Вы находитесь на странице: 1из 26

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM GUILLAIN-BARRE

A. Landasan Teoritis Penyakit

1. Defenisi

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang

penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari

gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit

mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer

kranial (Smeltzer, 2002).

Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer

dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron

motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk

gerakan motorik juga (Sylvia, 2006).

2. Etiologi

Etiologi dari GBS tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respons

autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa

sindrom tersebut mempunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat

diisolasi sejauh ini.

Guillain-Barre terjadi dengan frekuensi yang sama pada kedua jenis

kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok

usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang padda setiap golongan

usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3
minggu sebelum onset. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau

gastrointestinal.

3. Manifestasi Klinis/ Tanda dan Gejala

a. Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya

dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu

sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang

timbul.

b. Gejala Klinis

1) Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas

tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-

kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan

dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara

asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-

kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,

kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-

otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya

derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian

distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat

dari bagian proksimal.

2) Gangguan sensibilitas

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka

juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris


objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola

kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering

dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering

ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3) Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.

Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi

kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat

antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan

N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila

N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar

menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan

pernafasan karena paralisis nervus laringeus.

4) Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS.

Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus

bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi

yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse

diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai.

Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua

minggu.

5) Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat

berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan


ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot

pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.

6) Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum

diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam

cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales

sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

4. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

1) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot

yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau

bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan

adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal

seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks

patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.

2) Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar

protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian

jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik.

Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2

dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah

sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil

penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.

Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada


beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate

Antidiuretik Hormone).

3) Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS

adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal

motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat,

menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di

samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis

juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan

potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih

lama dan tidak sembuh sempurna.

4) Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein (

1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain

(1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan

cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil

apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu

pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic

dissociation).

5) Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika

dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini

dapat terlihat pada 95% kasus SGB.

a. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.

b. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium

awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

5. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

Penatalaksanaan Medis

Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara

umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat

sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka

kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus

diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi,

2002).

a) Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan

pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)

1) Pengaturan jalan napas

Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan

gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap

ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu

dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus

dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan

diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.

Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi


dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk

mengetahui progresivitas penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat

penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan

timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan

irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya

diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-

acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol.

Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan

pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat

diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan

endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara

pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis

Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi

antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada

serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada

pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu

pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per

exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga

sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange

bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.


Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus

diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium

karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi

disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga

parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.

b) Perawatan umum

1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi

tidur.

2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara

teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah

penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai

untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak

yang lumpuh,

4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada

kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.

5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring

dan trakhea.

6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.

7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.

c) Pengobatan

1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat

steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous

menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon

dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang

tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah

48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini

adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara

subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned

LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens

terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan

salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat

dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient

compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic

disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:

a) Imunoglobulin IV

Imunoglobulin adalah bagian dari plasma darah. Di dalamnya

terkandung antibodi untuk melawan kuman dan penyakit. Ketika

seseorang menyumbangkan darahnya, bagian ini dapat dipisahkan.


Kemudian imunoglobulin ini disuntikkan secara intravena ke dalam

tubuh pasien yang memerlukan. Imunoglobulin cair diambil dari

plasma darah donor. Plasma tersebut telah melewati tes hepatitis dan

AIDS.

Metode ini digunakan untuk memblok antibody dengan menggunakan

dosis tinggi dari immunoglobulin (IVIG). Pada kasus ini,

immunoglobulin dimasukkan ke dalam darah dalam jumlah besar,

yang mengakibatkan terhambatnya antibody yang menyebabkan

inflamasi.

Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian

immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah

ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya

plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan

perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin

intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena

efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis

maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek

klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari

selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4

minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap

regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada

interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.


b) Obat sitotoksik

Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah

 6 merkaptopurin (6-MP)

 Azathioprine

 Cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual

dan sakit kepala.

6. Komplikasi

 Gagal pernafasan

Melemahnya otot pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini

berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan

berulang.

 Penyimpangan kardiovaskular

Mungkin terjadi gangguan sistim saraf otonom yang mengakibatkan

disritmia jantung atau perubahan drastic dalam tanda-tanda vital yang

dapat mengancam kehidupan.

 Komplikasi plasmaferesis

Pasien yang menerima plasmaferesis berisiko terhadap potensial

komplikasi karena prosedur tersebut.

7. WOC (terlampir)

B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

 Identitas Klien
 Pengkajian

Jenis Kelamin : Karena GBS ini lebih banyak dialami oleh pria,

dengan perbandingan pria dan wanita = 1,5:1.

Umur/Tanggal lahir: GBS awal menyerang 15-35 tahun, dan

penyerangan terparah di usia 70 tahun ke atas.

