Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
Pola peresepan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan karena dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Di banyak
negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah
menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Masih
banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya
dalam peresepan obat (prescribing).
Pemilihan obat sangat tergantung pada berbagai faktor antara lain pola penyakit,
fasilitas pengobatan, pelatihan petugas dan pengalaman dari petugas kesehatan, sumber
dana yang tersedia, demografi dan lingkungan. Obat yang diseleksi harus selalu
berdasarkan pada data tentang efikasi dan keamanan obat yang adekuat berdasarkan
data uji klinis. Kualitas obat yang diseleksi harus dapat terjamin.
Secara singkat, pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau
prescribing), dikatakan tidak rasional apabila obat yang diresepkan sedikit manfaatnya
atau tidak ada sama sekali, sedangkan manfaat tersebut tidak sebanding dengan
kemungkinan efek samping atau biayanya. Jadi pemakaian obat mengandung aspek
manfaat, risiko efek samping dan biaya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam
membuat pertimbangan mengenai manfaat, risiko dan biaya ini masing-masing dokter
dapat berbeda sama sekali. Tetapi perbedaan tersebut dapat dikurangi atau diperkecil
kalau komponen-komponen dasar dalam proses keputusan terapi atau elemen-elemen
pokok pemakaian obat secara rasional tetap selalu dipertimbangkan.
Penelitian ini membahas tentang profil peresepan obat berdasarkan jumlah item obat
yang diberikan dokter pada pasien serta pemberian antibotik pada diare akut dan ISPA
ringan di Klinik Satelit Bontang selama bulan September 2011.
1.3. RUMUSAN MASALAH
Belum diketahui profil peresepan obat berdasarkan jumlah item obat yang diberikan
dokter pada pasien serta pemberian antibotik pada diare akut dan ISPA ringan di Klinik
Satelit Bontang.
1. Mengetahui jumlah item obat rata-rata yang diberikan oleh dokter umum dan
dokter spesialis selama bulan September di Klinik Satelit Bontang.
Pengumpulan data diperoleh dari Rekam Medis Klinik Satelit Bontang selama
bulan September 2011.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Masih banyak lagi ciri pemakaian obat yang tidak rasional yang tidak kesemuanya
dapat diuraikan di sini. Ini sedikit banyak akan tergantung pada definisi dan kriteria
serta siapa yang menilai ketidakrasionalan tersebut. Masing-masing ciri yang
digambarkan di atas tidak berdiri satu-satu secara sendiri-sendiri, tetapi akan saling
terkait satu sama lain. Sebagai contoh, di Indonesia sebagian besar (+ 70%) dari pasien-
pasien yang datang ke Puskesmas mendapatkan suntikan (Ministry of Health, 1988)
walau tidak jelas indikasi medik pemberian suntikan tersebut. Bila disimak lebih lanjut
tingginya pemakaian suntikan tersebut, bukan hanya indikasinya saja yang secara medik
tidak jelas, tetapi juga memenuhi ciri-ciri ketidakrasionalan yang lain seperti diuraikan
diatas.
INFORMASI PENGETAHUAN
PENGARUH ILMIAH SEBELUMNYA
INDUSTRI OBAT
KEBIASAAN
INFRASTRUKTUR PILIHAN
TERAPI FAKTOR SOSIAL
BUDAYA
BEBAN KERJA
& SDM
FAKTA EKONOMI
HUBUNGAN & HUKUM
DENGAN SEJAWAT
OTORITAS &
PENGAWASAN
Gambar 1. Berbagai Faktor yang Menentukan Keputusan Dokter dalam Peresepan Obat
(Diambil dari : WHO SEARO Technical Publication Series. The role of education in the
rational use of medicine. New Delhi: 2007 dengan modifikasi).
Tantangan utama pada dokter dalam penggunaan obat rasional adalah dalam
penulisan resep kepada pasien dimana hal ini tidak hanya menyangkut aspek
pengetahuan saja tetapi yang lebih penting adalah kemauan petugas kesehatan untuk
mengubah perilaku mereka dalam menuliskan resep bagi pasien, dan hal ini bukanlah
sesuatu yang mudah dilaksanakan. Untuk itu perlu pula dilakukan supervisi, audit
medik, dukungan peraturan, insentif bagi petugas kesehatan yang melaksanakan
penggunaan obat rasional serta melakukan pendidikan bagi masyarakat. Sebagai contoh
adalah seringnya terjadi conflict of interest dari dokter dalam menuliskan resep, oleh
karena itu pelatihan tidaklah cukup selama aspek finansial merupakan bagian dari
permasalahan penggunaan obat rasional oleh petugas kesehatan.
Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria :
1) Tepat diagnosis yaitu penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk
diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan
obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
2) Sesuai dengan indikasi penyakit maksudnya adalah setiap obat memiliki
spectrum terapi yang spesifik. Antiobitika, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri.
Dengan demikian pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi
gejala adanya infeksi bakteri.
3) Tepat pemilihan obat yaitu keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil
setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah
yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. Pemilihan jenis obat harus
memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni:
- Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.
- Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang
dengan manfaat yang akan diperoleh.
- Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).
- Jenis obat yang paling mudah didapat (available).
- Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.
- Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.
4) Tepat dosis yaitu dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang
dengan rentang terapi yang sempit misalnya theofilin akan sangat berisiko timbulnya
efek samping. Sebaliknya dosis yang terlau kecil tidak akan menjamin tercapainya
kadar terapi yang diharapkan.
5) Tepat cara pemberian yaitu obat antacid seharusnya dikunyah dulu baru ditelan.
Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk
ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitasnya.
6) Tepat interval waktu pemberian yaitu cara pemberian obat hendaknya dibuat
sesederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering
frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari)semakin rendah tingkat
ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat
tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.
7) Tepat lama pemberian yaitu lama pemberian obat harus tepat sesuai
penyakitnya masing-masing. Untuk tuberculosis lama pemberian paling singkat 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 – 14 hari.
8) Waspada terhadap efek samping yaitu pemberian obat potensial menimbulkan
efek samping yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropine bukan alergi tetapi efek
samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah.
9) Tepat penilaian kondisi pasien maksudnya respon individu terhadap efek obat
sangat beragam, misalnya pada penderita kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida
sebaiknya dihindarkan karena resiko terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini secara
bermakna.
10)Tepat informasi yaitu informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat
sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi.
11) Tepat tindak lanjut maksudnya pada saat memutuskan pemberian terapi harus
sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak
sembuh atau mengalami efek samping.
12) Tepat penyerahan obat maksudnya penggunaan obat rasional melibatkan juga
dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses
penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien mendapatkan obat
sebagaimana mestinya.
13) Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan maksudnya
pemberian obat dalam jangka waktu lama tanpa informasi/ supervisi tentu saja akan
menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobatan tuberkulosis secara nasional
menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai informasi/ supervisi
yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti yang diharapkan.
.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Jumlah Kunjungan Pasien ke Dokter Umum, Dokter Gigi dan Dokter
Spesialis
1600 1440
1400
1200
877
1000
800
600 362
400 201
200
0
Dokter umum Dokter Gigi Dokter Total
Spesialis
Grafik 1. Jumlah kunjungan pasien ke dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis
1 0.42
0.5
0
Dokter Dokter Gigi Dokter
Umum Spesialis
Grafik 2. Rata-rata obat yang diresepkan dokter selama bulan September 2011
Tabel 1 dan Grafik2 diatas menunjukkan rata-rata obat yang diresepkan dokter
umum, dokter gigi dan dokter spesialis selama bulan September. Rata-rata obat yang
diresepkan dokter spesialis paling banyak yaitu 3,37 kemudian diikuti dokter umum
2,32 dan paling sedikit dokter gigi yaitu 0,42. Dokter gigi meresepkan obat paling
sedikit karena sebagian besar terapi untuk pasien gigi adalah tindakan kuratif dan obat
hanya pendukung aja (antibiotik dan anti nyeri).
3 item; 31%
Jumlah Pasien yang mendapat terapi 5 obat, masih didominasi oleh pasien yang
berkunjung ke dokter umum yaitu 59 pasien (84%). Dokter Spesialis menduduki urutan
kedua dengan meresepkan 5 obat pada 10 pasien(14%) dan kemudian dokter gigi yaitu
1 pasien (2%).
