Вы находитесь на странице: 1из 19

Konflik Agraria: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan

Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir


Sumatera Selatan
(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria)

Disusun Oleh:
Kelompok 13A
Albertus Indra B C 21110113130083
Archita Permata Santynawan 21110115120015
Benita Roseana 21110115120019
M. Khoirul Baihaqi 21110115130051

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS DIPONEGORO
Jl. Prof. Sudarto SH, Tembalang Semarang Telp.(024) 76480785, 76480788
e-mail : jurusan@geodesi.ft.undip.ac.id
2016
Hukum Agraria

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan
Makalah Hukum Agraria ini tanpa menemui hambatan yang berarti. Tidak lupa pula
kami ucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Sawitri Subiyanto M.Si., selaku Ketua Program Studi Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
2. Fauzi Janu Amarrohman, ST. M.Eng., selaku dosen pengampu mata kuliah
Sistem Basis Data.
3. Seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyusun Makalah Hukum
Agraria.
Penulis sadar bahwa makalah yang penulis susun ini masih sangat jauh dari
sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat
membangun untuk sebagai acuan agar menjadi lebih baik lagi. Terima kasih.

Semarang, 28 Oktober 2016

Penulis

ii
Hukum Agraria

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... I-1

1. 1 Latar Belakang ................................................................................. I-1

1. 2 Rumusan Masalah ............................................................................ I-2

1. 3 Tujuan .............................................................................................. I-2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... II-1

2. 1 Pengertian Hukum Agraria ............................................................ II-1

2. 2 Pengertian Konflik Agraria ............................................................ II-1

2. 3 Sejarah Berdirinya PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis


..............................................................................................................II-2

2. 4 Proses awal terjadinya konflik Perkebunan (Agraria) ................... II-3

2. 5 Sebab-sebab terjadinya konflik Perkebunan (Agraria) .................. II-7

2. 6 Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII dengan Masyarakat


Ogan Ilir ................................................................................................ II-9

BAB III PENUTUP ................................................................................ III-12

3. 1 Kesimpulan ................................................................................. III-12

3. 2 Saran ........................................................................................... III-13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................iv

iii
Hukum Agraria

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Masalah pertanahan (perkebunan) di Indonesia telah menjadi catatan
sejarah yang cukup panjang. Catatan ini, paling tidak terbentang semenjak abad 19,
yakni ketika mulai ramainya pejelajah dan penjajah dating ke negeri ini.
Kedatangan para ekspansionis secara tidak langsung telah merubah struktur dan
tata tertib kepemilikan tanah di masyarakat. Hal ini ditandai dengan berubahnya
fungsi tanah yang semula berfungsi sosial menjadi lebih bersifat ekonomi.
Perubahan fungsi ini semata-mata didasari oleh kenyataan di mana para
ekspansionis telah melakukan upaya paksa maupun dengan jalan kekerasan untuk
menguasai lahan yang ada. Selain itu, untuk lebih mempermudah proses
penguasaan atas tanah salah satunya adalah melalui proses kerjasama dengan
penguasa setempat dengan cara-cara penekanan dan pemaksaan.
Catatan sejarah ini kemudian diteruskan oleh rezim penguasa yang berhasil
memimpin negeri ini bersama-sama dengan dukungan dari kekuatan internasional
lainnya. Berlangsungnya proses modernisasi serta ramainya kegiatan pembangunan
yang diselenggarakan oleh negara secara perlahan dan pasti mulai mengancam
eksistensi tanah sebagai objek landrefrom yang ini secara nyata didukung oleh
kepentingan kapitalis internasional. Wujud modernisasi tampil dalam bentuknya
yang paling vulgar, yakni penggusuran dan perampasan dengan mengatasnamakan
pembangunan. Dengan motto atas nama pembangunan semuanya harus tunduk
dan patuh mendukung sepenuhnya kerja pembangunan yang dilakukan.
Modernisasi dan pembangunan telah menyebabkan munculnya berbagai
persoalan, khususnya dalam permasalahan tanah. Terlebih-lebih ketika kedua
momentum kemudian signifikan dalam menarik minat para investor ke negeri ini.
Catatan kemudian juga dilengkapi oleh berbagai kisah tragedi berkenaan dengan
upaya mempertahankan hak atas tanah oleh masyarakat. Dan komunitas petani
merupakan salah satu objek yang acap akrab dengan persoalan yang muncul di
seputar pertanahan.

