Вы находитесь на странице: 1из 15

PROPOSAL

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK


PERILAKU KEKERASAN DI RUANG GELATIK
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT

Disusun oleh :

Ardiansyah Putra NIM 1705149010004


Gita Apri Lonia NIM 1705149010015
Mika Herly NIM 1705149010025
Refika Rahmi NIM 1705149010038
Sari Afma Yuliane NIM 1705149010046
Senci Napeli Wulandari NIM 1705149010048
Sesar Fauza Fatimah NIM 1705149010049
Yendhika Ivo Apsectya NIM 1705149010053
Yolanda Putri D. NIM 1705149010054

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes YARSI SUMBAR BUKITTINGGI
2017
TERAPI AKTIVITAS BERFOKUS PADA PERILAKU KEKERASAN

I. Latar Belakang

Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk


melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya
tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998),
perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri
sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah
tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak
bermoral). Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari
gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Purba dkk,
2008).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO
(2001) menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia
mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang
di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum
terdapat 0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di
Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang mengalami
gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO tahun
2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16
persen mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan,
jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO,
2006).

II. Landasan Teori


A. Perilaku kekerasan
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada
diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau
amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan
gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan dimana hal tersebut untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart
& Sundeen, 2005).
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2010).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI,
2000)
2. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan yaitu :
a. Faktor psikologis
Psychoanalytical theory: teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama
insting hidup yang di ekspresikan dengan seksualitas dan kedua
insting kematian yang di ekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-aggresion theory: teori yang dikembangkan oleh
pengikut freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang
untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku
yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan
frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan tindakan agrresif
mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif,
mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan
pada masa kanak-kanak,atau seduction parental, yang
mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga
diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk
child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga,
sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor soosial budaya
Social-Learning Theory: teory yang dikembangkan oleh
Bandura (1977) dalam Yosep (2009) ini mengemukakan bahwa
agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap kebangkitan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pelajaran ini bisa internal atau eksternal.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif
mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan
agrsif mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus bidatang
ternyata menimbulkan perilaku agresif. Rangsangan yang diberikan
terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis dll. Jika kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan
perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional) dan lobus
temporal.
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku
agresif: serotonin, dopamin, norepineprine, acetilkolin dan asam
amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
1) Masa kanak-kanak yang mendukung
2) Sering mengalami kegagalan
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat)

3. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
4. Tanda dan Gejala
Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan
adalah sebagai berikut :
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

5. Rentang Respon
Menurut Yosep (2007) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu
akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan (panik).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Gambar 1. Rentang Respon

Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif


sampai kekerasan. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan
ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat
marah dan tidak dapat menemukan alternatif.
c. Pasif : individu tidak dapat mengungkapkan
perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan
untuk menuntut tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya kontrol. Perilaku kekerasan merupakan
suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan
proses penyampaian pesan dari individu. Orang
yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia ”tidak setuju,
tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak
dituruti atau diremehkan.” Rentang respon
kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal
(maladaptif).

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
a. Sublimasi, yaitu melampiaskan masalah pada objek lain.
b. Proyeksi, yaitu menyatakan orang lain mengenal kesukaan/
keinginan tidak baik.
c. Represif, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap/ perilaku yang berlawanan.
d. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila
diekspresikan dengan melebihkan sikap perilaku yang berlawanan.
e. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan
bermusuhan pada objek yang berbahaya.
f. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karna ditinggal oleh orang yang
dianggap berpangaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak
teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang harga diri rendah
(HDR), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain tidak dapat diatasi
maka akan muncul halusinasi berupa suara-suara atau bayang-
bayangan yang meminta klien untuk melakukan kekerasan. Hal
ini data berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain
(resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan
keluarga yang kurang baik dalam mengahadapi kondisi klien dapat
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal
ini yang menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen
terapeutik inefektif).

B. Terapi Aktivitas Kelompok


1. Pengertian
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu
dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (
Stuart & Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai
latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti
agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan,
dan menarik. Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok,
ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang
berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.
2. Tujuan
Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan
orang lain serta mengubah prtilaku ynag destruktif dan maladaptif.
Kekuatan kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota dan
pemimpin dalam mencapai tujuannya.
Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagai pengalaman dan saling
membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan
hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang
adaptif. Anggota kelompok merasa memiliki diakui, dan dihargai
eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain.
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam
rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan
tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri peningkatan
hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
Terapi aktivitas kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan yaitu,
stimulasi sensoris, orientasi realita, dan sosialisasi. Terapi aktivitas
kelompok dibagi empat yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas terapi aktivitas stimulasi realita, dan terapi aktivitas kelompok
sosialisasi.

