Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pola peresepan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan karena dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Di banyak
negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah
menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Masih
banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya
dalam peresepan obat (prescribing).
Pemilihan obat sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain pola penyakit,
fasilitas pengobatan, pelatihan petugas dan pengalaman dari petugas kesehatan, sumber
dana yang tersedia, demografi dan lingkungan. Obat yang diseleksi harus selalu
berdasarkan pada data tentang efikasi dan keamanan obat yang adekuat berdasarkan
data uji klinis. Kualitas obat yang diseleksi harus dapat terjamin.
Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau
prescribing), dikatakan tidak rasional apabila obat yang diresepkan sedikit manfaatnya
atau tidak ada sama sekali, sedangkan manfaat tersebut tidak sebanding dengan
kemungkinan efek samping atau biayanya. Jadi pemakaian obat mengandung aspek
manfaat, risiko efek samping dan biaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam
membuat pertimbangan mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter
dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil
kalau komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen
pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.

1.2. LINGKUP BAHASAN

Penelitian ini membahas tentang profil peresepan obat berdasarkan jumlah item obat
yang diberikan dokter pada pasien serta pemberian antibotik pada diare akut dan ISPA
ringan di Klinik Satelit Bontang selama bulan September 2011.
1.3. RUMUSAN MASALAH
Belum diketahui profil peresepan obat berdasarkan jumlah item obat yang diberikan
dokter pada pasien serta pemberian antibotik pada diare akut dan ISPA ringan di Klinik
Satelit Bontang.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum


Mengetahui profil peresepan obat berdasarkan jumlah obat yang diberikan dokter pada
pasien serta pemberian antibotik pada pasien yang menderita diare akut non spesifik dan
pasien yang menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) ringan di Klinik Satelit
Bontang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui jumlah item obat rata-rata yang diberikan oleh dokter umum dan
dokter spesialis selama bulan September di Klinik Satelit Bontang.

2. Mengetahui persentase pemberian antibiotik pada pasien yang menderita diare


akut non spesifik.

3. Mengetahui persentase pemberian antibiotik pada pasien yang menderita ISPA


ringan.

4. Mengetahui aspek rasionalitas dalam peresepan obat.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Bagi rumah sakit


Dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam
usaha penerapan penggunaan obat yang rasional di Klinik Satelit Bontang khususnya
dan Rumah Sakit Pupuk Kaltim pada umumnya.

1.5.2 Bagi penulis


Merupakan persyaratan sebagai calon karyawan Rumah Sakit Pupuk kaltim
1.5.3 Bagi rekan karyawan
Penelitian ini menjadi landasan bagi penulis-penulis selanjutnya yang akan melakukan
penelitian secara retrospektif maupun prospektif mengenai pola peresepan obat di
RSPKT.

1.6. METODE PENULISAN


Metode penulisan yang akan digunakan adalah metode deskriptif analitik yaitu dengan
dengan mengumpulkan ,menyusun, menganalisa dan menevaluasi data yang telah lalu
dalam kurun waktu tertentu, kemudian disajikan dalam penulisan sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas atas objek yang di teliti untuk digunakan sebagai
bahan referensi.

Pengumpulan data diperoleh dari Rekam Medis Klinik Satelit Bontang selama
bulan September 2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Permasalahan Peresepan Obat


