 12 jam),
menghasilkan respon yang hampir sama (efeknya sebesar 78%). Dan tidak
ditemukan efek samping yang signifikan.7,9
Sedangkan pada penelitian Westas et al, pemberian lidokain
sangat efektif pada kejang yang berat atau kejang yang lama pada neonatus.
Pengukuran konsentrasi dalam darah terlihat sangat sulit untuk dilakukan
kecuali dicurigai terjadi akumulasi. Jika kejang masih didapatkan selama
pemberian lidokain, segera dilakukan pengurangan dosis, akumulasi dapat
membuat kejang menjadi lebih lama.7

Pada penelitian Lundqvist et al, lidocain mempunyai efikasi yang


moderate sebagai lini kedua untuk terapi kejang pada neonatus. Sehingga
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk efikasi dan safety pada lidokain,
tetapi diyakinkan lidokain sesuai sabgai terapi kejang pada neonatus.2
Analisa retrospektif pada neonatus cukup bulan dengan kejang oleh
karena hypoxic-ischemic injury dianjurkan dengan pemberian intravena
lidokain dosis tunggal 2mg/kg, kemudian diikuti dengan continuous drip 4-
6 mg/kg/jam, ini lebih efektif dibandingkan dengan pemberian
midazolam drip dalam mengkontrol kejang pada neonatus yang tidak
berespon dengan fenobarbital.13

KESIMPULAN

Terapi kejang pada neonatus merupakan tantangan saat ini.


Lidokain dapat memberikan respon sebesar 70%, akan tetapi usia
kehamilan, etiologi kejang dan waktu saat pemberian sangat berpengaruh
terhadap respon terapi kejang.1-4 Lidokain sangat signifikan dibandingkan
dengan midazolam sebagai terapi lini kedua setelah kegagalan
fenobarbital.4 Antara lidokain dan midazolam sangat efektif sebagai lini
ketigadibanding sebagai lini kedua, karena sinergis mekanisme farmakologi
keduanya.5
Belum ada penelitian bahwa lidokain sebagai lini pertama atau
sebelum pemberian fenobarbital.2 Pada beberapa penelitian dianjurkan
pada klinisi, lidokain aman untuk pemberian pada neonatus cukup bulan
dan prematur, akan tetapi dengan regimen dosis yang dimodifikasi dan
diperhatikan pula adanya gangguan elektrolit. Pemberian lidokain tidak
dianjurkan pada neonatus dengan penyakit jantung bawaan atau
bersamaan atau berikutnya dengan pemberian fenitoin.4
Untuk kedepan masih diperlukan penelitian control randomized
dalam rangka membuat protocol untuk diagnosis kejang pada neonatus,
efikasi dan safety dari generasi obat-obatan kejang dan untuk menetukan
durasi pemberian obat yang optimal.8,9
DAFTAR PUSTAKA

