Вы находитесь на странице: 1из 41

FINAL PROJECT

AKUSTIK BAWAH AIR LANJUT


(KL5201)

Dosen :
Irsan Soemantri B., Ph.D

Nabigh Nabiyl
25515305

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2. DASAR TEORI ......................................................................................... 4
2.1. Gelombang Suara ................................................................................................... 4
2.2. Ray Tracing............................................................................................................. 8
2.3. Persamaan Profil Kecepatan Suara di Laut ...................................................... 11
2.4. Propagasi Gelombang ........................................................................................ 12
2.5. Refraksi ............................................................................................................... 12
2.6. Refleksi Dan Transmisi ....................................................................................... 12
BAB 3. METODE PENGOLAHAN DATA ........................................................ 15
3.1. Alur Pengerjaan Final Project ............................................................................ 15
3.2. Transducer ............................................................................................................. 16
3.3. Lokasi Pengambilan Data ................................................................................... 16
BAB 4. HASIL PENGOLAHAN DATA ............................................................. 17
4.1. Hasil Output Layout data stasiun dari Ocean Data View (ODV) .................. 17
4.2. Persamaan Empiris .............................................................................................. 18
4.3. Polyfit .................................................................................................................... 21
4.3.1.GeoB10044-1 ........................................................................................................ 21
4.3.2.GeoB10054-2 ........................................................................................................ 24
4.3.3.GeoB10061-2 ........................................................................................................ 27
4.4. Hasil Ray Tracing ................................................................................................ 29
4.4.1.Ray Tracing pada stasiun GeoB10044-1 ........................................................... 29
4.4.2.Ray Tracing pada stasiun GeoB10054-2 ........................................................... 30
4.4.3.Ray Tracing pada stasiun GeoB10061-2 ........................................................... 31
4.5. Modes .................................................................................................................... 31
4.5.1.GeoB10044-1 ........................................................................................................ 31
4.5.2.GeoB10053-2 ........................................................................................................ 31
4.5.3.GeoB10062-2 ........................................................................................................ 31
4.6. Time series dan detrend....................................................................................... 31

i
BAB 1. PENDAHULUAN
Akustik kelautan merupakan teori yang membahas tentang gelombang suara
dan perambatannya dalam suatu medium air laut. Akustik kelautan merupakan satu
bidang kelautan yang mendeteksi target di kolom perairan dan dasar perairan
dengan menggunakan suara sebagai mediannya. Permasalahan-permasalahan yang
dibahas dalam akustik kelautan ini yaitu, kecepatan gelombang suara, waktu (pada
saat gelombang dipancarkan hingga gelombang dipantulkan kembali), dan
kedalaman perairan. Hal-hal yang mendasari kita mempelajari akustik kelautan
adalah laut yang begitu luas dan dalam (dinamis), manusia sudah pernah ke planet
terjauh tetapi belum pernah ke laut terdalam, sehingga dibutuhkannya alat dan
metode untuk melakukan pendeskripsian kolom dan dasar laut, dan saat ini metode
yang paling baik adalah dengan menggunakan akustik.
Akustik dibagi menjadi dua macam, yang pertama yaitu akustik pasif
merupakan suatu aksi mendengarkan gelombang suara yang datang dari berbagai
objek pada kolom perairan, biasanya suara yang diterima pada frekuensi tertentu
ataupun frekuensi yang spesifik untuk berbagai analisis. Pasif akustik dapat
digunakan untuk mendengarkan ledakan bawah air (seismic), gempa bumi, letusan
gunung berapi, suara yang dihasilkan oleh ikan dan hewan lainnya, aktivitas kapal-
kapal ataupun sebagai peralatan untuk mendeteksi kondisi di bawah air
(hidroakustik untuk mendeteksi ikan). Sedangkan akustik aktif memiliki arti yaitu
dapat mengukur jarak dari objek yang dideteksi dan ukuran relatifnya dengan
menghasilkan pulsa suara dan mengukur waktu tempuh dari pulsa tersebut sejak
dipancarkan sampai diterima kembali oleh alat serta dihitung berapa amplitudo
yang kembali. Akustik aktif memakai prinsip dasar SONAR untuk pengukuran
bawah air.
Hidroakustik didasarkan pada prinsip yang sederhana, gelombang suara
dipancarkan melalui sebuah alat yang menghasilkan energi suara (tranducer) pada
kolom perairan ataupun dasar perairan. Hal ini mengubah energi elektrik menjadi
mekanik. Kecepatan energi suara di perairan mencapai 1500 m/s. Ketika energi
tersebut mengenai suatu target maka akan dikembalikan dalam bentuk echo yang
nanti akan dikembalikan ke receiver.

1
Metode akustik merupakan metode yang menggunakan gelombang suara
dan perambatannva untuk mendeteksi obvek atau target dalam suatu medium.
Metode akustik ini dapat memberikan informasi yang detail tentang densitas,
distribusi kedalaman renang, ukuran panjang ikan dan variasi migrasi diurnal
(Susandi, 2004). Menurut Hodges (2010), istilah “akustik” mengacu pada
gelombang suara yang bergerak dalam berbagai media. Gelombang akustik datang
dalam dua jenis: longitudinal atau kompresi dan transversal atau bergeser. Di dalam
air, hanya hanya gelombang longitudinal atau kompresi saja yang didukung karena
air memiliki kekuatan bergeser yang lemah.
Burczynski (1982) dalam Wijaksana (2008) mengungkapkan bahwa
metode akustik digunakan untuk menentukan perubahan kelimpahan stok ikan,
dengan menggunakan sistem pemancar yang memancarkan sinyal akustik secara
vertikal disebut echosounder, sedangkan yang memancarkan sinyal akustik secara
horizontal disebut sonar. Penggunaan echosounder disebut dengan echosounding.
Menurut Firdaus (2008), echosounding adalah teknik untuk mengukur kedalaman
air dengan memancarkan pulsa-pulsa yang teratur dari permukaan air dan kemudian
pantulan gema (echo) yang datang dari dasar laut tersebut didengar kembali.
Dalam perambatannya, akustik mengenal adanya transmission loss akibat
adanya absorpsi dari medium, adanya kehilangan akibat penyebaran (spreading) di
dalam medium air, impedansi akustik yang mempengaruhi
nilai backscattering strength, ukuran butir dan sifat-sifat sedimen terhadap sifat-
sifat akustik. (Noorjayantie, 2009). Selain itu, gangguan juga bisa terjadi dalam
menjalankan metode akustik yang disebut dengan noise, yaitu sinyal yang tidak
diinginkan yang dapat terjadi karena faktor fisik, biologi, dan artifisial (Allo,
2008).
Akan tetapi pada dasarnya teknologi akustik bawah air merupakan metode
yang sangat efektif dan berguna untuk eksploitasi kelautan perikanan. Teknologi
akustik ini terdiri dari pengukuran, analisis, dan interpretasi karakteristik sigma
refleksi atau scattering dari objek yang dikenai (Manik, 2006). Arnaya
(1990) dalam Hermawan (2002) mengatakan bahwa metode akustik memiliki
beberapa kelebihan, yaitu: berkecapatan tinggi, estimasi stok ikan secara langsung,
memungkinkan memperoleh dan memproses data secara real time, akurasi

2
ketepatan tinggi, tidak merusak karena frekuensi yang digunakan tidak
membehayakan si pemakai alat ataupun target.
Menurut Varina (2013), echosounder memiliki kelemahan yaitu jika
semakin dalam laut,gambar yang dihasilkan semakin tidak jelas. Sedangkan
kelebihannya yaitu dapat mengukur kedalaman laut yang disertai dengan pemetaan
dasar laut.