Penggunaan obat dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan
masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien rata-rata mendapatkan 3,5
obat, lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya,
penggunaan antibiotika yang berlebihan (43%), waktu konsultasi yang singkat yang
rata-rata berkisar hanya 3 menit saja serta miskinnya kepatuhan pasien merupakan pola
umum yang terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesia. Selain itu dari
penelitian lain didapatkan bahwa rata-rata jumlah obat untuk setiap kasus pada anak-
anak di bawah 5 tahun yang terdiagnosa adalah 3,68 obat, pada anak-anak lebih dari 5
tahun 3,58 obat, dimana satu dari 4 obat yang dituliskan dalam resep adalah obat
injeksi. Secara umum obat diberikan untuk jangka waktu 3 hari termasuk juga
antibiotika. Keadaan ini menunjukkan bahwa antibiotika diberikan dengan dosis
subterapeutika. Penelitian lain menggambarkan betapa luasnya penggunaan obat yang
diresepkan secara tidak rasional termasuk penggunaan antibiotika yang berlebihan di
tingkat pelayanan kesehatan primer. Hal lain yang didapatkan adalah 25-27% antibiotika
yang diresepkan di rumah sakit pendidikan pada negara-negara berkembang indikasinya
tidak tepat, baik ditinjau dari pemilihan antibiotika, dosis ataupun lamanya pemberian
maupun dari kombinasi antibiotika yang diberikanpun yang tidak sesuai.
Di negara berkembang, terapi dalam bentuk injeksipun dapat merupakan salah
satu contoh penggunaan obat yang tidak rasional. Suatu penelitian menunjukkan bahwa
pada beberapa negara, anak-anak pada usia 2 tahun telah menerima rata-rata 20 obat
injeksi, dimana 5% merupakan imunisasi dan sisanya 95 % merupakan injeksi yang
diberikan dalam kaitannya dengan terapi. Selain itu labih dari 50 % dari injeksi yang
diberikan tidaklah aman, dimana resiko penularan penyakit melalui darah seperti HIV
dan hepatitis B dan C menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidak
efisienan dan tidak efektifnya anggaran untuk obat.
Indonesia mulai menerapkan konsep obat esensial pada tahun 1980 dan konsep
ini diimplementasikan pada sektor kesehatan masyarakat. Ketidaksesuaian, inefisiensi
dan tidak efektifnya penggunaan obat banyak sekali terjadi pada fasilitas kesehatan di
negeara-negara berkembang. Penggunaan obat tidak rasional yang sering terjadi sebagai
akibat dari tidak terpenuhinya resep yang diberikan oleh petugas kesehatan, pengobatan
sendiri yang menggunakan obat-obat yang harus menggunakan resep, penggunaan yang
berlebihan dan penggunaan antibiotika yang salah, penggunaan obat injeksi yang
berlebihan, penggunaan yang berlebih dari obat-obatan yang relatif aman, penggunaan
obat yang mahal dan tidak terpenuhinya kebutuhan obat pada pasien tidak mampu.
Obat esensial diseleksi untuk memenuhi kebutuhan mayoritas penduduk untuk
pelayanan diagnostik, profilaktik, terapeutik dan rehabilitatif dengan menggunakan
kriteria risk-benefit ratio, cost effectiveness, kualitas, cara pemberian yang praktis
sesuai dengan keinginan, kebutuhan yang dapat diterima oleh pasien.
Banyak negara memiliki anggaran yang terbatas sehingga berdampak pada
terbatasnya alokasi dana yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan termasuk juga
pengadaan obat. Oleh karena itu penting untuk melakukan optimasi pengeluaran untuk
pembelian obat melalui seleksi terhadap daftar obat esensial dan melakukan promosi
terhadap penggunaan obat rasional.
Optimasi dari penggunaan anggaran yang terbatas dan promosi penggunaan obat
rasional dilakukan untuk memperbaiki kualitas, meningkatkan akses dan kewajaran
dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Tantangan agar petugas kesehatan dalam hal ini dokter untuk dapat memberikan
resep yang rasional tidak hanya pada keterbatasan pengetahuan saja karena hal tersebut
tidak cukup untuk mengubah perilaku. Program pelatihan haruslah disertai dengan
program lainnya antara lain supervisi, audit medik, dukungan peraturan, insentif bagi
yang menerapkan penggunaan obat yang rasional serta pendidikan pada seluruh
masyarakat.
2.2. Indikator Penggunaan Obat
WHO telah mengembangkan indikator penggunaan obat yang terbagi atas tiga
bagian besar yaitu:
• Indikator penulisan resep
Indikator penulisan resep meliputi jumlah obat rata-rata per penderita,
persentase obat yang diresepkan dengan obat generik, persentase penderita
yang menerima antibiotika, persentase penderita yang menerima injeksi dan
persentase obat yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) /
Formularium
• Indikator perawatan pasien
Berbeda dengan indikator penulisan resep yang terpisah dari
diagnosis penderita, indikator perawatan pasien sangat erat hubungannya
dengan pengalaman penderita pada saat berobat di fasilitas kesehatan.
Indikator ini terdiri dari lama rata-rata waktu konsultasi per penderita, lama
rata-rata waktu pemberian obat, persentase obat yang sesungguhnya diberikan,
persentase obat yang diberi label secara layak dan persentase penderita yang
mengetahui obat yang diberikan.
• Indikator fasilitas pelayanan
Indikator fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari ketersediaan DOEN /
formularium di fasilitas pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat-obat
penting.