1. Insoft R, moran L and Hossain T. Neonatal Seizure following


Lidocaine Administration for Elective Circumcision. Journal of
Perinatology. 2004; 24: 395-396.
2. Lundqvist M, Agren J, et al. Efficacy and Safety of Lidocaine for
Treatment of Neonatal Seizure. Acta pediatrica. 2013; 102: p863-867
3. Slaughter A L, Patel A D., Slaughter JL. Pharmacological Treatment
of Neonatal seizures: A systemic Review. J Child Neurol. 2013; 28(3):
351-364
4. Weeke L, Toet M, et al. Lidocaine response rate in aEEG-confirmed
neonatal seizures: Retrospective study of 413 full-term and preterm infant.
Epilepsia. 2016: 57(2):233–242
5. Rooij L, Westas L, and Vries L. Treatment of Neonatal Seizures.
Elsevier. 2013. http://dx.doi.org/10.1016/j.siny.2013.01.001
6. Donovan M, Griffin B, et al. Pharmacotherapy for Neontal Seizures:
Current Knowledge and Future Perspectives. Springer Switzerland.
2016. DOI:10.1007/s40265-016-0554-7
7. Westas HL, Sevnningsen NW, Westgren U, et al. Lidocaine for
treatment of severe seizures in newborn infants. II. Blood cocentrations of
lidocaine and metabolites during intravenous infusion. Acta Paediatr.
1992. 81:35-9
8. Glass HC. Neonatal seizures: advances in mechanism and management.
Clin Perinatol. 2014;41(1): 177-90
9. Hallberg B, Blennow M. Investigations for neonatal seizures. Semin
Fetal Neonatal Med. 2013;18(4):196–201
10. Abend NS, Wusthoff CJ, Goldberg EM, Dlugos DJ. Electrographic
seizures and status epilepticus in critically ill children and neonates with
encephalopathy. Lancet Neurol. 2013;12(12):11709
11. Van den Broek MP, Huitema AD, van Hasselt JG, et al. Lidocaine
(lignocaine) dosing regimen based upon a population pharmacokinetic
model for preterm and term neonates with seizures. Clin
Pharmacokinet. 2011;50:461e9
12. Neubar D, Salamon A, Osredkar D, Paro-Panjan D. Management
of refractrory neonatal seizures. Research and report in neonatology,
Slovenia. 2014;4:17-29
13. Shany E, Benzaqen O, Watembarg N. Comparison of continuous
drip of midazolam or lidocaine in the treatment of intractable neonatal
seizures. Journal child neurology. 2007;22: 255-259
14. Boylan GB, Rennie JM, Chorley G, et al. Second line
anticonvulsant treatment of neonatal seizures: a video EEG monitoring
study. Neurology. 2004.; 62:468-8
15. Van den Broek MP, Van Straaten HL, Huitema AD, Egberts T,
Toet MC, de Vries LS, Rademaker K, Groenendaal F.
Anticonvulsant effectiveness and hemodynamic safety of midazolam in
full-term infants treated with hypothermia. Neonatology.
2015;107(2):150-6
16. Sirsi D, Nangia S, LaMothe J, Kosofsky BE, Solomon GE.
Successful management of refractory neonatal seizures with midazolam. J
Child Neurol 2008;23:706-9
17. Merhar SL, Schibler KR, Sherwin CM, Meinzen-Derr J, Shi J,
Balmakund T, Vinks AA. Pharmacokinetics of levetiracetam in
neonates with seizures. J Pediatr. 2011;159(1):152–4.e3
18. Abend NS, Gutierrez-Colina AM, Monk HM, Dlugos DJ, Clancy
RR. Levetiracetam for treatment of neonatal seizures. J Child Neurol.
2011;26(4):465–70
ETIKA DAN PERILAKU PROFESI
DOKTER SPESIALIS ANAK INDONESIA

Agus Harianto

Dewan Etik IDAI Cabang Jawa Timur

Dokter adalah suatu profesi, maka selayaknya seorang yang


profesional dokter harus mematuhi norma-norma etika, disiplin keilmuan
dan hukum. Mengenai norma etika diperlukan suatu kode etik yang
mengaturnya. Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia
perlu disusun sebagai panduan yang mengacu pada KODEKI yang
disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Kesehatan
Anak.
Dewan Etika PP IDAI telah menyusun Panduan Etika dan Perilaku
Profesi Dokter Spesialis Anak. Panduan ini merupakan pedoman dasar
untuk membantu para anggota IDAI bekerja sesuai dengan bidangnya,
sehingga dokter spesialis anak dapat menjalankan profesinya dengan
martabat yang mulia. Susunan Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter
Spesialis Anak Indonesia terdiri dari: 10 Bab yaitu Bab I Umum terdiri 7
Pasal, Bab II Pandangan Terhadap Anak terdiri dari 2 Pasal, Bab III
Tumbuh Kembang terdiri dari 3 Pasal, Bab IV Prinsip Tata Laksana
Kasus terdiri dari 8 Pasal, Bab V Pandangan Terhadap Pengobatan
Komplementer Alternatif terdiri dari 1 Pasal, Bab VI Hubungan Dokter –
Pasien terdiri dari 3 Pasal, Bab VII Hubungan Antar Sejawat terdiri dari 3
Pasal, Bab VIII Hubungan Dokter Dengan Masyarakat terdiri dari 2 Pasal,
Bab IX Kewajiban Terhadap Diri dan Pengembangan Profesi terdiri dari 3
Pasal, Bab X Sanksi dan Rehabilitasi terdiri dari 1 Pasal.
Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter Spesialis Anak Indonesia
merupakan panduan bagi seluruh anggota IDAI untuk dipatuhi dalam
menjalankan profesinya.

Kata kunci: KODEKI, Panduan Etika dan Perilaku Profesi Dokter


Spesialis Anak, Dewan Etika IDAI
MANAJEMEN DISTRESS RESPIRASI PASCA ASFIKSIA

Ema Alasiry

Divisi Perinatologi
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Hasanuddin / RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
Makasar

