Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
EPISTAKSIS
Oleh:
Amalia Almira
Betti Merdiani Putri
Fina Khairunnisa
Melly Sartika
Pembimbing:
dr. Satria Nugraha W, Sp. THT-KL
Puji Syukur senantiasa penulis hadirkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkah Rahmat dan Kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat ini.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit THT-KL, Program Studi Pendidikan
Dokter Universitas Trisakti, di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi pada
periode 2 Oktober – 4 November 2017. Pada penyusunan Referat ini banyak pihak
yang telah membantu dalam memberikan bantuan tenaga, doa, bimbingan, serta
dukungan. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.
Satria Nugraha W, Sp. THT-KL, selaku pembimbing yang senantiasa memberikan
dukungan dan bimbingan selama masa pengerjaan Referat Epistaksis ini.
Penulis menyadari bahwa Referat ini masih jauh dari kata sempurna serta
tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk dapat memperbaiki Referat ini. Semoga Referat ini dapat
bermanfaat bagi Ilmu Pengetahuan, Tenaga Kesehatan, serta bagi Masyarakat.
Penulis
LEMBAR PENGESAHAN
2
Referat dengan judul “Epistaksis” ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan, Kepala dan Leher di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.
Periode 2 Oktober – 4 November 2017
Disusun oleh :
Amalia Almira
Betti Merdiani Putri
Fina Khairunnisa
Melly Sartika
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
LEMBAR PENGESAHAN 3
DAFTAR ISI 4
DAFTAR GAMBAR 5
BAB I PENDAHULUAN 7
2.3. Epistaksis 17
2.3.1. Definisi 17
2.3.2. Patofisiologi 21
2.3.3. Klasifikasi 21
2.3.4. Etiologi 22
2.3.5. Diagnosis 23
2.3.6. Tatalaksana 23
2.3.7. Komplikasi 30
2.3.8. Pencegahan 30
2.3.9. Prognosis 31
DAFTAR PUSTAKA 33
4
DAFTAR GAMBAR
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
tepat pada kasus epistaksis agar tidak terjadi komplikasi atau bahkan kematian.
Karena itu akan dibahas mengenai epistaksis pada makalah ini.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1. tulang hidung (os nasal),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
8
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior.
Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior
dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatineserta krista sfenoid.
Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
a. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.
b. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui oleh filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagianteratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
c. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
d. Konka
9
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka;
celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah
atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan
konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka
superior dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan
konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila
bagian superior dan palatum.
e. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara disentral meatus superior
melalui satu atau beberapaostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus
sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
f. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal,
antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum.Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus
10
frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
g. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
h. Nares
Nares terdiri dari anterior dan posterior, nares anterior/lubang
hidung, menghubungkan dunia luar dengan rongga hidung, sedangkan
nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.Di bagian atap dan
lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila,
etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal
terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang iregular dengan
dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris
dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari
orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet.
11
Gambar 1. Anatomi Hidung
Histologi Hidung
Histologi Mukosa Hidung
Luas permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dengan total volume sekitar
15 mL. Hidung sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Mukosa hidung
terdiri dari palut lendir (mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia,
membran basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitel, lapisan media
dan lapisan kelenjar profunda.
12
Lapisan atas dari sel epitel (merah muda) yang membentuk lapisan teratas
mukosa. Silia dilapisi palut lendir dan serum yang diproduksi kelenjar Bowmn
(merah) yang dibawahnya terdapat mukosa membran (kuning). Dibawah membran
mukosa adalah lapisan penunjang kartilago (oranye) dan lapisan tulang (ungu).
1. Epitel
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis yaitu epitel skuamous
kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat dibelakang
vestibulum dan epitel berlapis kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian
mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki silia. Sel-sel
bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok
pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energi utama yang diperlukan untuk
kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan
mukus sedangkan sel basal merupakan sel primitif bakal dari sel epitel dan sel
goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal penghasil
protein polisakarida pembentuk lendir. Distribusi dan kepadatan sel goblet
tertinggi di konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum
nasi sebayak 5700 sel/mm2 .
Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan ini
semuanya memiliki silia (gambar 1). Sel-sel basal akan menggantikan sel-sel
bersilia atau sel goblet yang telah mati.
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel. Bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobil. Jumlah silia dapat
mencapai 200 buah tiap sel. Panjangnya antara 2-6 μm dengan diameter 0,3
μm. Struktur silia 4 terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang
dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.
Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan
elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan
basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel. Pada gambar 2 tampak di
silia ada sehelai filamen yang disebut aksonema.
Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehinnga
menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat
13
dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan
durasi geraknya kira-kira 1:3.
Gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia
ini tidak bergerak secara serentak tetapi berurutan (metachronical waves) dan
pada satu area arahnya sama dengan frekuensi denyut (cilliary beat frequency)
sebesar 1000 getaran permenit.
2. Palut Lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat merupakan
bahan yang disekresi sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal.
Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar dan superfisial (gel layer).
Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum, protein
sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada
gerakan silia karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini dan
denyutan silia terjadi pada lapisan ini.
Lapisan superfisial yang lebih tebal mengandung mukus. Diduga
mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan dikeluarkan
oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini juga pelindung pada
suhu dingin, kelembaban rendah, gas dan aerosol yang terinhalasi serta
menginaktifkan virus yang terperangkap.
3. Membrana Basalis
Lapisan ini terdiri dari lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel.
Dibawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas
kolagen dan fibril retikulin.
4. Lamina Propria
14
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya berlapis semu bersilia
tipis dan lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya.
Silia lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir kearah
hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, sinus
maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
Laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea memiliki
penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun (adam’s apple). Pita suara
merupakan dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat
diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Pada saat
udara mengalir cepat melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar
untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Pada saat menelan, pita suara
mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.1,4,5
15
Gambar 2. Plika vokalis6
16
2.2.2 Penyimpanan dan sirkulasi O2 dan CO2
17
hiperventilasi jika terkena rangsangan mekanis, kimia atau zat yang merangsang.
Reseptor tersebut berperan pula pada batuk dan peninggian ventilasi akibat
kenaikan CO2.
Reseptor regangan terdapat dalam otot polos saluran napas, yang bereaksi
terhadap perubahan volume paru dan membentuk reflex Hering-Breuer pada
binatang dan bayi. Reflex ini menyebabkan apnea selama inflasi paru yang kuat.
Pada manusia bekerja mengontrol dilatasi bronkus pada ekspansi paru, dan bekerja
sama dengan reseptor iritatif untuk mengatur diameter saluran udara sewaktu
bernapas. Bila reseptor regang terangsang akan meningkatkan inflasi paru,
menurunkan resistensi, memperbesar diameter saluran udara dan menambah
rongga hampa. Selama paru mengembang, reflek ini akan merangsang serabut
gamma dinding dada untuk bereaksi sehingga meningkatkan aktivitas otot
ekspirasi, yang kemudian akan mengembalikan paru pada keadaan istirahat.
2. Fungsi fonetik
18
Fungsi fonetik penting utukkualitas suara saat bernyayi atau berbicara.
Sumbatan pada hidungakan menyababkan resonansi berkurang atau hilang
sehingga terdengar sengau (rinolalia).
19
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan
lewat belakang masuk ke tenggorokan.
2.3.3 Klasifikasi Epistaksis
Epistaksis anterior
Perdarahan berasal dari septum (pemisah lubang hidung kiri dan kanan)
bagian depan, yaitu dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior.
Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar
dari salah satu lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.
Epistaksis posterior
perdarahan berasal dari bagian hidung yang paling dalam, yaitu dari arteri
sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi
pada usia lanjut, penderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular.
Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Darah mengalir ke
belakang, yaitu ke mulut dan tenggorokan.
