Вы находитесь на странице: 1из 24

6 Tinjauan Pustaka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Jaringan jalan dalam UU 22 tahun 2009 (Sekretariat Negara, 2009) adalah
serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Aksesibilitas menurut Black (1981) adalah suatu ukuran kenyamanan atau
kemudahan lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain, dan mudah atau
sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi.
Simpul lalu lintas dalam UU 22 tahun 2009 (Sekretariat Negara, 2009) adalah
tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang
berupa terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan
danau, dan/atau bandar udara.
Terminal dalam UU 22 tahun 2009 (Sekretariat Negara, 2009) adalah
pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur
kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau
barang, serta perpindahan moda angkutan.
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam UU 22 tahun 2009
(Sekretariat Negara, 2009) adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan
Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu
Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan
pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
Angkutan dalam UU 22 tahun 2009 (Sekretariat Negara, 2009) adalah
perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.

B. Pengertian Organisasi
a. “Organization as the process of dividing up work or arranging personal
to handle the work of the enterprise” artinya organisasi adalah sebagai
proses pembagian tugas, mengatur pegawai-pegawai untuk memikul
tugas atau pekerjaan dari suatu badan usaha(Yoseph Kingsbury &Robert

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


7 Tinjauan Pustaka

Wilcox 1961).
b. “Organization is the act or process of bringing together or arranging the
related groups of the agency into a working whole” artinya organisasi
merupakan suatu kegiatan atau suatu proses menghimpun atau mengatur
kelomok-kelompok yang saling mengadakan hubungan dari unit
perwakilan ke dalam suatu pekerjaan yang menyeluruh (Harleigh B.
Trecker 1950).

C. Pengertian Pelayanan
Pengertian pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi
dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin
secara fisik dan menyediakan kepuasan pelanggan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan
orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus)
apa yang diperlukan orang lain. Servis berasal dari orang-orang bukan
perusahaan. Tanpa memberi nilai pada diri sendiri, tidak akan member nilai
apa-apa. Demikian halnya pada organisasi atau perusahaan yang esensial
merupakan kumpulan orang-orang.Oleh karena itu harga diri yang tertinggi.

Dalam Bahasa Indonesia istilah pelayanan publik (public service) dianggap


memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan
masyarakat.Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara
interchangeable, dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar.

Sementara istilah pelayanan publik yang berasal dari bahasa inggris (public),
terdapat beberapa pengertian yang memiliki variasi arti dalam bahasa
Indonesia yaitu umum masyarakat, dan Negara. Publik dalam pengertian
umum atau masyarakat dapat ditemukan dalam istilah public offering
(penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility
(perusahaan umum), public relation (hubungan masyarakat), Public service
(pelayanan masyarakat).Public interest (kepentingan umum) dll.Sedangkan
dalam pengertian Negara salah satunya adalah public authorities (otoritas

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


8 Tinjauan Pustaka

negara), public building (bangunan negara), public revenew (penerimaan


negara) public sector (sektor negara).Dalam hal ini pelayanan publik
menunjukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau
umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan
publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengar pengertian masyarakat.
Nurcholishdalam buku Perencanaan Partisipatif Pemerintah Daerah
(2005:178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang
mempunyai kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan
yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

Selanjutnya dalam Oxford (2000) menjelaskan pengertian public service


sebagai “a service such as transport or health care that a gaverment or an
official organization provides for people in general in a particular society”.
Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus
diemban pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah.Fungsi ini juga
diemban oleh Badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah
(BUMN/BUMD) dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau
barang publik.

Dalam konsep pelayanan dikenal dua jenis pelaku pelayanan yaitu penyedia
layanan dan penerima layanan.Penyedia layanan atau service provider
(Barata, 2003:11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu
kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan
penyerahan barang atau jasa-jasa (service).Penerima layanan atau service
reciver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (customer) yang
menerima layanan dari para penyedia layanan.

Adapun berdasarkan status keterlibatan dengan pihak yang melayani terdapat


2 (dua) golongan pelanggan yaitu:
a. Pelanggan internal yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses
penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,
pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang,

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


9 Tinjauan Pustaka

penjualan dan pengadministrasiannya.


b. Pelanggan eksternal yaitu semua orang yang berada diluar organisasi
yang menerima layanan penyerahan barang/jasa.

Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namum


demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu :
a. Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan
kepercayaannya.
b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup
organisasi.

Sementarakarakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya


dari pelayanan swasta adalah:
a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa dan barang yang tak
nyata. Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan,
ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.
b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan
membentuk sebuah jalinan system pelayanan yang berskala regional,
bahkan nasional. Contohnya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan
bis kota akan bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi
dan kereta api untuk membentuk sistem pelayanan angkutan umum di
Jakarta.
c. Pelanggan internal cukup menonjol sebagai akibat dari tatanan organisasi
pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku
prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal.
Namun situasi nyata dalam hubungan antar lembaga pemerintahan sering
memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
d. Efisiensi dan efektifitas pelayanan akan meningkat seiring dengan
peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi
masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta
masyarakat dalam kegiatan pelayanan.

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


10 Tinjauan Pustaka

e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak


langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengemban
pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan
dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah
mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh
lapisan masyarakat.
f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan
masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara (Menpan)


Nomor: KEP/25/M.PAN/2005, pengertian pelayanan publik adalah segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Nurcholis dalam bukunya Perencanaan Partisipatif Pemerintah


Daerah (2005:180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam
bidang-bidang sebagai berikut :
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Keagamaan
d. Lingkungan, tata kota, kebersihan, sampah, penerangan
e. Rekreasi, : taman, teater, museum, turisme
f. Sosial
g. Perumahan
h. Pemakaman/crematorium
i. Registrasi penduduk : kelahiran, kematian
j. Air minum
k. Legalitas (hukum) seperti KTP, paspor, sertifikat dan lain-lain”.

Dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara


No:63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


11 Tinjauan Pustaka

pelayanan publik, pengelompokkan pelayanan publik secara garis besar


adalah sebagai berikut :
a. Pelayanan administrative
b. Pelayanan barang
c. Pelayanan jasa

Dari berbagi jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh


pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan publik,
persoalan-persoalan tersebut diidentifikasikan Wright (dalam LAN, 2003:16)
sebagai berikut:
a. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output
maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
b. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi
dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input
tidak dapat ditentukkan dengan jelas.
c. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk
apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah
bangkrut.
d. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam
memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah
menghadapi masalah berupa internalities, artinya, organisasi pemerintah
sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat
dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

Dari sisi lain sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa
yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan
penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta.Ada kalanya pemerintah juga
menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect,
dimana pemerintah lebih berperan sebagai competitor pemain pasar lainnya,
perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke
swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama dan mana yang
murni dikerjakan oleh pemerintah.

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


12 Tinjauan Pustaka

Tingkat pelayanan (level of service) dalam transportasi menurut C Jotin


Khisty dan B. Kent Lall (2005 : 215) adalah suatu ukuran kualitatif yang
menjelaskan kondisi-kondisi operasional di dalam suatu aliran lalu lintas dan
persepsi dari pengemudi dan/atau penumpang terhadap kondisi-kondisi
tersebut. Faktor-faktor seperti kecepatan dan waktu tempuh, kebebasan
bermanuver, pemberhentian lalu lintas, dan kemudahan serta kenyamanan
adalah kondisi-kondisi yang mempengaruhi level of service.

Tingkat pelayanan dalam transportasi menurut Ofyar Z. Tamin (2003 : 64),


berkaitan dengan kecepatan operasi atau fasilitas jalan, yang tergantung pada
perbandingan antar arus terhadap kapasitas. Oleh karena itu, tingkat
pelayanan pada suatu jalan tergantung pada arus lalu lintas. Arus lalu lintas
berinteraksi dengan sistem jaringan transportasi. Jika arus lalu lintas
meningkat pada ruas jalan tertentu, waktu tempuh pasti bertambah (karena
kecepatan menurun). Arus maksimum yang dapat melewati suatu ruas jalan
biasa disebut kapasitas ruas jalan. Arus maksimum yang dapat melewati suatu
titik tertentu (biasanya pada persimpangan berlampu lalu lintas) biasa disebut
arus jenuh. Jadi tingkat pelayanan disini pada jenis fasilitas bukan pada
arusnya. Jalan bebas hambatan mempunyai tingkat pelayanan yang tinggi,
sedangkan jalan yang sempit mempunyai tingkat pelayanan yang rendah.