Suku/Kewarganegaraan: GBS banyak diderita oleh warga negara

Amerika Utara, Eropa dan Australia.

 Keluhan Utama

Klien memberi keluhan yang berhubungan dengan kelemahan pada

otot fisik motorik secara umum, termasuk otot pernapasan.

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien memberi keluhan kelemahan pada otot, parestasia atau bahkan

lumpuh yang dimulai dari ekstremitas bawah kemudian berkembang ke

atas, pernapasan > 20 kali/menit, sulit berbicara, sulit mengunyah dan

menelan.

 Riwayat Penyakit terdahulu

Pengkajian yang dilakukankan adalah tetang kemungkinan adanya

riwayat penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), infeksi pada

gastrointestinal.

 Pengkajian Pola Kesehatan Gordon

1) Persepsi kesehatan – pola managemen kesehatan, menggambarkan

pola pemahaman klien tentang kesehatan, dan kesejahteraan, dan

bagaimana kesehatan mereka diatur. Biasanya pasien SGB

sebelumnya menderia penyakit (infeksi saluran napas atas,


gastroentritis) vaksinasi (campak. Polio); keadaan kronis (lupus

erotematosus), penyakit hodgkin/proses keganasan.

Pembedahan/anestesia umum, trauma

2) Pola metabolik – Nutrisi, menggambarkan konsumsi relatif terhadap

kebutuhan metabolik dan suplai gizi, meliputi pola konsumsi makanan

dan cairan, keadaan kulit, rambut, kuku, dan membran mukosa, suhu

tubuh, tinggi, dan berat badan. Biasanya pasien SGB mengalami

kesulitan saat menelan, menguyah, kelemahan otot abdomen,

penurunan bising usus.

3) Pola eliminasi, menggambarkan pola fungsi ekskresi (usus besar,

kandung kemih, dan kulit); termasuk pola individu sehari-hari,

perubahan atau gangguan, dan metode yang digunakan untuk

mengendalikan ekskresi. Pasien SGB dapat mengalami konstipasi,

penurunan fungsi kantung kemih dan hilangnya sensasi saat kemih

(inkontinensia)

4) Pola aktivitas – olahraga, menggambarkan pola olahraga, aktivitas,

pengisian waktu senggang, dan rekreasi, termasuk aktivitas kehidupan

sehari-hari, tipe dan kualitas olah raga, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi pola aktivitas (seperti otot – saraf, respirasi, dan

sirkulasi). Pasien SGB mengalami penurunan fungsi otot, paralisis,

kelumpuhan, nyeri, merintih akibat nyeri,tampak lelah kesulitan

bernafas, nafas tidak stabil, menggunakan otot bantu pernafasan ,pola

nafas ireguler, sianosis tampak dari kuku dan bibir.


5) Pola tidur – istirahat, menggambarkan pola persepsi-sensori dan pola

kognitif; meliputi keadekuatan bentuk sensori (penglihatan,

pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penghidu), pelaporan

mengenai persepsi nyeri, dan kemampuan fungsi kognitif. Pada pasien

SGB gangguan tidur dialami karena adanya sesak yang terjadi.

6) Pola persepsi – kognitif, menggambarkan pola persepsi sensori dan

pola kognitif; meliputi keadekuatan bentuk sensori (penglihatan,

pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penghidu), pelaporan

mengenai persepsi nyeri, dan kemampuan fungsi kognitif. Pasien SGB

biasanya mengalami kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau

jari-jari kaki dan selanjutnya terius naik (distribusi stoking atau sarung

tangan). Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri,

sensasi suhu.

7) Pola persepsi diri – konsep diri, menggambarkan bagaimana seseorang

memandang dirinya sendiri; kemampuan mereka, gambaran diri, dan

perasaan. Kecemasan, ketakutan dan penilaian terhadap diri akibat dari

paralisis yang terjadi dan berkembang dengan cepat, lihat ekspresi dari

wajah dan mata pasien. Pasien dengan SGB biasanya mengalami

perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang

dihadapi. pasien tampak takut dan bingung

8) Pola hubungan peran, menggambarkan pola keterikatan peran dengan

hubungan; meliputi persepsi terhadap peran utama dan tanggung

jawab dalam situasi kehidupan saat ini. Biasanya pasien SGB

mengalami gangguan bicara sehingga mengalami gangguan peran.


9) Pola reproduksi – seksualitas, menggambarkan kepuasan atau

ketidakpuasan dalam seksualitas : termasuk status reproduksi wanita.

Pada pasien pria dapat terjadi gangguan ereksi. Pasien dengan SGB

megalami kesulitan dalam melakukan hubungan seksual.

