Вы находитесь на странице: 1из 6

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan sumber daya
alam dengan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai
petani. Iklim yang cocok membuat pertumbuhan tanaman sektor pertanian
menjadi terdukung sehingga menghasilkn produk pertanian yang berkulitas baik.
Para petani indonesia tidak hanya bertumpu pada pertanian berbasis pangan,
namun juga ada yang melakukannya dengan berbasis non-pangan. Salah satu hasil
pertanian penduduk Indonesia yang berbasis non-pangan adalah komoditi karet
(Havea bracileansis).
Tanaman karet menduduki posisi yang cukup penting dalam
perekonomian negara Indonesia karena karet merupakan sumber devisa bagi
negara. Produksi pohon karet Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand
sebagai negara penghasil karet alam. Perkebunan karet di Indonesia tersebar pada
daerah Sumatra dan Kalimantan, yang mana sebagian besar hasil perkebunannya
masih dikelola oleh rakyat setempat. Akan tetapi, karet yang diolah dari hasil
perkebunan rakyat masih tergolong dalam mutu rendah karena pengolahannya
yang dilakukan secara konvensional dan sederhana dengan pengetahuan yang
masih rendah tentang pengoalahan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan
produktifitas usaha tani karet, terutama dalam bidang teknologi budidayanya agar
diperoleh karet dengan kualitas yang baik (Djumarti. 2011).
Lateks adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut getah yang
dikeluarkan oleh pohon karet. Lateks itu sendiri terdapat pada bagian kulit, daun
dan integument biji karet (Surya. 2006). Dalam perkembangannya, getah karet
atau lateks tidak hanya digunakan dalam industri ban saja, karena semakin banyak
barang yang dibuat dengan berbahan dasar lateks. Misalnya sarung tangan operasi
yang digunakan untuk bidang kesehatan hingga barang barang kebutuhan sehari–
hari. Lateks juga dapat diolah dalam bentuk karet sheet, crepe, lateks pekat dan
karet remah (Crumb rubber). Pengolahan lateks akan berpengaruh terhadap mutu
karet yang dihasilkan, apabila pengolahan yang dilakukan sesuai dengan standart
yang berlaku maka dapat diperoleh karet dengan kualitas yang baik. Oleh karena
itu perlu dilakukan praktikum mengenai pembuatan karet agar dapat diketahui
tahap-tahap pengolahan lateks menjadi karet sheet dan juga mempelajari faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu karet yang dihasilkan.
1.2 Tujuan
Dari pemaparan latar belakang di atas maka dapat diperoleh suatu tujuan
yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses dan tahapan pembuatan karet.
2. Untuk mengetahui pengaruh kualitas bahan dasar lateks terhadap kualitas
karet yang dihasilkan.
3. Untuk mengetahui bagaiman cara pengawasan mutu pada karet sheet dan
lateks pekat.
BAB 2 RESUME TEKNOLOGI PENGOLAHAN LATEKS
2.1 Pengertian Lateks
Lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-
kuningan yang terdiri dari partikel karet dan bukan karet dan terdispersi di dalam
air (Triwijoso dan Siswantoro,1989). Sedangkan menurut Goutara, et al. (1985)
menyatakan bahwa lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang
dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air. Protein dilapisan luar
memberikan muatan negatif pada partikel. Lateks merupakan suatu dispersi butir-
butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam
dan zat organik, seperti zat gula, dan zat protein. Menurut Suparto (2002), lateks
Hevea terdiri dari karet, resin, protein, abu, gula, dan air. Lateks terdiri dari 25-
45% hidrokarbon karet selebihnya merupakan bahan-bahan bukan karet.
Komposisi karet bervariasi tergantung dari jenis klon, umur tanaman, iklim,
sistem deres, dan kondisi tanah (Southron, 1968).
2.1 Macam-macam Lateks dan Pengolahannya
Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Brasiliensis,
karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam
hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur
kelelahan (fatigue). Saat ini karet alam banyak diproduksi dalam berbagai jenis,
seperti yang umum dilakukan yaitu diolah dalam bentuk lateks pekat, karet sheet
dan karet crepe (Tim Penulis. 1999).
1. Lateks pekat (concentrated latex)
Lateks pekat (concentrated latex) merupakan jenis olahan lateks yang
memiliki tingkat komersial tinggi dengan pangsa pasar yang cukup terjamin,
karena posisinya yang khas untuk pembuatan barang-barang tertentu seperti
sarung tangan medis, kondom, lem karet, selang transparan, karet busa dan barang
jadi lateks lainnya. Untuk mempoduksi lateks pekat dapat ditempuh beberapa
cara, yakni secara pemusingan (sentrifugasi), pendadihan (creaming), penguapan
dan elektrodekantasi. Saat ini teknik pengolahan lateks pekat umumnya,
menggunakan cara sentrifugasi dan pendadihan. Hal tersebut berdasarkan
pertimbangan kemudahan teknis dan konsistensi mutunya (Nobel. 1983).
Pemekatan lateks dengan cara sentrifugasi dilakukan menggunakan
sentrifuge berkecepatan 6000-7000 rpm. Lateks yang dimasukkan kedalam alat
sentrifugasi (separator) akan mengalami pemutaran yaitu gaya sentripetal dan
gaya sentrifugal. Gaya sentrifugal tersebut jauh lebih besar daripada percepatan
gaya berat dan gerak brown sehingga akan terjadi pemisahan partikel karet dengan
serum. Bagian serum yang mempunyai rapat jenis besar akan terlempar ke bagian
luar (lateks skim) dan partikel karet akan terkumpul pada bagian pusat alat
sentrifugasi.
Pemekatan lateks secara pendadihan memerlukan bahan pendadih seperti
alginat, methyl cellulose dan carboxymethyl cellulose yang berfungsi menjebak
partikel karet membentuk jaringan aglomerasi, memperbesar diameter partikel
karet dan menurunkan berat jenis partikel, menyebabkan terjadi pemisahan fase
air dan fase hidrokarbon lateks (Davey. 1982). Sedangkan menurut Zuhra (2006)
menyatakan bahwa lateks pekat merupakan produk olahan lateks alam yang
dipekatkan dengan proses sentrifusi atau pendadihan dari Kadar Karet Kering
(KKK) 28-30% menjadi KKK 60-64%.
2. Karet RSS (Ribbed Smoked Sheet)
Karet RSS (Ribbed Smoked Sheet) merupakan karet yang berbentuk lembaran
sheet dan diproses melalui pengasapan. Karet ini tergolong karet konvensional
yang dibuat langsung dari lateks kebun, dengan terlebih dahulu menggumpalkannya
kemudian digiling menjadi lembaran–lembaran tipis dan dikeringkan dengan cara
pengasapan. Lalu setelah itu disortasi untuk memilih dan misahkan antara lembar-
lembar sheet yang baik dengan yang buruk, baru kemudian dapat dilakukan
pengepakan dengan cara dibentuk dalam bal-bal lembaran sheet. Mutu karet
konvensional dinilai berdasarkan analisis visual permukaan lembaran karet. Mutu
karet akan semakin tinggi bila permukaannnya makin seragam, tidak ada gelembung,
tidak mulur, dan tidak ada kotoran serta teksturnya makin kekar atau kokoh
(Setyamidjaja. 1993).
3. Karet Crepe
Karet Crepe adalah produk lain dari karet yang dihasilkan melalui
pengolahan karet alam. Untuk memperoleh crepe dengan kualitas yang baik maka
harus menggunakan bahan baku lateks, pelaksanaan penyadapan lateks di kebun
dan syarat-syarat lain yang berkaitan dengan pengolahan harus dipenuhi (Safitri.
2010). Kandungan karet kering krep (crepe) adalah 93%, sedangkan kandungan
air sekitar 0,3-0,9% (Najiha, 2007). Proses pembuatan crepe dimulai dari
penyaringan, pencampuran dan pengenceran lateks; pembekuan; penggilingan;
pengeringan; sortasi dan pembungkusan atau pengepakan karet crepe
(Setyamidjaja dalam Safitri. 2010).
Dalam pembuatan karet jenis crepe, terlebih dahulu dilakukan penyaringan
lateks segar dalam beberapa frekuensi agar diperoleh lateks yang bersih dan baik
serta dilakukan pencampuran. Kemudian dilakukan pengenceran sehingga kadar
airnya sekitar 20% yang dilakukan dengan penambahan natrium bisulfit (Safitri.
2010). Lalu dilanjutkan dengan pembekuan lateks yang dapat dilakukan pada bak
koagulasi atau dalam bak pemcampuran. Dalam proses pembekuan ini
ditambahkan asam semut 2,5% atau asam cuka 5% dan dilakukan pengadukan
secara perlahan. Setelah dibekukan, lateks digiling menggunakan mesin
penggiling yang terdiri atas tiga golongan yaitu gilingan pertama yang disebut
sebagai voorweker dengan 2 kali gilingan, gilingan tengah yang biasa disebut
tussenweker dengan 2 kali gilingan dan gilingan akhir atau yang disebut sebagai
finisher dengan satu kali gilingan. Setelah itu dikeringkan menggunakan suhu
panas buatan antara 30-340C selama 24 jam. Kemudian dilakukan sortasi dan
pengepakan dalam bentuk bal-bal crepe (Setyamidjaja. 1993).
DAFTAR PUSTAKA