I-1
Hukum Agraria

Lahirnya undang-undang No. 5 tahun 1960 semasa rezim Soekarno


dianggap cukup populis, namun tampaknya ternyata hanya sebatas di atas kertas.
Terlalu sulit untuk mengimplementasikan peraturan ini di tengah-tengah
mayarakat. Inilah fakta yang berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Pangkal masalahnya terletak pada tidak adanya kemauan politik yang kuat dari
negara untuk menerapkannya. Kenyataan ini bertambah runyam dengan lahirnya
berbagai kebijakan dan peraturan yang tumpang tindih dan merugikan petani.
Alhasil, kompleksitas persoalan yang muncul di seputar masalah pertanahan
laiknya efek bola salju, terus menggelinding dan semakin hari semakin membesar .
Efek inilah yang akhirnya berubah menjadi lingkaraan setan persoalan yang pada
akhirnya harus dihadapi oleh negara.
Tulisan ini dengan dilatarbelakangi oleh dinamika dan konstalasi sosial
politik yang terjadi di negeri ini mencoba menganalisis lebih jauh akar
permasalahan yang menjadi penyebab munculnya konflik pertanahan, khususnya
di Sulawesi Selatan.

1. 2 Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk
Konflik Agraria pada studi: Sengketa Lahan PTPN VII Cinta Manis dengan
Masyarakat di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan?

1. 3 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Agraria.
2. Untuk mengetahui Konflik Agraria.
3. Untuk Mengetahui Sejarah Berdirinya PTPN VII Cunta Manis.
4. Untuk Mengetahui Proses awal terjadinya konflik.
5. Untuk Mengetahui Sebab-sebab terjadinya konflik
6. Untuk Mengetahui Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII dengan
Masyarakat Ogan Ilir.

I-2
Hukum Agraria

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian Hukum Agraria


Definisi hukum agraria (Prof. Budi Harsono) yaitu “Hukum agraria adalah
keseluruhan kaidah-kaidah hukum tertulis / tidak tertulis mengenai bumi, air, dan
dalam batas-batas tertentu ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.
Pengertian agraria dalam arti luas (UUPA) meliputi bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan
dalam pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang diatas bumi dan
air yang mengandung: tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-
usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan
itu. Pengertian agraria dalam arti sempit (UUPA) yaitu bumi meliputi permukaan
bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air
(pasal 1 ayat 4 jo pasal 4 ayat 1). Dengan demikian pengertian “tanah” meliputi
permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah
air, termasuk air laut.

2. 2 Pengertian Konflik Agraria


Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pembaruan agraria.
Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung
watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya karakteristik,
perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi
yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa
dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional), di sisi lain
menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri. Konflik agraria
mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok
masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain,
seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas

II-1
Hukum Agraria

tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara


konflik agraria, syarat keberlanjutan hidup itu porak-poranda. Komitmen politik
untuk menyelesaikan segala konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar.
Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah punya Ketetapan MPR RI
No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.
Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan aneka
konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung
hingga kini.

2. 3 Sejarah Berdirinya PT Perkebunan Nusantara VII Unit Cinta Manis


Pendirian Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis oleh PTP XXI-
XXII (VII) berdasarkan SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari
1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera
Selatan, merupakan upaya pemerintah memenuhi Swasembada gula dalam negeri
pada waktu itu. Awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut
mencapai 21.358 Ha. Penyediaan lahan dilakukan melalui SK Gubernur KDH
tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16 November 1981.
Lahan yang disediakan oleh pemerintah provinsi seluas 21.358 Ha, dibagi
menjadi enam satuan hamparan atau rayon. Rayon I dan II terletak di Desa Burai
dan sekitarnya (60 Km dari pabrik) dengan topografi rata sampai landai. Rayon III,
IV dan V berada di wilayah Desa Ketiau, Seri Bandung, Seri Kembang dan
sekitarnya. Rayon VI berada di Desa Rengas dan sekitarnya (25 Km dari Pabrik)
bertopografi landai sampai berbukit kecil.
Pendirian perkebunan tebu dan pabrik gula tersebut, merupakan bagian dari
proyek industrialisasi pada masa orde baru, ketika ideologi pembangunan
(developmentalisme) bertengger kokoh dengan dukungan hampir semua elemen
negara.