2.3. Dampak Negatif Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional


Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks
seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas
dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut.
1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan
Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu
pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga
dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-
penyakit tertentu. Misalnya, kebiasaan untuk selalu memberi antibiotik dan anti-diare
terhadap kasus-kasus diare akut, tanpa disertai pemberian campuran rehidrasi oral
(Oralit) yang memadai, akan berdampak negatif terhadap upaya penurunan mortalitas
diare. Juga pemakaian tetrasiklin pada kasus-kasus faringitis streptokokus (yang
disebabkan oleh kuman Streptokokus beta-hemolitikus) akan berdampak negatif
terhadap upaya pencegahan demam rematik oleh karena tetrasiklin bukan obat pilihan
untuk faringitis streptokokus.
2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisi-kondisi yang
sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan, baik dari sisi pasien
maupun sistem pelayanan. Dokter mungkin kurang memperhatikan dampak ekonomi
ini, tetapi bagi pasien yang harus membayar atau bagi sistem pelayanan yang harus
menanggung ongkos pengobatan, hal ini akan sangat terasa. Kebiasaan peresepan yang
terlalu tergantung pada obat-obat paten yang mahal, jika ada alternatif obat generik
dengan mutu dan keamanan yang sama, jelas merupakan beban dalam pembiayaan dan
merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat
Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat
yang tidak tepat. Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau
secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis
(multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko
terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan
meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik yang bersangkutan dalam populasi
(Levy, 1982). Ini mungkin merupakan contoh dampak efek samping yang kurang nyata
pada seorang penderita tetapi jelas merupakan konsekuensi serius secara epidemiologik.
4. Dampak psikososial
Pemakaian obat secara berlebihan oleh dokter seringkali akan memberikan
pengaruh psikologik pada masyarakat. Masyarakat menjadi terlalu tergantung pada
terapi obat walaupun intervensi obat belum tentu merupakan pilihan utama untuk
kondisi tertentu. Lebih parah lagi kalau kemudian karena terlalu percaya atau tergantung
pada intervensi obat, bentuk-bentuk intervensi lain untuk kondisi tertentu tersebut lalu
ditinggalkan. Sebagai contoh, karena terlalu percaya bahwa pemakaian obat seperti
aspirin secara terus-menerus akan dapat mencegah penyakit jantung koroner, maka
profilaksi-profilaksi yang lebih penting terhadap faktor risiko yang sudah jelas
misalnya, tidak merokok lantas diabaikan. Atau dalam klinik, karena terlalu percaya
pada pemberian profilaksi antibiotika maka tindakan-tindakan aseptik pada pembedahan
lalu tidak diperhatikan secara ketat.
Beberapa dampak negatif yang diutarakan tersebut mungkin jarang diperhatikan
sewaktu dokter menulis resep atau memutuskan pengobatan, tetapi baru akan jelas kalau
dikaji secara khusus dan luas. Mungkin masih banyak dampak-dampak negatif lain
yang belum tercakup, tetapi yang penting adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan
terjadinya dampak negatif tersebut bukanlah semata-mata sesuatu yang teoritis saja
2.4. Ciri Pemakaian Obat yang Tidak Rasional oleh Dokter

Seperti dijelaskan di awal, secara ringkas dikatakan pemakaian obat tidak


rasional kalau manfaat yang didapat tidak sebanding dengan kemungkinan risiko yang
disandang pasien atau biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi secara lebih luas pemakaian
obat yang tidak rasional akan memberikan ciri-ciri umum seperti yang diuraikan
berikut:
1. Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak
ada atau samar-samar.
2. Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
3. Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai.
4. Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar
padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek
samping lebih kecil juga ada.
5. Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan
kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
6. Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima
kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
7. Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan keamanannya
masih diragukan.
8. Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa
mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya
didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan
kebenarannya.
9. Pemakaian obat yang didasarkan pada intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran
ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokter-dokter yang meng-klaim
mempunyai cara-cara inkonvensional dalam pengobatan.

Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya
dapat diuraikan di sini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria
serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri yang
digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling
terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-
pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan (Ministry of Health, 1988)
walau tidak jelas indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut
tingginya pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik
tidak jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan
diatas.

Bentuk-bentuk ketidak-rasionalan pemakaian obat juga dapat dikelompokkan seperti


berikut :
1. Peresepan boros (extravagant), yakni peresepan dengan obat-obat yang lebih
mahal padahal ada alternatif yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan
yang sama. Termasuk di sini mestinya adalah peresepan yang terlalu berorientasi
ke pengobatan simtomatik sampai mengurangi alokasi obat-obat yang lebih
vital. Misalnya pemakaian obat-obat antidiare yang berlebihan dapat
menurunkan alokasi untuk oralit yang notabene lebih vital untuk menurunkan
mortalitas.
2. Peresepan berlebihan (over prescribing), terjadi bila dosis obat, lama pemberian
atau jumlah obat yang diresepkan melebihi ketentuan. Juga peresepan dengan
obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan dapat dikategorikan dalam bentuk
ketidak-rasionalan ini.
3. Peresepan yang salah (incorrect prescribing), mencakup pemakaian obat untuk
indikasi yang keliru, diagnosis tepat tetapi obatnya keliru, pemberian obat ke
pasien salah. Juga pemakaian obat tanpa memperhitungkan kondisi lain yang
diderita bersamaan.
4. Peresepan majemuk (multiple prescribing), yakni pemakaian dua atau lebih
kombinasi obat padahal sebenarnya cukup hanya diberikan obat tunggal saja.
Termasuk di sini adalah pengobatan terhadap semua gejala yang mungkin tanpa
mengarah ke penyakit utamanya. Sebagai contoh, di Puskesmas pasien yang
datang rata-rata akan menerima obat + 4 jenis per episode kunjungan.
5. Peresepan kurang (under prescribing) terjadi kalau obat yang diperlukan tidak
diresepkan, dosis tidak cukup atau lama pemberian terlalu pendek.
2.5. Beberapa Contoh
Bentuk-bentuk ketidakrasionalan dalam praktek banyak dijumpai, dan mungkin
jarang terlintas di pikiran kita kalau tidak ditelaah secara dalam apakah suatu pola
peresepan tertentu sudah optimal atau belum. Walaupun mungkin ada keragaman antar
berbagai daerah pelayanan, tetapi umumnya bentuk-bentuk ketidak rasionalan
pemakaian obat menunjukkan pola yang mungkin serupa. Beberapa contoh yang sering
dijumpai, misalnya:
1. Pemakaian antibiotika dan bukannya oralit pada kasus-kasus diare akut.
2. Pemakaian antibiotika untuk infeksi-infeksi saluran nafas akut yang non-
bakterial (ISPA ringan)
3. Pemakaian suntikan tanpa indikasi jelas padahal pemakaian obat secara oral juga
dimungkinkan.
4. Pemakaian berbagai tonikum dan multivitamin tanpa indikasi medik yang tepat.
5. Pemberian obat secara berondongan (shotgun) dengan berbagai macam obat
tanpa dasar jelas.
6. Pemakaian hormon untuk perangsang nafsu makan dan pertumbuhan pada anak,
7. Pemakaian steroid secara sembarangan untuk terapi simtomatik berbagai
kondisi,
8. Pemakaian profilaksi antibiotika untuk semua tindakan bedah tanpa indikasi
yang jelas,
9. Pemakaian antibiotika profilaksi pada kondisi malnutrisi.
Masih banyak lagi contoh-contoh ketidakrasionalan pemakaian obat yang sering
dilihat dalam praktek, tetapi kesemuanya sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan di
awal.