Abstrak
Gangguan adaptasi sistem sirkulasi dan pulmonal bayi baru lahir
menyebabkan terjadinya asfiksia . Hipoksi dan asidosis karena asfiksia
mengakibatkan curah jantung menurun yang berdampak pada oksigenasi
dan penghantaran nutrisi di berbagai organ. Salah satu diantara
maladaptasi adalah Persistent Pulmonary Hypertension of the Newborn (PPHN)
PPHN merupakan suatu sindroma dengan karakteristik
meningkatnya tahanan pembuluh darah paru yang menyebabkan
penurunan tahanan pembuluh darah sistemik. Hal ini mengakibatkan
pirau ekstrapulmonal dari kanan ke kiri melewati persistent fetal channels
Persistent Ductus Arteriosus (PDA), Permanent Foramen Ovale (PFO). PPHN
menjadi tantangan yang besar karena tingginya angka kematian dan
kecacatan.
Nitric oxide inhalasi (NOi) sebagai vasodilator pulmonal selektif
tanpa penurunan tonus pembuluh sistemik menjadi terapi utama PPHN.
NOi diberikan bersama dengan HFV, surfaktan disertai terapi penunjang
tekanan darah dan sedasi. ECMO merupakan pilihan ketika langkah-
langkah ini gagal. Sildenafil oral/IV, milrinone IV dan PGI2 inhalasi
memiliki efek sinergis dengan NOi dan sudah mulai sering digunakan,
tetapi masih membutuhkan uji klinis yang besar. Pengikat radikal bebas
seperti SOD, aktivator sGC dan antenatal steroid merupakan terapi yang
potensial yang masih dalam penelitian. Follow-up jangka panjang penting
untuk bayi dengan risiko tinggi ganguan tumbuh kembang dan
pendengaran.
Kata kunci : PPHN, tatalaksana
GANGGUAN GINJAL AKUT PASCA ASFIKSIA NEONATUS
Krisni Subandiyah
Divisi Nefrologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSU. dr.Saiful Anwar Malang

Abstrak
Asfiksia neonatus sering menyebabkan terjadinya gangguan ginjal
akut (GnGA), terjadi sampai dengan 56% bayi dengan asfiksia. Kesulitan
utama dalam mendiagnosis GnGA pada neonatus adalah definisi
konsensus GNGA neonatus, terutama karena sulitnya memeriksa
biomarker yang spesifik. Manifestasi klinis AKI tergantung pada derajat
keparahan dan lamanya hipoksia-iskemik. Asfiksia berat dapat
menyebabkan disfungsi tubular difus dengan gangguan reabsorpsi natrium
dan air dan penurunan laju filtrasi glomerulus. Asfiksia ringan hanya
menyebabkan kerugian gangguan fungsi ginjal sesaat. AKI harus dicurigai
jika didapatkan peningkatan konsentrasi kreatinin serum dan / atau
produksi urin berkurang. Prinsip pengobatan GnGA pada neonatus pada
dasarnya sama dengan pada anak. Terapi pengganti ginjal dengan dialisis
peritoneal merupakan pilihan pada neonatus dengan GnGA.

Kata kunci: asfiksia, gangguan ginjal akut, neonatus

Abstract
Acute kidney injury (AKI) is a common consequence of perinatal
asphyxia, occurring in up to 56% of these infants. Amajor difficulty in
diagnosing this condition is the lack of a consensus definition of neonatal
AKI, largely because ofa dearth of specific biochemical markers. The
clinical manifestation of AKI depend upon the severity and duration of the
hypoxic-ischemic event. Severe asphyxia results in diffuse tubular
dysfunction with impaired reabsorption of sodium and water and
decreased glomerular filtration rate. A milder insult may cause only a
transient loss of renal concentrating ability. AKI should be suspected if the
serum creatinine concentration increases and/or the urine output is
reduced. The treatment in AKI neonate basically the same as in children.
Renal replacement therapy with peritoneal dialysis is an option in AKI
neonates treatment.
Keywords: asphyxia, acute kidney injury, neonates
Pendahuluan

Gangguan ginjal akut (GnGA) atau acute kidney injury (AKI),

sebelumnya disebut sebagai gagal ginjal akut (GGA), didefinisikan sebagai

penurunan fungsi ginjal secara mendadak yang ditentukan dengan

penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang menyebabkan gangguan

keseimbangan asam-basa, elektrolit dan ekskresi katabolisme nitrogen

(Ottonello et al., 2014). Gangguan ginjal akut mengakibatkan gangguan

fungsi ginjal, yaitu penuruan ekskresi produk limbah nitrogen, kehilangan

regulasi air dan elektrolit, dan asam basa. Gangguan ginjal akut merupakan

faktor utama untuk morbiditas dan mortalitas neonatus sakit kritis

(Askenazi et al., 2009).

Asfiksia perinatal merupakan penyebab paling sering dari GnGA

pada bayi baru lahir. Terjadinya GnGA pada asfiksia perinatal disebabkan

berkurangnya aliran darah ginjal karena adanya hipovolemia dan hipotensi

bersamaan dengan asfiksia perinatal, dapat menyebabkan gangguan LFG

dan fungsi tubulus; gangguan pernapasan pada asfiksia dapat

menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Kelainan ini

menyebabkan peningkatan sekresi katekolamin, adenosine, renin dan

aldosteron, dan hormon antidiuretik (ADH). Peningkatan katekolamin,

adenosin, dan angiotensin menyebabkan vasokonstriksi praglomerulus dan

dilatasi postglomerulus, menurunkan LFG. Adanya pengaktifan sistim

rennin-angiotensin dan peningkatan sekresi ADH akan meningkatkan


retensi garam dan air dengan oliguria. Penggunaan ventilasi mekanik dapat

menurunkan aliran balik vena dan curah jantung, yang akan menyebabkan

hipovolemia dan hipotensi (Girish et al., 2015).

Asfiksia neonatal merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas

yang signifikan pada neonatus terutama bayi prematur. Insiden asfiksia

neonatal adalah diperkirakan antara 1 dan 10 per 1.000 kelahiran hidup

dan dipengaruhi oleh berat badan lahir dan usia kehamilan bayi (Mcguire,

2007). Asfiksia dapat menyebabkan disfungsi multiorgan dan redistribusi

curah jantung dalam mempertahankan perfusi otak, jantung, dan adrenal

dan berpotensi terjadi gangguan ginjal, gastrointestinal, dan kulit.

Hipoksia dan iskemia dapat menyebabkan kerusakan hampir setiap

jaringan dan organ tubuh (Bhatti & Kumar, 2014). Sehingga lebih dari

56% kasus distress napas dapat terjadi GnGA. Ginjal sangat sensitif

terhadap kekurangan oksigen, insufisiensi ginjal dapat terjadi dalam waktu

24 jam dari episode iskemik hipoksia, yang jika berkepanjangan mungkin

dapat menyebabkan terjadi nekrosis korteks ireversibel (Durkan &

Alexander, 2011).

Sampai sekarang belum ada konsensus mengenai definisi AKI atau

GnGA pada neonatus. Masih sulit membuat estimasi kejadian dan

manajemen apakah serum kreatinin sebagai biomarker/penanda yang baik

untuk disfungsi ginjal pada umumnya dan pada neonatus (Drukker &

Guignard, 2002). Interpretasi serum kreatinin saja dalam beberapa hari-


hari pertama kehidupan harus diperlakukan dengan hati-hati, karena dapat

dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: 1). Konsentrasi kreatinin

mencerminkan mulai maternal hingga 72 jam setelah lahir; 2). Postnatal,

perubahan besar dalam laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat terjadi tanpa

adanya perubahan serum kreatinin; 3). Adanya variabilitas yang signifikan

pada GFR neonatal/nilai-nilai kreatinin, sebab berubah dengan cepat

selama periode postnatal, bayi prematur memiliki LFG lebih rendah

dibandingkan bayi normal. Oliguria adalah tanda klinis lain yang terkait

dengan AKI. Namun, pada neonatus lebih dari 50% kasus, gangguan

ginjal dapat terjadi dengan tidak adanya oliguria. Untuk meningkatkan

kemampuan untuk memprediksi hasil klinis, diperlukan kriteria yang lebih

spesifik untuk diagnosis AKI pada neonatus (Agras et al.,2004; Durkan &

Alexander, 2011).

Epidemiologi

Pada tahun 2004, Acute Dialysis QualityInitiative (ADQI),

menyetujui klasifikasi GnGA menggunakan kriteria Risk, Injury, Failure,

Loss of kidney function, and End-stage kidney disease (RIFLE) yang berdasarkan

pada kadar kreatinin serum dan produksi urin: oliguria/anuria (Bellomo et

al., 2004). Tiga tahun kemudian, kriteria RIFLE dimodifikasi untuk

diaplikasikan ke anak-anak, menjadi kriteria pediatric RIFLE (pRIFLE)

(Akcan-Arikan et al., 2007). Didapatkan adanya hubungan antara produksi


urin dengan kondisi kritis bayi maka akhirnya dimasukkan ke kriteria

pRIFLE dan disebut sebagai neonatal RIFLE atau nRIFLE (tabel 1) (Ricci

& Ronco, 2013).

Tabel 1. Perbandingan klasifikasi GnGA antara anak dan bayi

AKI: acute kidney injury; RIFLE : risk, failure, loss, end-stage kidney disease;
pRIFLE: pediatric RIFLE; nRIFLE: neonatal RIFLE; GFR: glomerular filtration
rate; UO: urine output

Dikutip dari: Ricci & Ronco, 2013.

Pada tahun 2012, Kidney disease outcomes quality initiative (KDOQI)

membuat kriteria GnGA pada neonatus. Definisi derajat GnGA

berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum pada bayi usia < 120 hari

(KDOQI, 2012)..