II-2
Hukum Agraria

2. 4 Proses awal terjadinya konflik Perkebunan (Agraria)

Maraknya konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan, menjadi


bagian dari sejarah panjang perseteruan klasik antara rezim pengusaha dengan
rakyat dalam mempertahankan kepentingan masing-masing pihak, yaitu
kepentingan ekonomi pengusaha versus hak-hak rakyat. Konflik ini terus
berlangsung, bahkan WALHI merilis data konflik agraria yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2011 mencapai 8.307 kasus sebagai akibat perseteruan antara
perusahaan dengan rakyat.

Salah satu konflik agraria yang sekarang terjadi di Sumatera Selatan


(Sumsel) yaitu konflik antara PTPN VII Unit Cinta Manis dengan 20 desa
masyarakat sekitar yang terkoordinasi dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu
(GPPB) di Kabupaten Ogan Ilir. Isu utama konflik tersebut yaitu tuntutan
masyarakat agar PTPN VII mengembalikan lahan mereka yang diserobot PTPN VII
unit Cinta Manis sejak tahun 1982. \PTPN VII tidak hanya berkonflik dengan
GPPB, tetapi juga berseng keta lahan afdeling Kalianda Usaha Bergen seluas 820
ha, Blambangan Umpu seluas 987,54 ha, permasalahan lahan di Desa Bandar
Agung dan Haduyang Ratu Unit Usaha Bunga Mayang, permasalahan lahan unit
usaha Senabing seluas 1,883 ha, dan unit usaha Cinta Manis seluas 40,725 ha
dengan Jakfar bin Putihamid. Walau sebagian sengketa tersebut telah diselesaikan
secara proses peradilan sampai ke Mahkamah Agung maupun penyelesaian
nonlitigasi melalui mediasi.

Muara Sengketa, Mana Hak Atas Tanah PTPN VII Unit Cinta Manis?
Muara sengketa tersebut yaitu permasalahan tanah. Klaim rakyat atas tanah yang
digunakan oleh PTPN VII merupakan tanah rakyat haruslah dibuktikan oleh kedua
belah pihak. PTPN harus membuktikan bahwa penggunakan lahan tersebut untuk
perkebunan didasari oleh hak atas tanah yang sah dan diakui secara hukum. Dalam
Pasal 9 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diatur bahwa penyelenggaraan
usaha perkebunan, kepada pelaku usaha sesuai dengan kepentingannya dapat
diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik,

II-3
Hukum Agraria

hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Sederhana saja melihat kasus sengketa PTPN VII Unit Cinta Manis tersebut,
bila perusahaan mampu menunjukan hak atas tanahnya maka perusahaan tersebut
sah melakukan kegiatan usahanya, namun sebaliknya bila perusahaan tidak mampu
memberikan bukti sah secara hukum atas penggunakan lahan tersebut maka
perusahaan telah melakukan okupasi yaitu pendudukan secara tidak sah atas tanah
rakyat, namun tidak hanya okupasi ibarat gunung es okupasi juga menimbulkan
dampak hilangnya manfaat atas tanah yang seharusnya diperoleh rakyat atas tanah
tersebut. Tanah yang seharusnya memiliki peran ekonomi bagi kehiudpan mereka,
hilang karena okupasi sehingga menimbulkan kemiskinan struktural karena rakyat
kehilangan lahan garapan mereka sejak 30 tahun silam.

Bila benar data dari BPN Pusat melalui hasil audiensi antara WALHI,
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan GPPB dengan BPN Pusat pada Selasa
3 Juli 2012, dari luas 20 ribu hektar lahan yang dikuasai PTPN VII, hanya 6500
hektar yang ada HGU, sisanya 13.500 hektar tanpa HGU. Bila terbukti maka telah
terjadi perampasan atas tanah rakyat oleh PTPN VII, sehingga wajib bagi
perusahaan untuk mengembalikan tanah tersebut kepada rakyat.