2.6. Faktor Penyebab

Faktor-faktor penyebab atau pendorong terjadinya praktek peresepan yang tidak


rasional sangat kompleks dan beragam. Berbagai faktor saling terkait satu sama lain dan
tidak bekerja secara sendiri-sendiri. Walaupun tidak jelas faktor yang dominan tetapi
secara umum maka hal-hal berikut merupakan penyebab atau pendorong terjadinya
praktek-praktek peresepan yang tidak rasional :
- Kelemahan dalam bekal pengetahuan dan ketrampilan mengenai pemakaian obat
(terapetika) baik yang didapat selama pendidikan (pre-service) atau kekurangan
penyegaran-penyegaran sesudah menjalankan praktek (in service). Termasuk di
sini adalah kekurangan informasi mengenai obat dan terapetika.
- Aktivitas promosi yang berlebihan dari industri farmasi, apalagi kalau disertai
dengan ikatan-ikatan tertentu dengan para penulis resep (prescribing).
- Rasa ketidak-amanan (insecurity) dan ketidak-pastian diagnostik ataupun
prognostik. Karena takut kalau diagnosis infeksi tidak tepat, maka langsung
diberondong dengan berbagai jenis antibiotika. Karena takut kalau penyakit,
walaupun ringan saja (misalnya infeksi) berkembang ke komplikasi yang berat,
langsung diberi antibiotika.
- Rasa gengsi yang tidak tepat dari penulis resep, misalnya agar tidak dianggap
ketinggalan jaman selalu membuat resep dengan obat yang terbaru tanpa
pertimbangan jauh.
- Sistim suplai obat yang tidak efisien.
- Beban pelayanan pasien yang terlalu banyak sehingga setiap pasien tidak sempat
ditangani secara optimal.
- Ketiadaan buku pedoman pengobatan di unit-unit pelayanan.

INFORMASI PENGETAHUAN
PENGARUH ILMIAH SEBELUMNYA
INDUSTRI OBAT
KEBIASAAN

INFRASTRUKTUR PILIHAN
TERAPI FAKTOR SOSIAL
BUDAYA
BEBAN KERJA
& SDM
FAKTA EKONOMI
HUBUNGAN & HUKUM
DENGAN SEJAWAT

OTORITAS &
PENGAWASAN

Gambar 1. Berbagai Faktor yang Menentukan Keputusan Dokter dalam Peresepan Obat
(Diambil dari : WHO SEARO Technical Publication Series. The role of education in the
rational use of medicine. New Delhi: 2007 dengan modifikasi).

2.7. Peresepan Obat yang Rasional oleh Dokter

Tantangan utama pada dokter dalam penggunaan obat rasional adalah dalam
penulisan resep kepada pasien dimana hal ini tidak hanya menyangkut aspek
pengetahuan saja tetapi yang lebih penting adalah kemauan petugas kesehatan untuk
mengubah perilaku mereka dalam menuliskan resep bagi pasien, dan hal ini bukanlah
sesuatu yang mudah dilaksanakan. Untuk itu perlu pula dilakukan supervisi, audit
medik, dukungan peraturan, insentif bagi petugas kesehatan yang melaksanakan
penggunaan obat rasional serta melakukan pendidikan bagi masyarakat. Sebagai contoh
adalah seringnya terjadi conflict of interest dari dokter dalam menuliskan resep, oleh
karena itu pelatihan tidaklah cukup selama aspek finansial merupakan bagian dari
permasalahan penggunaan obat rasional oleh petugas kesehatan.
Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
1) Tepat diagnosis yaitu penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk
diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2) Sesuai dengan indikasi penyakit maksudnya adalah setiap obat memiliki
spectrum terapi yang spesifik. Antiobitika, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.
Dengan demikian pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi
gejala adanya infeksi bakteri.
3) Tepat pemilihan obat yaitu keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil
setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Pemilihan jenis obat harus
memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni:
- Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
- Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang
dengan manfaat yang akan diperoleh.
- Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
- Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
- Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
- Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
4) Tepat dosis yaitu dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit misalnya theofilin akan sangat berisiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlau kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
5) Tepat cara pemberian yaitu obat antacid seharusnya dikunyah dulu baru ditelan.
Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk
ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitasnya.
6) Tepat interval waktu pemberian yaitu cara pemberian obat hendaknya dibuat
sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering
frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari)semakin rendah tingkat
ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat
tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7) Tepat lama pemberian yaitu lama pemberian obat harus tepat sesuai
penyakitnya masing-masing. Untuk tuberculosis lama pemberian paling singkat 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 – 14 hari.
8) Waspada terhadap efek samping yaitu pemberian obat potensial menimbulkan
efek samping yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropine bukan alergi tetapi efek
samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
9) Tepat penilaian kondisi pasien maksudnya respon individu terhadap efek obat
sangat beragam, misalnya pada penderita kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini secara
bermakna.
10)Tepat informasi yaitu informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat
sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi.
11) Tepat tindak lanjut maksudnya pada saat memutuskan pemberian terapi harus
sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak
sembuh atau mengalami efek samping.
12) Tepat penyerahan obat maksudnya penggunaan obat rasional melibatkan juga
dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses
penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat
sebagaimana mestinya.
13) Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan maksudnya
pemberian obat dalam jangka waktu lama tanpa informasi/ supervisi tentu saja akan
menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobatan tuberkulosis secara nasional
menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai informasi/ supervisi
yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti yang diharapkan.