3
BAB 2. DASAR TEORI
2.1. Gelombang Suara
Apabila sebuah gelombang merambat dari satu medium ke medium lain
maka akan mengalami 2 kondisi yaitu gelombang akan dipantulkan dengan arah
rambatannya memenuhi prinsip hukum pemantulan dan kondisi kedua gelombang
akan diteruskan melalui medium berikutnya.
Berdasarkan frekuensinya gelombang dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Gelombang infrasonik dengan frekuensi lebih rendah dari 20 Hz
2. Gelobang audiosonik dengan frekuensi 20 Hz sampai 20 KHz
3. Gelombang ultrasonik dengan frekuensi lebih besar dari 20 KHz
Gelombang yang digunakan dalam echo sounder yaitu gelombang
ultrasonik. Gelombang merupakan getaran yang merambat, getaran adalah gerak
bolak–balik secara berulang melalui titik seimbangnya. Getaran pada ayunan
sederhana yang dilakukan dengan mengikat sebuah beban ringan pada seutas tali,
memiliki gaya yang besarnya berbanding lurus dengan simpangannya. Arahnya
selalu menuju kedudukan seimbang. (Gunawan, 2000). Frekuensi gelombang
adalah banyaknya gelombang yang terjadi dalam satu satuan waktu. Frekuensi
dinotasikan dengan huruf “f” dan dengan satuan Hertz atau biasa disingkat dengan
Hz.
f= 1/T
Periode adalah selang waktu yang diperlukan untuk menempuh satu
gelombang. Periode dinotasikan dengan huruf “T“ dan satuannya adalah detik.
Yang disebut dengan gelombang sempurna pada gelombang tranversal adalah
gerakan gelombang dari kedudukan seimbang ke puncak gelombang kemudian
kembali ke kedudukan seimbang lalu ke lembah gelombang sampai kembali ke
kedudukan seimbang. Gelombang yang merambat lurus dari satu titik ke titik yang
lainnya memerlukan waktu, dengan kata lain gelombang memiliki kecepatan untuk
merambat. Jadi cepat rambat gelombang adalah jarak yang ditempuh oleh
gelombang dalam satu satuan waktu. Cepat rambat gelombang diberi lambang “V”
dengan satuan m/detik.
V=λ.f=λ/T

4
Suara terdiri dari gerakan teratur molekul-molekul suatu benda yang elastis.
Karena sifat elastisnya gerakan partikel pada suatu bahan, seperti gerakan yang
diakibatkan oleh sumber suara, diteruskan ke partikel terdekatnya. Oleh karena itu
gelombang suara yang merambat dari sebuah sumber memiliki kecepatan yang
sama dengan kecepatan suara. Di dalam fluida gerakan partikel adalah maju dan
mundur sejajar dengan arah rambatannya. Karena fluida bersifat kompresibel,
gerakan ini mengakibatkan adanya perubahan tekanan yang dapat dideteksi oleh
sebuah hydrophone yang sensitif terhadap tekanan.
1. Impedansi Akustik
Pada gelombang ultrasonik terdapat impedansi akustik yang mempengaruhi
pantulan dari gelombang tersebut. Impedansi akustik dapat digunakan untuk
menentukan jenis atau karakteristik medium yang dilalui oleh suatu gelombang.
Selain itu impedansi gelombang akustik juga menentukan peristiwa-peristiwa
gelombang yang terjadi apabila suatu gelombang melewati bidang batas antara dua
medium yang berbeda. Impedansi akustik (Z) didefinisikan sebagai perkalian
densitas (ρ) dari medium yang tegak lurus gelombang suara dan kecepatan
perambatan suara (c) dalam medium. Satuan dari akustik impedansi adalah
kg/(m2sec) dan sering dinyatakan dalam rayl, dimana 1rayl = 1 kg/(m2sec).
Z = ρc
Dimana :
a. ρ = adalah densitas dalam kg/m3
b. c = kecepatan suara dalam m/s

Perbedaan impedansi akustik bidang batas yang besar, seperti air dan batu
karang , energi suara datang hampir semuanya dipantulkan, tapi jika perbedaan
lebih kecil seperti air dan lumpur, pantulan hanya sebagian kecil dari energi suara
yang datang kemudian sisa energinya dilanjutkan ke bagian lain. Impedansi akutik
mempunyai peran:
a. Penetapan transmisi dan refleksi gelombang batas antara dua materi
yang memiliki impedansi akustik berbeda
b. Mendesain tranduser
c. Memperkirakan absorbsi gelombang suara dalam medium

5
2. Pemantulan (Refleksi)
Ketika gelombang suara melalui bidang batas antara dua medium dengan
bahan berbeda yang masing-masing memiliki cepat rambat suara yang berbeda,
maka sebagian energi gelombang suara itu akan dipantulkan dan sebagian lainnya
akan dibiaskan dengan aturan yang mirip dengan peristiwa pemantulan dan
pembiasan gelombang cahaya. Dalam peristiwa ini hukum snellius dimanfaatkan
untuk mengtahui besarnya arah pembiasan berkas suara.
Amplitudo pulsa dilemahkan oleh adanya absorbsi materi dan energi yang
direfleksikan. Hal ini menyebabkan gelombang echo yang dikirimkan kembali ke
tranduser sangat kecil dibandingkan dengan pulsa awal yang dihasilkan tranduser.
Energi yang dipantulkan oleh gelombang ultrasonik pada perbatasan antara dua
medium terjadi karena perbedaan dari impedansi akustik dari dua medium.
Koefisien pantul menjelaskan fraksi dari intensitas gelombang datang pada suatu
permukaan yang direfleksikan kembali
3. Pembiasan (Refraksi)
Refraksi menjelaskan perubahan arah transmisi energi gelombang
ultrasonik pada permukaan medium, ketika gelombang tidak tegak lurus terhadap
permukaan medium. Frekuensi gelombang ultrasonik melewati medium dengan
sudut tertentu sehingga pulsa mengalami refraksi. Karakteristik ultrasonik yang
penting adalah lebar dari berkas ultrasonik.
Sudut gelombang datang, dipantulkan dan ditransmisikan diukur relatif
terhadap gelombang datang normal di perbatasan medium. Sudut refraksi (θt)
ditetapkan dengan perubahan kecepatan suara yang terjadi diperbatasan dan
dihubungkan ke sudut datang (θi) dengan hukum snellius
4. Hamburan (Scattering)
Hamburan merupakan suatu pemantulan spekular di suatu perbatasan
medium yang halus antara dua medium, dimana dimensi dari perbatasan lebih besar
daripada panjang gelombang dari energi ultrasonik yang datang. Hamburan akustik
berasal dari objek medium yang ukuran panjang gelombangnya lebih kecil sehingga
menyebabkan gelombang menyebar pada banyak arah.