Andai saja PTPN VII Unit Cinta Manis ramah kepada masyarakat sekitar
kegiatan usahanya, maka eksistensi perusahaan tidak akan menjadi bom waktu yang
terus terpelihara sampai saat ini. Keramahan tersebut antara lain: pertama,
kewajiban coporate social responsibility yang seharusnya dilaksanakan doleh
PTPN VII sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Pasal 74 mengatur mengenai kewajiban tanggung jawab sosial
dan lingkungan bagi perusahaan di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam. Perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi.

Kedua, kemitraan perusahaan dengan masyarakat sekitar perkebunan


sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 18 Tahun 2004. Perusahaan melakukan
kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling
bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan

II-4
Hukum Agraria

masyarakat sekitar perkebunan dengan pola kerja sama penyediaan sarana


produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama
operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya.

Terjadinya konflik agraria ini bukanlah pertama kali terjadi tetapi sudah
cukup lama di Ogan Ilir, Sumatera Selatan yaitu pada tahun 1982, dimulainya
pembangunan PTPN VII Unit Cinta Manis. Dimana PT. Perkebunan Nusantara
(PTPN) VII ini telah merampas tanah rakyat. Perampasan ini membuat para petani
di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir dengan pasrah dan terpaksa menyerahkan
lahan mereka. karena tidak mampu untuk melakukan perlawan. Pada akhirnya
kebun karet dan kebun nanas masyarakat setempat digusur oleh PTPN VII tanpa
ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi pada masa orde baru ini diakui warga kerap
diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.
Adapun upaya dialog dan mediasi yang telah ditempuh warga, namun pihak
PTPN VII selalu mengulur waktu dan tidak pernah memberi kepastian yang tegas.
Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000
hektar memilki Hak Guna Usaha (HGU) berlokasi di daerah Burai kecamatan
Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya 6.500 hektar saja dari luasan
penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan
keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas 13.500 hektar tidak
diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa.
Adapun masalah yang terjadi dengan perlakuan yang sama oleh anggota
Brigade Mobil (Brimob) yaitu pada tanggal 4 Desember 2009 dimana ada
ketidakpuasan masyarakat atas kompensasi yang mereka terima yaitu dimana
terjadi pembongkaran pondok-pondok petani yang berakhir dengan peristiwa
penembakan terhadap warga Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir oleh anggota
Brimob.
Dan pada akhirnya terjadi lagi yang mana tidak bisa dihindarkan lagi yaitu
pada jumat (27/07/2012) petang. Dimana konflik perkebunan ini terjadi di desa
Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung batu, Kabupaten Ogan Ilir sumatera selatan
(sumsel). Konflik ini terjadi berawal dari Aparat kepolisian. Dimana aparat
kepolisian ini sedang menjalankan tugas pengamanan di lokasi sengketa lahan
dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Usaha Cinta Manis.

II-5
Hukum Agraria

Pasukan Brimob Polda melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah


penduduk di Desa Sri Bandung, Kamis (26;07;12) dilakukan pula penangkapan tiga
orang warga yang dituduh melakukan pencurian pupuk milik PTPN VII.
Pada siang menjelang Shalat Jumat, (27;07;12) ratusan aparat Brimob
kembali mendatangi dan melakukan "sweeping" di tiga desa, di antaranya Desa
Betung, Desa Sri Tanjung, dan Desa Sri Kembang, kemudian menangkap
sedikitnya dua orang petani dari Desa Sri Tanjung. Pukul 16.00 WIB, ratusan
Brimob bersenjata lengkap mengendarai sedikitnya 23 mobil truk kembali
mendatangi Desa Limbang Jaya. Warga yang melihat ratusan anggota Brimob
memasuki desa mereka, akhirnya secara beramai-ramai mendatangi personel
kepolisian tersebut dengan maksud menanyakan kepentingan memasuki desa
mereka. Namun melihat banyak warga mendatangi mereka, pasukan Brimob
bersenjata lengkap itu mendadak langsung mengeluarkan tembakan ke arah warga.
Bentrok antara Brimob dengan warga pun tak dapat dihindari.
Karena tembakan secara membabi-buta yang dilakukan oleh aparat Brimob
tersebut, seorang anak berumur 13 tahun yang masih bersekolah kelas 1 SMP,
Angga bin Darmawan tewas tertembak di kepalanya. Angga tertembak saat keluar
dari tempat permainan play station, karena mendengar keramaian petugas.
Berdasarkan hasil investigasi tim advokasi, jumlah korban dalam kondisi
kritis akibat tembakan petugas sebanyak lima orang, dua orang perempuan, seorang
remaja berumur 16 tahun, Jesica cucu dari anggota DPRD Ogan Ilir, satu orang ibu.
Satu orang lagi bernama Rusman bin Alimin dalam kondisi kritis. Semua korban
saat ini sedang berada di Puskesmas Tanjung Batu, dan korban Angga dievakuasi
ke Rumah Sakit Bhayangkara Palembang. Saat ini ratusan personel Brimob dengan
senjata lengkap masih berada di lokasi Desa Tanjung Pinang.