10) Pola koping – toleransi stres, menggambarkan pola koping umum dan

keefektifan keterampilan koping dalam mentoleransi stres. Dengan

adanya proses penyembuhan yang lama , akan menyebabkan

meningkatnya rasa kekhawatiran dan beban pikiran bagi pasien

11) Pola nilai – kepercayaan, menggambarkan pola nilai, tujuan atau

kepercayaan (termasuk kepercayaan spiritual) yang mengarahkan

pilihan dan keputusan gaya hidup. Pasien biasanya mengalami

kesulitan dalam beribadah karena tubuh yang terasa kaku.

Pemeriksaan Fisik:

(1) Rambut dan hygiene kepala

(2) Mata: Penurunan daya lihat

(3) Hidung,simetris ki-ka

(4) Leher,

(5) Dada

I: simetris ki-ka

P: premitus

P: sonor
A: ronchi

(6) Abdomen

I: perut simetris

P :hepar dan lien tidak teraba

P :Thympani

A :Bising usus (+)

(7) Genito urinaria :dekontaminasi,anuria

(8) Ekstramitas :kelemahan,kelumpuhan.

d) Pemeriksaan Fisik Sistem Neurologis

1) Tingkat Kesadaran

i. Kualitatif

Adalah fungsi mental keseluruhan dan derajat kewasapadaan.

CMC → sadar akan diri dan punya orientasi penuh

APATIS → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan mengantuk

LATARGIE → tingkat kesadaran yang tampak lesu dan

mengantuk

DELIRIUM → penurunan kesadaran disertai pe ↑ abnormal

aktifitas psikomotor → gaduh gelisah

SAMNOLEN → keadaan pasien yang selalu mw tidur →

diransang bangun lalu tidur kembali


KOMA → kesadaran yang hilang sama sekali ii. Kuantitatif

Dengan Menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS)

Respon membuka mata ( E = Eye ) o Spontan (4) o Dengan

perintah (3) o Dengan nyeri (2) o Tidak berespon (1)

Respon Verbal ( V= Verbal ) o Berorientasi (5) o Bicara

membingungkan (4) o Kata-kata tidak tepat (3) o Suara tidak

dapat dimengerti (2) o Tidak ada respons (1)

Respon Motorik (M= Motorik ) o Dengan perintah (6) o

Melokalisasi nyeri (5) o Menarik area yang nyeri (4) o Fleksi

abnormal/postur dekortikasi (3) o Ekstensi abnormal/postur

deserebrasi (2) o Tidak berespon (1)

2) Pemeriksaaan Nervus Cranialis

 Test nervus I (Olfactory)

Fungsi penciuman Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta

klien mencium benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun,

tembakau, kopi dan sebagainya. Bandingkan dengan hidung bagian kiri

dan kanan.

 Test nervus II ( Optikus)

Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang Test aktifitas visual,

tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di koran,

ulangi untuk satunya. Test lapang pandang, klien tutup mata kiri,

pemeriksa di kanan, klien memandang hidung pemeriksa yang


memegang pena warna cerah, gerakkan perlahan obyek tersebut,

informasikan agar klien langsung memberitahu klien melihat benda

tersebut.

 Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)

Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).

Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya),

menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari

arah belakang dari sisi klien dan sinari satu mata (jangan

keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena sinar.

Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek

kurang lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek

kearah kanan. Observasi adanya deviasi bola mata, diplopia,

nistagmus.

Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan

kanan tanpa menengok.

 Test nervus V (Trigeminus)

Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada

kelopak mata atas dan bawah.

Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.

Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip

kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula

dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan

adanya sentuhan

Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa

melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.

 Test nervus VII (Facialis)

Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap

asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan

berasa dengan kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik

masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi yang sehat.

Otonom, lakrimasi dan salvias

Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengan cara meminta

klien untuk: tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata

sementara pemeriksa berusaha membukanya.

 Test nervus VIII (Acustikus) Fungsi sensoris :

Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,

pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari

bergantian kanan-kiri.

Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan

lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.

 Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)


N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah,

tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan

M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M.

Salivarius inferior. N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal,

pergerakan ovula, palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan

palatum lunak.

 Test nervus XI (Accessorius)

Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah

Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian

palpasi kekuatannya. Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa

berusaha menahan test otot trapezius.

 Nervus XII (Hypoglosus)

Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)

Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan

cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

(3) Menilai Kekuatan Otot

Kaji cara berjalan dan keseimbangan

Observasi cara berjalan, kemudahan berjalan dan koordinasi

gerakan tangan, tubuh – kaki

i. Periksa tonus otot dan kekuatan


Kekualan otot dinyatakan dengan menggunakan angka dari 0-5

0 = tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot ; Iumpuh

total 1 = terlihat kontraksi tetap ; tidak ada gerakan pada

sendi.