6
Karena pemantul nonspekular memantulkan suara pada semua arah,
amplitudo dari echo yang dikembalikan lebih lemah daripada echo di permukaan
jaringan. Pada umumnya, amplitudo sinyal echo dari suatu medium tergantung
kepada jumlah hamburan per unit volume, impedansi akustik material, ukuran
penghambur dan frekuensi gelombang ultrasonik. Hiperecho (amplitudo hamburan
yang lebih tinggi) dan hipoecho (amplitudo hamburan yang lebih kecil)
menjelaskan karakteristik relatif rata-rata sinyal dasar. Area hiperecho selalu
mempunyai jumlah hamburan yang lebih banyak, impedansi akustik yang lebih
besar dan hamburan yang lebih besar.
5. Atenuasi
Atenuasi gelombang ultrasonik merupakan pelemahan energi akustik yang
hilang selama perambatan gelombang yang sebagian besar disebabkan oleh
pantulan, hamburan dan penyerapan gelombang datang oleh suatu medium. Teori
Gelombang
Dasar dari Akustik adalah teori gelombang ,dimana persamaan gelombang
merupakan persamaan diperensial parsial (Partial Diferential Equation/PDE) yang
berhubungan dengan tekanan yang merupakan fungsi dari ruang (x, y, z) dan waktu
(t), dengan persamaan sebagai berikut :

𝜕 2 𝑃1 2
𝜕 2 𝑃1 𝜕 2 𝑃1 𝜕 2 𝑃1
= 𝐶 ( 2+ + )
𝜕𝑡 2 𝜕𝑋 𝜕𝑌 2 𝜕𝑍 2
Dimana :
P = tekanan
t = fungsi waktu
x, y, z = fungsi ruang
C = kecepatan suara yang bergantung pada koordinat
Ada beberapa pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk
menyelesaiakn persamaan tersebut. Pada tugas besar ini pendekatan teoritis yang
akan dipilih adalah teori ray.

7
2.2. Ray Tracing
Propagasi Akustik bawah air dapat diterapkan dengan berbagai metode,
yaitu : Ray Tracing / Ray Method, Parabolic Equation, Normal Mode, FDM / FEM
/ BEM.
Teori ray atau yang biasa dikenal dengan ray tracing cocok digunakan
untuk frekuensi tinggi atau gelombang dengan panjang gelombang yang pendek
tetapi tidak dapat digunakan untuk memprediksi intensitas suara.
Teori normal-mode memperhatikan kondisi batas dan source serta hasil
yang diperoleh merupakan fungsi matematik yang rumit. Meskipun demikian, teori
normal-mode cocok digunakan untuk propagasi akustik di perairan dangkal.
Metoda persamaan parabolik sering digunakan untuk sudut source kecil dengan
karakteristik long range propagation.
Dari beberapa metode di atas, salah satu metode yang paling efektif adalah
menggunakan prinsip Ray Tracing, yaitu perhitungan garis-garis aktual sebagai
pembentukan muka gelombang pada tiap titik yang berada pada suatu medium
tertentu. Perhitungan garis-garis yang actual atau nyata sebagai pembentukan dari
muka gelombang pada setiap titik di suatu medium tertentu dinamakan ray tracing.
Metode ini banyak menggunakan prinsip-prinsip dalam Hukum Snellius
sebagai syarat batas tiap-tiap lapisan dalam air. Hukum Snellius menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara sudut gelombang yang terbentuk dengan kecepatan
suaranya untuk media yang mempunyai lapisan dengan kecepatan konstan.
Dinyatakan sbb :
𝑐𝑜𝑠𝜃1 𝑐𝑜𝑠𝜃2 𝑐𝑜𝑠𝜃3 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑛
= = =⋯= =𝑎
𝐶1 𝐶2 𝐶4 𝐶𝑛
dimana c1 ,c2 dan c3 adalah kecepatan akustik pada tiga lapisan medium.
𝜃1 , 𝜃2 , dan 𝜃3 adalah susut inklinasi dari ray akustik. Dan a merupakan sebuah
konstanta.
Persamaannya dapat ditulis :

𝜆1 𝜆2 𝜆2 𝜆3
𝐴𝐵 = = dan B𝐶 = =
𝐶𝑂𝑆𝜃1 𝐶𝑂𝑆𝜃2 𝐶𝑂𝑆𝜃2 𝐶𝑂𝑆𝜃3

𝐶1 𝐶2 𝐶3
dimana 𝜆1 = , 𝜆2 = , dan 𝜆3 = sehingga hukum Snellius dapat ditulis :
𝑓 𝑓 𝑓

8
𝑪𝟏 𝑪𝟐 𝑪
𝟐 𝑪𝟑
= dan 𝑪𝑶𝑺𝜽 =
𝑪𝑶𝑺𝜽𝟏 𝑪𝑶𝑺𝜽𝟐 𝟐 𝑪𝑶𝑺𝜽𝟑

Kecepatan suara di perairan / lautan bergantung pada kondisi fisik perairan


itu sendiri, seperti temperatur (T), salinitas (S) dan kedalaman perairan (z).
Dapat ditulis sebagai : c = c (T,S,z). Dengan perubahan kecepatan untuk elemen
𝜕𝐶 𝜕𝐶 𝜕𝐶
yang cukup kecil dapat dinyatakan sebagai : 𝑑𝑐 = 𝑑𝑇 + 𝑑𝑆 + 𝜕𝑍 𝑑𝑍
𝜕𝑇 𝜕𝑆

Untuk mencari hubungan antara gradien kecepatan suara dengan trayektori


lintasan ray akustik di dalam air, persamaan dapat ditulis dalam bentuk :

𝐶0 𝐶
𝐶0 𝑐𝑜𝑠𝜃 = 𝐶 𝑐𝑜𝑠𝜃0 𝑎𝑡𝑎𝑢 =
𝑐𝑜𝑠𝜃0 𝑐𝑜𝑠𝜃
𝑑𝜃 𝑑𝐶 𝑑𝐶 𝑑𝐶
−𝐶0 𝑠𝑖𝑛𝜃 = 𝑐𝑜𝑠𝜃0 𝑎𝑡𝑎𝑢 = −𝑎
𝑑𝑍 𝑑𝑍 𝑑𝑆 𝑑𝑍

dimana 𝜃0 adalah sudut awal lintasan dan 𝐶0 merupakan kecepatan awal pada
𝑑𝑧
sumber (source) pada kedalaman (z) tertentu. Dimana : 𝑑𝑠 = merupakan
𝑠𝑖𝑛𝜃

elemen dari panjang lintasan ray seperti yang terlihat pada berikut :

𝑐𝑜𝑠𝜃(𝑍)
= 𝑎 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑐𝑜𝑠𝜃(𝑍) = 𝑎𝑐 (𝑍)
𝐶(𝑍)
maka 𝑠𝑖𝑛𝜃(𝑍) = √1 − (𝑎𝑐(𝑧))2
𝑎𝑐(𝑧)
𝑑𝑥 = 𝑑𝑧 𝑐𝑜𝑡𝑎𝑛𝜃 = 𝑑𝑧
√1 − (𝑎𝑐(𝑧))2
𝑍2 𝑍2
𝑎𝑐(𝑧) 𝑑𝑧
𝑋2 − 𝑋1 = ∫ 𝑑𝑧 = ∫
𝑍1 √1 − (𝑎𝑐(𝑧))2 𝑍1 tan 𝜃
𝑍3 𝑍3
𝑎𝑐(𝑧) 𝑑𝑧
𝑋3 − 𝑋2 = ∫ 𝑑𝑧 = ∫
𝑍2 √1 − (𝑎𝑐(𝑧))2 𝑍2 tan 𝜃

Mencari panjang lintasan ray yaitu :

𝑍2 𝑍2
𝑑𝑧 𝑑𝑧
𝑆2 − 𝑆1 = ∫ 𝑑𝑧 = ∫
𝑍1 √1 − (𝑎𝑐(𝑧))2 𝑍1 sin 𝜃
𝑍3 𝑍3
𝑑𝑧 𝑑𝑧
𝑆3 − 𝑆2 = ∫ 𝑑𝑧 = ∫
𝑍2 √1 − (𝑎𝑐(𝑧))2 𝑍2 sin 𝜃

9
Untuk mencari waktu yang diperlukan untuk panjang lintasan ray diperoleh
𝑑𝑠
dari hubungan seperti pada persamaan berikut : 𝑑𝑡 = 𝑐(𝑧)