Tabel 2. Klasifikasi gangguan ginjal akut pada neonatus berdasarkan


KDOQI

Keterangan: SCr didefinisikan sebagai kadar terendah nilai SCr


sebelumnya; nilai SCr dari 2,5 mg / dL sama dengan 10 mL/min/ 1.73m2.

Dikutip dari: KDOQI, 2012.


Gangguan ginjal akut pada neonatus disebabkan oleh berbagai

penyebab, tetapi asfiksia merupakan penyebab yang paling sering.

Penelitian epidemiologi berdasarkan definisi serum kreatinin lebih besar

dari 1,5 mg / dL atau urine output menurun, didapatkan adanya gangguan

ginjal akut sebesar 30% sampai 56% dari neonatus pasca asfiksia (Jetton &

Askenazi, 2012).

Namun, peneliti lain melaporkan bahwa GnGA pada neonatus asfiksia

sering tanpa oliguria, dan banyak neonatus dapat mempertahankan urine

output lebih dari 1 mL/kg/jam meskipun didapatkan disfungsi ginjal yang

signifikan. Gangguan ginjal akut pasca asfiksia menyebabkan angka

kematian bayi yang tinggi, terutama pada pasien dengan oliguria. Pada

neonatus dengan asfiksia berat mempunyai risiko lebih tinggi mengalami

gangguan ginjal dibandingkan asfisia ringan (Selewski et al., 2015) .

Studi prospektif multisenter menggunakan kriteria pRIFLE

melaporkan bahwa 64% dari bayi baru lahir dengan GnGA (55% GnGA

derajat 1, 20% derajat 2, dan 25% derajat 3). Dimana pada bayi dengan

GnGA derajat 3 membutuhkan dialisis dan menyebabkan angka

kematiannya tinggi. Pada bayi dengan GnGA derajat 2 & 3 setelah

dilakukan follow up selama 2 tahun didapatkan tinggi badan yang rendah

(Morgan et al., 2013).

Patofisiologi
Gangguan ginjal akut pada neonatus dipengaruhi oleh lamanya

nefrogenesis, LFG dan aliran darah ginjal. Nefrogenesis dimulai sejak usia

minggu kelima dan berakhir minggu ke 34-35, nefron telah berkembang

secara lengkap pada neonatus cukup bulan. Namun, pada minggu pertama

setelah lahir terdapat perubahan LFG dan fungsi tubulus (Jose et al., 1994).

Pada neonatus cukup bulan LFG bervariasi secara signifikan dengan nilai

rata-rata 20 mL/menit/1.73m2 kemudian meningkat dengan cepat selama

tahun pertama kehidupan dengan nilai rata-rata ± 120 mL/menit/1.73m2

(Saint-Faust et al., 2014).

Fungsi tubulus neonatus belum sempurna pada saat lahir dan

berkembang selama beberapa minggu pertama kehidupan. Adaptasi

kehidupan ekstra uterin meliputi penurunan cairan ekstraseluler melalui

diuresis bersamaan dengan natriuresis. Dengan demikian, ekskresi

fraksional natrium pada beberapa hari pertama kehidupan menurun

(Durkan & Alexander, 2011).

Manifestasi klinis & diagnosis

Kecurigaan GnGA pada bayi baru lahir adalah adanya

peningkatan kreatinin serum dan/atau anuria/oliguria. Oliguria adalah

tidak adanya produksi urin dalam 48 jam pertama atau penurunan

produksi urin ( volume urin kurang dari 1 mL/kg/jam). Peningkatan

kreatinin serum (>1.5 mg/dL [133 mikromol / L]) merupakan indikator


penurunan LFG atau meningkat sebesar 0,2 hingga 0,3 mg / dL (17-27

mikromol / L) per hari. BUN > 50 mg / dL (17,9 mmol / L) didapatkan

pada AKI, tapi dapat disebabkan oleh peningkatan produksi urea karena

peningkatan kerusakan jaringan. Gangguan ginjal akut dapat

menyebabkan hiponatremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,

dan asidosis (Durkan & Alexander, 2011) .

Diagnosis didasarkan pada adanya perubahan serum kreatinin dan

produksi urin. Estimasi LFG, biasanya dengan pemeriksaan konsentrasi

kreatinin serum, digunakan untuk menilai sejauh mana gangguan ginjal

dan mengikuti perjalanan penyakit. Urinalisis merupakan pemeriksaan

diagnostik awal yang penting untuk menentukan penyebab GnGA

(Libório et al., 2014).

Konsentrasi kreatinin serum bayi saat lahir hampir sama dengan

ibunya (biasanya < 1 mg/dL [88 mikromol / L]). Kemudian menurun cepat

saat usia minggu pertama pada bayi cukup bulan (Saint-Faust et al., 2014).