3. Kriteria Pasien
Kriteria pasien sebagai anggota yang mengikuti terapi aktifitas
kelompok ini adalah:
a. Klien dengan riwayat perilaku kekerasan.
b. Klien yang mengikuti TAK ini tidak mengalami perilaku agresif
atau mengamuk, dalam keadaan tenang.
c. Klien dapat diajak kerjasama (cooperative)

4. Pengorganisasian
a. Leader, bertugas:
1) Mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Memimpin jalannya terapi kelompok
3) Memimpin diskusi.
b. Co-Leader, bertugas :
1) Membantu leader mengkoordinasi seluruh kegiatan.
2) Mengingatkan leader jika ada kegiatan yang menyimpang.
3) Membantu memimpin jalannya kegiatan.
4) Menggantikan leader jika terhalang tugas.
c. Fasilitator, bertugas:
1) Memotivasi peserta dalam aktivitas kelompok.
2) Memotivasi anggota dalam ekspresi perasaan setelah kegiatan.
3) Membimbing kelompok selama permainan diskusi.
4) Membantu leader dalam melaksanakan kegiatan.
5) Bertanggungjawab terhadap program antisispasi masalah.
d. Observer, bertugas :
1) Mengobservasi persiapan dan pelaksanaan TAK dari awal sampai
akhir.
2) Mencatat semua aktivitas dalam terapi aktivitas kelompok.
3) Mengobservasi perilaku pasien
5. Setting tempat

Keterangan :
: Leader
: Co-leader + Observer
: Fasilitator
: Klien
Terapi Stimulasi Persepsi

Sesi 2: Mencegah Perilaku Kekerasan Sosial

A. Tujuan
1. Klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan tanpa memaksa.
2. Klien dapat mengungkapkan penolakan dan rasa sakit hati tanpa
kemarahan.
B. Setting
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
2. Ruangan nyaman dan tenang.
C. Alat
1. Papan tulis / flipchart/whiteboard dan alat tulis
2. Buku catatan dan pulpen
3. Jadwal kegiatan klien
D. Pengorganisasian :
1. Leader
2. Co-leader
3. Observer
4. Fasilitator
E. Metode
1. Dinamika kelompok
2. Diskusi dan tanya jawab
3. Bermain peran / simulasi
F. Langkah kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan klien yang telah ikut Sesi 1.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a. Salam terapeutik
1) Salam dari terapis kepada klien.
2) Klien dan terapis pakai papan nama.
b. Evaluasi / validasi
1) Menanyakan perasaan klien saat ini.
2) Menanyakan apakah ada penyebab marah, tanda dan gejala marah
serta perilaku kekerasan.
3) Tanyakan apakah kegiatan fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
sudah dilakukan.
c. Kontrak
1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu cara sosial untuk mencegah
perilaku kekerasan.
2) Menjelaskan aturan main berikut.
a) Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta
izin kepada terapis.
b) Lama kegiatan 45 menit.
c) Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap kerja
a. Mendiskusikan dengan klien cara bicara jika ingin meminta sesuatu
dari orang lain.
b. Menuliskan cara-cara yang disampaikan klien.
c. Terapis mendemonstrasikan cara meninta sesuatu tanpa paksaan,
yaitu “Saya perlu / ingin/ minta ..., yang akan saya gunakan untuk...”.
d. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang
cara pada poin c.
e. Ulangi d. sampai semua klien mencoba.
f. Memberikan pujian pada peran serta klien.
g. Terapis mendemonstrasikan cara menolak dan menyampaikan rasa
sakit hati pada orang lain, yaitu “Saya tidak dapat melakukan ...” atau
“Saya tidak menerima dikatakan ...” atau “Saya kesal dikatakan
seperti ...”.\
h. Memilih dua orang klien secara bergilir mendemonstrasikan ulang
cara pada poin d.
i. Ulangi h sampai semua klien mencoba.
j. Memberikan pujian pada peran serta klien.
4. Tahap terminasi
a. Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2. Menanyakan jumlah cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah
dipelajari.
3. Memberikan pujian dan penghargaan atas jawaban yang benar.
b. Tindak lanjut
1. Menganjurkan klien menggunakan kegiatan fisik dan interaksi sosil
yang asertif , jika stimulus penyebab perilaku kekerasan terjadi.
2. Menganjurkan klien melatih kegiatan fisik dn interaksi sosial yang
asertif secara teratur.
3. Memasukkan interaksi sosial yang asertif pada jadwal kegiatan harian
klien.
c. Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati untuk belajar cara baru yang lain, yaitu kegiatan ibadah.
2. Menyepakati waktu dan tempat TAK berikutnya.

Evaluasi dan Dokumentasi


Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan
tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan Sesi 3,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mencegah perilaku kekerasan
secara sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna dan Akemat.2005.Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas


Kelompok.Jakarta:EGC
Farida Kusumawati,dkk.2010.Buku Ajar KeperawatanJiwa.Jakarta: EGC

Вам также может понравиться