𝑍 𝑑𝑧 𝑍 𝑑𝑧
maka, 𝑡2 − 𝑡1 = ∫𝑍 2 𝑑𝑧 = ∫𝑍 2 c sin 𝜃
𝑐√1−(𝑎𝑐(𝑧))21 1

𝑍3 𝑍3
𝑑𝑧 𝑑𝑧
𝑡3 − 𝑡2 = ∫ 𝑑𝑧 = ∫
𝑍2 𝑐√1 − (𝑎𝑐(𝑧))2 𝑍2 c sin 𝜃

Radius dari lintasan tersebut adalah R dan perbedaan kedalaman dari titik A
– B dan titik B - C dinyatakan dengan z, sehingga:

∆𝑧 = 𝑅(𝑐𝑜𝑠𝜃2 − cos 𝜃1 )
Kecepatan akustik dalam berpropagasi dari titik A ke B dapat dinyatakan
sebagai berikut :

𝐶2 = 𝐶1 + 𝑔𝐴𝐵 . ∆𝑧𝐴𝐵 dan 𝐶3 = 𝐶2 + 𝑔𝐵𝐶 . ∆𝑧𝐵𝐶


dimana 𝑔 adalah gradien kecepatan :

𝑑𝑐(𝑧𝐴𝐵 ) 𝐶2 − 𝐶1 𝑑𝑐(𝑧𝐵𝐶 ) 𝐶3 − 𝐶2
𝑔𝐴𝐵 = = dan 𝑔𝐵𝐶 = =
𝑑𝑧𝐴𝐵 𝑍2 − 𝑍2 𝑑𝑧𝐵𝐶 𝑍3 − 𝑍2

𝑐𝑜𝑠𝜃2 1
maka di dapat : = cos 𝜃2
𝐶2 𝐶0

Radius lintasannya dapat dihitung dengan persamaan :

𝐶2 − 𝐶1 𝐶1 𝐶3 − 𝐶2 𝐶2
𝑅𝐴𝐵 = 𝐶 = dan 𝑅𝐵𝐶 = 𝐶 =
𝑔𝐴𝐵 cos 𝜃1 ( 2 −1) 𝑔𝐴𝐵 cos 𝜃1 𝑔𝐵𝐶 cos 𝜃2 ( 3 −1) 𝑔𝐵𝐶 cos 𝜃2
𝐶1 𝐶2

didapat : ∆𝑥 = 𝑥2 − 𝑥1 = 𝑅 (sin 𝜃1 = sin 𝜃1 )

Dan panjang lintasan ray :

∆𝑥𝐴𝐵 = 𝑥2 − 𝑥1 = 𝑅 (sin 𝜃1 = sin 𝜃1 ) 𝑑𝑎𝑛 ∆𝑥𝐵𝐶 = 𝑥3 − 𝑥2 =


𝑅 (sin 𝜃2 = sin 𝜃2 )
∆𝑠𝐴𝐵 = 𝑆2 − 𝑆1 = 𝑅 ( 𝜃2 − 𝜃1 ) dan ∆𝑠𝐵𝐶 = 𝑆3 − 𝑆2 = 𝑅 ( 𝜃3 − 𝜃2 )

Gradien dinyatakan positif bila kecepatan bertambah seiring pertambahan


kedalaman.

10
Untuk arah perambatan gelombang suara adalah ke atas maka gradien
positif radius ray positif. Sebaliknya jika gradien negatif maka radius ray menjadi
negatif dan arah perambatan gelombang suara adalah ke bawah.
Daerah yang tidak terdapat satupun lintasan ray yang melintas disebut
shadow zone. Shadow zone merupakan daerah yang tidak memiliki intensitas suara
atau intensitas suara sama dengan nol (zero intensity).
2.3. Persamaan Profil Kecepatan Suara di Laut
Kecepatan suara dari permukaan sampai dasar laut sangat bervariasi dan
tidak bisa diabaikan. Secara empirik kecepatan suara c merupakan fungsi dari
temperatur T, salinitas S dan kedalaman z. Kecepatan suara ini bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Variasi kecepatan suara terhadap kedalaman dinamakan
Sound Velocity Profile (SVP).
Berikut ini adalah tiga persamaan empiris kecepatan suara yang dikutip dari
Urick, Robert J.,Principles Of Underwater Sound 3rd Edition, New York, 1983 :
1. Persamaan empiris Leroy :
c = 1492.9 + 3(T-10) – 6  10-3(T-10) 2 – 4  10-2(T-18) 2 + 1.2(S-35) – 10-2(T-
18) (S- 35) + z/61
Dengan kriteria : -2 < T < 24.50C ; 30 < S < 42 0/00 ; 0 < z < 1000 m
2. Persamaan empiris Medwin :
c = 1449.92 + 4.6T – 5.5  10-2 T2 + 2.9  10-4 T3 + (1.34  10-2 T) (S - 35) +
1.6  10-2z
Dengan kriteria : 0 < T < 350C ; 30 < S < 45 0/00 ; 0 < z < 1000 m
3. Persamaan empiris Mackenzie :
c = 1448.96 + 4.6T – 5.304  10-2 T2 + 2.374  10-4 T3 + 1.34(S-35) + 1.630
 10-2 z +1.675  10-7 z2 – 1.025  10-2 T(S-35) –7.139  10-13 T(z3)
Dengan kriteria : 0 < T < 300C ; 30 < S < 40 0/00 ; 0 < z < 8000 m
Dimana :
c = Kecepatan suara (m/s),
T = Temperatur (0C ),
S = Salinitas (parts per thousand / 0/00 ),
z = Kedalaman (meter)

11
2.4. Propagasi Gelombang
Propagasi akustik merupakan transmisi dari suatu energi akustik melalui
suatu media perantara, air adalah salah satu contohnya. Propagasi akustik bawah air
sangat dipengaruhi oleh kondisi kecepatan suara dalam air yang berubah menurut
kedalaman (SVP=Sound Velocity Profile), sejalan dengan berubahnya unsur-unsur
yang mempengaruhi kecepatan suara yaitu temperatur dan kadar salinitas air laut.
Dalam perambatannya gelombang suara mengalami refraksi, refleksi dan
transmisi.
2.5. Refraksi
Refraksi adalah fenomena gelombang dimana gelombang mengalami
perubahan atau pembelokan arah perambatannya yang diakibatkan oleh perbedaan
kecepatan suara di dalam media. Fenomena refraksi dipengaruhi oleh variasi
kecepatan suara, sedangkan kecepatan suara di dalam media laut sangat bergantung
pada salinitas, temperatur air laut dan kedalaman dari perairan.
Pengaruh dari refraksi juga mengakibatkan gelombang suara dapat
terperangkap secara efektif di dalam sebuah saluran (channel) yang merambat pada
sebuah daerah yang kecepatan minimumnya berada pada daerah dimana dasar dari
termoklin bertemu dengan puncak lapisan isothermal . Gelombang suara merambat
dengan membentuk sudut melalui daerah termoklin akan melengkung ke bawah
selama kecepatan suara mengalami penurunan dan akan melengkung ke atas ketika
pertambahan tekanan mengakibatkan pertambahan kecepatan suara, kemudian akan
melengkung ke bawah kembali menuju daerah dimana kecepatan suara mencapai
nilai minimum. Perambatan gelombang suara mampu merambat sampai ribuan
kilometer dengan kehilangan energi yang cukup kecil.
2.6. Refleksi Dan Transmisi
Gelombang suara yang merambat pada suatu media, sebagian dari energi
gelombang suara tersebut akan dipantulkan (direfleksikan) pada saat mencapai
dasar dari media tersebut dan sebagian lainnya ditransmisikan. Fenomena refleksi
dan transmisi pada suatu media dapat dilihat pada gambar dibawah :
Jika sudut yang dibentuk oleh gelombang datang dengan garis normal dari
permukaan didefinisikan sebagai sudut datang atau incident angle (i) dan sudut
antara gelombang pantulan dengan normal permukaan disebut sudut pantul atau