II-6
Hukum Agraria

2. 5 Sebab-sebab terjadinya konflik Perkebunan (Agraria)


Salah satu penyebab konflik agraria adalah masalah kesenjangan sosial.
Konflik juga bisa disebabkan oleh kebijakan negara masa lalu. Misalnya pada
zaman Hindia Belanda tidak melindungi eksistensi hukum adat seperti hak ulayat
sehingga timbul sengketa batas antara wilayah hukum adat dan wilayah konsesi
perkebunan.
Pengambil-alihan dan pengelolaan kebun sering kali diikuti pula dengan
segala budaya kebun yang dibangun oleh pemilik kebun lama, yaitu semata-mata
mementingkan pengusaha dengan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi
kurang memerhatikan masyarakat sekelilingnya. hal ini juga tercermin masih
adanya indikasi besarnya gaji antara pimpinan kebun dengan buruh seperti langit
dan bumi. Kesenjangan sosial demikian meningkatkan kecemburuan sosial yang
melahirkan pikiran sederhana bahwa keberadaan kebun kurang bermanfaat bagi
rakyat di sekitarnya.
Meningkatnya pengetahuan rakyat dan dengan pikiran yang sederhana pula
rakyat cepat terpancing melakukan tindakan yang dikategorikan melanggar hukum
misalnya ada bagian tertentu dari areal yang sengaja tidak ditanami untuk menjaga
kelestarian lingkungan dan sumber air, pemilik kebun sudah dianggap
menelantarkan tanah dan hal ini menjadi alasan untuk menduduki kebun secara
paksa. Konflik agraria juga terjadi akibat lemahnya penegakan hukum, tanah
telantar, dan reclaiming sebagai tanah adat. Karena itu, diperlukan upaya preventif
dan penyelesaian sengketa. Di antaranya terhadap tanah Hak Guna Usaha yang
masih dikelola dengan baik perlu dijaga kelestariannya. Sebab menurut UUPA
setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif
dan mencegah cara-cara pemerasan.
Sengketa agraria antara petani Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan
PT Perkebunan Nusantara VII yang terjadi sejak tahun 1980-an hingga kini belum
berakhir. "Sengketa agraria antara petani dengan PTPN VII yang memanas pada
Juli 2012 dengan menimbulkan sejumlah korban luka tembak, seorang anak petani
meninggal dunia, serta sejumlah petani dan aktivis ditangkap polisi, hingga kini
belum berakhir, sehingga perlu mendapat perhatian semua pihak agar tidak kembali