Gangguan ginjal pada neonatus sering terjadi tanpa adanya

oliguria. Diagnosis disfungsi ginjal instriksi harus dibedakan dengan

gangguan ginjal prerenal karena hipovolemia dengan pemberian challenge

cairan. Pemeriksaan laboratorium telah terbukti efektif secara klinis dalam

membedakan gangguan ginjal prerenal pasca asfiksia; adalah : 1).

Konsentrasi urin (BJ >1.018 dan osmolaritas >500 mOsm); 2). Konsentrasi

natrium urin menurun (< 10mEq/L) dengan ekskresi fraksional natrium


(FeNa): <2%; 3). Sedimen urin: negative; 4). Rasio azotemia/kreatinin

serum meningkat (Selewski et al., 2015).

Ekskresi fraksional natrium dihitung dengan membagi konsentrasi

natrium serum dan kreatinin urin dengan konsentrasi natrium urin dan

kreatinin serum, dengan rumus: %FeNa = [(U/P)Na]/[(U/P)Cr] x 100, di

mana Na dan Cr menyatakan konsentrasi natrium dan kreatinin masing-

masing dalam urin (U) dan plasma (P). Apabila lebih besar dari 3%

menunjukkan adanya kerusakan ginjal instriksik pada bayi umur lebih dari

48 jam (Selewski et al., 2015).

Beberapa biomarker baru yang dapat digunakan untuk

memprediksi terjadinya GnGA pada asfiksia perinatal (Sarafidis et al.,

2012), antara lain neutrophil gelatinase-associated lipocalcin (NGAL) (Pejović et

al., 2015) and interleukin (IL)-18, cystatin-c (Li et al ., 2012) , kidney injury

molecule (KIM)-1 (Hoffman et al., 2013)

Terapi

Menentukan diagnosis dan manajemen terapi secara dini

ditujukan untuk mencegah dan mengobati kemungkinan komplikasi lebih

lanjut. Manajemen konservatif GnGA pada neonatus dan anak sama. Pada

asfiksi neonatus, kita harus hati-hati dengan pemberian obat-obat yang

dapat menimbulkan potensi risiko dari nefrotoksik (furosemid) dan

neurotoksik (manitol seringkali diberikan) ketika mencoba untuk


mempertahankan produksi urin neonatus karena jumlah urin yang

berkurang. Observasi yang ketat terhadap keseimbangan cairan, termasuk

obat-obatan, transfusi darah. Produksi/ jumlah urin dan insensible water

looses harus diganti dengan cairan D10% dan rendah natrium. Sebaiknya

hindari pemberian cairan yang mengandung kalium. Evaluasi berat badan

bayi setiap hari harus dilakukan, pH fisiologis harus dipertahankan

normal, koreksi asidosis metabolik dengan bikarbonat 1 mmol/kg.

Hindari obat-obat nefrotoksik seperti aminoglikosida, dan obat-obat

antiiflamasi non steroid; apabila tetap harus diberikan, harus mengatur

dosis dan interval pemberiannya. Neonatus dengan komorbiditas kelainan

bawaan berisiko aliran darah ginjal berkurang. Belum ada penelitian yang

melaporkan bahwa pemberian dopamin dapat mencegah atau mengobati

GnGA pada neonatus (Selewski et al., 2013).

Salah satu penelitian membandingkan antara pemberian

oksigenasi ruangan dengan oksigen 100% pada 39 neonatus asfiksia.

Dilaporkan bahwa kedua kelompok didapatkan adanya stress oksidatif

dibandingkan dengan subjek kontrol, tetapi dari kelompok yang

diresusitasi dengan oksigenasi ruangan didapatkan kadar NAG urin yang

lebih rendah tetapi tidak ada hubungannya dengan gejala klinis akut dan

luaran jangka panjang (Vento et al., 2005).

Penelitian mengenai pemberian theofilin untuk mencegah

terjadinya disfungsi ginjal pasca asfiksia. Jenik et al. (2000), melakukan


penelitian randomized double blind placebo controlled trial terhadap 51

neonatus asfiksia berat. Didapatkan hasil pemberian theofilin dengan dosis

8 mg/kg dalam jam pertama setelah lahir, menurunkan kadar kreatinin

serum dan B2M dan meningkatkan clearance kreatinin. Peneliti lain, Bakr

(2005) melakukan penelitian pada 40 neonatus yang diberikan theofilin

dosis 5 mg/kg dan Bath et al. (2006) pada 70 neonatus diberikan theofilin

dengan dosis 8 mg/kg dalam jam pertama setelah lahir, dilaporkan bahwa

kadar kreatinin serum, eksresi B2M urin, dan disfungsi ginjal berat

(kreatinin serum >1,5 mg/dL) menurun dan LFG meningkat (Gupta et al.,

2016).