12
angle of reflection (r), maka sifat dari gelombang suara dapat dinyatakan sebagai
berikut. Sudut pantulan (r) akan selalu sama dengan sudut datang (i). Kedua sudut
tersebut didefinisikan terhadap normal permukaan. Gelombang datang dan
gelombang pantul merambat pada suatu media dengan karakteristik akustik
impedansi 𝑍1 = 𝜌1 𝐶1. Dan gelombang yang ditransmisikan mempunyai
karakteristik akustik impedansi 𝑍2 = 𝜌2 𝐶2 . Jika amplitudo tekanan gelombang
datang adalah 𝑃𝑖 dan yang dipantulkan adalah 𝑃𝑟 serta 𝑃𝑡 adalah amplitudo tekanan
gelombang yang ditransmisikan, maka koefisien refleksi Rf dan koefisien Tr adalah
sebagai berikut :

𝑃𝑟 𝑃
𝑅𝑓 = dan 𝑇𝑟 = 𝑃𝑡
𝑃𝑖 𝑖

Syarat yang harus selalu dipenuhi pada perbatasan media adalah tekanan
akustik di kedua sisi di batas media dan partikel kecepatan normal di batas adalah
sama.
Dengan mengasumsikan bahwa batas media berada pada z=0, persamaan
tekanan akustik dinyatakan sebagai berikut :

𝑃𝑖 = 𝑒 𝑗(𝑤𝑡−𝑘1 𝑧𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖 −𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 )


𝑃𝑟 = 𝑅𝑓 . 𝑒 𝑗(𝑤𝑡+𝑘1 𝑧𝑐𝑜𝑠𝜃𝑡 +𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑡 )
𝑃𝑟 = 𝑇𝑟 . 𝑒 𝑗(𝑤𝑡−𝑘2 𝑧𝑐𝑜𝑠𝜃𝑟 −𝑘2 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 )
dimana :
𝜃𝑖 = sudut datang gelombang
𝜃𝑟 = sudut pantul gelombang
𝜃𝑡 = sudut transmisi gelombang
𝜔
𝑘= = konstanta bilangan gelombang
𝑐

𝜔 = kecepatan angular (rad/s)


z = kedalaman (m)

Tekanan akustik pada batas antara kedua medium tersebut (z=0) adalah
sama, begitu juga dengan komponen normal dari kecepatan partikel akan sama pada
kedua sisi. Sehingga diperoleh dua persamaan sebagai berikut :

𝑒 (−𝑗(𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 −𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 )) + 𝑅𝑓 . 𝑒 (−𝑗(𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 −𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 )) = 𝑇𝑟 . 𝑒 (−𝑗(𝑘2 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑡))

13
dan
cos 𝜃𝑖 (−𝑗(𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 )) cos 𝜃𝑟 (−𝑗(𝑘1 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 )) cos 𝜃𝑡 (−𝑗(𝑘2 𝑥𝑠𝑖𝑛𝜃𝑡 ))
𝑒𝑒 − 𝑅𝑓 . 𝑒 𝑒 = 𝑇𝑟 . 𝑒 𝑒
𝑍1 𝑍1 𝑍2

karena sudut datang sama dengan sudut pantul 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 = 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑟 , dan berdasarkan
𝑠𝑖𝑛𝜃𝑖 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑡 
hukum Snellius yang menyatakan : = dimana k  , sehigga diperoleh
𝐶1 𝐶2 c
𝑍1 cos 𝜃𝑡
1 + 𝑅𝑓 = 𝑇𝑟 dan 1 − 𝑅𝑓 = 𝑇𝑟
𝑍2 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖

𝑍 cos 𝜃𝑡
( 2 )−( )
𝑍1 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖
nilai koefisien refleksi Rf : 𝑅𝑓 = 𝑍2 cos 𝜃𝑡
( )+ ( )
𝑍1 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖

𝑍 cos 𝜃𝑡
( 2 )−( )
𝑍1 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖
nilai koefisien transmisi Tr : 𝑇𝑟 = 𝑍2 cos 𝜃𝑡 + 1
( )+ ( )
𝑍1 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑖

14
BAB 3. METODE PENGOLAHAN DATA
3.1. Alur Pengerjaan Final Project

15
3.2. Transducer
Spesifikasi alat yang digunakan pada tugas besar ini adalah Transducer
Model TC2122 dual frekuensi 33 kHz dan 200 kHz dengan spesifikasi sebagai
berikut :

Gambar 1. Spesifikasi Transducer


3.3. Lokasi Pengambilan Data
Peta lokasi pengambilan data akustik

GeoB10044-1 GeoB10054-2

GeoB10061-2

Gambar 2. Stasiun Pengambilan Data

16
BAB 4. HASIL PENGOLAHAN DATA
4.1. Hasil Output Layout data stasiun dari Ocean Data View (ODV)

Gambar 3. Stasiun GeoB10044-1

Gambar 4. Stasiun GeoB10054-2

17
Gambar 5. Stasiun GeoB10061-2
4.2. Persamaan Empiris

18
Gambar 6. Persamaan empiris pada stasiun GeoB10044-1

19
Gambar 7. Persamaan empiris pada stasiun GeoB10054-2

20
Gambar 8. Persamaan empiris pada stasiun GeoB10061-2

Persamaan Empiris nilai c


Kode stasiun
Leroy Medwin Mckenzie
GeoB10044-1 1.2952 1.5363 0.3564
GeoB10054-2 0.4323 0.2428 0.1576
GeoB10061-2 0.7688 0.7544 0.2593

4.3. Polyfit
4.3.1. GeoB10044-1
Polyfit orde ke- Error (%)
15 0.675626260704351
22 0.279734189202126
26 0.268398999605164

21
Grafik Perbandingan Error Orde 15, 22, 26
0.8

0.7

0.6

0.5

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 5 10 15 20 25 30

22
23
Gambar 9. Polyfit pada stasiun GeoB10044-1
4.3.2. GeoB10054-2
Polyfit orde ke- Error (%)
15 0.266904103771007
22 0.170178936951651
26 0.147836747927608

24
Grafik Perbandingan Error Orde 15,
22, 26
0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0
0 5 10 15 20 25 30

25
Gambar 10. Polyfit pada stasiun GeoB10054-2

26
4.3.3. GeoB10061-2
Polyfit orde ke- Error (%)
15 0.190114553580296
22 0.100634640678155
26 0.0988603940030625

Grafik Perbandingan Error Orde 15, 22,


26
0.2
0.18
0.16
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 5 10 15 20 25 30

27
Gambar 11. Polyfit pada stasiun GeoB10061-2

28
4.4. Hasil Ray Tracing
Analisa gelombang akustik pada tugas ini dilakukan pada beberapa
kedalaman berdasarkan 3 zona, yaitu zona mixed layer (0-50m), thermocline (50-
200m), dan isotherm/deep sea (200-3000m)

4.4.1. Ray Tracing pada stasiun GeoB10044-1


Kedalaman 50

Kedalaman 250

Kedalaman 750

29
4.4.2. Ray Tracing pada stasiun GeoB10054-2
Kedalaman 50

Kedalaman 150

Kedalaman 750

30
4.4.3. Ray Tracing pada stasiun GeoB10061-2
Kedalaman 50

Kedalaman 500

Kedalaman 1200

4.5. Modes
4.5.1. GeoB10044-1
4.5.2. GeoB10053-2
4.5.3. GeoB10062-2
4.6. Time series dan detrend

31
LAMPIRAN
Script Pada Matlab yang Digunakan

1. Script Polyfit Error

clear all
close all

% Baca EXCEL File


% A = Kedalaman, D (m) dan Sound Speed, C (m/s)

[A,B] = XLSREAD('data_KS_SONNE05_selatan_jawa_GeoB10061-2');

D = A(:,1); % Kedalaman, D (m)


C = A(:,2); % Sound Speed, C (m/s)
T = A(:,3); %Temperature
S = A(:,4); %Salinity

% Polyfit (P(1)X^N + P(2)X^(N-1) + .......