Freddy Rangkuti (2008 : 17) menyatakan bahwa, salah satu cara agar
penjualan jasa satu perusahaan lebih unggul dibandingkan dengan para
pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas dan
bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Tingkat
kepentingan konsumen terhadap jasa yang akan mereka terima dapat dibentuk
berdasarkan pengalaman dan saran yang mereka peroleh. Konsumen memilih
pemberi jasa berdasarkan peringkat kepentingan. Dan setelah menikmati jasa
tersebut mereka cenderung akan membandingkannya dengan yang mereka
harapkan.
Jasa menurut Kotler (1994), Rambat Lupiyoadi dan A. Hamdani, (2008 : 6),

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


13 Tinjauan Pustaka

adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan satu pihak kepada
pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun. Produksi jasa bisa berkaitan dengan produk fisik atau
sebaliknya. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara
bersamaan, dimana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa
mempengaruhi hasil jasa tersebut.

Menurut Goetsh dan Davis (Fandy Tjiptono, 2006 : 51) kualitas merupakan
suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungan yang memenuhi dan melebihi harapan. Sedang
Kualitasmenurut Anang Hidayat (2007 : 207) adalah penyelarasan
produk/jasa/proses terhadap persepsi konsumen tentang nilai-nilai dari
kualitas itu sendiri. Kualitas jasa yang ditawarkan tidak dapat dipisahkan dari
mutu yang menyediakan jasa, menurut istilah Richard Chase (1978 : 137)
disebut “High Contact” (kontak tinggi). Pada usaha jasa yang memakai
banyak tenaga orang, harus diberikan perhatian khusus terhadap mutu
penampilan orang tersebut, (Buchari Alma, 2007 : 251). Jasa sifatnya tidak
berwujud, karena itu konsumen akan memperhatikan benda berwujud yang
memberi layanan, sebagai patokan terhadap kualitas jasa yang ditawarkan.
Misal jasa angkutan bis, dinilai oleh konsumen dari keadaan bis, merk bis,
nama baik bis, kebersihan, dan sebagainya, (Buchari Alma, 2007 : 252).

Kualitas pelayanan jasa menurut Wyckof (Fandy Tjiptono, 2006 : 59) adalah
tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut memenuhi pelanggan. Philip Kotler dan Kevin Lane
Keller (2007 : 207), pelanggan berperilaku guna memaksimumkan nilai.
Mereka membentuk harapan akan nilai dan bertindak berdasarkan harapan
itu. Pembeli akan membeli dari perusahaan yang mereka anggap menawarkan
nilai bagi pelanggan (customer delivered value) tertinggi, yang didefinisikan
sebagai selisih antara nilai pelanggan total dan biaya pelanggan total.

Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2007 : 173-174), nilai yang dipikirkan

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


14 Tinjauan Pustaka

pelanggan (CPV – customer perceived value) adalah selisih antara evaluasi


calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya tawaran tertentu dan
alternatif-alternatif lain yang dipikirkan. Nilai pelanggan total (total customer
value) adalah nilai moneter yang dipikirkan atas sekumpulan manfaat
ekonomis, fungsional, dan psikologis, yang diharapkan oleh pelanggan atas
tawaran pasar tertentu. Biaya pelanggan total (total customer cost) adalah
sekumpulan biaya yang harus dikeluarkan pelanggan untuk mengevaluasi,
mendapatkan, menggunakan, dan membuang tawaran pasar tertentu,
termasuk biaya moneter, waktu, energi, dan psikis.

Kualitas menurut Gabril Amin Silalahi (2005 : 5), adalah “Totalitas


karakteristik kesatuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk memuaskan
kebutuhan yang disampaikan”. Karakteristik yang dimaksudkan diatas adalah
performansi, keandalan, mudah dalam penggunaan, estetika, dan pelayanan,
dan mudah dioperasikan dan direparasi. Definisi diatas mempertahankan
mutu dari segi nilai kualitatif dan kuantitatif.

Sebagai contoh tingkat pelayanan jasa angkutan penumpang bus Damri


adalah pelayanan yang diterima oleh pengguna jasa dengan variabel-variabel
yang meliputinya, antara lain keselamatan (safety), keamanan (security),
kelancaran dan kenyamanan (convinience). Penilaian Standar Kinerja
Operasional jasa angkutan penumpang bus Damri terkait dengan Tingkat
Pelayanan (Level of Service) sebagai dasar kebijakan pentarifan jasa angkutan
yang dilakukan.

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa tingkat pelayanan adalah suatu tingkatan
dimana terdapat standar/batasan minimal kualitas pelayanan yang dipenuhi
oleh perusahaan yang arahnya untuk mencapai kepuasan pelanggannya.

