Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
SKA (Sindrom Koroner Akut) yang terdiri atas infark miokard dengan atau tanpa segmen
elevasi ST merupakan gangguan yang mengancam dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi meskipun penatalaksaan terapi SKA telah berkembang (Kolansky, 2009). SKA
menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar dalam tahun 2003 di Pusat
Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat ini. Pada tahun 2010, secara global
PJK menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang, menggantikan kematian
akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi
pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali
lebih tinggi dari angka kematian akibat kanker (Departemen Kesehatan, 2006).
Menurut data statistik dari American Heart Association (AHA), sekitar 18% pada pria dan
23% pada wanita dengan usia >40 tahun meninggal dalam kurun waktu 1 tahun yang
memiliki infark miokard untuk diagnosa pertama, 20% pasien SKA masuk rumah sakit untuk
serangan ulang dalam 1 tahun dan 60% dari biaya rumah sakit terkait dengan pasien SKA
yang mengalami ulangan masuk rumah sakit (Kolansky, 2009). Berdasarkan data dari
Scientific Comittee ASHIMA 2016, data WHO menujukan bahwa penyakit Kardiovaskuler
merupakan panyakit yang menyebabkan kematian nomor 1 di dunia. Pada tahun 2012
angka kematian dunia akibat penyakit kardiovaskuler mencapai 17,5 juta orang.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah salah satu manifestasi
klinis Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan
kematian (Departemen Kesehatan, 2006). SKA merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan
meskipun dunia kesehatan sudah cukup maju dalam bidang kardiovaskuler, angka kematian
pada infark miokard dan serangan ulang penderita SKA masih cukup besar (Hamik
dkk,2011).
Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu
sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable
angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST. Sindrom Koroner
Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di
dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium (Harun,2007).
2.2 Etiologi
Rilantono (2008) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada
penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh hal
berikut :
Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
Adapun faktor resiko pada Sindrom Koroner Akut meliputi faktor yang dapat di ubah dan
faktor yang tidak dapat di ubah.
Usia
Jenis Kelamin
Hereditas
Kegemukan
Stess
Kurang olahraga
Kolestrol tinggi
2.3 Klasifikasi
Kelas I :
Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat,
atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
Kelas II :
Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
Kelas III :
Kelas A :
Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam,
hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
Kelas B : Prim
Kelas C :
Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan anti angina
(penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium) Antiangina dan nitrogliserin
intravena.
Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada Sindrom Koroner akut
akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu ventrikel
menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri
tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi pula
peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat
peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium
dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan
meningkatkan LAP ( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-
paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan
onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan
tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang
disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga
terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi sindrom koroner akut :
Mekanisme neurohormonal
Mengatakan gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri ditengah dada, seperti: rasa
ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa
terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini bisa merambat ke
kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik, ada juga yang
disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag.
Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati .
Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi
nyeri biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20
menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta
ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada
penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat atau
lebih seri
Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingi
Penatalaksanaan
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom koroner
akut (SKA) adalah dengan MONA :
Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan
sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x
NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200
ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi
arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet
(masih menjadi pertanyaan).
Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1
dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG digunakan untuk diagnosis dan stratifikasi risiko pasien dengan angina
tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan iskemia akut.
Gelombang T terbalik juga merupakan tanda adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan
gelombang T dan ST tidak spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan
gelombang T terbalik kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia. 4% pasien dengan
angina tak stabil memiliki gambaran EKG yang normal dan 1-6% pasien NSTEMI memiliki
gambaran EKG yang normal.
Exercise Test
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan memiliki resiko tinggi perlu
dilakukan pemeriksaan exercise test dengan menggunakan treadmill, bila hasilnya negative
maka prognosisnya baik tetapi bila hasilnya positif atau depresi segmen ST menjadi lebih
dalam maka dianjurkan melakukan pemeriksaan angiografi koroner untuk menilai apakah
perlu dilakukan tindakan revaskularisasi koroner.