.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Jumlah Kunjungan Pasien ke Dokter Umum, Dokter Gigi dan Dokter
Spesialis

Jumlah Kunjungan Pasien

1600 1440
1400
1200
877
1000
800
600 362
400 201
200
0
Dokter umum Dokter Gigi Dokter Total
Spesialis

Grafik 1. Jumlah kunjungan pasien ke dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis

Grafik diatas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang berkunjung ke dokter


Klinik Satelit Bontang adalah 1440 orang. Angka kunjungan didominasi oleh pasien
yang berobat ke dokter umum yaitu sebesar 877 pasien, kemudian dokter gigi 362
pasien dan dokter spesialis (spesialis anak, spesialis kandungan dan spesialis penyakit
dalam) sebanyak 201 pasien.
3.2. Rata-rata item obat yang diresepkan dokter

Jenis Dokter Jumlah Obat

Dokter Umum 2,32

Dokter Gigi 0,42

Dokter Spesialis 3,37


Tabel 1. Rata-rata obat yang diresepkan dokter selama bulan September 2011

Rata-rata item obat


3.37
3.5
3
2.32
2.5
2
1.5 Rata-rata item obat

1 0.42
0.5
0
Dokter Dokter Gigi Dokter
Umum Spesialis

Grafik 2. Rata-rata obat yang diresepkan dokter selama bulan September 2011

Tabel 1 dan Grafik2 diatas menunjukkan rata-rata obat yang diresepkan dokter
umum, dokter gigi dan dokter spesialis selama bulan September. Rata-rata obat yang
diresepkan dokter spesialis paling banyak yaitu 3,37 kemudian diikuti dokter umum
2,32 dan paling sedikit dokter gigi yaitu 0,42. Dokter gigi meresepkan obat paling
sedikit karena sebagian besar terapi untuk pasien gigi adalah tindakan kuratif dan obat
hanya pendukung aja (antibiotik dan anti nyeri).

Hasil penelitian WHO di beberapa negara berkembang pada tahun 1990-1993


menunjukkan bahwa rata-rata item obat yang diresepkan di Indonesia berjumlah lebih
dari 3, sangat berbeda dari negara-negara lain dimana hanya berkisar 1,3-2 jenis obat.
Tingginya jumlah rata-rata obat dapat disebabkan oleh satu atau beberapa hal berikut :
terjadi kekurangan obat-obat yang tepat secara terapetik, penulis resep kurang mendapat
pelatihan terapetik atau peralatan diagnostik yang layak, adanya permintaan pasien yang
mempengaruhi praktik penulis resep dan ada insentif finansial yang mendukung
polifarmasi.