D. Pelayanan Prima
Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada
masyarakat selain dapat dilihat dalam Keputusan MenPan Nomor 81/1993,

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


15 Tinjauan Pustaka

juga dipertegas dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1/1995


tentang peningkatan kualitas pelayanan aparatur pemerintah kepada
masyarakat.Oleh karena itu kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak
dapat diabaikan lagi, bakhan hendaknya disesuaikan dengan tuntutan era
globalisasi.

Selama ini, masyarakat mengkonotasikan pelayanan yang diberikan oleh


aparatur pemerintah kepada masyarakat cenderung kurang dan tidak
berkualitas.Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengaduan yang dilakukan
oleh oknum aparatur pemerintah dalam memberikan layanan kepada
masyarakat.

Salah satu keluhan yang sering terdengar dari masyarakat yang berhubungan
dengan aparatur pemerintah adalah selain berbelit-belit akibat birokrasi yang
kaku, juga perilaku oknum aparatur yang kadang kala kurang
bersahabat.Realita demikian ini memerlukan kepedulian dari kalangan
aparatur, agar masyarakat mendapatkan layanan prima. Keprimaan dalam
pemberian layanan pada gilirannya akan mendapatkan pengakuan atas
kualitas pelayanan yang memuaskan masyarakat (pelanggan).

Layanan prima adalah layanan yang memberikan kepuasan pelanggan. Hal ini
sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(MENPAN) Nomor 81/1995. Dalam keputusan ini dijelaskan sendi-sendi
pelayanan prima yaitu:
a. Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan
diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan.
b. Kejelasan dan kepastian dalam arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
- Prosedur/tatacara pelayanan umum
- Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administrative
- Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


16 Tinjauan Pustaka

dalam memberikan pelayanan umum


- Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tatacara pembayarannya
- Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum
- Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan
umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/kelengkapan,
sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan umum
- Pejabat yang menerima pemrosesan pelayanan umum
c. Keamanan dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat
memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan
kepastian hokum
d. Keterbukaan dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu
penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka
agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta.
e. Efisien dalam arti :
- Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang
berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk
pelayanan umum yang diberikan.
- Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan,
dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan
persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah yang terkait.
f. Ekonomis dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan :
- Nilai barang atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya
yang tinggi di luar kewajaran.
- Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum
- Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
g. Keadilan yang merata dalam arti cakupan/jangkuan pelayanan umum
harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


17 Tinjauan Pustaka

diperlukan secara adil.


h. Ketepatan waktu dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat seperti yang terdapat dalam


agenda Reiventing Government adalah pengembangan organisasi yang
bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster and cheaper government.

Osborne dan Geabler (1993) seperti dikutip Sudarsono Hardjosoekarto dalam


manajemen Pembangunan No.19/V/April 1997 menyatakan bahwa agenda
Reiventing Government ini bertumpu pada prinsip customer driven
government (pemerintah berorientasi pada pelanggan).

Instrumen dari prinsip di atas, menurut Sudarnono Hardjosoekarto adalah


pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan lebih suka dilayani
menuju pada lebih suka melayani. Yang pertama menempatkan pemimpin
puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga Negara
(customer) berada pada posisi terbawah.Sebaliknya yang kedua menempatkan
warga negara (customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin
birokrasi berada pada posisi paling bawah.

Pelayanan prima kepada masyarakat telah menjadi bagian penting dari


accountability manajemen.Untuk itu perlu disadari bahwa datangnya era
pelayanan terbaik kepada masyarakat/pelanggan sangatlah relevan dengan
prinsip pengembangan daya saing global. Sejalan dengan jiwa reinventing
government, Osborne dan Plastrik (1996) seperti dikutip Sudarsono
Hardjosoekarto (1997) dalam Manajemen Pembangunan No.19/V/April 1997
kembali menyodorkan lima strategi dalam menerapkan reinventing
government :
a. Creating clarity of purpose
b. Creating consequences for performance
c. Putting the customer in the driver’s seat

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


18 Tinjauan Pustaka

d. Shifing control away from the top and the center


e. Creating an entrepreneurial culture

Sudarsono Hardjosoekarto (1997) selanjutnya menyatakan bahwa


implementasi prinsip reinventing government tersebut diatasdapat ditempuh
melalui agenda penting yaitu :
a. Public-private partnership atau privatization
b. Budgeting reform
c. Organizational development and change

Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur


pemerintahnya terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam
pelayanan dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk
melaksankan pelayanan prima.Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima,
unsure aparatur seharusnya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan
pelayanan itu?Dan siapakah pemimpin pelayan?
Istilah kepemimpinan pelayan pada awalnya muncul dalam karya Robert K.
Greenleaf (1970) seperti dikutip Sudarsono Hardosoekarto (1994) yang
berjudul The Servant as Leader (pelayan sebagai pemimpin).Salah Satu
tujuan penulisan buku Greenleaf ini adalah ingin merangsang pemikiran dan
tindakan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan peduli.

