Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah umum

yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam,
1)
yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah "tempat

berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan
2)
Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal'

biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-

sela perjalanan spiritualnya.

Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan

Ridha.

B. Rumusan masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pada

makalah kami adalah :

Pengertian maqamat

Jenjang maqamat

Maqamat sebagai jalan tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah

Tahapan-tahapan tasawuf

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqamat

Dalam term tasawuf yang dimaksud maqamat berbeda dengan makam dalam istilah

umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata
1)
maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah

"tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di

hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun "ahwal" bentuk jamak dari
2)
'hal' biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di

sela-sela perjalanan spiritualnya.

Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat, diantaranya :

 Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai,

menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan

ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal -

sabar dan Ridha.

 Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar -

faqir - zuhud - tawakal - mahabah - ma'rifat dan ridha.

 At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar - ridha

- tawakal - ma'rifat.

 Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf", sebuah kitab yang

sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John Arberry dengan judul "The doctrine

of the Sufi" 3) menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya -

tawadhu (rendah hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma'rifat.


4)
 Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) bahkan menyebutkan

enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.


Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada

Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang

tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf

akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.

Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari

masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat

adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan

ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk

melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan

merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk

berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan

"ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering

disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang

diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal

dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan

perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah

(divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".

B. Jenjang Maqamat

Sebagai suatu kesadaran pribadi tentulah maqamat sangat bersifat subyektif.

Satu jenjang terlewati hanya dapat ditentukan oleh sufi yang menjalani

perjalanan tersebut. Tidak ada kriteria yang dapat dijadikan ukuran secara

pasti menyatakan bahwa, seorang calon sufi sudah melewati maqâm tertentu.

Ini pun, merupakan latihan pensucian dlamair (kesucian batin) itu sendiri,
dengan menimbulkan kejujuran pada diri sendiri. Tidak pernah seorang sufi

memberikan pengakuan bahwa dirinya sudah melampaui maqám tertentu, dan

sedang melangkah ke maqam berikutnya. Karena pernyataan itu bisa melahirkan

sikap ria dan kesombongan diri. Jelas hal ini bertentangan dengan maksud

pensucian dlamáir yang sedang dicapai oleh seorang sufi.

Proses pensucian dlamâir dimulai dari maqâm al-taubah. Seorang yang hendak melakukan

pensucian dlamair hendaklah menghentikan dirinya dari pelbagai perbuatan dosa. Bahkan harus

lahir sikap dan perasaan sudah terbebaskan dari beban mental akibat berbagai kesalahan dan

dosa yang pernah dilakukan. Tanpa perasaan tersebut, seseorang tetap merasa dirinya dalam

keadaan kotor. Maka bertaubat di sini, dimaksudkan melepaskan diri dari perasaan bersalah, dan

berdosa. Kemudian berjanji dengan sungguh sungguh tidak akan melakukan perbuatan-

perbuatan-dosa-lagi.

Bila perasaan taubat sudah diperoleh, maka seorang calon sufi baru meningkat ke jenjang kedua,

yaitu al-wará’, yang merupakan usaha sekuat tenaga lahir batin untuk menghindarkan diri dari

hal-hal yang syubhât, sesuatu yang diragukan apakah halal atau haram. Jadi di sini, kemampuan

ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya meninggalkan yang haram, tetapi juga

yang belum jelas halal atau haramnya. Hadits Nabi memang memperingatkan umat beriman

untuk meninggalkan hal-hal yang syubhat ini, karena dikhawatirkan nanti-akan-jatuh-kepada-

yang-diharamkan.

Jenjang ketiga yang harus dicapai, setelah timbul kebiasaan meninggalkan yang syubhat ini

adalah maqâm al faqr, yakni tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, melebihi apa yang telah ada

pada diri sendiri. Maqâm faqr ini sebenarnya merupakan manifestasi dari ketundukan dan

ketawadluan seseorang di hadapan Allah s.w.t. itulah sebabnya tidak akan meminta melebihi apa
yang telah dimiliki. Bila masih terus meminta, padahal kebutuhan diri sendiri sudah tercukupi,

dikhawatirkan akan menimbulkan sikap loba dan tamak yang pada gilirannya akan meruntuhkan

dua jenjang yang terdahulu, yang benarti proses-pensucian-dlamair-menjadi-hancur-berantakan.