II-7
Hukum Agraria

bergejolak dan menimbulkan korban yang lebih banyak," kata Direktur Eksekutif
Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko di Palembang.
Menurut dia, sengketa agraria tersebut seharusnya tidak dibiarkan berlarut-
larut, karena dapat merugikan petani yang kehilangan lahan karena dikuasai PTPN
untuk perkebunan tebu dan pabrik gula Cinta Manis.
Melihat kondisi lambannya penyelesaian masalah tersebut, Walhi Sumsel yang
selama ini aktif mendampingi petani Kabupaten Ogan Ilir akan terus membantu
memperjuangkan hak mereka sehingga bisa memperoleh kembali lahan untuk
sumber penghidupan keluarganya, katanya.
Dia menjelaskan, permasalahan agraria di Ogan Ilir dan beberapa daerah
Sumsel lainnya, seharusnya tidak dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan yang
serius oleh pihak pemerintah daerah dan instansi terkait. Membiarkan permasalahan
agraria berarti memelihara konflik yang sewaktu-waktu dapat memicu timbulnya
keributan antara pihak yang bersengketa.
Awal Maret 2014 masyarakat Kabupaten Ogan Ilir kembali
mempermasalahkan lahan mereka yang dikuasai pihak PTPN VII, dengan
melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel di Palembang, aksi tersebut
akan terus dilakukan petani hingga lahan mereka dikembalikan pihak perusahaan
perkebunan milik negara itu, kata Hadi.
Lebih lanjut dia menjelaskan, berdasarkan data yang dihimpun aktivis Walhi
dan pejuang hak asasi manusia lainnya, permasalahan agraria di wilayah provinsi
yang memiliki 15 kabupaten dan kota ini cenderung mengalami peningkatan.
"Sekarang sekitar 30 kasus sengketa agraria yang memerlukan perhatian dan
penanganan dengan baik, jika tidak segera diselesaikan berpotensi menimbulkan
keributan yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, serta
menimbulkan korban jiwa seperti di Ogan Ilir pada Juli 2012," ujarnya.
Melihat banyaknya koflik agraria yang belum diselesaikan dengan baik, Walhi
Sumsel mendesak pemerintah daerah dan pihak berwenang segera mencarikan
solusinya. Semua pihak harus mendorong adanya solusi setiap permasalahan
agraria di Sumsel, sehingga tidak ada lagi pertikaian dan korban serta lahan yang
bersengketa dapat dikelola secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat, bukan
hanya untuk sekelompok pemilik modal seperti yang terjadi selama ini, ujarnya.

II-8
Hukum Agraria

2. 6 Solusi penyelesaian Konflik antara PTPN VII dengan Masyarakat Ogan Ilir
Dalam kasus konflik argaria ini belum ada cara penyelesaiannya. Sudah
banyak usulan berbagai pihak tentang perlunya pembentukan lembaga khusus
seperti Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), ataupun
Pengadilan Agraria.
Pemerintah memilih strategi memperkuat peran dan posisi Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dengan membentuk kedeputian yang secara khusus
untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui
Perpres No 10/2006 tentang BPN dan meluncurkan Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) yang berniat meredistribusi tanah. Sampai saat ini program
setengah hati pemerintah ini belum terealisasikan dengan baik.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan BPN untuk mendukung penyelesaian
konflik agraria, seperti SK. BPN No 34 tahun 2007 tentang petunjuk teknis
penangan dan penyelesaian masalah pertanahan, dan pedoman penyelesain konflik
agraria melalui SK.BPN No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan
Penanganan Kasus Pertanahan. BPN menjadi satu-satunya lembaga terdepan untuk
menyelesaikan sengketa agraria dengan mengedepan proses-proses mediasi.
Namun perlu dipertanyakan sejauh mana kemampuan BPN menjadi mediator tanpa
ada keberpihakan. Idealnya lembaga mediator terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi petani dan lembaga lainnya. Baru-baru ini pemerintah juga akan
membentuk Satgas penyelesaian konflik agraria. Yang tentu diharapkan mampu
menyelesaikan konflik agraria.
Dalam rangka penyelesaian konflik agraria di butuhkan Badan Otoritas
Sengketa Agraria, yang memiliki kewenangan tidak hanya sekedar penyelesaian
sengketa/konflik agraria tapi juga memiliki kewenangan melaksanakan reforma
agraria, memiliki konsep pembagunan petani dan pertanian. Penataan kembali
struktur agraria yang timpang, pendistribusian tanah kepada petani tak bertanah dan
rakyat miskin lainnya melalui program pembaruan agraria sejati.
Harus ada alokasi yang jelas bagi tanah petanian dan tanaman pangan milik
rakyat. Investasi perkebunan tidak boleh mengalihfungsikan dan di atas tanah
cadangan bagi pertanian rakyat. Strategi penyelesaian konflik perkebunan tidak
hanya sebatas persoalan tanah siapa diambil siapa. Harus mencakup segala aspek