Kembali pada pernyataan apakah kepemimpinan pelayan itu, Greenleaf dalam


Sudarsono Hardjosoekarto (1994), mengkaji keperluan akan jenis baru model
kepemimpinan. Kajian Greenleaf menempatkan satu model pelayanan kepada
orang lain termasuk karyawan, pelanggan dan masyarakat sebagai prioritas
nomor satu. Kepemimpinan pelayan menekankan pada peningkatan
pelayanan kepada orang lain yang merupakan sebuah pendekatan holistic
dalam pekerjaan dan rasa kemasyarakatan.

Jawaban atas pertanyaan siapa pemimpin pelayan itu?Greenleaf dalam


Sudarsono Hardjosoekarto (1994), menyatakan bahwa pemimpin pelayan

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


19 Tinjauan Pustaka

adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan.Selanjutnya Greenleaf


menyatakan bahwa pada hakekatnya orang ingin melayani – melayani lebih
dulu - kemudian pilihan sadar membawa orang berkeinginan untuk
memimpin. Hal ini memanifestasikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi
orang lain adalah dilayani.

Dapat dirasakan keterkaitan positif antara tingkat pelayanan/kualitas


pelayanan dengan kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction). Menurut
Philip Kotler dan Kevin Lane Keller (2007 : 177), secara umum, kepuasan
adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah
membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja (atau
hasil) yang diharapkan. Jika kinerja memenuhi berada dibawah harapan,
pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika
kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang. Artinya semakin
tinggi tingkat pelayanan atau kualitas pelayanan suatu produk jasa maka
secara logika akan semakin puas pelanggan dari produk jasa tersebut.

E. Standar Pelayanan Publik


Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan
dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima
pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi pelayanan
dan/atau penerima pelayanan. Standar pelayanan, menurut Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003, sekurang-kurangnya
meliputi:
a. Prosedur Pelayanan, yang dibakukan bagi pemberi dan penerima
pelayanan termasuk pengaduan.
b. Waktu Penyelesaian, yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan
sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
c. Biaya Pelayanan, yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
Biaya (termasuk rinciannya) ini ditetapkan dengan memperhatikan
tingkat kemampuan daya beli masyarakat, harga yang berlaku atas

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


20 Tinjauan Pustaka

barang dan/atau jasa, serta ditetapkan oleh pejabat yang berwenang


dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Produk Pelayanan, yang akan diterima oleh penerima layanan sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
e. Sarana dan Prasarana, yang secara memadai perlu disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
f. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan, yang harus ditetapkan secara
tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan
perilaku yang dibutuhkan.

F. Indeks Kepuasan Masyarakat


Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
Kep./25/M.PAN/2/2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat, menyatakan
bahwa Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) adalah data dan informasi tentang
tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran secara
kuantitatif dan kualitaif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh
pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan public dengan
membandingkan antara harapan dan kebutuhannya. Menurut
Kep./25/M.PAN/2/2004 tersebut terdapat 14 unsur yang relevan, valid dan
reliable, sebagai unsur minimal yang harus ada sebagai dasar pengukuran
indeks kepuasan masyarakat, yaitu:
Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
a. Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang
diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis
pelayanannya.
b. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas
yang memberikan pelayanan.
c. Kedislipinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam
memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai
ketentuan yang berlaku.
d. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


21 Tinjauan Pustaka

tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian


pelayanan.
e. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan
yang dimiliki petugas dalam memberikan atau menyelesaikan pelayanan
kepada masyarakat.
f. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan
dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggaraan pelayanan.
g. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan
tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
h. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan
ramah serta saling menghargai dan menghormati.
i. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap
besarnya biaya yang telah ditetapkan oleh unit pelayanan.
j. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang
dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
k. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
l. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan
yang bersih, rapi dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman
kepada penerima pelayanan.
m. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan
unit pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan

G. Aspek Legalitas
Aspek legalitas merupakan aspek yang dilihat berdasarkan kepada peraturan
dan undang-undang yang berlaku.
1. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Bab VI) Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 Tentang Jaringan Lalu

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


22 Tinjauan Pustaka

Lintas dan Angkutan Jalan.


a. (Pasal 3) Rencana Induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan
nasional meliputi :
1) Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
untuk antarkota yang lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi;
2) Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
untuk perkotaan yang lebih dari 1(satu) wilayah provinsi;dan
3) Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
untuk pedesaan yang lebih dari 1(satu) wilayah provinsi.
b. Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional
disusun berdasarkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan yang
berskala nasional.
c. Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan nasional untuk
antarkota,perkotaan,dan pedesaan yang lebih dari 1(satu) wilayah
provinsi memuat :
1) Prakiraan perpindahan orang dan / atau barang menurut asal
tujuan perjalanan lingkup nasional;
2) Arah dan kebijakan peranan lalu lintas dan angkutan jalan
nasional dalam keseluruhan moda transportasi nasional;
3) Rencana lokasi dan kebutuhan simpul nasional;dan
4) Rencana kebutuhan ruang lalu lintas nasional.
d. (Pasal 5) Penyusunan rancangan rencana induk jaringan lau lintas
dan angkutan jalan nasional dilakukan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan instansi terkait.
e. Penyusunan rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan :
1) Dokumen rancana pembangunan jangka nasional;
2) Dokumen rencana tata ruang wilayah nasional;
3) Dokumen rencana induk perkeretaapian nasional;
4) Dokumen rencana induk pelabuhan nasional;dan
5) Dokumen rencana induk nasional Bandar udara.

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


23 Tinjauan Pustaka

f. (Pasal 6) Rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan


nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ditetapkan dengan
Peraturan Presiden.
3. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Rencana
Umum Jaringan Angkutan Massal Pada Kawasan Perkotaan Jakarta,
Bogor, Depok,Tangerang dan Bekasi (JABODETABEK).
a. (Bab II) Maksud disusunnya rencana umum jaringan angkutan
massal pada kawasan perkotaan jabodetabek untuk meningkatkan
pelayanan dan penyediaan jasa angkutan umum yang
cepat,aman,terpadu,tertib,lancar,nyaman,ekonomis,efesien,efektif,
dan terjangkau oleh masyarakat.
b. Tujuan disusunnya Rencana Umum jaringan angkutan massal pada
kawasan perkotaan jabodetabek adalah sebagai pedoman dalam
rangka pembangunan jaringan angkutan umum massal di
jabodetabek dalam jangka pendek,jangka menengah, dan jangka
panjang.
c. Sasaran dari rencana jaringan angkutan massal pada kawasan
perkotaan jabodetabek meliputi :
1) Mewujudkan angkutan umum sebagai tulang punggung sistem
transportasi jabodetabek dan menerapkan kebijakan manajemen
permintaan(transport demand management/TDM);
2) Mengurai dan mengurangi kemacetan lalu lintas;
3) Meningkatkan aksesibitas dan mobilitas pengguna jasa
transportasi;
4) Memadukan pola jaringan transportasi;
5) Meningkatkan jaringan jalan dan jalur kereta api;
6) Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

H. Kronologis
1. Periode 2011 s.d. 2013 (Usulan Pembentukan Badan Otoritas
Transportasi Jabodetabek (OTJ))

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


24 Tinjauan Pustaka

Usaha untuk membentuk suatu badan yang mempunyai otoritas dalam


mengelola transportasi Jabodetabek dimulai pada tahun 2011. Pada awal
tahun 2011 tepatnya pada Bulan Februari 2011, dalam rapat kerja bulan
Februari 2011, Presiden memberi arahan untuk mengatasi kemacetan lalu
lintas Jabodetabek sebelum 2014. Rapat ini menghasilkan Instruksi
Wakil Presiden 17+3 Langkah Pengananan Transportasi
Jabodetabek.Dalam rapat tersebut Kemenko Perekonomian diberi tugas
untuk menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang
Otorita Transportasi Jabodetabek (OTJ) dan Rancangan Peraturan
Presiden (Raperpres) tentang Rencana Induk Transportasi Perkotaan
Jabodetabek (RITPJ). Selanjutnya pada tanggal 10 Mei 2011, Raperpres
OTJ disampaikan kepada Presiden, dan revisi Raperpres disampaikan
kepada Sekretaris Kabinet pada 30 Desember 2011.