Davey, W.S. dan Sekkar, K.C. (1982). The Mechanism of The Creaming of Latex,
Proceeding of the Second Rubber Technology. Kuala Lumpur, 285-295.
Djumarti, Ir. 2011. Handout Kuliah Teknologi Pengolahan Lateks. Jember:
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Jember
Goutara, B. Djatmiko, W. Tjiptadi. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Bogor: IPB.
Najiha, K. 2010. Pengaruh Kekentalan (Viskositas) Lateks Terhadap Konsenttrasi
Asam Asetat Pada Benang Karet. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nobel, R.J. 1983. Latex in Industry 2nd ed. New York : Rubber Age
Safitri, K. 2010. Skripsi Pengaruh Ekstrak Belimbing Wuluh (Averehoa bilimbi
L.) Sebagai Penggumpal Lateks terhadap Mutu Karet. Medan: Sumatra
Utara.
Setyamidjaja, D. 1993. Karet, Budidaya dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius.
Southorn, W. A. 1968. Micropy of Hevea Lateks. Malaysia: Proc. Nat. rub. Res.
Conf.
Suparto, D. 2002. Pengetahuan Tentang Lateks Hevea. Kursus Barang Jadi
Lateks. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Karet.
Surya, I. 2006. Teknologi Karet. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Tim Penulis PS. 1999. Karet. Strategi Pemasaran Tahun 2000, Budidaya dan
Pengelolahan. PT Penebar Swadya. Bogor
Triwijoso, S. U., dan Siswantoro, O. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan
Pemekatan Lateks Hevea.Bogor: Balai Penelitian Perkebunan.
Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet. Karya Tulis Ilmiah. Medan : Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera
Utara.

Вам также может понравиться