II-9
Hukum Agraria

terutama rasa keadilan dan kesenjangan sosial yang terjadi, sehingga bisa
meminimalisir konflik di masa datang. Konflik agraria adalah konflik struktural
yang timbul karena kebijakan yang salah arah dari pemerintah. Butuh kemauan
politik pemerintah untuk menyelesaikannya, mungkin pemerintah perlu berkaca
pada perjanjian pancang merah tahun 1930 di Pasaman yang dibuat atas kemauan
politik penguasa waktu itu.
Sebaiknya apabila ada HGU yang bermasalah hendaknya diselesaikan lewat
jalur hukum yang berlaku, ditinjau dari sudut terjadinya sengketa, faktor sejarah,
keadaan sosial ekonomi, dan politik mewarnai substansi sengketa. Oleh sebab itu,
penangannya harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Ia mengingatkan
apapun yang dilakukan oleh pemilik Hak Guna Usaha (HGU) hendaknya tetap peka
terhadap keadaan lingkungan masyarakat sekitarnya. Keselamatan HGU bukan
semata-mata menjadi beban aparat keamanan, tetapi juga sangat ditentukan apakah
kemakmuran yang diperoleh pengusaha ikut dinikmati juga masyarakat secara luas.
Dan sebaiknya PTPN harus memiliki legalitas hukum yang sah, sehingga
tidak punya HGU. Sedangkan HGU sendiri merupakan alat pemerintah untuk
memperolah penghasilan negara. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII
bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga.
Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat
kerakusan PTPN VII.
Pemerintah Provinsi (Pemprop) Sumsel dan Tim Terpadu yang terdiri dari
3 Stakeholder membahas tindak lanjut penyelesaian Kasus Konflik Agraria Petani
Ogan Ilir dengan PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis.
Menurut Plt Sekda Sumsel Mukti Sulaiman, Pemprov Sumsel menjadi fasilitator
dalam proses penyelesaian kasus sengketa tersebut. Tim Terpadu ini diharapkan
mampu menyelesaikan konflik yang sudah bergulir bertahun-tahun
"Tim ini akan melibatkan unsur unsur terkait termasuk masyarakat. Sesuai
dengan tuntutan masyarakat untuk melibatkan masyarakat dalam
pembentukan,"katanya di Graha Bina Praja (Auditorium) Pemprov, (15/1).
Ia melanjutkan, tim terpadu ini nantinya, bertugas untuk menginventaris masalah
tersebut, dilanjutkan mediasi dan koordinasi dengan pihak badan pertanahan serta
monitoring dan evaluasi yang hasilnya akan dilaporkan ke Gubernur.

II-10
Hukum Agraria

"Pertemuan ini mencari solusi dengan diskusi antara pihak terkait. Kita
harap pihak yang bersengketa dapat jujur. Maka kebenaran akan mendekat dan
masalah ini akan menjadi terang benderang dan jika ada yang menukangi pun akan
terlihat,"tegas Sekda.
Seperti rilis yang diterima redaksi, Rapat yang dipimpin Plt. Sekda Sumsel
ini dihadiri perwakilan PTPN VII Cinta Manis, Mabes Polri yang diwakili Brigjend
Pol Drs. Carlo B Tewu, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI),
Kmenterian Politik Hukum dan HAM (Kemenpolhukam).
Perwakilan Mabes Polri, Brigjend Pol Carlo B Tewu berharap masalah ini
bisa diselesaikan dengan baik. Ia meminta kejujuran dan laporan masyarakat jika
memang ada haknya dikuasai PTPN VII.
"Diharapkan masyarakat melapor jika ada haknya yang dikuasai, dan
kepada PTPN VII juga jika merasa sudah melaksanakan pembayarannya dan masih
ada yang meminta tagihan atau mengaku-mengaku tanahnya belum diselesaikan
maka melaporlah juga," kata Carlo.
Kasus sengketa lahan ini menindaklanjuti unjuk rasa yang dilakukan oleh
warga masyarakat di sekitar PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis terkait sengketa
lahan. Dalam rapat ini dijelaskan dasar hukum pemilikan lahan , sesuai dengan
Kepres No. 59 Thn 1978 tentang Study Kelayakan Pembangunan Pabrik Gula oleh
Victories Mill Company dari Filipina, Surat Menteri Pertanian RI Nomor :
076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981 perihal Izin Prinsip PT Cinta Manis di
Daerah Kabupaten OKI dan Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah Sumatera
Selatan, Juga merujuk Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumsel Nomor :
379/Kpts/I/1981 tanggal 16 Nopember 1981 perihal Pencadangan Tanah Negara
untuk Proyek Pabrik Gula di Kecamatan-kecamatan Tanjung Raja, Muara Kuang,
Inderalaya dan Tanjung Batu Kabupaten Dati II Ogan Komering Ilir.
Dari tuntutan warga untuk melakukan Inventarisasi Tanah, Tanam Tumbuh dan
Bangunan Rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan oleh PTP XXI-XXII
(Persero) berada di Marga Tanjung Batu, Marga Meranjat, Marga Lubuk Keliat dan
Marga Rambang IV Suku Kecamatan Tanjung Batu dan Muara Kuang.