2. Periode 2012 s.d. 2013 (Usulan Pembentukan Badan Interim


Pengelola Transportasi Jabodetabek (BIPTJ))
Pada Semester II tahun 2012 dilakukan Roadshow UKP4 ke Pemda se-
Jabodetabek, KemenPAN-RB, dan Sekretaris Kabinet.Dalam pertemuan
tersebut diminta tanggapan atas pembentukan OTJ.Kemudian pada
tanggal 26 Juni 2013 dilakukan rapat bersama Wapres terkait kemacetan
di Jabodetabek, dimana Wapres mengusulkan untuk memperlancarkan
pembentukan OTJ, agar dibentuk terlebih dahulu Badan Interim sampai
OTJ terbentuk. Selanjutnya pada tanggal 17 Juli 2013 dilakukan rapat
bersama UKP4, Kemenko Perekonomian, dan K/L terkait. Dalam rapat
ini disepakati untuk:
1. Membentuk Badan Interim Pengelola Transportasi Jabodetabek
(BITPJ);
2. Pembuatan Inpres pembentukan Badan Interim OTJ;
3. Badan Interim OTJ agar berfungsi case-based dengan MRT East-
West sebagai permulaan.

Selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 2013 dilakukan rapat setingkat

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


25 Tinjauan Pustaka

Eselon I, dimana dalam rapat tersebut disepakati untuk membentuk


BIPTJ yang dikepalai oleh Wamenhub dan bertanggung jawab kepada
Wapres.

Pada tanggal 5 September 2013 terbit Surat Menteri Koordinator Bidang


Perekonomian mengenai pembentukan BIPTJ yang dikirim kepada Wakil
Presiden, dan pada tanggal 7 November 2013 dilakukan rapat perihal
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang BIPTJ.
Namun di dalam rapat ini menyepakati mengenai lembaga interim
direncanakan tidak berbentuk Badan Interim, tetapi berbentuk Tim
Persiapan Otorita Transportasi Jabodetabek yang terdiri atas Tim
Pengarah dan Tim Pelaksana.Tim ini anggotanya merupakan perwakilan
dari berbagai Kementerian dan Pemda terkait.

3. Periode 2013 s.d. 2014 (Usulan Pembentukan Pengelola Transportasi


Jabodetabek)
Pada tanggal 12 November 2014 dilakukan rapat koordinasi setingkat
Eselon I di Kantor Sekretariat Wakil Presiden yang menyepakati
perubahan rancangan Keputusan Menko Perekonomian tentang Tim
Persiapan Pembentukan OTJ menjadi Peraturan Presiden tentang Satuan
Kerja Pengelola Transportasi Jabodetabek yang mengikuti pola
pembentukan Tim Indonesia National Single Window (INSW).Disepakati
pula untuk segera menerbitkan Perpres tentang Satuan Kerja Transportasi
Jabodetabek.

Tanggal 19 Maret 2014, rapat koordinasi yang dipimpin oleh wakil


Presiden RI menyepakati agar segera diterbitkan Perpres tentang Satuan
Kerja Transportasi Jabodetabek.

Pada tanggal 24 September 2014, Kementerian Hukum dan HAM


menyatakan bahwa proses harmonisasi Raperpres tentang Pengelola
Transportasi Jabodetabek (PTJ) telah selesai. Selanjutnya Raperpres

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


26 Tinjauan Pustaka

dikembalikan kepada Kemenko Perekonomian untuk diajukan kepada


Setkab dan diproses lebih lanjut.

Pada tanggal 3 Oktober 2014 melalui surat Nomor S-


279/M.Ekon/10/2014 perihal Raperpres tentang Pengelola Transportasi
Jabodetabek, Menko Perekonomian menyampaikan Rancangan Peraturan
Presiden ke Sekretaris Kabinet RI dengan tembusan kepada Menteri
Perhubungan.
Tabel II.1Kronologis Proses Pembentukan Pengelola Transportasi Jabodetabek (PTJ)