3.3. Jumlah Item Obat Tiap Resep

Jumlah Item Obat Tiap Resep


7 item; 2% 6 item; 3%
1 item; 11%
5 item; 8%

2 item; 23% 4 item; 22%

3 item; 31%

Grafik 3. Jumlah item obat tiap resep

Persentase lembar resep dengan masing-masing jumlah itemnya disajikan pada


Grafik 3 bahwa resep yang terdiri dari 3 item obat berjumlah 31%, 4 item obat 22% dan
yang mengandung 5 item obat atau lebih 13%. Di Indonesia data tahun 2005 di 3 kota
besar menunjukkan bahwa 11,11% resep mengandung 4 item obat, 36,67%
mengandung 3 item, dan 7,78% mengandung 5 item atau lebih. Perbandingan data
diatas menunjukkan bahwa persentase item obat tiap resep di Klinik Satelit Bontang
lebih tinggi daripada data pembanding. Hal ini merupakan salah satu masalah dalam
peresepan obat (polifarmasi).
3.4. Jumlah Pasien yang Mendapat Terapi 4 Obat

Jenis Dokter Jumlah pasien


Dokter Umum 172
Dokter Gigi 2
Dokter Spesialis 23
Total 197
Tabel 2. Jumlah pasien yang mendapat terapi 4 obat

Tabel diatas menunjukkan bahwa dokter umum paling banyak meresepkan 4


obat pada pasiennya yaitu 172 pasien (87%), kemudian diikuti dokter spesialis yaitu 23
pasien (11%) dan dokter Gigi yaitu 2 pasien (2%).

3.5. Jumlah Pasien yang Mendapat Terapi 5 Obat

Jenis Dokter Jumlah pasien


Dokter Umum 59
Dokter Gigi 1
Dokter Spesialis 10
Total 70
Tabel 3. Jumlah Pasien yang Mendapat Terapi 5 Obat

Jumlah Pasien yang mendapat terapi 5 obat, masih didominasi oleh pasien yang
berkunjung ke dokter umum yaitu 59 pasien (84%). Dokter Spesialis menduduki urutan
kedua dengan meresepkan 5 obat pada 10 pasien(14%) dan kemudian dokter gigi yaitu
1 pasien (2%).
3.6. Jumlah Pasien yang Mendapat Terapi 6 Obat

Jenis Dokter Jumlah pasien


Dokter Umum 14
Dokter Gigi 0
Dokter Spesialis 33
Total 47
Tabel 4. Jumlah pasien yang mendapat terapi 6 obat atau lebih
Berbeda dengan sebelumnya, dokter spesialis lebih banyak meresepkan 6 obat
atau lebih pada pasiennya yaitu 33 pasien (70%). Dokter umum berkontribusi juga
dalam meresepkan 6 obat atau lebih yaitu 14 pasien (30%), sedangkan dokter gigi tidak
ada yang meresepkan 6 obat. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan peresepan obat
racikan (puyer) yang terdiri dari kombinasi beberapa obat.

3.7. Persentase Pemberian Antibiotik pada ISPA

45% (173)
55% (208) antibiotik
tanpa antibiotik

Grafik 4. Persentase Pemberian Antibiotik pada ISPA

Grafik 4 menunjukkan 45 % pasien yang menderita ISPA mendapatkan


antibiotik, sedangkan 55 % pasien lainnya tidak mendapatkan antibiotik. Hasil
penelitian Fathoni et al. pada tahun 2002 di Rumah Sakit Pupuk Kaltim menunjukkan
80,44% pasien ISPA mendapat terapi antibiotik. Hal ini menunjukkan adanya
penurunan peresepan antibiotik pada ISPA walaupun angka tersebut masih jauh diatas
angka 13-18% yang benar-benar memerlukan antibiotik menurut Dwiprahasto et al.
3.8. Persentase Pemberian Antibiotik pada Diare Akut Non Spesifik

54 % (44) 46 % (37)
antibiotik
tanpa antibiotik

Grafik 5. Persentase Pemberian Antibiotik pada Diare Akut Non Spesifik

Grafik 5 menunjukkan 46% pasien diare akut mendapat antibiotik sedangkan


54% pasien diare akut lainnya tidak mendapat antibiotik. Berdasarkan data Fathoni et al
pada tahun 2002 di Rumah Sakit Pupuk Kaltim, pasien diare akut yang mendapatkan
antibiotik sebesar 70%. Hasil ini menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada diare
akut sudah cukup berkurang.

