Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah umum
yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam,
1)
yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah "tempat
berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan
2)
Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal'
biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-
Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan
Ridha.
B. Rumusan masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada
Pengertian maqamat
Jenjang maqamat
Tahapan-tahapan tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat
Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah
umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata
1)
maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah
"tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di
hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari
2)
'hal' biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di
Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai,
menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan
ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal -
Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar -
At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar - ridha
- tawakal - ma'rifat.
Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf", sebuah kitab yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John Arberry dengan judul "The doctrine
of the Sufi" 3) menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya -
Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang
tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf
Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari
masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat
adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan
ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk
melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan
merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk
berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan
"ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering
disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang
diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal
dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan
perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah
B. Jenjang Maqamat
Satu jenjang terlewati hanya dapat ditentukan oleh sufi yang menjalani
perjalanan tersebut. Tidak ada kriteria yang dapat dijadikan ukuran secara
pasti menyatakan bahwa, seorang calon sufi sudah melewati maqâm tertentu.
Ini pun, merupakan latihan pensucian dlamair (kesucian batin) itu sendiri,
dengan menimbulkan kejujuran pada diri sendiri. Tidak pernah seorang sufi
sikap ria dan kesombongan diri. Jelas hal ini bertentangan dengan maksud
Proses pensucian dlamâir dimulai dari maqâm al-taubah. Seorang yang hendak melakukan
pensucian dlamair hendaklah menghentikan dirinya dari pelbagai perbuatan dosa. Bahkan harus
lahir sikap dan perasaan sudah terbebaskan dari beban mental akibat berbagai kesalahan dan
dosa yang pernah dilakukan. Tanpa perasaan tersebut, seseorang tetap merasa dirinya dalam
keadaan kotor. Maka bertaubat di sini, dimaksudkan melepaskan diri dari perasaan bersalah, dan
berdosa. Kemudian berjanji dengan sungguh sungguh tidak akan melakukan perbuatan-
perbuatan-dosa-lagi.
Bila perasaan taubat sudah diperoleh, maka seorang calon sufi baru meningkat ke jenjang kedua,
yaitu al-wará’, yang merupakan usaha sekuat tenaga lahir batin untuk menghindarkan diri dari
hal-hal yang syubhât, sesuatu yang diragukan apakah halal atau haram. Jadi di sini, kemampuan
ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya meninggalkan yang haram, tetapi juga
yang belum jelas halal atau haramnya. Hadits Nabi memang memperingatkan umat beriman
yang-diharamkan.
Jenjang ketiga yang harus dicapai, setelah timbul kebiasaan meninggalkan yang syubhat ini
adalah maqâm al faqr, yakni tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, melebihi apa yang telah ada
pada diri sendiri. Maqâm faqr ini sebenarnya merupakan manifestasi dari ketundukan dan
ketawadluan seseorang di hadapan Allah s.w.t. itulah sebabnya tidak akan meminta melebihi apa
yang telah dimiliki. Bila masih terus meminta, padahal kebutuhan diri sendiri sudah tercukupi,
dikhawatirkan akan menimbulkan sikap loba dan tamak yang pada gilirannya akan meruntuhkan
Jenjang keempat adalah maqam al-shabr. Maqam ini mengandung makna sabar dalam
menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangannya, dan juga sabar dalam
menerima cobaan dari Allah. Kesabaran di sini diartikan dengan konsisten, tidak pernah
bergeser, dan menenima dengan penuh kepasrahan segala ketentuan Allah. Sikap inii akan
melahirkan kekuatan hati, dalam bentuk tidak pernah tergoncang dan mengeluh dalam
Setelah jenjang al-shabr dilalui, maka seorang calon sufi meningkat ke maqam al-tawakkul.
Yakni sikap penyerahan secara totalitas, lahir batin kepada Allah s.w.t., sehingga seorang sufi
selamanya berada dalam suasana tentram. Bahkan dalam maqam ini akan lahir tingkat kepekaan
kalbu yang sangat tinggi, yaitu perasaan tidak diperdulikan Allah bila tidak diberi cobaan. Maka
Maqam yang terakhir adalah maqam al-ridha, yakni mengeluarkan perasaan benci dari hati,
sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah perasaan senang dan cinta. Inilah yang
disenandungkan, misalnya oleh al-Adawiyah dengan mengatakan, “Hatiku tidak punya tempat
lagi untuk benci kepada syetan, karena telah dipenuhi oleh perasaan cinta kepada-Allah”.
Tujuan para sufi dalam bertasawuf, adalah untuk beroleh hubungan langsung
sebagai sungguh berada pada hadirat Allah s.w.t. serta merasakan kelezatan
melalui sujud dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah berfirman, Sujudlah dan
Rasa dekat dengan Tuhan bisa mencapai situasi spiritual bersatu dengan
Tuhan, yang juga harus dipahami dan ditempatkan dalam makna spiritual juga.
Pernyataan Allah dalam al-Quran, “Dialah yang Awal, Dialah yang Akhir,
Dialah yang Zhahir, dan Dialah yang Batin”. Pernyataan bersatu dengan Allah
dalam konsep para sufi adalah timbulnya kesadaran total berada dalam hadirat
dan kekuasaan Allah, faná’ dalam kebesarannya, serta tenggelam dalam baqa. .
Bukan dalarn pengertian ketercampuran zat Allah yang immateri dengan zat
Di sini berlaku dasar pernikiran bahwa Allah, Dia Yang Maha Suci, hanya bisa
didekati oleh yang suci. Sesuatu yang kotor tidak bisa mendekati Maha Suci.
kesucian lahir.
Maka dalam mencapai tingkat kesufian, para calon sufi haruslah melalui
zhawahir, pensucian dlamair itu lebih sulit dan lebih memakan waktu. Karena
menundukkan diri dan hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tersebut dijinakkan
untuk mencapai jalan yang diridlai Allah s.w.t. Perjalanan panjang dalam
proses pensucian dlamair itu dikenal dengan istilah maqámát, yang dalam
D. Tahapan-Tahapan Tasawuf
Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada
Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta Pusat 10560
Tahapan-Tahapan Tasawuf
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
berikut:
1) Syariat
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang
telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu
Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam
perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub
manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah”
(ibadah umum).
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha
melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji,
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena
manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid.
Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2) Tarekat
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).
suatu tujuan.
dan “Al-Ahwaal”.
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran
yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga
disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat
tidak sama.
a) Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sebagai berikut:
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat
(Al-Wara’);
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu).
3) Hakikat :
Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
mata hatinya”.
hamba-Nya”.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena
3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan
antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal
4) Marifat :
Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam
dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:
“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
a) Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
b) Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c) Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-
Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin,
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
PENUTUP
A. Kesimpulan
1)
Maqam arti dasarnya adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau
martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
2)
Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental
Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran