Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri Porphyromonas gingivalis.

Bakteri P.gingivalis merupakan bakteri yang peling sering menyebabkan

periodontitis. P.gingivalis merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang

dengan panjang 0,5 – 2 μm, black pigmented, dan anaerob. Koloni bakteri ini

apabila terdapat pada agar darah akan tampak lembut dan terlihat cembung (gambar

2.1) (Aldelina dkk., 2013). Secara Taksonomi, bakteri P.gingivalis diklasifikasikan

sebagai berikut (MicrobeWiki, 2010) :

Kingdom : Bacteria
Filum : Bacterioedetes
Kelas : Bacterioedes
Ordo : Bacteriodales
Famili : Porphyromonadaceae
Genus : Porphyromonas
Spesies : Porphyromonas gingivalis

Gambar 2.1 Porphyromonas gingivalis pada Media Blood Agar (Kah et al.,
2016)

5
6

Habitat utama P.gingivalis yaitu pada plak subgingiva di dalam sulkus

gingiva atau poket periodontal, namun P.gingivalis juga dapat ditemukan pada

lidah individu dengan periodontal sehat dan sakit (Kimura et al., 2012).

Bakteri P.gingivalis memiliki fakor virulensi fimbria, lipopolisakarida

(LPS), proteinase, kapsul, hemaglutinin, vesikel membran dan metabolit organik

seperti asam butirik serta berbagai enzim seperti arginine, lysine gingipain,

kolagenase, gelatinase, dan hyaluronidase, yang dapat berkontribusi dalam

menginduksi periodontitis kronis. Fimbria berperan dalam pembentukan koloni

P.gingivalis pada sulkus gingiva. Fimbria merupakan protein, filamen yang

menonjol keluar dari permukaan sel bakteri yang merangsang perlekatan dengan

dengan sel epitel atau jaringan penjamu. Selanjutnya faktor virulensi LPS berperan

sebagai agen sitotoksin dari bakteri yang memicu respon inflamasi sel dan berbagai

sinyal kemokin dari pejamu. Rangsangan dari LPS ini dapat menyebabkan

peristiwa inflamasi dan respon imunitas. Faktor virulensi proteinase menyediakan

asam amino, peptida, dan hemin yang berfungsi sebagai nutrisi bagi P.gingivalis

untuk tumbuh. Proteinase juga terlibat langsung dalam invasi dan pengrusakan

jaringan oleh bakteri serta memodulasi respon imun hospes (Ohara and Dumitrescu,

2010).

Enzim proteolitik gingipain dan kolagenase yang dihasilkan P.gingivalis

berperan dalam merusak jaringan periodontal baik secara langsung ataupun tidak

langsung. Metabolit organik seperti ammonia, propionate, dan butirat juga mampu

mengganggu sistem imun hospes dan menunjukkan toksisitas terhadap epitel

gingiva (Kimura et al., 2012).


7

Bakteri P.gingivalis yang banyak ditemukan dalam plak gigi dan bakteri

tersebut dapat menyebabkan perubahan patologik pada jaringan periodontal dengan

pengaktifan respon imun dan inflamatori inang. Komponen dinding P.gingivalis

seperti lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang pelepasan sitokin seperti tumor

nekrosis faktor-α (TNF- α), interleukin (IL-1β, IL-6, dan IL-8) dan radikal bebas

(Permana dkk., 2013). Zat-zat tersebut merupakan mediator peradangan dan dapat

merangsang resorpsi tulang. LPS dan mediator inflamasi juga memberikan efek

langsung terhadap aktivitas osteoblast yaitu menyebabkan penurunan jumlah sel

osteoblast fungsional yang mengakibatkat hilangnya perlekatan, termasuk tulang

dan jaringan ikat periodontal. Radikal bebas seperti superoksida dan peroksida

hidrogen, bersama pelepasan enzim lisosomal oleh lekosit polimorfonuklear, dapat

menyebabkan kerusakan matriks ekstraselular jaringan ikat dan menyebabkan

pembentukan pus yang terikat abses (Siqueira dan Rocas, 2007).

2.2 Periodontitis

2.2.1 Pengertian Periodontitis

Periodontitis merupakan penyakit peradangan pada jaringan pendukung

gigi yang disebabkan kelompok mikroorganisme tertentu, akibat yang ditimbulkan

dari penyakit periodontitis yaitu penghancuran progresif ligamentum periodontal

dan tulang alveolar, dengan pembentukan plak gigi (Cotti et al., 2010). Gejala klinis

yang ditimbulkan dari periodontitis yaitu terjadi inflamasi pada gingiva,

pembengkakan papilla interdernal, terbentuknya pocket/saku gingiva, serta apabila

dilakukan gambaran radiologi akan terlihat kerusakan tulang alveolar

(Wangsarahardja, 2005).
8

2.2.2 Klasifikasi

Initial periodontitis (periodontitis awal) merupakan kelanjutan dari

gingivitis yang tidak dikakukan pengobatan. Fase ini merupakan kelanjutan dari

proses inflamasi menuju periodonsium pendukung (ligamen periodontal,

sementum, dan tulang alveolar). Pada fase ini gingiva masih dalam topografi yang

normal, namun akan timbul rasa sakit apabila disentuh, terdapat peradangan ringan

pada ligamen periodontal dan menunjukkan tanda-tanda kehilangan gigi. Moderate

periodontitis (periodontitis sedang) dan Severe periodontitis (periodontitis parah)

merupakan tahapan selanjutnya dari periodontitis dengan tingkat kerusakan yang

lebih tinggi. Pada fase moderate periodontitis menunjukkan peradangan yang parah

yang diikuti dengan sianosis dengan banyaknya bakterial plak, timbulnya bau mulut

dan terjadi mobilitas pada gigi. Pada moderate periodontitis akan terjadi kehilangan

jaringan pendukung periodonsium sebesar 25-50% dan akar gigi akan terekspose,

hal ini membutuhkan perawatan yang intensif pada gigi (gambar 2.2).

Gambar 2.2 Periodontitis Sedang: akar gigi yang terekspose pada gigi incisor tengah
bagian atas sebelah kiri (Pieri et al., 2012).

Pada severe periodontitis kehilangan jaringan pendukung periodonsium lebih dari

50% sehingga menyebabkan akar gigi terekspose disertai adanya kalkulus gigi

(gambar 2.3) (Pieri et al., 2012).


9

Gambar 2.3 Periodontitis Parah: akar gigi terekspose yang disertai dengan kalkulus gigi
(Pieri et al., 2012).

2.2.3 Patofisiologi

Penyakit ini pada awalnya disebabkan oleh akumulasi bakterial plak pada

gigi dan gingiva yang berasal dari produk metebolisme toksin dari mikroorganisme

dan respon imun hospes dalam melawan infeksi yang memicu terjadinya proses

inflamasi. Pada fase awal proses ini hanya mempengaruhi jaringan gingiva yang

mencirikan gingivitis, namun lama kelamaan dapat menjadi buruk dan berkembang

menjadi periodontitis yang menyebabkan perubahan pada jaringan periodonsium,

tulang periodontal dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan gigi.

Bakterial plak mempunyai ciri-ciri berwarna kekuningan yang menempel pada gigi

dan sulkus gingiva (Pieri et al., 2012).

Pada gingiva yang sehat, cocci mewakili dari dua pertiga bakteri seperti

Streptococcus, Staphylococcus, dan Enterococccus. Bakteri ini sebagian besar

merupakan gram positif dan tidak menunjukkan adanya bakteri yang lebih ganas.

Pada tahap gingivitis bakteri gram positif secara bertahap akan mengalami

peningkatan dan bakteri gram negatif juga tumbuh. Perubahan ini akan terus
10

berlangsung dan akhirnya terjadi periodontitis ketika terdapat bakteri patogen gram

negatif yang jumlahnya berlebih (gambar 2.4) (Pieri et al., 2012).

Gambar 2.4 Fase pembentukan plak: A.) Adesi dari bakteri gram-positif, B.) proliferasi
sel dan produksi eksopolisakarida, C.) Adesi dari bakteri gram-negatif, D.)
Maturasi plak dengan peningkatan jumlah bakteri (Pieri et al., 2012).

Pada tahap awal, gejala periodontitis seringkali tidak dirasakan oleh

penderitanya. Periodontitis didiagnosis kerena terdapat kehilangan perlekatan

antara gigi dan jaringan pendukung yang ditunjukkan dengan adanya poket dan

kerusakan tulang alveolar. Penyakit periodontitis disebabkan lebih dari satu faktor,

adanya bakteri patogen saja tidak cukup menyebabkan terjadinya periodontitis.

Pada penyakit periodontitis, terdapat plak mikroba gram negatif yang berkolonisasi

pada sulkus gingiva dan memicu terjadinya respon inflamasi kronis. Semakin lama

plak akan semakin matang dan semakin pathogen. Kerusakan jaringan periodontal

akan ditandai dengan terbentuknya poket (Ekaputri, 2010). P.gingivalis merusak

jaringan periodontal dengan melakukan interaksi langsung dengan sel hospes di

sulkus periodontal. P.gingivalis akan menyerang jaringan hospes termasuk tulang

alveolar (Fitriyana, 2012). Lipopolisakarida yang dihasilkan oleh P.gingivalis akan


11

menimbulkan respon inflamasi serta Arginine dan Lysine gingipain akan merusak

jaringan periodontal. Faktor predisposisi periodontitis pada pet animal yaitu:

1. Breed. Anjing dengan jenis kecil mempunyai kepadatan gigi yang tinggi

sehingga membuat makanan tertinggal di sela-sela gigi.

2. Kebiasaan menggigit. Anjing yang mempunyai kebiasaan menggigit benda asing

seperti batu, kabel, ataupun pagar rumah, akan membuat gigi menjadi retak, luka

gores pada gingiva, dan pada akhirnya menyebabkan penyakit periodontal.

3. Penyakit. Hewan yang menderita penyakit sistemik seperti Hypothyroidism,

Feline Calicivirus, penyakit ginjal dapat memberikan kontribusi pada kesehatan

rongga mulut yang buruk, karena penurunan sistem imun menyebabkan

perbaikan luka yang buruk serta regenerasi jaringan juga buruk.

2.2.4 Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul dari hewan yang menderita periodontitis yaitu

anoreksia, perubahan warna gingiva, mobilitas gigi dan periodontal abses. Gingiva

hewan yang sehat yaitu berwarna merah muda, dengan permukaan yang halus dan

margin pada gingiva tampak runcing. Penyakit periodontal (PD) umum disebut

sebagai gingivitis dan periodontitis dan dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat

keparahan dari gejala klinis dan lesinya dalam 4 fase, yaitu PD 1 (gingivitis) hanya

terlihat gingiva margin yang mengalami eritema, terdapat sedikit plak gigi, PD 2

(early periodontitis) gingiva bengkak serta mengalami peradangan, edema dan

terjadi pendarahan ketika dilakukan probing, sulkus semakin dalam apabila dilihat

secara radiologi akan terlihat kehilangan perlekatan sebanyak 25%, PD 3 (moderate


12

periodontitis) gingiva kehilangan perlekatan 25-50% apabila dilihat secara

radiologi, PD 4 (advanced periodontitis) ketika dilakukan pengukuran kedalaman

sulkus secara radiologi akan menunjukkan kehilangan perlekatan lebih dari 50%

(Albuquerque et all., 2012).

2.2.5 Terapi

Penyakit periodontal dapat diatasi melalui dua cara terapi, yaitu terapi non

operasi dan terapi operasi. Tujuan dari dilakukannya terapi yaitu untuk mencegah

semakin menyebarnya penyakit dan memberikan perlindungan jangka lama

terhadap jaringan yang terinfeksi serta jaringan lain yang tidak terinfeksi. Terdapat

beberapa tahap yang harus dilakukan dalam penanganan penyakit periodontal,

antara lain probing, pengambilan gambar radiografi pada gigi yang memiliki indeks

parameter plak dan radang yang tinggi, pencatatan evaluasi rongga mulut dengan

nilai indeks 0-3, 0 untuk gigi sehat dan 3 untuk keparahan yang tinggi, serta

penghilangan plak dan kalkulus dengan dental scalling. Dental scalling dilakukan

pada gigi dengan plak yang tipis. Untuk plak yang tebal pada gigi dihilangkan

menggunakan alat extraction forceps, kemudian dibersihkan menggunakan scaling

ultrasonic lalu gigi diberi lapisan fluoride (Hafizhuddin, 2015).

2.3 Kefir Susu Kambing

Susu kambing merupakan susu yang didapat dari hasil perahan kambing.

Susu kambing memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan susu sapi.

Lemak susu kambing mempunyai sifat yang mudah dicerna dibanding susu sapi,

karena diameter glubula lemak susu kambing berdiameter lebih kecil. Protein dari
13

susu kambing juga lebih mudah dicerna karena ukuran kasein pada susu kambing

lebih kecil dari pada susu sapi (Atmiyati, 2001). Manfaat yang dimiliki susu

kambing yaitu sebagai antimikroba, antiinflamasi, dan antikanker (Zenebr et al.,

2014)

Kefir merupakan produk fermentasi susu yang mengandung probiotik yang

bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Kefir seperti halnya yogurt yang merupakan

produk hasil fermentasi, yang mempunyai rasa asam, alkoholik dan karbonat. Kadar

asam yang terdapat pada kefir tidak menyebabkan iritasi pada yang

mengkonsumsinya. Kelebihan yang dimiiki kefir dibandingkan dengan susu segar

yaitu kefir lebih tahan lama karena asam yang terbentuk pada kefir mencegah

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, yang mencegah kerusakan susu dan

meningkatkan kesamanan produk kefir. Susu kambing yang terbaik yaitu susu yang

masih segar (raw goat milk). Kandungan fluorine yang terdapat pada susu kambing

bermanfaat sebagai antiseptik alami dan dapat membantu menekan pertumbuhan

bakteri patogen pada tubuh (Budiana, 2005). Kandungan lactoferin yang juga

terdapat pada susu kambing berperan sebagai bakteriostatik dengan cara mengikat

Fe yang berasal dari Fe yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Sumantri,

2006). Bakteriosin yang terdapat pada kefir yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat

mempunyai aktifitas bakterisidal yaitu molekul bakteriosin melakukan kontak

langsung dengan membran sel bakteri yang menyebabkan potensial membrane

menjadi terganggu dengan destabilisasi depolarisasi membran sitoplasma, sehingga

bakteri tidak mampu bertahan (Amanah, 2011). Manfaat yang terkandung dalam

kefir yaitu miningkatkan daya tahan tubuh karena kefir mengandung antimikrobia.
14

Antimikrobia yang terkandung dalam kefir yaitu asam laktat, asam asetat, hydrogen

peroksida, diasetil, alkohol dan bakteriosin (Maheswari, 2009). Senyawa yang

bersifat antimikrobia dihasilkan dari metabolisme mikroflora kefir yang

menghambat bakteri patogen dan memiliki sifat anti-inflamasi (Maheswari, 2009).

Butir biji kefir berbentuk seperti potongan karang atau kembang kola tau

popcorn dengan besar 3-20 mm. Butir biji kefir terlihat seperti partikel putih atau

agar-agar kuning (gambar 2.5). Butir biji kefir mengandung bakteri asam laktat

(lactobacillus, lactococcus, leuconostoc), bakteri asam asetat dan campuran ragi

mengelompok bersama-sama dengan kasein (protein susu) dan gula kompleks

membentuk matriks polisakarida. Hal ini digambarkan sebagai sebuah simbiosis.

Butir matriks terdiri atas 13% protein, 24% polisakarida, ditambah selular debris

dan komponen yang tidak diketahui. Polisakarida merupakan zat yang larut dalam

air yang dikenal sebagai kefiran. Beberapa spesies lactobacillus bersifat

homofermentatif termasuk L.kefiranofaciens dan L.kefir menghasilkan polisakarida

ini (Semih and Cagindi, 2003)

Gambar 2.5 Butir kefir (Semih dan Cagindi, 2003)


15

Pembuatan kefir dilakukan dengan memanaskan susu segar sampai

mendidih, kemudian didinginkan sampai suhunya 20-25oC lalu diberi butir kefir

sebanyak 2-10% (rata-rata 5%). Setelah waktu fermentasi selama 18-24 jam pada

suhu 20-25oC, butir kefir dapat dipisahkan dari susu dengan melakukan

penyaringan dan dapat dikeringkan pada suhu kamar dan disimpan pada suhu

dingin untuk digunakan pada inokulsi selanjutnya. Kefir disinpam pada suhu 4oC

sampai akan dikonsumsi (Semih dan Cagindi, 2003).

