Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Oleh:
Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan dunia hadits dan seluk beluknya, namun
jurusan dan SKS saya mengharuskan saya untuk mendalami hadits dengan detail dan ke akar-
akarnya. Setelah saya membaca tentang metodologi kritis hadits, saya menemukan bahwa ada
beberapa syarat hadits itu disebut dengan sohih dan dapat dipercaya atau tidak.
Salah satunya dengan pendekatan matan yaitu tulisan dari hadits itu dan sanad atau perowi
yang memberitahukan hadits ini, dari siapa ke siapa dan terus sampai kepada nabi Muhammad.
Sebelum kita masuk kepada pembahasan hadits ini, kita harus tahu terlebih dahulu apa
pengertian hadits. Hadits adalah perkataan, perbuatan dan takrir nabi.. Yang dimaksud dengan
taqrir adalah ketetapan nabi atau diamnya nabi bisa disebutkan dengan taqrir juga.
Bersama al-Qur’an, hadis menjadi krusial, tidak saja karena posisinya sebagai sumber
ajaran Islam, tetapi juga karena ia menjadi tambang informasi bagi pembentukan disiplin ilmu-
ilmu lain, seperti tafsir, fiqh, historiografi dan bangunan budaya Islam. Tetapi, berbeda dengan al-
Qur’an, hadis tidaklah bersifat qath’iy al-wurud, sebab sebagian besar periwayatannya tidak
melalui proses yang tawatur. Karena itu sebagaian besar hadis Nabi bersifat zanniy al-wurud,
yakni “diduga kuat” disampaikan Nabi. Di sisi lain, tidak tercatatnya sebagian besar hadis Nabi
sejak masa yang paling awal dan penyebarannya secara lisan membawa implikasi atas sifat orisinil
hadis, baik itu terhadap sebagian teks hadis karena riwayat bi al-ma’na, maupun terhadap
keseluruhan: sanad dan matan, karena pemalsuan-pemalsuan.
Melihat fenomena hadis yang demikian, studi kritis atas hadis nabi yang berisikan telaah
ulang dan peengembangan pemikiran atas hadis Nabi tampaknya sangat relevans sekali. Tetapi,
kenyataannya—terutama sekali dalam pemahaman hadis—justru para ulama mengembangkan
sikap mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan). Ini mungkin sekali
disebabkan kekhawatiran akan julukan inkar sunnah yang oleh kritikus-kritikus hadis dahulu tidak
dirasakan. Bila dibandingkan dengan al-Qur’an, tampaknya pengembangan pemikiran terhadap al-
Qur’an sangat terbuka sekali, bahkan tanpa kekhawatiran penafsir akan berkurangnya otoritas al-
Qur’an.
Tulisan ini, mencoba melihat studi kritis atas hadis Nabi, sebuah pandangan umum
meliputi segi kesejarahan dan relevansinya. Kritik di sini haruslah dipahami dalam artian positif
seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Tetapi di sini dicoba dalam skala yang lebih luas; tidak
hanya studi kritis pada aspek material: sanad dan matan, tetapi juga dimensi pemahaman atas
hadis Nabi (fiqh al-hadis).
Istilah Kritik Hadis
Dan hadits itu berbeda-beda jenisnya, ada yang disebut dengan hadits hasan, dhoip, ahad,
mutawattir, dll. Itu disebabkan karena berbeda tingkatan kepercayaan dari siapa yang
meriwayatkan dan matan hadits tersebut, karena berbeda faham antara yang meriwayatkannya.
Karena setiap orang mempunyai pemikiran dan metodologi pengambilan hadits yang berbeda pula.
Saya mengambil tema metodologi hadits karena teman saya telah meresensi bab 1 dan saya
adalah bab 2 yaitu tentang metodolgi hadits hasan
Kenapa kita perlu mencari hadits? Mana yang benar-benar hadits berasal dari Rasul dan
bukan dari Rasul? Karena, hadits sendiri dijadikan acuan oleh umat manusia, khususnya umat
Islam sebagai pegangan setelah Al-Quran.
Karena, menurut orang Islam hadits adalah perkataan yang berasal dari orang yang
maksum yaitu nabi Muhammad dan pasti kebenarannya karena sebagaimana kita tahu bahwa nabi
Muhammad adalah orang yang amanah dan dapat dipercaya.
Sehingga mau tidak mau, kita harus mencari hukum selain daripada hukum Al-quran karena di Al-
quran sendiri tidak dijelaskan secara jelas tentang hukum-hukum.
Karena, Al-quran hanya menjelaskan hal yang umum-umum saja agar kita selamat di dunia
dan akhirat. Masalah ibadah dan lain-lain dijelaskan dengan perkataan nabi Muhammad, perilaku
beliau dll.
Menurut saya penepatan hadits nitu sahih atau tidak itu menggunakan pendekatan survei
dan sisi psikologist dari perawi. Kita tahu bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa dan tidak
ada yang sempurna, kecuali pendapatnya syiah bahwa nabi dan keluarganya adalah maksum.
Dijauhkan dari kesalahan dan lupa. Itu tergantung dan kembali kepada persepsi kita masing-
masing.
Dalam buku metodologi hadis ini ada beberapa kriteria bahwa hadits bisa dikatakan sebagai
hadits yang sohih yaitu :
1. Hadits harus logis alias masuk akal sanadnya, tidak ada yang aneh dan dibuat-buat.
Disini dijelaskan bahwa terkadang hadits dipengaruhi psikologist dari perawinya dan
penyampai hadits tersebut, sehingga susah untuk membedakan apakah itu perkataan perawi atau
perkataan langsung nabi.
Karena, jika bukan perkataan nabi. Maka tidak bisa kita jadikan acuan dalam penetapan
hukum. Tapi menurut pendapat saya, saya tidak peduli apakah hadits itu sahih atau tidak dan
berasal dari nabi atau tidak? Selama hadits itu masih mengandung kebaikan dan kebenaran, dan
tidak melanggar kepada kemanusiaan, Kenapa tidak kita praktekan?
Toh, masih banyak hadits yang lain dan tidak pernah kita praktekan, Dan masih banyak orang
yang mengaku beragama Islam dan shalatpun mereka tidak pernah, Jadi buat apa kita mengurusi
hadits yang tak mereka anggap dan sepelakan.
Penutup
Akhirnya, bagaimanapun juga, studi kritis atas hadis Nabi yang berisi apresiasi dan
pengembangan pemikiran terhadap hadis sudah semestinya dikembangkan kembali. Meskipun
literatur-literatur hadis sudah banyak bermunculan bahkan dengan memakai nama Shahih,
tidaklah menutup kemungkinan atas studi kritis hadis yang dilakukan. Sebab bagaimanapun karya
tersebut merupakan sebuah ijtihad yang mungkin saja dapat keliru. Demikian pula pada tataran
studi kritis atas pemahaman hadis, tetap tanpak sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.
Sebagai sebuah studi kritis tentu beberapa kekeliruan terkadang ditunjukkan, baik dari
sisi material hadis maupun pemahamannya. Tetapi ini tidaklah bearti mengingkari atau mereduksi
kedudukan sunnah, apalagi menjadi kafir. Sikap seperti ini tak lebih dari sikap kehati-hatian yang
justru akan mengkanter hadis-hadis Nabi dari anasir yang merusak kevaliditan hadis-hadis Nabi.
Sikap seperti ini jelas telah diperlihatkan oleh generasi yang mula-mula.