3.6. Jumlah Pasien yang Mendapat Terapi 6 Obat
45% (173)
55% (208) antibiotik
tanpa antibiotik
54 % (44) 46 % (37)
antibiotik
tanpa antibiotik
4.1. Kesimpulan
1. Angka kunjungan Klinik Satelit Bontang didominasi oleh pasien yang berobat
ke dokter umum yaitu sebesar 877 pasien, kemudian dokter gigi 362 pasien dan
dokter spesialis (spesialis anak, spesialis kandungan dan spesialis penyakit
dalam) sebanyak 201 pasien.
2. Rata-rata obat yang diresepkan dokter spesialis paling banyak yaitu 3,37
kemudian diikuti dokter umum 2,32 dan paling sedikit dokter gigi yaitu 0,42.
Hasil ini hampir sama dengan penelitian WHO di beberapa negara berkembang
pada tahun 1990-1993 yang menunjukkan bahwa rata-rata item obat yang
diresepkan di Indonesia berjumlah lebih dari 3.
3. Persentase lembar resep dengan masing-masing jumlah item di Klinik Satelit
Bontang lebih tinggi daripada data pembanding di 3 kota besar Indonesia. Resep
yang terdiri dari 3 item obat berjumlah 31%, 4 item obat 22% dan yang
mengandung 5 item obat atau lebih 13%.
4. Persentase pasien ISPA yang mendapat antibiotik adalah 45%, sedangkan 55%
pasien ISPA lainnya tidak mendapat antibiotik. Angka ini masih jauh diatas
angka 13-18% yang benar-benar memerlukan antibiotik pada ISPA.
5. 46% pasien diare akut mendapat antibiotik sedangkan 54% pasien diare akut
lainnya tidak mendapat antibiotik. Hasil ini lebih baik daripada data pembanding
pada tahun 2002 di Rumah Sakit Pupuk Kaltim, dimana pasien diare akut yang
mendapatkan antibiotik sebesar 70%.
4.2. Saran
- Upaya sosialisasi penggunaan obat yang rasional kepada unsur yang terlibat
termasuk pasien, dokter dan pengelola obat harus ditingkatkan agar kerasionalan
penggunaan obat dapat berkembang ke arah yang lebih baik.
- Perlu adanya pembelajaran secara periodik terhadap penulis resep (dokter)
tentang penggunaan obat yang rasional serta penerapannya dalam praktek
sehari-hari dengan mengundang tim ahli.
- Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pola peresepan obat di Klinik Satelit
Bontang dan Rumah Sakit Pupuk Kaltim pada umumnya, dengan jangka waktu
yang lebih lama sehingga dapat diketahui profil pola peresepan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yuniar Y., Handayani RS. Indikator Peresepan Obat pada Enam Apotek di Kota
Bandung, Surabaya, dan Makassar. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan- Vol.
10 No.1 Januari 2007. 25-30
2. Sadikin ZD. Penggunaan Obat yang Rasional. J Indon Med Assoc, Volume: 61,
Nomor: 4, April 2011
3. Bagian Farmakologi Klinik FK UGM, 2001, Masalah Penggunaan Obat di
Institusi Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta
4. Fathoni N., Mukti A.G., Dwiprahasto I. Pengaruh Penerapan Standar Terapi dan
Regulasi Terhadap Pola Peresepan di Rumah Sakit Pupuk Kaltim. Sains
Kesehatan, 15 (1), Januari 2002
5. Fakultas Farmasi UNHAS, 2002, Penggunaan Obat Secara Rasional, Makassar
6. Ambwani S, Dr., Mathur, AK., Dr. Rational Drug Use. Health Administrator
Vol: XIX Number 1: 5-7 2005
7. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/penggunaan-antibiotik-makin-
mengkhawatirkan
8. http://www.diskes.baliprov.go.id/berita/2011/3/mari-gunakan-obat-secara-
rasional
9. World Health Organization, 2010, Promoting Rational Use of Medicines,
Report of the Intercountry Meeting, New Delhi, India
10. World Health Organization, 2007, The Role of Education in Rational Use of
Medicines, Report of the Regional Meeting, Bangkok
11. World Health Organization, 2007, Guide to Good Prescribing, Action
Programme on Essential Drugs, Geneva