Kefir mengandung mineral yang terdapat dalam kefir berfungsi sebagai

remineralisasi pada penyakit periodontitis. Kandungan mineral yang terdapat dalam

1000 mL kefir antara lain: (Tabel 1) (Semih dan Cagindi, 2003).

Tabel 1. Kandungan mineral pada kefir (Semih dan Cagindi, 2003).

Mineral 1000 mL Kefir


Kalsium 0,12 %
Fosfor 0,10 %
Magnesium 12 %
Potasium 0,15 %
Sodium 0,05 %
Kloride 0,10 %

2.4 Sitokin Proinflamasi

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu sistem imun alamiah atau nonspesifik

dan didapat atau spesifik. Imunitas nonspesifik fisiologik berupa komponen normal

tubuh, selalu terdapat pada individu yang sehat dan akan mencegah mikroba yang

akan masuk ke dalam tubuh. Jumlah dari imunitas nonspesifik akan meningkat

apabila terdapat infeksi, seperti sel darah putih yang akan meningkat selama fase
16

akut penyakit. Pertahanan pada sistem imun nonspesifik dibagi menjadi tiga yaitu

(Baratawidjaja, 2013):

1. Pertahanan fisik/mekanik, yaitu berupa kulit, selaput lendir dan silia saluran

napas merupakan pertahanan awal terhadap infeksi. Keratinosit, lapisan

epidermis kulit, dan epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh

kebanyakan mikroba. Apabila terjadi kerusakan maka akan lebih mudah terkena

infeksi seperti kulit yang terkena luka bakar.

2. Pertahanan biokimia, yaitu pertahanan terhadap infeksi dari zat-zat yang terdapat

dalam tubuh. Seperti lisozim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu

yang dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap bakteri gram-positif dengan

melakukan penghancuran terhadap lapisan peptidoglikan dinding bakteri. Asam

hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibodi, dan empedu dalam

usus halus dapat menciptakan keadaan dimana mikroba tidak dapat hidup.

3. Pertahaan humoral, yaitu molekul larut yang diproduksi di tempat infeksi dan

berfungsi lokal. Molekul tersebut antara lain peptide antimikroba seperti

defensing, ketelisidin, dan interferon. Molekul larut lain diproduksi pada tempat

yang lebih jauh dan ditujukan ke jaringan sasaran melalui sirkulasi seperti

komplemen dan PFA (Baratawidjaja, 2013). Selama terjadi infeksi, sitokin

adalah salah satu dari beberapa zat yang dilepaskan oleh sel-sel spesifik sistem

kekebalan tubuh yang membawa sinyal lokal antara sel dan memiliki efek pada

sel lain. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin Pleitropic dengan berbagai

aktivitas biologis, IL-6 bertugas mengatur reaktivitas imun, respon fase akut,

peradangan, hematopoiesis onkogenesis dan berkerja meningkatkan aktivitas sel


17

T (Kawilarang, 2014). IL-6 berfungsi dalam imunitas nonspesifik dan imunitas

spesifik. IL-6 dapat diproduksi oleh fagosit mononuclear, sel endotel vascular,

fibroblas, serta sel lain sebagai respon terhadap mikroba maupun sitokin yang

lain. Pada imunitas nonspesifik IL-6 merangsang hepatosit untuk memproduksi

acute phase protein (APP) serta bersama CSF merangsang progenitor di sumsum

tulang untuk menghasilkan neutrofil. Sedangkan pada imunitas spesifik, IL-6

akan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang

nantinya akan menghasilkan antibodi (Surati, 2012).