Indikasi dilakukan renal replacement therapy (RRT) / terapi

pengganti ginjal pada neonatus sama dengan yang untuk anak-anak dan

orang dewasa, yaitu asidosis berat (bikarbonat serum <12 mEq/L),

hiperkalemia (kalium ≥8mEq/L), hiponatremia (natrium ≤120 mEq/L),

atau adanya tanda-tanda kelebihan cairan seperti gagal jantung, edema

paru, dan / atau keperluan pemberian nutrisi yang lebih besar tetapi

dengan pembatasan / restriksi pemberian cairan. Terapi pengganti ginjal

pada GnGA pada bayi meliputi hemodialisis, dialisis peritoneal, dan

hemofiltrasi (dengan atau tanpa dialisis) (Bridges et al., 2012).

Dialisis peritoneal lebih dipilih pada neonatus karena tehnis lebih

mudah, tetapi mudah terjadi komplikasi. Kontraindikasi dilakukan dialisis


peritoneal adalah adanya komorbiditas abdomen atau hernia diafragmatika

(Unal et al., 2012; Askenazi et al., 2013).

Prognosis

Morbiditas dan mortalitas neonatus asfiksia dengan GnGA cukup

tinggi terutama apabila disertai adanya disfungsi multiorgan. Angka

kematian, kebutuhan untuk dialisis dan gangguan neurologis jangka

panjang pada GnGA dengan oliguria lebih tinggi dibandingkan yang non

oliguria. Derajat asfiksia (apgar score 5 menit) atau derajat hypoxic

ischemic encephalopathy (HIE) sebagai prediksi terjadinya gangguan ginjal

pada neonatus (Selewski et al., 2015; Gupta et al., 2016).

Ringkasan

Gangguan ginjal akut sering merupakan manifestasi yang sering

didapatkan pada asfiksia neonatus. Dalam perawatan neonatal meskipun

perbaikan yang signifikan, tetapi morbiditas dan mortalitas gangguan ginjal

yang disebabkan oleh hipoksia perinatal tetap tinggi. Biomarker diagnosis

gangguan ginjal akut pada neonatus masih cukup sulit. Terapi GnGA pada

neonatus yaitu terapi suportif dan terapi pengganti ginjal / dialisis,

pemberian obat intervensi seperti theofilin bermanfaat pada GnGA pasca

asfiksia neonatus. Prognosis jangka panjang GnGA pasca asfiksia neonatus

tergantung pada tatalaksana awal dan dapat menyebabkan disfungsi ginjal.


Daftar Pustaka

Agras PI, Tarcan A, Baskin E, Cengiz N, Geurakan B, Saatci U.


2004. Acute renal failure in the neonatal period. Ren Fail; 26: 305-309.

Akcan-Arikan A, Zappitelli M, Loftis LL, Washburn KK, Jefferson


LS, Goldstein SL. 2007. Modified RIFLE criteria in critically ill children
with acute kidney injury. Kidney Int; 71(10): 1028-35.

Anne M. Durkan, Todd Alexander R. 2011. Acute Kidney Injury


Post Neonatal Asphyxia. J Pediatr; 158(2): e29-e33.

Askenazi DJ, Ambalavanan N, Goldstein SL. 2009. Acute kidney


injury in critically ill newborns: What do we know? What do we need to
learn? Pediatr Nephrol; 24: 265–274.

Askenazi DJ, Goldstein SL, Koralkar R, et al. 2013. Continuous


renal replacement therapy for children ,/=10 kg: a report from the
prospective pediatric continuous renal replacement therapy registry. J
Pediatr; 162(3): 587–592.e3.

Bakr AF. 2005. Prophylactic theophylline to prevent renal


dysfunction in newborns exposed to perinatal asphyxia–a study in a
developing country. Pediatr Nephrol; 20: 1249-52.

Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P. 2004.


Acute renal failure-definition, outcome measures, animal models, fluid
therapy and information technology needs: the second international
consensus conference of the acute dialysis quality initiative (ADQI) group.
Critical Care; 8(4): R204-212.

Bhat MA, Shah ZA, Makhdoomi MS, Mufti MH. 2006.


Theophylline for renal function in term neonates with perinatal asphyxia:
a randomized, placebo-controlled trial. J Pediatr; 149: 180-4.

Bhatti A, Kumar P. 2014. Systemic effects of perinatal asphyxia.


Indian J Pediatr; 81(3): 231-233.

Bridges BC, Askenazi DJ, Smith J, Goldstein SL. 2012. Pediatric


renal replacement therapy in the intensive care unit. Blood Purif; 34(2):
138–148.
Drukker A, Guignard JP. 2002. Renal aspects of the term and
preterm infant: a selective update. Curr Opin Pediatr; 14: 175-82.