% Orde N=6
% Polyfit Data dgn Persamaan Pangkat N
% CN = Sound Speed (m/s) dari Polyfit orde N
%% temperature
%[P,TE] = POLYFIT(D,T,13);
%T13 =
P(1)*D.^13+P(2)*D.^12+P(3)*D.^11+P(4)*D.^10+P(5)*D.^9+P(6)*D.^8+P(
7)*D.^7+P(8)*D.^6+P(9)*D.^5+P(10)*D.^4+P(11)*D.^3+P(12)*D.^2+P(13)
*D.^1+P(14)*D.^0;
%save Comnom13GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,TE] = POLYFIT(D,T,15);
T15 =
P(1)*D.^15+P(2)*D.^14+P(3)*D.^13+P(4)*D.^12+P(5)*D.^11+P(6)*D.^10+
P(7)*D.^9+P(8)*D.^8+P(9)*D.^7+P(10)*D.^6+P(11)*D.^5+P(12)*D.^4+P(1
3)*D.^3+P(14)*D.^2+P(15)*D.^1+P(16)*D.^0;
%save C14GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,TE] = POLYFIT(D,T,22);
T22 =
P(1)*D.^22+P(2)*D.^21+P(3)*D.^20+P(4)*D.^19+P(5)*D.^18+P(6)*D.^17+
P(7)*D.^16+P(8)*D.^15+P(9)*D.^14+P(10)*D.^13+P(11)*D.^12+P(12)*D.^
11+P(13)*D.^10+P(14)*D.^9+P(15)*D.^8+P(16)*D.^7+P(17)*D.^6+P(18)*D
.^5+P(19)*D.^4+P(20)*D.^3+P(21)*D.^2+P(22)*D.^1+P(23)*D.^0;
%save C21GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,TE] = POLYFIT(D,T,26);
T26 =
P(1)*D.^26+P(2)*D.^25+P(3)*D.^24+P(4)*D.^23+P(5)*D.^22+P(6)*D.^21+
P(7)*D.^20+P(8)*D.^19+P(9)*D.^18+P(10)*D.^17+P(11)*D.^16+P(12)*D.^
15+P(13)*D.^14+P(14)*D.^13+P(15)*D.^12+P(16)*D.^11+P(17)*D.^10+P(1
8)*D.^9+P(19)*D.^8+P(20)*D.^7+P(21)*D.^6+P(22)*D.^5+P(23)*D.^4+P(2
4)*D.^3+P(25)*D.^2+P(26)*D.^1+P(27)*D.^0;
save T25GeoB1005612.txt P -ASCII

plot(T,D,'o',T26,D,'r',T22,D,'g',T15,D,'k')
% figure(1)
% subplot(1,2,1), plot(C,D,'o',C6,D,'k')

axis ij

32
xlabel('Temperature, T (celcius)')
ylabel('Depth, D (m)')
legend('Data','N=26','N=22','N=15',4)
saveas(gcf,'Polyfit Temperature GeoB100612.png')

% dtdz =
26*P(1)*D.^25+25*P(2)*D.^24+24*P(3)*D.^23+23*P(4)*D.^22+22*P(5)*D.
^21+21*P(6)*D.^20+20*P(7)*D.^19+19*P(8)*D.^18+18*P(9)*D.^17+17*P(1
0)*D.^16+16*P(11)*D.^15+15*P(12)*D.^14+14*P(13)*D.^13+13*P(14)*D.^
12+12*P(15)*D.^11+11*P(16)*D.^10+10*P(17)*D.^9+9*P(18)*D.^8+8*P(19
)*D.^7+7*P(20)*D.^6+6*P(21)*D.^5+5*P(22)*D.^4+4*P(23)*D.^3+3*P(24)
*D.^2+2P(25)*D.^1+P(26)*D.^0;
%save ('T_21GeoB100441.txt','P','-ASCII')
%save ('Temperature2.txt','dtdz','-ASCII')
save ('Depth GeoB100612.txt','D','-ASCII')

%% salinity
[s,ES] = POLYFIT(D,S,15);
S15 =
s(1)*D.^15+s(2)*D.^14+s(3)*D.^13+s(4)*D.^12+s(5)*D.^11+s(6)*D.^10+
s(7)*D.^9+s(8)*D.^8+s(9)*D.^7+s(10)*D.^6+s(11)*D.^5+s(12)*D.^4+s(1
3)*D.^3+s(14)*D.^2+s(15)*D.^1+s(16)*D.^0;
%save C14GeoB10062-2.txt s -ASCII
[s,ES] = POLYFIT(D,S,22);
S22 =
s(1)*D.^22+s(2)*D.^21+s(3)*D.^20+s(4)*D.^19+s(5)*D.^18+s(6)*D.^17+
s(7)*D.^16+s(8)*D.^15+s(9)*D.^14+s(10)*D.^13+s(11)*D.^12+s(12)*D.^
11+s(13)*D.^10+s(14)*D.^9+s(15)*D.^8+s(16)*D.^7+s(17)*D.^6+s(18)*D
.^5+s(19)*D.^4+s(20)*D.^3+s(21)*D.^2+s(22)*D.^1+s(23)*D.^0;
%save C21GeoB10062-2.txt s -ASCII
[s,ES] = POLYFIT(D,S,26);
S26 =
s(1)*D.^26+s(2)*D.^25+s(3)*D.^24+s(4)*D.^23+s(5)*D.^22+s(6)*D.^21+
s(7)*D.^20+s(8)*D.^19+s(9)*D.^18+s(10)*D.^17+s(11)*D.^16+s(12)*D.^
15+s(13)*D.^14+s(14)*D.^13+s(15)*D.^12+s(16)*D.^11+s(17)*D.^10+s(1
8)*D.^9+s(19)*D.^8+s(20)*D.^7+s(21)*D.^6+s(22)*D.^5+s(23)*D.^4+s(2
4)*D.^3+s(25)*D.^2+s(26)*D.^1+s(27)*D.^0;
save S25GeoB100612.txt P -ASCII

% Plot C1 vs d
figure(2)
plot(S,D,'o',S26,D,'r',S22,D,'g',S15,D,'k')
% figure(1)
% subplot(1,2,1), plot(C,D,'o',C6,D,'k')

axis ij
xlabel('Salinity, S (psu)')
ylabel('Depth, D (m)')
legend('Data','N=26','N=22','N=15',4)
saveas(gcf,'Polyfit Salinity GeoB100612.png')

% dsdz =
26*P(1)*D.^25+25*P(2)*D.^24+24*P(3)*D.^23+23*P(4)*D.^22+22*P(5)*D.
^21+21*P(6)*D.^20+20*P(7)*D.^19+19*P(8)*D.^18+18*P(9)*D.^17+17*P(1
0)*D.^16+16*P(11)*D.^15+15*P(12)*D.^14+14*P(13)*D.^13+13*P(14)*D.^
12+12*P(15)*D.^11+11*P(16)*D.^10+10*P(17)*D.^9+9*P(18)*D.^8+8*P(19