2 = ada gerakan pada sendi tetapi tidak dapat melawan gravitasi 3

= bisa melawan gravitasi tetapi tidak dapat menahan tahanan

pemeriksa

4 = bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa tetapi kekuatannya

berkurang

5 = dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal

(4) Pemeriksaan reflek

Pemeriksaan refleks biasanya dilakukan paling akhir. Klien biasanya

dalam posisi duduk atau tidur jika kondisi klien tidak memungkinkan.

Evaluasi respon klien dengan menggunakan skala 0 – 4

0 = tidak ada respon

1 = Berkurang (+)

2 = Normal (++)

3 = Lebih dari normal (+++)

4 = Hiperaktif (++++)

i. Reflek Fisiologis
Reflek

Tendon o

Reflek

patella

Pasien bebaring terlentang lutut diangkat keatas fleksi kurang

lebih dari 300. tendon patella (ditengah-tengah patela dan

Tuberositas tibiae) dipukul dengan reflek hamer. respon

berupa kontraksi otot guardrisep femoris yaitu ekstensi dari

lutut.

o Reflek Bisep

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 supinasi

dan lengan bawah ditopang ada atas (meja periksa) jari periksa

ditempat kan pada tendon m.bisep (diatas lipatan siku) kemudian

dipukul dengan reflek hamer.normal jika ada kontraksi otot

biceps, sedikit meningkat bila ada fleksi sebagian ada pronasi,

hiperaktif maka akan tejadi penyebaran gerakan-gerakan pada jari

atau sendi. o Reflek trisep

Lengan bawah disemifleksikan, tendon bisep dipukul dengan

dengan reflek hamer (tendon bisep berada pada jarak 1-2 cm

diatas olekronon) respon yang normal adalah kontraksi otot trisep,

sedikit meningkat bila ada ekstensi ringan dan hiperaktif bila

ekstensi bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai ke

otot – otot bahu. o Reflek Achiles


Posisi kaki adalah dorso fleksi untuk memudah kan

pemeriksaan reflek ini kaki yang di[eriksa

diletakan/disilangkan diatas tungkai bawah kontral

lateral.tendon achiles dipukul dengan reflek hamer, respon

normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

o Reflek Superfisial

 Reflek kulit perut

 Reflek kremeaster

 Reflek kornea

 Reflek bulbokavernosus

 Reflek plantar

Reflek

Patologis o

Babinski

Merupakan reflek yang paling penting ia hanya dijumpai pada

penyakit traktus kortikospital.untuk melakukan tes ini,

goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki bagian

lateraltelapak kaki dari tumit ke arah jari kelingking dan

kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon babinski

timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsofleksi dan jari-jari

lain menyebar,klau normalnya adalah fleksi plantar pada

semua jari kaki.


Cara lain untuk membangkitkan rangsangan babinski:

 Cara chaddock

Rangsang diberikan dengan jalan menggores bagian

lateral maleolus hasil positif bila gerakan dorsoekstensi

dari ibu jari dan gerakan abduksi dari jarijari lainnya.

 Cara Gordon

Memencet ( mencubit) otot betis

 Cara Oppenheim

Mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior arah

mengurut kebawah (distal)

 Cara Gonda

Memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian

melepaskannya sekonyong koyong.

e) Rangsangan Meningeal

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis)

dilakukan pemeriksaan : (1) Kaku kuduk

Bila leher di tekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak

dapat menempel pada dada --- Kaku kuduk positif (+)

(2) Tanda Brudzunsky I


Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala klien dan tangan lain di

dada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.Kemudian kepala klien

di fleksikan kedada secara pasif.Brudzinsky I positif (+)

(3) Tanda Brudzinsky II

Tanda brudzinsky II positif (+) bila fleksi klien pada sendi panggul secara

pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan

lutut.

(4) Tanda kerniq

Fleksi tungkai atas tegak lurus,lalu dicoba meluruskan tungkai bawah

pada sendi lutut normal-,bila tungkai membentuk sudut 1350 terhadap

tungkai atas. Kerniq + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa

sakit tebila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap

hambatan.

(5) Test lasegue

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri

sepanjang Mischiadicus.
Daftar Pustaka

1. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.

2. Sylvia, A.P. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

3. Ariani, T.A. 2012. Sisem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika

4. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah

Universitas Sumatera Utara.

5. Bulecheek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M. 2012. Nursing Interventions

Classification (NIC) fifth edition. Iowa: Mosbi Elsavier,

6. Jhonson, M. 2012. Outcome Project Nursing Classification (NOC), St. Louis.

Missiouri: Mosby.

7. NANDA International. 2012. Nursing Diagnosis: Definitions &Classification 2012-

2014. Jakarta: EGC.

8. Potter, P.A & Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep.

Proses, dan Praktik, edisi 4, volume 1. Alih Bahasa: Yasmin Asih, dkk. Jakarta: EGC

Вам также может понравиться