20
Gambar 5. Epistaksis Posterior
Penyebab terjadinya epistaksis dibagi menjadi dua, yaitu secara local dan
sistemik. Sebagian besar epistaksis yang terjadi biaanya idopatik. Secara lokal
epistaksis dapat terjadi karena adanya trauma, penggunaan semprot hidung, benda
asing, dehidrasi mukosa, structural (septum deviasi / perforasi), inflamasi, dan
tumor. Trauma yang paling sering terjadi biasanya mengorek hidung dengan jari
pada anak – anak. Penggunaan semprot hidung yang langsung mengenai epitel dari
mukosa septum juga dapat menyebabkan terjadinya epistaksis. Faktor lainnya yang
berhubungan dengan terjadinya episktasis termasuk perforasi septum yang
menyebabkan mukosa kering, rhinosinusitis bacterial dan neoplasma.
Kondisi sistemik yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain
secara hematologi (koagulopati, trombositopenia, disfungsi platelet), lingkungan,
obat – obatan, kerusakan organ dan alcohol. Koagulopati menyebabkan terjadinya
perdarahan akibat ketiadaan salah satu faktor pembekuan. Sedangkan untuk pasien
dengan kondisi gagal organ pada ginjal biasanya terjadi epistaksis karena
menerima heparin dalam waktu yang lama dan mengalami gangguan pembekuan
darah akibat kerusakan ginjalnya. Selain itu faktor dari obat – obatan, seperti
contohnya aspirin, cara kerjanya adalah dengan menghambat enzim
siklooksigenase yang mengacaukan funsgi platelet sehingga memperpanjang waktu
perdarahan.
21
Hipertensi sebagai faktor penyebab terjadinya epistaksis belum dapat
dibuktikan dengan jelas, hanya beberapa penelitian menyatakan bahwa pada pasien
yang memiliki hipertensi akan membuat penanganan epistaksis menjadi lebih sulit.
Selain itu, peningkatan tekanan darah berkontribusi menyebabkan epistaksis
karena tekanannya dapat merusaka dinding pembuluh darah di hidung atau mukosa
sinus.
22
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
Hipertensi
Diabetes melitus
Penyakit hati
Gangguan koagulasi
Trauma hidung yang belum lama
Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Menghentikan Pendarahan
A. Pendarahan anterior
1. Metode Trotter
23
Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan
mudah membatukkan darah dari tenggorokan. Epistaksis anterior yang
ringan biasanya bisa dihentikan dengan cara menekan cuping hidung selama 5-
10 menit.
24
Gambar 7. Kauterisasi
3. Tampon anterior
Bila dengan kaustik, perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi
vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Pemakaian pelumas ini agar
tampon mudah masuk dan tidak menimbulkan pendarahan baru saat di masukan
atau di cabut. Tampon di masukan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan
harus menekan asal pendarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus
dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
25
anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon
posterior, bolloon tamponade , ligasi arteri.
1. Tampon Posterior
Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau
tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus
menutup koana (nares posterior).
Teknik Pemasangan Tampon Belocq
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares
anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik keluar melalui mulut.
Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain
membantu mendorong tampon ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan,
dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah
kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior
terfiksasi.
26
2. Baloon Tamponade
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan.
Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter
Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon
terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan
kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior
dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping
hidung. Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka
dilakukan pemasangan tampon posterior.
27
Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Karena banyaknya anastomosis,ligasiarteri karotis eksterna tidak dapat
dapat selalu menghentikan pendarahan. Namun, bila mana perlu metode ini dpat di
lakukan pada semua pasien oleh dokter yang trampil dalam pembedahan leher dan
kepala. Insisi di lakuakn secara melintang atau memanjang sepanjang batas
anterior otot sternokleidomastoideus setinggi tulang hiod. Setelah otot
platisma di angkat, dapat dikenali batas anterior otot
sternokleidomastoideus. Dengan diseksi yang hati-hati dapat di kenali
selubung karotis. Arteri karotis interna dan eksterna harus dikenali secara
khusus. ,eskipun dinamakan arteri karotis ekterna, namun pada leher sebenarnya
arteri ini terletak dimedial arteri karotis interna. Ligasi dilakukan dengan suatu
ikatan memakai benang sutra di atas percabangan arteri lingualis. Hilangnya
denyutan temporalis harus di periksa dua kali sebelum ligasi di eratkan. Luka dapat
di tutup dalam beberapa lapis dan drain di pasang selama 24 jam.
Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris umumnya di lakukan oleh mereka yang ahli dalam
teknik bedah dan anatomi sehingga dapat mencapai fossa pterigomaksilaris.
Prosedur ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum. Sebelum operasi ini
dilakukan perlu dibuat radiogram sinus paranasalis. Pada mukosa gusi pipi bagian
atas dibuat insisi caldwell mulai dari garis tengah hingga daerah gigi molar atas
dua. Mukoperitoneum di angkat dari dinding atas sinus maksilaris, sinus
maksilaris di masuki dan sisa dinding diangkat sambil menjaga saraf
intraorbita. Dinding sinus posterior yang bertulang kemudian di angkat dengan
hati-hati dan lubang ke dalam fosa pterigomaksilaris di perbesar. Bila lubang sudah
cukup besar, gunakan mikroskop operasi untuk diseksi lebih lanjut. Pembuluh
darah di identifikasi dan klip logam di pasang pada arteri maksilaris interna,
spenopalatina dan palatina desensence. Luka di tutup dan tampon hidung
posterior diangkat. Suatu tampon hidung anterior yang lebih kecil mungkin
masih diperlukan. Jika terdapat bukti-bukti infeksi atau bila di takuti terjadi infeksi,
dapat di buat suatu fenestra antrum hidung saat melakukan prosedur.
Ligasi Arteri Etmoidalis Anterior
28
Perdarahan dari cabang-cabang terminus arteri oftalmikus terkadang
memerlukan ligasi arteri etmoidalis anterior. Pembuluh ini di capai melalui suatu
insisi melengkung memanjang pada hidung di antara dorsum dan daerah kantus
media. Insisi langsung di teruskan ke tulang, dimana periostium di angkat dengan
hati-hati dan ligamen kantus media di kenali. Arteri etmoidalis anterior selalu
terletal pada sutura pemisah tulang frontal dengan tulang etmoidalis. Pembuluh
ini terjepit dengan suatu klip hemostatik atau suatu ligase tunggal. Karena
terletak dekat dengan saraf optikus, makapembulh darah etmoidalis harus dicapai
dengan retraksi bola mata yang sangat hati-hati.
2.3.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibatdari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang
hebab dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang
mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan
infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti
ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena
ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah
mengalir secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik.
2.3.8 Pencegahan
Pencegahan terjadinya epistaksis antara lain :
Tidak mengorek hidung terutama bila kuku panjang
Jangan membuang ingus terlalu keras
Menggunakan semprotan hidung berisi larutan garam normal sebelum tidur
untuk menjaga kelembaban hidung
Tidak merokok, karena asap rokok bersifat iritatif terhadap lapisan rongga
hidung
Hindari penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan
seperti aspirin atau ibuprofen
2.3.9 Prognosis
29
Prognosis dapat baik apabila tatalaksana dilakukan dengan baik.
Prognosis buruk jika terdapat perdarahan massif atau terjadi komplikasi
tatalaksana.
BAB III
30
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan
tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua
berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi
yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum,
cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk
mencegah berulangnya perdarahan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus, skrining koagulopati dan
mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah
Epistaksis Anterior; Kauterisasi, Pemasangan tamon anterior. Epistaksis
Posterior; Pemasangan tampon Posterior, Pemasangan Balloon tamponade dan
ligase arteri.
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras
ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit
EGC, 1997
2. Cumming, W Charles. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 3rd edition.
1999.Mosby. Chapter : 45. Page : 852-64
3. Arif,Mansjoer, et al, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1,
Media Aesculapius, Jakarta
4. Balai Penerbit. FK. UI. 1998. Buku Ajar Penyakit THT. Gaya Baru. Jakarta Schlosser
RJ. Epistaxis. N Engl J Med 2009; 784-9
5. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran
Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2008. Hal 118-9; 155-9
6. Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay IS, Bull TR. Scott – Brown’s
Otolaryngology. volume 4 (Rhinonology). Ed. 6 th. Oxford: Butterwort -
Heinemann,1997: 1–19.
32