II-11
Hukum Agraria

BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan
Konflik berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Bentrok antara warga dan Brimob yang terjadi di Ogan Ilir, Sumatera
Selatan, 27 Juli 2012, secara tak langsung dipicu oleh ketegangan antara warga dan
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Cinta Manis yang mengelola
perkebunan tebu di wilayah tersebut. bentrok semacam itu bukan pertama kali
terjadi di Ogan Ilir. Sejarah konflik agraria di daerah tersebut bahkan cukup
panjang, dimulai pada 1982 . tahun dimulainya pembangunan PTPN VII Unit Cinta
Manis. pembangunan Unit Cinta Manis membuat para petani di 20 desa dari 6
kecamatan di Ogan Ilir terpaksa menyerahkan lahan mereka untuk dijadikan
perkebunan tebu. Kebun karet dan kebun nanas masyarakat digusur oleh PTPN VII
tanpa ganti rugi yang layak. Ini diwarnai pula dengan tekanan, intimidasi, dan sikap
represif aparat keamanan.
Di awal Juni lalu, ribuan warga dari 15 desa di Kabupaten Ogan Ilir turun ke
jalan menuju Kantor DPRD Sumatera Selatan. Upaya aksi tersebut tidak ditanggapi
pihak pemerintah dengan berakhir buntu. Lalu sebulan kemudian warga menggelar
aksi kembali, kali ini dengan sasaran aksi menuju PTPN VII. Warga menuntut
pengembalian lahan mereka yang dirampas PTPN VII seluas 13 ribu hektar dari 20
ribu hektar yang digunakan PTPN VII. Dalam situasi ini, PTPN VII menggunakan
alat Negara yakni aparat Brimob untuk menjaga kepentingan para pemilik modal
dari tuntutan rakyat. Artinya dapat dilihat bahwa Negara selalu menggunakan

III-12
Hukum Agraria

pendekatan keamanan dalam menyelesaikan setiap persoalan rakyat termasuk


sengketa lahan.

3. 2 Saran
Di dalam penyelesaian konflik kita harus saling kompromi dimana pihak
yang terlibat konflik saling mengalah atau saling memeberi dan menerima
kebijakan, tanpa paksaan, saling mengurangi tuntutan dan saling menghargai
pendirian masing-masing, mengambil pihak ketiga atas persetujuan kedua belah
pihak yang bertikai, mempertemukan pihak yang bertikai dengan melalui lembaga
formal, untuk berunding agar diperoleh persetujuan bersama
danmusyawarah pembahasan suatu masalah secara bersama-sama agar tercapai
pendapat bulat dan dianggap paling baik, paling benar, serta dipertanggung
jawabkan.
Didalam kasus konflik perkebunan di Ogan ilir sumatera selatan selain
menggunakan cara-cara diatas, Pemerintah dan aparatnya seharusnya menjadi
kekuatan utama masyarakat untuk memperoleh perlindungan dan dukungan dalam
mewujudkan keadilan sosial bagi petani miskin, rakyat tak bertanah di pedesaan
dan wilayah-wilayah pedalaman.

III-13
Hukum Agraria

DAFTAR PUSTAKA

H. Mohamad Hatta, SH., Mkn. (2005) . Hukum Tanah Nasional Dalam


Persepektif Islam. Yogyakarta: Media Abadi
http://www.jurnas.com/news/55188/Konflik_Agraria_Akibat_Kesenjangan_
Sosial/1/Nasional/Hukum
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/339738-awal-mula-sengketa-
lahan-ptpn-di-ogan-ilir.html
http://zonaalfian.blogspot.com/2013/03/konflik-agraria.html

iv

Вам также может понравиться