Jenjang keempat adalah maqam al-shabr. Maqam ini mengandung makna sabar dalam

menjalankan perintah Allah, sabar dalam menjauhi segala larangannya, dan juga sabar dalam

menerima cobaan dari Allah. Kesabaran di sini diartikan dengan konsisten, tidak pernah

bergeser, dan menenima dengan penuh kepasrahan segala ketentuan Allah. Sikap inii akan

melahirkan kekuatan hati, dalam bentuk tidak pernah tergoncang dan mengeluh dalam

menghadapi cobaan yang-datang,-bagaimanapun-beratnya.

Setelah jenjang al-shabr dilalui, maka seorang calon sufi meningkat ke maqam al-tawakkul.

Yakni sikap penyerahan secara totalitas, lahir batin kepada Allah s.w.t., sehingga seorang sufi

selamanya berada dalam suasana tentram. Bahkan dalam maqam ini akan lahir tingkat kepekaan

kalbu yang sangat tinggi, yaitu perasaan tidak diperdulikan Allah bila tidak diberi cobaan. Maka

cobaan Allah dipandang sebagai pernyataan cinta-Tuhan-kepadanya.

Maqam yang terakhir adalah maqam al-ridha, yakni mengeluarkan perasaan benci dari hati,

sehingga yang tinggal dalam hati hanyalah perasaan senang dan cinta. Inilah yang

disenandungkan, misalnya oleh al-Adawiyah dengan mengatakan, “Hatiku tidak punya tempat

lagi untuk benci kepada syetan, karena telah dipenuhi oleh perasaan cinta kepada-Allah”.

C. Maqamat Sebagai Jalan Tasawuf Untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah

Tujuan para sufi dalam bertasawuf, adalah untuk beroleh hubungan langsung

dan disadari dengan Allah, Rabb al-Alamin. Kesadaran tersebut dihayati

sebagai sungguh berada pada hadirat Allah s.w.t. serta merasakan kelezatan

berdialog atau berbisik-bisik dengan-Nya.


Kelezatan berdialog dengan Tuhan hanya mungkin dirasakan secara rohaniah

melalui sujud dan mendekatkan diri kepada-Nya. Allah berfirman, Sujudlah dan

dekatkanlah diri engkau dengan kepada Allah (Q.S. a1-Alaq/96:19).

Rasa dekat dengan Tuhan bisa mencapai situasi spiritual bersatu dengan

Tuhan, yang juga harus dipahami dan ditempatkan dalam makna spiritual juga.

Pernyataan Allah dalam al-Quran, “Dialah yang Awal, Dialah yang Akhir,

Dialah yang Zhahir, dan Dialah yang Batin”. Pernyataan bersatu dengan Allah

dalam konsep para sufi adalah timbulnya kesadaran total berada dalam hadirat

dan kekuasaan Allah, faná’ dalam kebesarannya, serta tenggelam dalam baqa. .

Bukan dalarn pengertian ketercampuran zat Allah yang immateri dengan zat

manusia yang materi.

Di sini berlaku dasar pernikiran bahwa Allah, Dia Yang Maha Suci, hanya bisa

didekati oleh yang suci. Sesuatu yang kotor tidak bisa mendekati Maha Suci.

Maka dasar aktifitas tasawuf diletakkan pada kesucian, kesucian lahir

(al-zhawahir, eksotenis) maupun kesucian batin (al-dlamair, esoteris). Namun

perlu diberi catatan, bahwa kesucian batin lebih diutamakan daripada

kesucian lahir.

Maka dalam mencapai tingkat kesufian, para calon sufi haruslah melalui

perjalannan panjang untuk membersihkan dlamairnya. Berbeda dengan pensucian

zhawahir, pensucian dlamair itu lebih sulit dan lebih memakan waktu. Karena

pensucian dlamáir itu, seorang ‘ábid (hamba) berusaha sekuat tenaga

menundukkan diri dan hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tersebut dijinakkan

untuk mencapai jalan yang diridlai Allah s.w.t. Perjalanan panjang dalam
proses pensucian dlamair itu dikenal dengan istilah maqámát, yang dalam

pemahaman para sufi mengandung makna jenjang-jenjang pencapaian kesadaran

kesufian untuk sampai ke tingkat kedekatan dan kebersatuan dengan Tuhan.

D. Tahapan-Tahapan Tasawuf

Sebagai bahan untuk memahami mengenai tahapan-tahapan

Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada

Fakultas Tarbiyah Jember, IAIN “Sunan Ampel” dalam bukunya “Kuliah

Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta Pusat 10560

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran

Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”

menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.

Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.

Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai

berikut:

1) Syariat

Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar

Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan

oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”

Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy mengatakan:

“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang

telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu

Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”

Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid;

meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari

Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam

perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan

meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh.

Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan

manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub

(ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama

manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah”

(ibadah umum).

Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi

sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan

najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha

melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji,

dengan istilah “At-Thalli”.

Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam

pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang

tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena

itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan

manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid.

Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2) Tarekat

Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat

atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau

“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga

macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:

1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan

tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang

sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai

dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang

tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal

mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang

diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di

bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan

suatu tujuan.

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan

Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah

Tarekat mempunyai dua macam pengertian.

a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering

dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai

suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”

dan “Al-Ahwaal”.
b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran

yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.

Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut

aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.

Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu

amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan

kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara

bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu

tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun

kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga

disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat

dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi

organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk

tidak sama.

Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan

dari dua segi:

a) Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara

pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di

samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh

manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak

pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan

lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan

bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat

yang membedakannya beserta alasan-alasannya.

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama

Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,

sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.

Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan

sebagai berikut:

a) Tingkatan Taubat (At-Taubah);

b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh, serta yang syubhat

(Al-Wara’);

c) Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).

d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).

e) Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).

f) Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).

g) Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat

dikemukakan sebagai berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)

b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)

c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)

d). Tingkatan takut (Al-Khauf)

e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)


f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)

g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu).

h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)

i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)

j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

3) Hakikat :

Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau

dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu

kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:

a) Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :

“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai

suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan

mata hatinya”.

b) Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,

disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada

hamba-Nya”.

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu

menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena

itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan

indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran

Allah sebagai penciptanya;


2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis

pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi

tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya

mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung

disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”.

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan

antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal

Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

4) Marifat :

Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau

mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka

istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam

dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang

mengatakan:

“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib

adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth

Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam keadaan hatinya

selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”


c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin

Abdillah yang mengatakan:

“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat

ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka

meningkat pula ketenangan (hatinya).”

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan

ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki

tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang

mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai

kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:

a) Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.

Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b) Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat

nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c) Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu

bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan

kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat

menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-

Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan

batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat

ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:


a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,

bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah

di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah

larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin,

kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan

ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna

gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu

menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang

Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya

kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan

yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan

Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran

Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,

Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk

pula secara terputus-putus.

Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba

tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1)
Maqam arti dasarnya adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau

martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
2)
Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental

states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran

Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”


menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy. Keempat

tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.

Вам также может понравиться

  • Modul Kalkulus 2
    Modul Kalkulus 2
    Документ55 страниц
    Modul Kalkulus 2
    Ibnu Sidiq
    100% (5)
  • Membangun Server Dengan Unix Freebsd
    Membangun Server Dengan Unix Freebsd
    Документ118 страниц
    Membangun Server Dengan Unix Freebsd
    Rendra
    Оценок пока нет
  • Silabus Mata Kuliah Spi
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Документ3 страницы
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Uas Ai
    Uas Ai
    Документ6 страниц
    Uas Ai
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Silabus Mata Kuliah Spi
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Документ4 страницы
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Silabus Mata Kuliah Spi
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Документ4 страницы
    Silabus Mata Kuliah Spi
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Kelompok1 SPI
    Kelompok1 SPI
    Документ14 страниц
    Kelompok1 SPI
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Materi Aku
    Materi Aku
    Документ1 страница
    Materi Aku
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Materi Aku
    Materi Aku
    Документ1 страница
    Materi Aku
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • laporan-kegiatan-pa-2017
    laporan-kegiatan-pa-2017
    Документ7 страниц
    laporan-kegiatan-pa-2017
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Tugas 1 Alpro
    Tugas 1 Alpro
    Документ1 страница
    Tugas 1 Alpro
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Format Borang PA
    Format Borang PA
    Документ6 страниц
    Format Borang PA
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Solusi Kuis 1-2011
    Solusi Kuis 1-2011
    Документ3 страницы
    Solusi Kuis 1-2011
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Format Boran Gpa
    Format Boran Gpa
    Документ6 страниц
    Format Boran Gpa
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет
  • Tugas 1 Alpro
    Tugas 1 Alpro
    Документ1 страница
    Tugas 1 Alpro
    Kuyipapelah
    Оценок пока нет