PERIODE TAHUN KEGIATAN

Instruksi Wakil Presiden 17+3 Langkah Penangan


Transportasi Jabodetabek.
• Dalam rapat kerja Februari 2011, Presiden
mengarahkan untuk mengatasi kemacetan sebelum
Feb
2014
2011 2011
• Kemenko Perekonomian ditugasi menyusun
Usulan
Raperpres tentang Otorita Ttansportasi Jabodetabek
Pembentukan
(OTJ) dan Raperpres tentang Rencana Induk
OTJ.
Transportasi Jabodetabek (RITJ)
Raperpres Otoritas Transportasi Jabodetabek
10 Mei (OTJ) disampaikan kepada Presiden.
2011 • Kemenko menyampaikan revisi draft OTJ kepada
Sekretaris Kabinet (30 Desember 2011)
2012 - 2013 Roadshow bersama UKP4 ke Pemda Jabodetabek,
Usulan KemenPAN-RB, dan Setkab.
Pembentukan SEM II • Bertemu kepala daerah/Pemda & menanyakan
Badan 2012 tanggapan atas pembentukan OTJ
Interim • Membahas Raperpres OTJ bersama KemenPAN-RB
Pengelola & Setkab

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


27 Tinjauan Pustaka

PERIODE TAHUN KEGIATAN

Transportasi Rapat bersama Wapres terkait kemacetan di


Jabodetabek Jabodetabek.
26 Juni
(BIPTJ) • Wapres mengusulkan, untuk memperlancar
2013
pembentukan OTJ, agar dibentuk terlebih dahulu
Badan Interim sampai OTJ terbentuk
Rapat bersama UKP4, Kemenko Perekonomian,
dan K/L terkait.
Disepakati untuk:
17 Juli • Membentuk Badan Interim Pengelolaan
2013 Transportasi Jabodetabek (BITPJ)
• Agar dibuat Inpres pembentukan badan interim OTJ
• Badan interim OTJ agar befungsi case-based dengan
MRT East-West sebagai permulaan
Rapat setingkat Eselon 1 membahas rencana
pembentukan BIPTJ
23 • Disepakati untuk membentuk BIPTJ yang dikepalai
Agust oleh Wamenhub dan bertanggung jawab kepada
2013 Wapres
• BIPTJ akan terbentuk selama rentang waktu tertentu
dan selanjutnya akan digantikan oleh OTJ
Surat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
5 Sept
mengenai pembentukan BIPTJ dikirim kepada
2013
Wakil Presiden

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


28 Tinjauan Pustaka

PERIODE TAHUN KEGIATAN

Rapat membahas perihal Peraturan Menteri


Koordinator Bidang Perekonomian tentang BIPTJ.
Disepakati untuk:
• Lembaga interim direncanakan tidak berbentuk
7 Nov Badan Interim, tetapi berupa Tim yang anggotanya
2013 merupakan perwakilan dari berbagai Kementerian
dan Pemda terkait.
• Lembaga interim dimaksud disebut Tim Persiapan
Otorita Transportasi Jabodetabek yang terdiri atas
Tim Pengarah dan Tim Pelaksana
Rapat koordinasi setingkat Eselon 1 di Kantor
Sekretariat Wakil Presiden RI.
Disepakati untuk:
• Mengubah Rancangan Keputusan Menko
Perekonomian tentang Tim Persiapan Pembentukan
2013 - 2014 12 Nov
OTJ menjadi Peraturan Presiden tentang Satuan
Usulan 2013
Kerja Pengelola Transportasi Jabodetabek yang
Pembentukan
mengikuti pola pembentukan Tim Indonesia National
Pengelola
Single Window (INSW).
Transportasi
• Agar segera diterbitkan Perpres tentang Satuan Kerja
Jabodetabek
Pengelola Transpotasi Jabodetabek
(PTJ)
Rapat koordinasi yang dipimpin oleh Wakil
19 Presiden RI.
Maret Disepakati untuk :
2014 • Agar segera diterbitkan Perpres tentang Satuan
Kerja Transpotasi Jabodetabek

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ


29 Tinjauan Pustaka

PERIODE TAHUN KEGIATAN

• Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa


proses harmonisasi Raperpres tentang Pengelola
24 Sept
Transportasi Jabodetabek (PTJ) telah selesai.
2014
• Selanjutnya Raperpres dikembalikan kepada
Kemenko Perekonomian untuk diajukan kepada
Setkab dan diproses lebih lanjut
Melalui surat Nomor S-279/M.Ekon/10/2014 perihal
3 Okt Raperprres tentang PTJ, Menko Perekonomian
2014 menyampaikan Rancangan Peraturan Presiden ke
Sekretaris Kabinet RI

Laporan Akhir Studi Kelembagaan BPTJ

Вам также может понравиться