Interleukin 17 merupakan sitokin proinflamasi yang diekskresikan terutama

oleh sel T yang telah diaktivasi, yaitu T-helper 17 (Th17), IL-17 juga dapat

diekskresikan oleh sel T CD8+, sel mast, netrofil dan natural cell killer (Lin dkk.,

2011). Gen IL-17 merupakan protein yang terdiri dari 150 asam amino dengan

berat molekul 15 kDa. IL-17 diproduksi oleh subset sel T-helper yaitu Th 17.

Banyak penyakit dimediasi oleh Th 17 karena fungsi biologi IL-17 konsisten

dengan proses inflamasi yang berlangsung kronis dan destruktif (Yamada dkk.,

2010). Salah satu peran dari IL-17 yaitu pengerahan, aktivasi dan migrasi

neutrofil (Baratawidjaja, 2013). IL-17 memiliki berbagai aktivitas biologi yang

potensial menyebabkan kerusakan jaringan dan degenerasi selama inflamasi

kronis. IL-17 juga menstimulasi makrofag untuk memproduksi berbagai sitokin

inflamasi seperti IL-1β dan TNF-α (Yamada, 2010).

4. Pertahanan selular. Fagosit, sel NK, sel mast dan eosinophil berperan dalam

sistem imun nonspesifik selular. Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam
18

sirkulasi seperti neutrofil, eosinophil, basophil, moonosit, sel T, sel B, sel NK,

sel darah merah dan trombosit.

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang

dianggap asing. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal

antigen yang sama dan masuk ke dalam tubuh untuk kedua akan dikenali lebih cepat

dan kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik dibagi menjadi sistem humoral

dan sistem selular (Baratawidjaja, 2013).

1. Sistem imun spesifik humoral. Pemeran utama dalam sistem imun spesifik

humoral yaitu limfosit B atau sel B. Sel B yang dirangsang oleh benda asing

akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang

memproduksi antibodi. Fungsi dari antibodi yaitu pertahanan terhadap agen

asing seperti bakteri dan virus serta menetralkan racunnya (Baratawidjaja,

2013).

2. Sistem imun spesifik selular. Sel limfosit T atau sel T berperan dalam sistem

imun spesifik humoral. Sel T terdiri atas sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+. Fungsi dari

sistem imun spesifik selular yaitu sebagai pertahanan terhadap serangan bakteri

yang hidup intraselular, juga virus, jamur, dan parasit. Sel CD4+ akan

mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya akan mengaktifkan makrofag untuk

menghancurkan mikroba. Sel CD8+ berfungsi memusnahkan sel yang

mengalami infeksi (Baratawidjaja, 2013).


19

2.5 Mencit (Mus Musculus)

Bahan uji (obat) yang akan dipergunakan untuk manusia atau hewan seperti

hewan peliharaan, hewan ternak dan satwa liar terlebih dahulu harus lolos dalam

pengujian yang dilakukan di laboratorium secara tuntas, dilanjutkan dengan

menggunakan hewan coba untuk kelayakan dan keamanan suatu bahan. Hewan

percobaan adalah setiap hewan yang digunakan dalam suatu penelitian biologis

dan biomedis yang dipilih berdasarkan syarat atau standar dasar yang diperlukan

dalam penelitian tersebut. Salah satu hewan coba yang sering digunakan dalam

sebuah penelitian yaitu mencit (Mus musculus). Mencit sebagai hewan percobaan

sangat praktis untuk penelitian kuantitatif karena sifatnya yang mudah untuk

berkembang biak dan pernah dipergunakan untuk penelitian periodontitis.

Klasifikasi dari mencit sebagai berikut (Akbar, 2010):

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Species : Mus musculus
Mencit termasuk kedalam golongan omnivore sehingga dapat memakan semua

makanan. Kualitas makanan merupakan salah satu factor yang berpengaruh

terhadap kualitas mencit. Mencit membutuhkan makanan berkadar protein diatas

14%, hal ini dapat dipenuhi dengan memberi mencit makanan ayam komersial

yang proteinnya diatas 17%. Kondisi ruang pemeliharaan mencit harus bersih,

jauh dari keramaian, dan tidak lembab (Akbar, 2010).


20

Вам также может понравиться