33
)*D.^7+7*P(20)*D.^6+6*P(21)*D.^5+5*P(22)*D.^4+4*P(23)*D.^3+3*P(24)
*D.^2+2P(25)*D.^1+P(26)*D.^0;
save dsdz25GeoB100612.txt P -ASCII
%% soundspeed
% [P,S] = POLYFIT(D,C,13);
% C13 =
P(1)*D.^13+P(2)*D.^12+P(3)*D.^11+P(4)*D.^10+P(5)*D.^9+P(6)*D.^8+P(
7)*D.^7+P(8)*D.^6+P(9)*D.^5+P(10)*D.^4+P(11)*D.^3+P(12)*D.^2+P(13)
*D.^1+P(14)*D.^0;
%save Comnom13GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,S] = POLYFIT(D,C,15);
C15 =
P(1)*D.^15+P(2)*D.^14+P(3)*D.^13+P(4)*D.^12+P(5)*D.^11+P(6)*D.^10+
P(7)*D.^9+P(8)*D.^8+P(9)*D.^7+P(10)*D.^6+P(11)*D.^5+P(12)*D.^4+P(1
3)*D.^3+P(14)*D.^2+P(15)*D.^1+P(16)*D.^0;
%save C14GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,S] = POLYFIT(D,C,22);
C22 =
P(1)*D.^22+P(2)*D.^21+P(3)*D.^20+P(4)*D.^19+P(5)*D.^18+P(6)*D.^17+
P(7)*D.^16+P(8)*D.^15+P(9)*D.^14+P(10)*D.^13+P(11)*D.^12+P(12)*D.^
11+P(13)*D.^10+P(14)*D.^9+P(15)*D.^8+P(16)*D.^7+P(17)*D.^6+P(18)*D
.^5+P(19)*D.^4+P(20)*D.^3+P(21)*D.^2+P(22)*D.^1+P(23)*D.^0;
%save C21GeoB10062-2.txt P -ASCII
[P,S] = POLYFIT(D,C,26);
C26 =
P(1)*D.^26+P(2)*D.^25+P(3)*D.^24+P(4)*D.^23+P(5)*D.^22+P(6)*D.^21+
P(7)*D.^20+P(8)*D.^19+P(9)*D.^18+P(10)*D.^17+P(11)*D.^16+P(12)*D.^
15+P(13)*D.^14+P(14)*D.^13+P(15)*D.^12+P(16)*D.^11+P(17)*D.^10+P(1
8)*D.^9+P(19)*D.^8+P(20)*D.^7+P(21)*D.^6+P(22)*D.^5+P(23)*D.^4+P(2
4)*D.^3+P(25)*D.^2+P(26)*D.^1+P(27)*D.^0;
save C25GeoB100612.txt P -ASCII
% Plot C1 vs d

% plot(C,D,'o',C13,D,'r',C14,D,'g',C21,D,'k')
% % figure(1)
% % subplot(1,2,1), plot(C,D,'o',C6,D,'k')
%
% axis ij
% xlabel('Sound Speed, C (m/s)')
% ylabel('Depth, D (m)')
% legend('Data','N=13','N=14','N=21',4)

figure(3)
plot(C,D,'o',C26,D,'r',C22,D,'g',C15,D,'k')
axis ij
xlabel('Sound Speed, C (m/s)')
ylabel('Depth, D (m)')
legend('Data','N=26','N=22','N=15',4)
saveas(gcf,'Polyfit Soundspeed GeoB100612.png')

%% error

J=prod(numel(C)); % jumlah data


e_C15 = sum(abs(C15 - C).^2)/J;
e_C22 = sum(abs(C22 - C).^2)/J;
e_C26 = sum(abs(C26 - C).^2)/J;
x=[15,22,26];
e=[e_C15,e_C22,e_C26];

34
figure (4)
plot(x,e);
xlabel('Orde polyfit')
ylabel('Error (%)')
saveas(gcf,'Polyfit Error GeoB100612.png')

2. Script Empiris

clear all
close all

% Baca EXCEL File


% A = Kedalaman, D (m), Sound Speed C (m/s), Temperatur T (deg C)
dan Salinitas S (ppt)

[A,B] = XLSREAD('data_KS_SONNE05_selatan_jawa_GeoB10061-2');

D = A(:,1); % Kedalaman, D (m)


C = A(:,2); % Kec Suara, C (m/s)
T = A(:,3); % Temperatur, T (deg C)
S = A(:,4); % Salinitas, S (ppt)

% Rumus Empiris

C_Leroy = 1492.2 + 3*T - 30 - 6e-3*(T-10).^2 - 4e-2*(T-18).^2 +


1.2*(S-35) - 1e-2*(T-18).*(S-35) + D/61;
C_Medwin = 1449.2 + 4.6*T - 5.5e-2*T.^2 + 2.9e-4*T.^3 + (1.34 -
1e-2*T).*(S-35) + 1.6e-2*D;
C_Mckenzie = 1448.96 + 4.591*T - 5.304e-2*T.^2 + 2.374e-4*T.^3
+ 1.34*(S-35) + 1.630e-2*D + 1.675e-7*D.^2 - 1.025e-2*T.*(S-35) -
7.139e-13*T.*(D.^3);

% Plot T vs D

% figure
subplot(1,3,1), plot(T,D)
axis ij
xlabel('Temperatur, T (^oC)')
ylabel('Depth, D (m)')

% Plot S vs D

%figure
subplot(1,3,2),plot(S,D)
axis ij
xlabel('Salinitas, S (ppt)')
ylabel('Depth, D (m)')

% Plot C vs D

% figure

subplot(1,3,3),plot(C,D,'k',C_Leroy,D,'r',C_Medwin,D,'g',C_Mckenzi
e,D,'b')
axis ij

35
xlabel('Sound Speed, C (m/s)')
ylabel('Depth, D (m)')
% legend('Data','Medwin')
legend('Data','Leroy','Medwin','Mckenzie')

figure(2)
plot(C,D,'k',C_Leroy,D,'r',C_Medwin,D,'g',C_Mckenzie,D,'b')
axis ij
xlabel('Sound Speed, C (m/s)')
ylabel('Depth, D (m)')
legend('Data','Leroy','Medwin','Mckenzie')

N=length(C);
errorleroy=sqrt(1/N*sum((C_Leroy-C).^2))
errormedwin=sqrt(1/N*sum((C_Medwin-C).^2))
errormckenzie=sqrt(1/N*sum((C_Mckenzie-C).^2))

% J=prod(numel(C)); % jumlah data


% e_leroy = sum(abs(C_Leroy - C).^2)/J;
% e_medwin = sum(abs(C_Medwin - C).^2)/J;
% e_mckenzie = sum(abs(C_Mckenzie - C).^2)/J;
% %x=[];
% e=[e_leroy,e_medwin,e_mckenzie];
%
% figure (4)
% plot(e);
% xlabel('Pendekatan Empiris')
% ylabel('Error (%)')

3. Script RAYF yang dibaca oleh RAYS

function xdot = f( s, x )

% Munk sound speed profile

%eps = 0.00737;
c0 = 1500;
D = x( 2 );
%xt = 2 * ( z - 1300 ) / 1300;

P = load('T25GeoB100612.txt');
s = load('S25GeoB100612.txt');