Penggunaan antibiotik di negara berkembang cenderung tinggi karena adanya


tingkat infeksi yang tinggi dan kemungkinan juga disebabkan oleh budaya kepercayaan
masyarakat tentang antibiotik dan tingginya harapan pasien untuk menerima jenis
antibiotik tertentu.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
1. Angka kunjungan Klinik Satelit Bontang didominasi oleh pasien yang berobat
ke dokter umum yaitu sebesar 877 pasien, kemudian dokter gigi 362 pasien dan
dokter spesialis (spesialis anak, spesialis kandungan dan spesialis penyakit
dalam) sebanyak 201 pasien.
2. Rata-rata obat yang diresepkan dokter spesialis paling banyak yaitu 3,37
kemudian diikuti dokter umum 2,32 dan paling sedikit dokter gigi yaitu 0,42.
Hasil ini hampir sama dengan penelitian WHO di beberapa negara berkembang
pada tahun 1990-1993 yang menunjukkan bahwa rata-rata item obat yang
diresepkan di Indonesia berjumlah lebih dari 3.
3. Persentase lembar resep dengan masing-masing jumlah item di Klinik Satelit
Bontang lebih tinggi daripada data pembanding di 3 kota besar Indonesia. Resep
yang terdiri dari 3 item obat berjumlah 31%, 4 item obat 22% dan yang
mengandung 5 item obat atau lebih 13%.
4. Persentase pasien ISPA yang mendapat antibiotik adalah 45%, sedangkan 55%
pasien ISPA lainnya tidak mendapat antibiotik. Angka ini masih jauh diatas
angka 13-18% yang benar-benar memerlukan antibiotik pada ISPA.
5. 46% pasien diare akut mendapat antibiotik sedangkan 54% pasien diare akut
lainnya tidak mendapat antibiotik. Hasil ini lebih baik daripada data pembanding
pada tahun 2002 di Rumah Sakit Pupuk Kaltim, dimana pasien diare akut yang
mendapatkan antibiotik sebesar 70%.

4.2. Saran
- Upaya sosialisasi penggunaan obat yang rasional kepada unsur yang terlibat
termasuk pasien, dokter dan pengelola obat harus ditingkatkan agar kerasionalan
penggunaan obat dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
- Perlu adanya pembelajaran secara periodik terhadap penulis resep (dokter)
tentang penggunaan obat yang rasional serta penerapannya dalam praktek
sehari-hari dengan mengundang tim ahli.
- Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pola peresepan obat di Klinik Satelit
Bontang dan Rumah Sakit Pupuk Kaltim pada umumnya, dengan jangka waktu
yang lebih lama sehingga dapat diketahui profil pola peresepan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniar Y., Handayani RS. Indikator Peresepan Obat pada Enam Apotek di Kota
Bandung, Surabaya, dan Makassar. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan- Vol.
10 No.1 Januari 2007. 25-30
2. Sadikin ZD. Penggunaan Obat yang Rasional. J Indon Med Assoc, Volume: 61,
Nomor: 4, April 2011
3. Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2001, Masalah Penggunaan Obat di
Institusi Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta
4. Fathoni N., Mukti A.G., Dwiprahasto I. Pengaruh Penerapan Standar Terapi dan
Regulasi Terhadap Pola Peresepan di Rumah Sakit Pupuk Kaltim. Sains
Kesehatan, 15 (1), Januari 2002
5. Fakultas Farmasi UNHAS, 2002, Penggunaan Obat Secara Rasional, Makassar
6. Ambwani S, Dr., Mathur, AK., Dr. Rational Drug Use. Health Administrator
Vol: XIX Number 1: 5-7 2005
7. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/penggunaan-antibiotik-makin-
mengkhawatirkan
8. http://www.diskes.baliprov.go.id/berita/2011/3/mari-gunakan-obat-secara-
rasional
9. World Health Organization, 2010, Promoting Rational Use of Medicines,
Report of the Intercountry Meeting, New Delhi, India
10. World Health Organization, 2007, The Role of Education in Rational Use of
Medicines, Report of the Regional Meeting, Bangkok
11. World Health Organization, 2007, Guide to Good Prescribing, Action
Programme on Essential Drugs, Geneva

Вам также может понравиться