Durkan AM, Alexander TR. 2011. Acute Kidney Injury Post


Neonatal Asphyxia. J Pediatr; 158(2): e29-e33.

Girish G. 2014. Acute Kidney Injury (AKI) in perinatal asphyxia.


Indian J.Pharm.Biol.Res; 2(2): 60-65.

Gupta C, Massaro N, Ray PE. 2016. A new approach to define


acute kidney injury in term newborns with hypoxic ischemic
encephalopathy. Pediatr Nephrol; 31(7): 1167–1178.

Hoffman SB, Massaro N, Soler-García AA, Perazzo S, Ray PE.


2013. A Novel Urinary. Biomarker Profile to Identify Acute Kidney Injury
(AKI) in Critically Ill Neonates - A Pilot Study. Pediatr Nephrol; 28(11):
2179–2188.

Jenik AG, Ceriani Cernadas JM, Gorenstein A, Ramirez JA, Vain


N, Armadans M, et al. 2000. A randomized, double-blind, placebo-
controlled trial of the effects of prophylactic theophylline on renal
function in term neonates with perinatal asphyxia. Pediatrics; 105: E45.

Jetton JG, Askenazi DJ. 2012. Update on acute kidney injury in


the neonate. Curr Opin Pediatr; 24(2):191-6.

Jose PA, Fildes RD, Gomez RA, Chevalier RL, Robillard JE. 1994.
Neonatal renal function and physiology. Curr Opin Pediatr; 6(2): 172–177.

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Acute


Kidney Injury Work Group 2012. KDIGO clinical practice guideline for
acute kidney injury. Kidney Int Suppl; 2: 1–138.

Li Y, Fu C, Zhou X et al., 2012. Urine interleukin-18 and cystatin-


C as biomarkers of acute kidney injury in critically ill neonates. Pediatric
Nephrology; 27(5): 851–860.

Libório B, Branco KM, Bezerra CT. 2014. Acute Kidney Injury in


Neonates: From Urine Output to New Biomarkers. BioMed Research
International. Article ID 601568, 8 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2014/601568.

Mcguire W. 2007. Perinatal asphyxia. Clin Evidence; 11: 320.


Ottonello G, Dessì A, Neroni P, Trudu ME, Manus D, Fanos V.
2014. Acute kidney injury in neonatal age. Journal of Pediatric and Neonatal
Individualized Medicine; 3(2): e030246.

Pejović B, Erić-Marinković J, Pejović M, Kotur-Stevuljević J, Peco-


Antić A. 2015. Detection of acute kidney injury in premature asphyxiated
neonates by serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (sNGAL) –
sensitivity and specificity of a potential new biomarker. Biochemia Medica;
25(3): 450–459.

Pejović B, Erić-Marinković J, Pejović M, Kotur-Stevuljević J, Peco-


Antić A. 2015. Detection of acute kidney injury in premature asphyxiated
neonates by serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (sNGAL) –
sensitivity and specificity of a potential new biomarker. Biochemia Medica;
25(3): 450–9.

Ricci Z, Ronco C. 2013. Neonatal RIFLE. Nephrol Dial Transplant;


28(9): 2211-4.

Saint-Faust M, Boubred F, Simeoni U. 2014. Renal development


and neonatal adaptation. Am J Perinatol; 31(9): 773–780.

Sarafidis K, Tsepkentzi E, Agakidou E, et al., 2012. Serum and


urine acute kidney injury biomarkers in asphyxiated neonates. Pediatric
Nephrology; 27(9): 1575–1582.

Selewski DT, Charlton JR, Jetton JG, Guillet R, Mhanna MJ,


Askenazi DJ, et al. 2015. Neonatal Acute Kidney Injury. Pediatric; 136 (2): e
463.

Selewski DT, Cornell TT, Heung M, et al. 2014. Validation of the


KDIGO acute kidney injury criteria in a pediatric critical care population.
Intensive Care Med; 40(10): 1481–1488.

Unal S, Bilgin L, Gunduz M, Uncu N, Azili MN, Tiryaki T. 2012.


The implementation of neonatal peritoneal dialysis in a clinical setting. J
Matern Fetal Neonatal Med; 25(10): 2111–2114.

Vento M, Sastre J, Asensi MA, Vi~na J. 2005. Room-air


resuscitation causes less damage to heart and kidney than 100% oxygen.
Am J Respir Crit Care Med; 172: 1393-8.
GANGGUAN METABOLISME DAN ELEKTROLIT PASCA
ASFIKSIA

Risa Etika

Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo / Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya
STABILISASI DAN RUJUKAN PASCA ASFIKSIA

Setya Dewi Lusyati

Divisi Perinatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita – Jakarta

Вам также может понравиться