%Polyfit data Temperature


T =
P(1)*D.^26+P(2)*D.^25+P(3)*D.^24+P(4)*D.^23+P(5)*D.^22+P(6)*D.^21+
P(7)*D.^20+P(8)*D.^19+P(9)*D.^18+P(10)*D.^17+P(11)*D.^16+P(12)*D.^
15+P(13)*D.^14+P(14)*D.^13+P(15)*D.^12+P(16)*D.^11+P(17)*D.^10+P(1
8)*D.^9+P(19)*D.^8+P(20)*D.^7+P(21)*D.^6+P(22)*D.^5+P(23)*D.^4+P(2
4)*D.^3+P(25)*D.^2+P(26)*D.^1+P(27)*D.^0;
%Turunan Temperature
dtdz =
26*P(1)*D.^25+25*P(2)*D.^24+24*P(3)*D.^23+23*P(4)*D.^22+22*P(5)*D.
^21+21*P(6)*D.^20+20*P(7)*D.^19+19*P(8)*D.^18+18*P(9)*D.^17+17*P(1
0)*D.^16+16*P(11)*D.^15+15*P(12)*D.^14+14*P(13)*D.^13+13*P(14)*D.^
12+12*P(15)*D.^11+11*P(16)*D.^10+10*P(17)*D.^9+9*P(18)*D.^8+8*P(19

36
)*D.^7+7*P(20)*D.^6+6*P(21)*D.^5+5*P(22)*D.^4+4*P(23)*D.^3+3*P(24)
*D.^2+2*P(25)*D.^1+P(26)*D.^0;
%Polyfit data Salinitas
S =
s(1)*D.^26+s(2)*D.^25+s(3)*D.^24+s(4)*D.^23+s(5)*D.^22+s(6)*D.^21+
s(7)*D.^20+s(8)*D.^19+s(9)*D.^18+s(10)*D.^17+s(11)*D.^16+s(12)*D.^
15+s(13)*D.^14+s(14)*D.^13+s(15)*D.^12+s(16)*D.^11+s(17)*D.^10+s(1
8)*D.^9+s(19)*D.^8+s(20)*D.^7+s(21)*D.^6+s(22)*D.^5+s(23)*D.^4+s(2
4)*D.^3+s(25)*D.^2+s(26)*D.^1+s(27)*D.^0;
%Turunan Salinitas
dsdz =
26*s(1)*D.^25+25*s(2)*D.^24+24*s(3)*D.^23+23*s(4)*D.^22+22*s(5)*D.
^21+21*s(6)*D.^20+20*s(7)*D.^19+19*s(8)*D.^18+18*s(9)*D.^17+17*s(1
0)*D.^16+16*s(11)*D.^15+15*s(12)*D.^14+14*s(13)*D.^13+13*s(14)*D.^
12+12*s(15)*D.^11+11*s(16)*D.^10+10*s(17)*D.^9+9*s(18)*D.^8+8*s(19
)*D.^7+7*s(20)*D.^6+6*s(21)*D.^5+5*s(22)*D.^4+4*s(23)*D.^3+3*s(24)
*D.^2+2*s(25)*D.^1+s(26)*D.^0;
%~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~
% Persamaan Sound Speed

c = 1449.2 + 4.6*T - 5.5e-2*T.^2 + 2.9e-4*T.^3 + (1.34 - 1e-


2*T).*(S-35) + 1.6e-2*D;
%dcdz = (4.6.*dtdz)-(2*5.5e-2)*(T.*dtdz)+(3*2.9e-
4)*((T.^2).*dtdz)+(1.34-1e-2.*T).*dsdz+1.6e-2
c2 = c^2;

% we also need derivatives of sound speed

%dxtdz = 2 / 1300;
cz= (4.6.*dtdz)-(2*5.5e-2)*(T.*dtdz)+(3*2.9e-
4)*((T.^2).*dtdz)+(1.34-1e-2.*T).*dsdz+1.6e-2;
cr = 0;

% here's the RHS

xdot = zeros( 4, 1 );

xdot( 1 ) = c * x( 3 );
xdot( 2 ) = c * x( 4 );
xdot( 3 ) = -cr / c2;
xdot( 4 ) = -cz / c2;

4. Script RAYS

clear all
close all
clc

[A,B] = XLSREAD('data_KS_SONNE05_selatan_jawa_GeoB10061-2','612');

D = A(:,1); % Kedalaman, D (m)


C = A(:,2); % Sound Speed, C (m/s)

subplot(1,2,1), plot(C,D)

37
xlabel('C (m/s)')
ylabel('Depth (m)')
grid
axis ij
% eps = 0.00737;
% cd = 1250;
% z = 0:1:3330.79;
% xt = 2 * ( z - 1300 ) / 1300;
% c = cd * ( 1 + eps * ( xt - 1 + exp( -xt ) ) );
% c = 1449.2 + 4.6*T - 5.5e-2*T.^2 + 2.9e-4*T.^3 + (1.34 - 1e-
2*T).*(S-35) + 1.6e-2*z;
% c2 = c^2;

% ******************************************************
% Rays
% ******************************************************

% The equations we're solving are:


% r' = c rho
% z' = c zeta
% rho' = -c_r / c2
% zeta' = -c_z / c2
% clear all
% close all
% z = 0:1:3330.79;
send = 100000; % arclength for rays
ntheta = 50; % number of rays
theta = pi / 180 * linspace( -9.5,9.5, ntheta );

zs = 1100; % source depth

%~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
P = load('T25GeoB100612.txt');
s = load('S25GeoB100612.txt');

%Polyfit data Temperature


T =
P(1)*zs.^20+P(2)*zs.^19+P(3)*zs.^18+P(4)*zs.^17+P(5)*zs.^16+P(6)*z
s.^15+P(7)*zs.^14+P(8)*zs.^13+P(9)*zs.^12+P(10)*zs.^11+P(11)*zs.^1
0+P(12)*zs.^9+P(13)*zs.^8+P(14)*zs.^7+P(15)*zs.^6+P(16)*zs.^5+P(17
)*zs.^4+P(18)*zs.^3+P(19)*zs.^2+P(20)*zs.^1+P(21)*zs.^0;
%Polyfit data Salinitas
S =
s(1)*zs.^20+s(2)*zs.^19+s(3)*zs.^18+s(4)*zs.^17+s(5)*zs.^16+s(6)*z
s.^15+s(7)*zs.^14+s(8)*zs.^13+s(9)*zs.^12+s(10)*zs.^11+s(11)*zs.^1
0+s(12)*zs.^9+s(13)*zs.^8+s(14)*zs.^7+s(15)*zs.^6+s(16)*zs.^5+s(17
)*zs.^4+s(18)*zs.^3+s(19)*zs.^2+s(20)*zs.^1+s(21)*zs.^0;

%~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~
% Persamaan Sound Speed

% c = 1449.2 + 4.6*T - 5.5e-2*T.^2 + 2.9e-4*T.^3 + (1.34 - 1e-


2*T).*(S-35) + 1.6e-2*z;

38
c0 = 1449.2 + 4.6*T - 5.5e-2*T.^2 + 2.9e-4*T.^3 + (1.34 - 1e-
2*T).*(S-35) + 1.6e-2*zs; % sound speed at source depth
% subplot(1,2,1), plot(c,z)
% xlabel('C (m/s)')
% ylabel('Depth (m)')
% grid
% axis ij

%~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
~~~~~~~~~

for ith = 1:ntheta % loop over take-off angle

% ray initial condition:


x0 = [ 0.0 zs cos( theta( ith ) ) / c0 sin( theta( ith )
) / c0 ];

% now solve the DE to trace the ray


[ s, x ] = ode45( 'RAYF_modif', [0.0 send], x0 );

% plot( x( : , 1 ), abs(x( : , 2 ) ));


subplot(1,2,2), plot( x( : , 1 ), abs(x( : , 2 ) ));
hold on; % hold the old rays on screen when plotting new rays
end
hold off;

% label the plot

xlabel( 'Range (m)' )


ylabel( 'Depth (m)' )
grid
%axis([0 20000 0 140])
view( 0, -90 ); % flip plot so that z-axis is pointing down

%figure

39

Вам также может понравиться